Deden Narayanto, Mengincar Tukang Siomay dengan Kecap
Dalam bisnis kecap, namanya cukup
dikenal sebagai pemilik perusahaan
Kecap Segi Tiga yang ternama di
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Usahanya memang bergerak perlahan
Namun pasti dan tengah merambah
ke Jakarta, Bekasi, dan Bandung.
Harapannya tidak mu1uk-mu1uk, ia hanya
ingin bersentuhan langsung dengan
tukang siomay, tukang sate, dan tukang
bakso yang jumlahnya ribuan.
Nama Kecap Segi Tiga mungkin belum
terlalu dikenal jika dibandingkan
dengan kecap-kecap nasional lainnya.
Namun, ini adalah salah satu perusahaan kecap
di Majalengka yang masih bertahan sejak tahun
1958. Kecap Segi Tiga didirikan oleh almarhum
Haji Lukman, kakek Deden, bersama 2 mitranya,
yaitu Aman dan Endek. Haji Lukman
tidak memberikan pengelolaan perusahaannya
kepada anaknya, tetapi ke Deden, yang notabene
adalah cucunya.
Hal itu terjadi tahun 2000, setahun setelah
Deden menyelesaikan kuliahnya. Deden tidak
bisa mengelak ketika kakeknya menanyakan
gaji yang dikehendakinya saat hendak melamar
pekerjaan. “Emang mau digaji berapa, gitu? Di
sini ada pekerjaan yang harus dikerjakan, kok
malah mau cari ke luar?’ Ini yang menyentak,
bukan karena berapa nilai gajinya. Tapi makna
pertanyaan itu yang menyentak. Sehingga saya
pun tidak jadi mencari kerja. Jadi, sampai
sekarang saya belum pernah melamar pekerjaan
sama sekali. Melamar ke istri doang,” kenang
Deden saat memutuskan untuk melanjutkan usaha
kakeknya.
MELANJUTKAN TONGKAT ESTAFET
Saat berpindah tangan, aset perusahaan tersebut
baru bernilai Rp 1 Miliar. Berbekal pengalaman
membantu kakeknya sejak duduk di bangku SMP
hingga kuliah, Deden melanjutkan usaha itu
dengan memperbaiki manajemen, dari tradisional
menjadi lebih modern. Deden ingat betul betapa
sibuk kakeknya mengurus segala sesuatu
untuk mempertahankan usahanya. Berbagai
urusan dipikirkan dan dikerjakan sendiri.
Manajemen seperti inilah yang menurutnya
sulit membuat perusahaan berkembang. Deden
memperbaikinya dengan merekrut orang untuk
mengurus administrasi, produksi, keuangan,
hingga pemasaran. “Jadi bukan hanya pimpinan
saja yang harus memikirkan. Tapi ada yang
memikirkan bagian-bagiannya. Ini alhamdulillah
sudah berjalan,” ucapnya bersyukur.
Pabrik yang awalnya berlokasi di rumah,
kemudian pindah ke lahan yang kecil pada
tahun 1980. Kini, lahan tersebut sudah
diperluas. Pertumbuhan penduduk Majalengka
yang cepat membuat Deden pun cepat
bertindak dengan membeli lahan kosong di
belakang pabrik tahun 2002. Tujuannya, untuk
melakukan perluasan sehingga kapasitas
produksi bisa ditingkatkan. Total karyawan
pun diperbesar menjadi 38 orang, kebanyakan
diambil dari masyarakat sekitar. Para pemula
biasanya hanya ditempatkan di bagian pengisian
kecap. Jika sudah menguasai kemampuan ini,
mereka bisa diajarkan keahlian baru, seperti
pemasakan. Syarat menjadi pegawainya pun
cuma satu, bisa membedakan rasa, mana yang
Kecap Segi Tiga dan mana yang bukan.
Khusus urusan produksi, Deden tidak mau
meninggalkan kekhasan Kecap Segi Tiga
yang kental dengan rasa kedelainya. Awalnya
Kecap Segi Tiga hanya memproduksi kecap
rasa asin dan manis sedang, sebab hanya 2 rasa
itulah yang disukai masyarakat Majalengka.
Selain itu, masyarakat Majalengka amat
menyukai kecap dengan rasa kedelai yang kental.
Deden memang tidak main-main untuk
urusan rasa. Kecapnya berbahan baku 50 persen
kedelai dan gula merah atau gula aren
yang berkualitas. Dan wanginya pun, menurut Deden,
masyarakat Majalengka sudah bisa membedakan
mana kecap Segi Tiga dan yang bukan.
Deden juga menanggung beban moral untuk
mempertahankan tradisi kecap Majalengka yang
kian tergusur.
Di tahun 1980-an ada 50-an pengusaha kecap. Namun,
kini tinggal 10 yang bertahan. “Ini sangat
mengkhawatirkan, karena kecap adalah produk
unggulan Majalengka juga. Harus benar-benar dijaga.
Bayangkan kalau anak cucu kita nanti tidak
tahu produk kecap Majalengka,” ujar bapak 2 anak ini.
Belajar dari rontoknya banyak perusahaan kecap yang
dulu tumbuh bersama, Deden menyadari bahwa jika tidak
mengikuti perkembangan pasar, dia akan tergerus oleh
perusahaan-perusahaan kecap besar. Selagi memperbaiki
manajemen, Deden pun mulai memikirkan inovasi untuk
ekspansi keluar Majalengka. Deden mulai dengan
mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan,
meraih SNI, sertifikasi halai, bahkan mendaftarkan
hak cipta mereknya. Menurutnya, meskipun UKM,
perusahaannya harus mengikuti apa yang menjadi
perhatian masyarakat, termasuk packaging.
Selama ini, Kecap Segi Tiga hanya mengandalkan
botol bekas pakai yang dicuci dan diisi ulang.
Namun seiring waktu, banyak botol yang tidak
kembali karena hilang atau pecah.
Maka, mulai pertengahan tahun 2011, dibuat
kemasan standing pouch dari bahan plastik
dengan volume 225 ml. “Masyarakat
sekarang kan sudah berbeda, walaupun masih
ada orang yang pikirannya masih di sana, tapi
kan sekarang masyarakat memikirkan kesehatan.
Itu harus kita ikuti,” imbuh pria berusia 36
tahun ini. Ketika ditanyakan tentang sampah plastik,
Deden mengatakan bahwa plastik bekas tetap
bisa didaur ulang untuk dijadikan barang lain,
sehingga tidak mengotori lingkungan.
DIVERSIFIKASI USAHA
Untuk merambah pasar di luar Majalengka,
Kecap Segi Tiga mulai memproduksi kecap
manis. Pengalaman mereka menunjukkan ketika
menjual kecap asin dan manis sedang ke
daerah Bandung, produk tersebut ternyata tidak
dilirik sama sekali. Deden pun memperhatikan,
rupanya masyarakat kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Bekasi, tidak senang dengan kecap
asin, manis sedang, dan encer. Mereka lebih
suka rasa manis dan kental. Dia pun meminta
kokinya untuk meracik kecap manis khas Kecap
Segi Tiga.
Dengan pengalaman meracik kecap sejak
tahun 1958, kokinya mampu membuat kecap
manis. Kelihaian sang koki sangat teruji. Terbukti
setiap ada kecap terbaru muncul di pasaran
selalu dicicipi, lalu dicoba meracik hingga
mendapatkan rasa yang sama, dan berhasil.
“Alhamdulillah kita bisa mendekati rasa begitu.
Jadi, walaupun tidak didukung keilmuan,
karena pengalaman, dia sudah paham; kurang
ini, kurang itu,” tutur lulusan manajemen teknik
industri Universitas Pasundan Bandung ini.
Selain memproduksi kecap, Deden sempat
melakukan diversifikasi usaha dengan membuat
minuman kemasan. Bahan bakunya dari jambu
merah yang berlimpah di Majalengka. Untuk
meraciknya, dia bekerja sama dengan pihak
ketiga. Sayangnya, ketika pihak ketiga itu jatuh,
perusahaan minumannya pun bangkrut karena
Deden tidak mengetahui bahan-bahan yang
perlu diracik. Namun, karena usaha ini dimulai
dari nol, Deden tidak merasa terbebani.
Setelah itu, Deden fokus mengembangkan
usaha kecapnya. Dia menargetkan pada 2013
kecapnya sudah menguasai pasar Jawa Barat.
Mulai dari rasa hingga ukuran akan disesuaikan
dengan produk yang beredar di Jawa Barat. Sejak
awal, produknya memang langsung ditujukan
ke pemakai—yakni langsung ke rumah tangga—
bukan ke toko-toko.
Sementara, pengguna kecap bukan hanya
rumah tangga. Bisnis makanan pun membutuhkan
kecap. Misalnya saja tukang siomay,
bakso, dan sate. Pangsa pasar ini belum
tersentuh oleh Kecap Segi Tiga yang berada
pada kisaran harga cukup mahal. Oleh karena
itu, kini Kecap Segi Tiga juga memproduksi
second line yang diberi nama Samara. Di sinilah
suntikan modal dibutuhkan. Sejak tahun 2009,
perusahaannya mendapat pinjaman secara
bertahap mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1,5
miliar dari bank bjb.
Namun, ternyata inovasi tak selalu mulus.
Pernah ada kejadian Deden kekurangan bahan
baku. Ia pun mengganti kedelai hitam yang
kurang itu dengan kedelai kuning. Hasilnya
cukup mengejutkan. Para pelanggan setianya
komplain karena mereka tahu rasa kecapnya
berubah. Untung saja perputarannya cepat,
sehingga setelah barang habis, Deden langsung
kembali menggunakan bahan-bahan racikan
seperti biasa.
Kejadian lain adalah saat Deden meng-update
label. Karena konsumen setia sudah hafal di
luar kepala label lamanya, maka ketika beredar
label baru, mereka malah mengira itu produk
palsu. Lagi-lagi Deden belajar arti penting
sosialisasi. Dia kemudian menyebar pamfiet dan
mengembalikan label ke model lamanya lagi.
“Namun saya berani berinovasi dan
mendiferensiasikan produk. Karena Kecap Segi
Tiga memiliki harga cukup tinggi, saya
membuat label Kecap Samara untuk segmen
di bawahnya. Saat ekonomi terganggu, saya
ciptakan merek Samara untuk mengatasi
masalah harga jual. Konsumen Segi Tiga tidak
terganggu, dan saya mendapat pelanggan
baru, termasuk pelanggan Segi Tiga yang
merasa harganya terlalu tinggi,” urai Deden.
Cara ini ternyata berhasil. Dengan menyasar
Pedagang-pedagang kecil, dalam waktu 2 tahun,
omzet Samara sudah menyamai Segi Tiga.
Pendekatan dijajaki ke para penjual siomay, bakso,
dan sate di Bandung dan Bekasi, bahkan saat
ini sedang menjajaki Jakarta dan Tangerang.
Di Bandung, Kecap Samara bekerja sama
dengan asosiasi tukang sate. Menurut Deden,
seorang tukang sate bisa menghabiskan 20 krat
kecap dalam sebulan. Sementara di Jakarta,
Deden sedang menjajaki kerja sama dengan
perkumpulan tukang siomay, yang kebanyakan
memang berasal dari Majalengka.
“Itu sampai ribuan orang. Di satu desa
saja sampai seribu orang yang pergi ke
Jakarta untuk jualan siomay. Sebotol habis
dalam 2 hari. Kemarin kita sudah ngobrol,
ternyata mereka tertarik. Selama ini mereka
menggunakan kecap merek terkenal, tapi
jatuhnya mahal. Kita tawarin kecap kita.
Kualitas sama, tetapi harganya lebih murah,”
terang Deden.
PRODUKSI & PROMOSI TRADISIONAL
Selain itu, Kecap Segi Tiga juga menggandeng
pengusaha yang memasok ke toko-toko atau ke
warung-warung kecil. Deden berhasil menggaet
seorang pengusaha yang memiliki jaringan toko
dan warung se-Jawa Barat. “Dia punya jaringan
500 outlet di satu kabupaten saja. Jadi kalau di
Jawa Barat ada 26 kabupaten atau kota berarti
kan lumayan,” hitungnya.
Menurut Deden, langkah tersebut dilakukan
mengingat biaya promosi yang sangat minim,
yakni 2 persen saja dari jumlah biaya-biaya
lainnya. Deden menyadari henar bahwa
perusahaan kecapnya lemah dari segi promosi.
Mereka hanya promosi di daerah lokal, melalui
radio dan koran. Kalaupun televisi, mereka
masih mencari yang gratis, misalnya dari
liputan media. Kecap Segi Tiga sudah pernah
diliput TVOne dan TPI (Sekarang MNC TV).
Menurutnya, ketimbang beriklan lebih efektif
mengikuti pameran. Misalnya saja pameran
Agro dari Dinas Industri dan Perdagangan.
Deden juga pernah mengikuti 2 kali pameran di
Singapura dan mendapat sambutan bagus dari
perusahaan negeri singa itu, sebab kecap di sana
terasa hambar. Namun untuk memasarkan ke
sana, penyalurnya belum didapat.
Pengalaman pahit pun pernah dialami Deden
dalam usahanya ini. Saat mengikuti pameran,
dia pernah mendapat pembeli dari Jakarta yang
memesan langsung 1 truk, dengan pembayaran
giro. Namun setelah kecap dikirim, giro tidak
bisa dicairkan. Selama sebulan menunggu,
hasilnya tetap sama. Ketika didatangi kembali,
kantor tersebut sudah kosong. Deden pun harus
menelan pu pahit, rugi Rp 20 juta.
Selain itu, Kecap Segi Tiga pernah bekerja
sama dengan sebuah pesantren terkenal
binaan dai kondang di Bandung yang banyak
memberikan pelatihan pada tahun 2000.
Deden berani berinvestasi karena pesantren
itu tumbuh pesat sekali. Kecapnya pun banyak
yang memesan, hingga mencapai 100 ribu botol.
Namun sayang, manajemen di dalam pesantren
itu rupanya belum bagus. Infrastruktur di
bawahnya belum siap, yang pada akhirnya malah
menimbulkan kekacauan dan harus dihentikan.
Hal itu pun berimbas pada perusahaan Deden.
“Tapi itu tidak membuat kita putus asa,” ucapnya.
Kelemahan bukan hanya dari promosi saja,
melainkan juga dari bagian produksi. Misalnya,
alat produksi yang digunakan masih sangat
tradisional. Untuk pengisian pun belum semi
otomatis. Walaupun sadar bahwa ada proses yang
memang tidak bisa dilakukan oleh mesin, seperti
fermentasi, Deden tidak ingin menggunakan
bakteri sintesis. Dia tetap menggunakan jamur
yang biangnya disimpan dalam lemari sejak
tahun 198o—meski prosesnya membutuhkan
waktu sebulan. Menurutnya, penggunaan bahan
sintesis akan mengubah kekhasan rasa kecap
Segi Tiga.
“Untuk fermentasi di tong pun bisa saja
kita pakai wadah stainless, tapi rasanya akan
berbeda. Makanya kita tetap pakai tong dari
kayu jati. Pokoknya untuk proses produksi
sebelum digodok itu tetap dipertahankan. Kalau
tidak ada jamur itu, kita tidak bisa produksi.
Karena bahan utamanya di situ,” paparnya.
Untuk bahan baku, Deden mengambil kedelai
hitam dari Jawa Tengah karena kualitasnya
lebih baik ketimbang kedelai impor dari Cina.
Apalagi bahan kedelai yang memakai bahan
pengawet sangat berpengaruh pada kualitas
kecap. Namun, proses mendapatkan bahan baku
ini tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, ketika
petani yang menyuplai kedelai mengalami gagal
panen. Untuk itulah, Deden berencana bermitra
dengan petani Majalengka.
Deden memprediksi bahwa bermitra dengan
petani Majalengka untuk menanam kedelai
hitam di daerah tersebut akan memecahkan
permasalahan. Ongkos produksi otomatis
banyak terpangkas. Berdasarkan uji coba,
hasilnya memuaskan. Bahkan lebih baik dari kedelai
hitam Jawa Tengah. “Kotoran tanahnya itu
enggak ada karena proses panennya juga beda.
Kalau di sana dirabut sehingga tanahnya ikut.
Kalau di Majalengka diarit,”jelasnya. Sementara
untuk gula, Deden mengambil dari beberapa
daerah seperti Bandung, Purwokerto, dan
Ciamis, karena ketiganya merupakan penghasil
gula aren berkualitas.
Dalam sebulan, pabrik kecap Deden menghasilkan
30 ribu botol berbagai ukuran, yakni
140 ml, 250 ml, dan 500 ml. Sementara untuk
standing pouch dibuat ukuran 350 ml dan 600
ml. Ukuran lama, yakni 250 ml dan 500 ml
juga tetap diproduksi. Omzetnya berkisar Rp
300-400 juta sebulan. Deden juga memasok
produknya ke koperasi bersama yang berada
di dekat pabriknya, selain menjual ke agen di
Subang, Jakarta, Bandung, dan Bekasi. Untuk
pasar di luar Majalengka itu, pengiriman
dilakukan secara langsung.
MANAJEMEN PERSAINGAN
Di Majalengka sendiri peta persaingan kecap
lokal tidak terlalu ketat, mengingat pelakunya
tinggal 10 perusahaan. Selain itu, tidak ada
pengusaha lokal yang memasuki segmen yang
dibidik oleh Kecap Segi Tiga. Persaingan baru
terlihat pada segmen yang didiami Kecap
Samara. Di sanalah ke-10 produsen yang masih
bertahan memperebutkan segmen yang diambil
Kecap Samara.
Namun, persaingan tentu saja muncul
dari merek-merek kecap nasional. Dan, yang
membuat Deden tersanjung, dia sempat diajak
bekerja sama menyuplai produksi untuk
memenuhi permintaan pasar mereka. Namun,
tawaran tersebut ditolaknya secara halus, melihat
pengalaman beberapa UKM di sekitarnya yang
berakhir hanya sebagai penyedia produk semata
atau diambil alih.
Menipisnya persaingan membuat Deden
senang bercampur sedih. Senang, karena
tidak banyak pesaing. Sedih, karena hal ini
menunjukkan tidak adanya persatuan di antara
pengusaha lokal. Pernah Deden menggagas
asosiasi pengusaha kecap di tahun 2000, namun
yang terjadi hanya penolakan. Dia malah dicap
sebagai pesaing yang akan mengambil lahan
pasar mereka. “Ternyata mereka takut karena
hanya melihat kita sebagai pesaing, takut
lahannya diambil. Itu masih ada yang kayak
gitu. Kalau saya mah, walaupun pesaing masih
teman juga,” sesalnya.
Padahal, misi yang diusung Deden adalah
membuat koperasi pemasaran kecap bersama.
Dengan adanya koperasi, masalah tersebut
bisa diatasi lebih mudah. Sesama pengusaha
kecap bisa bahu-membahu mempertahankan
usahanya sehingga tidak mudah gulung tikar.
Apalagi, ada kalanya datang masa-masa suram
musiman untuk pengusaha kecap. Misalnya,
ketika kedelai hitam sulit didapat.
Sejak diterpa badai krisis tahun 2007
hingga kini, kedelai cenderung lebih sulit
dicari. Kalaupun ada, harganya naik hingga
20 persen, sementara harga kecapnya hanya
naik 5 persen setahun sekali, yakni menjelang
Lebaran. Padahal, bahan baku memakan 50
persen ongkos produksi. Jika saat krisis moneter
1997 tetap laris manis dengan keuntungan bisa
mencapai 50 persen, pada krisis global ini
mendapatkan keuntungan 10-20 persen sudah
sangat bagus.
Tak ingin usahanya hanya bermanfaat
untuk keluarga pribadi, Deden menaati ajaran
kakeknya agar perusahaan Kecap Segi Tiga
juga banyak memberi manfaat bagi masyarakat
melalui Yayasan Al Lukman. Laba perusahaan
dipakai untuk membangun gedung sekolah (TK
dan Madrasah Diniyah).
Agar semakin menyentuh masyarakat, Kecap
Segi Tiga harus terus mengikuti perkembangan
masyarakat. Seperti kisah terciptanya jenis
kecap rasa manis, ke depannya pun Deden
siap membentuk varian apa saja, jika memang
diinginkan pasar. “Kita mau bikin rasa stroberi.
Enggak ada, kan? Misalkan masyarakat suka,
kenapa kita enggak buat?” cetusnya sambil
tersenyum lebar.
Deden juga sudah mulai membiasakan
kedua anaknya berwirausaha, agar jangan
hanya mencari pekerjaan saja. Apalagi
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). “Saya
sering dipanggil sharing, sama teman-teman
perguruan tinggi. Kita mencoba membuka
mindset, jangan sampai para kaum terpelajar
hanya terpaku menjadi PNS saja. Dari 10 pintu
rezeki, 9 di antaranya berasal dari usaha. PNS
hanya ada di 1 pintu itu. Jadi, kita harus buka
kemandirian,” demikian tutup pelaku usaha
mikro ini.
Catatan Rhenald Kasali
DI SELURUH WILAYAH Nusantara selalu ditemui dua tipe pengusaha. Pengusaha
nasional yang berambisi menjadi market leader dengan modal besar dan serbe
massal, dan pengusaha lokal yang hanya berambisi mengisi ceruk-ceruk kecil
di wilayahnya. Yang partama dibangun dengan kekuatan merek dan televisi,
sedangkan yang kedua dibangun dengan kekuatan rasa (produk) dan radio (atau
kekerabatan pedagang).
Pengusaha-pengusaha mikro yang bekerja dengan dua hingga tiga orang
pekerja, dengan perabotan produksi seadanya, akan punah dengan sendirinya
kalau merek tidak mengikuti irama evolusi. Selera pasar akan berubah,
kendati jaringan distribusi tetap diam di tempat dan loyal memasarkan
produk-produk buatan mereka. Demikian pula alam semesta ini ikut berubah
membuat peta perjalanan dan pasokan bahan baku dan metode pembayaran
berubah. Ini berarti pengusaha-pengusaha mikro dan kecil harus ikut
berubah, beradaptasi, dan tentu saja harus naik kelas.
Demikian pulalah dengan produk kecap. Setiap daerah memiliki lidah yang
tidak sama karena mereka mengonsumsi makanan-makanan lokal yang berbeda-
beda. Di satu daerah seleranya manis, di daerah lain tidak suka yang
manis, melainkan pedas, dan daerah lainnya senang yang ada rasa cuka dan
seterusnya. Namun, masing-masing mereka bisa mengalami masalah yang sama
yaitu serbuan makanan nasional yang dipasarkan melalui jaringan waralaba
dan beralihnya kedelai ka tangan produsen-produsen besar.
Dari perjalanan Kecap Segi Tiga kita belajar bahwa usaha mikro memang
tangguh dan tahan banting, namun juga ringkih dan mudah gugur kalau
fondasinya dibangun di atas pasar yang rapuh. Di masa depan, UMKM (Usaha
Mikro Kecil dan Menengah) memerlukan lebih dari sekadar semangat dan kerja
keras, melainkan visi besar, ambisi untuk maju, dan pengetahuan yang
memadai untuk memperbaiki produk, melakukan adaptasi, memperbaiki
manajemen, dan seterusnya.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
1 comment:
mantep informasinya. untuk berita lengkap lainnya bisa kunjungi
berita terkini
berita otomotif
berita bola
Post a Comment