Eman Sulaeman, Mempertahankan Usaha Warisan Plered
Plered, Purwakarta merupakan salah
satu sentra kerajinan gerabah di
Indonesia yang terkenal di mancanegara.
Usaha di bidang ini pun kebanyakan
merupakan bisnis turun-temurun yang
konon sudah ada sejak tahun 1904.
Namun seiring waktu, usaha ini ternyata
tak lagi mudah. Dibutuhkan cucuran
keringat dan usaha yang luar biasa
untuk mempertahankannya.
SALAH satu pengusaha yang memulai bisnis
gerabah ini secara mandiri sejak 1993 adalah
H.Eman Sulaeman. Sejak duduk di bangku sekolah
dasar, pemilik Risman Wijaya Keramik ini sudah
ikut membantu orangtuanya memajukan bisnls
gerabah yang didapat ayahnya dari sang
Kakek. “Jadi, keseharian saya membantu orangtua
sejak SD. Dari proses produksi sampai
masalah finishing. Kecuali masalah pembentukan
dengan teknik putar, saya enggak bisa,” tutur
Eman yang ditemui di warungnya. Sekitar tahun
1982, bisnis gerabah memang sedang jaya-jayanya.
Gerabah jenis grafir sedang tren dan
amat disukai pasar untuk kebutuhan rumah tangga.
Namun adanya campuran timbal yang dilarang oleh
Pemerintah karena berbahaya menggeser tren grafir
Ke bahan terakota.
Bisnis keramik itu hanya sempat dinikmati
Eman sampai ia lulus SMA. Orangtua Eman memintanya
kuliah. Dia pun terpaksa meninggalkan
hiruk-pikuk Plered demi bersekolah di IKIP Bandung.
Namun, kuliah tidak memadamkan minat Eman pada
dunia gerabah yang sudah mendarah daging.
Tahun 1993, sebelum diwisuda,
dia memutuskan untuk terjun membuka usaha
keramik sendiri, tidak lagi ikut dengan ayahnya.
Dia sudah memutuskan tidak akan menjadi
pegawai negeri dan akan menekuni bisnis tersebut.
Target awalnya sederhana, mendapatkan 1
kontainer untuk diekspor dalam tahun pertama.
Target tersebut berhasil dilampaui, bahkan Eman
kebanjiran order sampai mampu mempekerjakan
sekitar 30 orang.
PASAR INTERNASIONAL VS LOKAL
Meski sudah mengerjakan bisnis sendiri, bantuan
tetap diberikan oleh orangtua Eman, berupa
modal awal sebesar Rp 200 ribu. Eman pun
masih menggunakan peralatan lainnya, seperti
tungku, dari usaha milik orangtuanya. Dengan
modal minim, Eman mampu menghasilkan
keramik ukuran 55 cm yang per unitnya dijual
Rp 30 ribu. Padahal biaya produksinya hanya
Rp2.500 dengan upah Rpl.250.
Berbeda dengan para perajin lain di Plered,
Eman lebih berkonsentrasi menembus pasar
internasional ketimbang lokal. Turis mancanegara
yang banyak menengok Plered memberi
order hingga jauh melebihi kemampuan Eman.
“Jadi, kemampuan saya ibaratnya cuma satu
gelas, tetapi order yang saya terima sampai satu
teko. Karena memang belum disiasati, saya
belum punya kemampuan untuk bikin kerja
sama dengan teman-teman, order dibuang ke
mana-mana,” kenangnya.
Tahun 1993-2002 adalah masa keemasan
Eman. Pada periode tersebut order dari pasar
internasional tidak pernah sepi. Kala itu dia
bisa menikah, membeli tanah, membeli rumah,
bahkan naik haji. Dia juga mengirimkan kontainer
dengan jumlah terbanyak, yaitu 10
kontainer senilai Rp 1 miliar. “Saya kalau hitung
satuan untuk retail, bingung. Dari dulu
hitungannya kontainer, jadi produksinya enggak
banyak item, tapi kuantitasnya banyak,”
jelasnya. Dari order ini, keuntungan bersih yang
diperolehnya mencapai sekitar Rp 250 juta.
Tahun 1998, dia bekerja sama dengan broker
besar yang khusus melayani pasar internasional
dengan produk gerabah untuk interior. Sejak
saat itu, hubungan Eman dengan pasar lokal
terputus. Konsumen lokal tidak terjaga dengan
baik, hal ini yang membuat bisnis Eman merosot
di kemudian hari. Dia hanya menarget produksi
pasar lokal sebesar 30 persen, sementara pasar
internasional hingga 70 persen.
Namun tahun 2002, pasar internasional
semakin sepi sedangkan pasar lokal semakin
bergairah. Sementara perajin yang berfokus di
pasar lokal mulai mendulang untung, Eman harus
memulai kembali dari nol untuk mendekati pasar
lokal yang sempat ditinggalkannya. “Tahun
2002 pasar lokal nyambung, pasar ekspor putus
hubungan. Bingung masuk ke pasar lokal lagi,
karena trennya sudah beda,” tutur Eman yang
harus mempelajarii lagi selera pasar lokal.
Di pasar lokal, tren keramik interior di tahun
1985-2000 bergeser menjadi tren eksterior di
tahun 2000-2010. Pot-pot cantik untuk kebun,
misalnya, merupakan salah satu produk yang
amat diminati. Hampir setiap bulan perajin
Plered mengirim barang ke Jakarta. Untuk
kembali meraih pasar lokal, selain mempelajari
tren eksterior, Eman pun memberi porsi yang
seimbang bagi kedua jenis pasar.
Setelah dua tahun menekuninya kembali,
Eman berhasil menggaet kembali pasar lokal.
Kuncinya adalah mengikuti kemauan pasar.
Selain menyukai produk eksterior, pasar lokal
pun menyukai warna yang ngejreng. Jika
dibawa ke Jakarta, produk-produk yang seperti
itu akan laris-manis. Hal itu bertolak belakang
dengan pasar internasional yang lebih menyukai
warna-warna lembut dan minim dekorasi. Dan,
belajar dari pengalaman, pasar internasional
tetap tak ditinggalkan.
Benar saja, karena tahun 2007 pasar internasional
ternyata kembali bergairah. Eman
membawa Risman Wijaya Keramik mengikuti
pameran internasional seperti Pameran Produksi
Ekspor (PPE). Bahkan Eman mengikuti
pameran yang digelar di Jerman. Hingga kini,
dia sudah 3 kali ikut pameran di negara itu.
Selain itu, di warungnya di Plered tetap
tersedia stok keramik dengan berbagai bentuk
untuk melayani permintaan pasar lokal. Pasar
ini pun dikembangkan dengan rajin mengikuti
pameran produk-produk kerajinan nasional, misalnya
CRAFINA. Dari pameran itu bisa diketahui,
misalnya, tren 2007-2010 kecenderungannya
minimalis, tanpa gagang. Jika tidak ikut pameran,
Eman yang menjadi ketua koperasi di
Plered ini mencari informasi perkembangan tren
dari perajin sekitar yang ikut pameran.
Dari situ, dia tidak ketinggalan
mengetahui kecenderungan pasar internasional maupun
lokal. Pasar internasional yang sudah dijangkau Eman
antara lain Amerika, Jerman, Hongkong dan Italia.
Namun sejak tahun 2004, importir sudah jarang
bertransaksi langsung dengannya. Biasanya sudah
ada eksportir lokal yang mendapatkan pesanan,
kemudian dilanjutkan ke Eman. Menurut prediksi Eman,
kecenderungannya saat ini pasar lebih suka datang ke
satu tempat, seperti ke sebuah pameran, dan di sana
mereka mendapatkan berbagai macam jenis barang
sekaligus. Biasanya eksportir semacam itu
paling sedikit memesan 200 unit.
Karenanya, mengikuti pameran adalah wajib hukumnya
agar tetap bisa eksis. Setahun minimal seorang
perajin harus mengikuti 3 pameran
‘wajib’, seperti PPE, IFFINA, dan INACRAFT,
untuk ajang promosi. Dan pameran-pameran
itulah order lokal maupun internasional berskala
besar didapat. “Kalau sekarang keramik sudah
enggak tren. Jadi, menyiasatinya beda dengan dulu.
Kalau dulu cukup disiasati dengan membikin
barang yang bagus. Kalau sekarang, barang
yang bagus juga harus kuat promosinya,”
jelas Eman. Berapa biaya yang harus
disiapkan Eman untuk mengikuti 3 pameran tersebut?
Eman memperkirakan minimal per tahun berkisar
antara Rp 45 juta hingga Rp 6o juta.
Biaya promosi yang tidak sedikit ini bisa diatasi
dengan mencari sponsor. Eman biasanya mendapatkan
dari bank bjb.
Kehadiran bank bjb pun dirasakan amat
membantu usaha Eman sejak ia menjadi debitur
bank tersebut tahun 2008. Dia bisa meminjam
terlebih dulu modal untuk membuat keramik
pesanan, mengingat biasanya buyer hanya
memberi uang muka sebesar 30 persen dan
pelunasannya baru dibayarkan 15 hari setelah
barang dikirim. Selain itu, kehadiran bank
bjb kerap mendukung perajin setempat untuk
mengikuti sejumlah pameran.
TANGAN TERAMPIL UNTUK PRODUKSI
Meskipun menghadapi masa sepi seperti tahun
2008, empat pekerjanya tetap memproduksi
berbagai macam jenis keramik setiap harinya. Saat
ini pekerja di tempat Eman berjumlah 12 orang.
Namun, jika order cukup banyak, Eman bisa
menambah pekerja hingga 30 orang. Kebanyakan
dari mereka terhitung masih keluarga. Misalnya
keponakan yang baru lulus sekolah. Namun,
mereka hanya dijadikan pekerja kasar, tidak
menangani manajemen.
Untuk memilih pekerja, Eman tidak sembarangan,
meskipun kerap diambil dari tetangga dan
kerabatnya sendiri. Berbekal
pengalamannya sejak kecil menjadi perajin
keramik, Eman mengetahui siapa saja di
antara mereka yang memiliki kemampuan
bagus. Karena lingkungannya adalah perajin
keramik, dia mengambil karyawan dari warga
sekitar. Alasannya, akomodasi lebih murah
dan lebih efisien mengingat orang sekitar tidak
memerlukan biaya transportasi, dan tidak
ada yang pulang ke daerah asal. Selain itu,
pengawasannya jauh lebih mudah. Pekerja yang
mudah loncat-loncat pun masuk dalam daftar
blacklist yang tidak diliriknya.
Para karyawan yang bekerja di tempat Eman
mendapat upah harian, yang berkisar antara
Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu. Mereka mulai
bekerja pukul o8.oo hingga 15.30, dengan jam
istirahat antara pukul 12.00-13.00. Selain itu,
ada juga yang dibayar secara borongan, yakni
untuk pekerja yang khusus membakar dan
memutar gerabah. Biasanya mereka mendapat
bayaran dalam kisaran Rp 75 ribu hingga Rp
150 ribu, tergantung dari jumlah barang yang
diproduksi. Perbedaan upah ini tergantung pada
kualitas barang yang dihasilkan. Jika barang
yang dihasilkan berkualitas ekspor, otomatis
upahnya pun tinggi.
Jika pesanan cukup banyak, Eman biasanya
akan merekrut karyawan harian yang mau
tak mau standar kemampuannya pun belum
jelas. Dan, mengingat usahanya masih belum
berskala besar, Eman belum menganggap
perlu adanya karyawan profesional. Untuk
pelatihan karyawan pun hanya diperoleh dari
pemerintah. Meski begitu, ke depannya dia akan
membuat sistem kerja yang lebih baik mulai dari
perekrutan, produksi, dan lainnya, mengingat
dia masih berorientasi memenuhi pasar keramik
internasional.
Selain masalah sumber daya manusia, Eman
juga terus berupaya memperbaiki teknologi
untuk produksi, seperti mengolah bahan baku,
teknologi pembakaran, sampai pengeringan.
Biasanya Eman menjalin kerja sama dengan
perguruan tinggi setempat, meski masih dalam
bentuk yang sederhana. Dukungan pun
didapatnya dari suku dinas setempat, berupa
bantuan alat produksi seperti tungku pembakaran.
Untuk pasar retail, biasanya Eman menyediakan
stok dari kelebihan produksi yang
ada hingga sisa ekspor. “Kalau ada pesanan
1.000 unit, biasanya saya buat 1.100 unit.
Pertimbangannya, 50 unit adalah barang reject yang
tidak sesuai kriteria, sementara selebihnya akan
dijual retail di warung,” urainya. Hanya saja,
bermacam-macam keramik yang diproduksi
kadang tidak sesuai dengan selera konsumen.
Sehingga ia harus jeli melihat kecenderungan
pasar lokal. Dan biasanya, trennya hanya bisa
bertahan selama 8-10 bulan saja.
Cara lain membaca tren pasar lokal adalah
mengandalkan majalah interior dan eksterior.
Eman juga pernah mencoba mengaplikasikan
tren internasional ke dalam pasar lokal.
Misalnya saja dari hasil pameran di Jerman pada
tahun 2010. “Kan tren internasional udah
ketahuan, tapi di Jakarta belum semuanya tahu.
Saya coba masuk. Kalau seleranya nyambung,
berarti ngetrennya begini,” paparnya.
Lebih dari 4 tahun mempelajari pasar
internasional maupun lokal, Eman mengetahui
keunikan setiap pasarnya. Misalnya, pasar Jerman
lebih menyukai desain minimalis dengan warna
lembut, sementara Jepang cenderung menyukai
keramik dengan desain sederhana yang kecil,
mengingat rumah-rumah di Negeri Sakura itu
kebanyakan berukuran mungil. Meski kecil
dan tampaknya remeh, pasar Jepang menuntut
bentuk yang sempurna.
Lain lagi dengan Korea yang cenderung menyukai
gerabah untuk eksterior. Pasar ini menuntut
perhatian sendiri karena yang paling
utama dari produk eksterior adalah daya tahan
untuk menghadapi 4 musim di Korea.
“Sayangnya, untuk masalah seperti itu saya
belum punya solusinya. Kalau nanti solusinya
ditemukan, bisa itu ditembus,” ujar Eman.
Beda lagi dengan pangsa pasar Amerika yang
lebih menyukai desain etnik dan dekoratif.
Kecenderungannya tidak banyak macam, namun
secara kuantitas banyak. Permasalahannya
hanya soal packing, karena harus aman dan
terlindungi dari kemungkinan rusak akibat
benturan sepanjang perjalanan. Selain itu,
pemasaran ke Amerika langsung dengan
packagingnya. Sehingga urusan pengemasan sama
persis dengan kondisi saat pengiriman dari
Indonesia. Hal ini berarti Eman pun harus
memperhatikan kemasan yang baik sejak gerabah
tersebut berangkat dari tempatnya. Cara
seperti ini biasanya dilakukan oleh buyer besar
yang memiliki ratusan showroom.
Masalah ukuran barang juga harus tepat
untuk pasar internasional, bukan hanya karena
permintaannya demikian, tetapi juga berkaitan
dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengirim
barang. Dari segi ketelitian, pasar internasional
biasanya hanya memberi toleransi ukuran meleset
sebesar 2 cm saja. Jika meleset hingga 5 cm,
barang langsung di-reject.
Perbedaan ukuran dan bentuk barang pesanan
juga bisa memengaruhi packaging masuk ke dalam
kontainer. Jika barang pesanan
berukuran besar, jumlah yang masuk ke dalam
kontainer otomatis akan berkurang. Misalnya,
standarnya bisa mengangkut 1.200 unit barang,
bila dimasukkan barang-barang besar
berkurang bisa berubah menjadi 8oo unit saja.
Padahal harganya pun sama.
“Otomatis biaya transportasinya pun jadi
jauh lebih mahal. Itu hitungan fisiknya susah.
Maka desainnya yang sederhana-sederhana
saja,” imbuhnya. Racikan bahan baku dan pemanasan
di tungku yang tepat menjadi kunci
produk tersebut bisa sesuai dengan pesanan.
Namun, untuk barang-barang yang meleset
ukurannya itu, Eman tak hilang akal. Barang
barang tersebut dipajang di warung atau
dipasarkan pada pameran lokal.
SERBA DIURUS SENDIRI
Lulusan Fakultas Seni dan Sastra IKIP Bandung
ini juga berupaya menciptakan tren sendiri
dengan mempertimbangkan selera pasar. Biasanya
tren ciptaannya sendiri itu mendapat
sambutan lebih baik di luar negeri ketimbang di
pasar dalam negeri sendiri. Bahkan pada tahun
2007, order bisa mencapai Rp 400 juta per
tahun. Itu belum pemasukan yang didapat dari
warungnya.
Seperti kebanyakan UKM lainnya Eman
mengurus semuanya sendiri, mulai dan produksi
hingga packaging. Eman belum memercayakan
anak buahnya melakukan segala
pekerjaan tersebut tanpa pengawasan. Sebab
berdasarkan pengalamannya, ketika diserahkan
ke perajinnya tanpa diawasi, barang yang
dihasilkan malah mendapat komplain dari buyer.
“Semuanya saya urus sendiri. Pameran,
produksi...,” ujarnya. Sebenarnya Eman ingin
melepas salah satu supaya bisa mengurus pasar.
Apalagi ia juga menjabat sebagai ketua perajin
di Plered. Menurut Eman, seharusnya sesama
perajin keramik bisa bekerja sama. “Setiap
perajin kan punya kekhasan sendiri,” ujarnya,
“Jadi, dibagi-bagi saja. Kalau tidak laku, ya
dikembalikan. Yang penting jangan ada yang
nakal, jangan ada yang main sendiri.”
Untungnya, dari pengalaman Eman selama
ini, sesama perajin keramik di daerahnya tidak
ada yang berkarakter plagiat. Justru mereka
berlomba-lomba membuat desainnya masing
masing sehingga keramik Plered menjadi
beraneka ragam. Adik Eman sendiri mewarisi
pembuatan keramik dari orangtuanya. Mereka
banyak bekerja sama, di antaranya karena si
Adik kini telah menjadi eksportir keramik di
Jakarta.
Eman menyayangkan, persaingan yang
kian tinggi di antara perajin keramik mulai
menjadi masalah, bahkan membuat beberapa
usaha keramik di Plered gulung tikar. Mereka
bukan saja bersaing di antara sesama perajin,
melainkan juga dengan usaha-usaha lain yang
lebih menarik bagi pemilik modal. Mereka beralih
ke usaba lain, seperti menjual pulsa. Eman
amat menyayangkan hal tersebut, mengingat
nama besar Plered sebagai kota perajin keramik.
Eman berupaya mendorong teman-temannya
agar tidak menyerah dan tetap bertahan, salah
satunya dengan mendirikan koperasi. Koperasi
perajin di Plered didirikan untuk memecahkan
masalah bahan baku agar menghasilkan satu
formula untuk setiap keramik yang menjadi
tujuan negara-negara tertentu. Sebab, bila
perajin salah meracik bahan baku akan berdampak
pada mutu dan kualitas keramik hasil akhirnya.
Apalagi, harga bahan baku pun semakin
mahal. “Kalau dulu bahan baku tanah liat hanya
sekitar Rp 6o ribu satu ton, sekarang Rp 150
ribu. Sementara untuk kayu bakar sekitar Rp
120 ribu per 4 m3, kalau sekarang Rp 500 ribu.
Kalau upah enggak terlalu naik, paling 2 kali
lipat. Makanya, kalau sekarang ini eksportirnya
berat. Kalau dulu masa bulan madunya, kalau
sekarang sudah bukan. Bisa bertahan juga sudah
untung,” jelas Eman. Untuk urusan produksi,
menurut Eman, kendalanya memang di modal
untuk memulai proses dan tenggat waktu untuk
memenuhi pesanan.
Eman pun menjelaskan bahwa bahan
baku pembuatan keramik yang terbaik adalah
lumpur. Hasilnya sangat halus dan kuat, tetapi
lumpur yang bagus menuntut perlakuan yang
‘manja’, yaitu harus benar-benar disaring
supaya halus, dibakar dengan suhu tinggi, dan
seterusnya. Bahan lainnya adalah puder yang
kasar tetapi lebih cepat pengerjaannya. Dengan
demikian, untuk memenuhi tenggat waktu yang
diminta pelanggan, Eman harus pintar-pintar
mengombinasikan bahan-bahan tersebut dan
menyesuaikannya dengan permintaan pelanggan.
“Konsumen dari Jepang dan Jerman
sangat detail, mereka tidak mau kalau bahannya
dicampur,” jelasnya
Sementara untuk masalah pemasaran, Eman
mengaku masih pasif. Ia masih menunggu
permintaan melalui email. Kehadiran internet
menurutnya belum cukup membantu. Kendala
yang dimilikinya bukanlah kesulitan
mendapatkan akses internet, tetapi masalah
bahasa. “Kalau dulu kan buyer-nya datang
langsung, jadi meskipun bahasanya belepotan,
tetap nyambung,” ujarnya malu-malu, “Sekarang
kan ketika pameran hanya bertemu
1-2 jam, selanjutnya kontak lewat email. Jadi
kemampuan bahasanya harus bagus.”
Dengan kondisi sesulit apa pun, Eman
tidak berniat beralih profesi maupun
jenis usaha. “Ada ucapan guru saya, kalau
kaya itu takdir dari Allah, cuma kemauan
yang membikin kita tidak kelaparan. Jadi
prinsipnya begini, walaupun saya 70 kali ke
Jerman, tapi kalau enggak ada usaha dan ridho
Allah, enggak bakalan sukses. Paling tidak
pengalaman aja, enggak bikin rugi,” ujarnya
sambil mencontohkan nasib Briptu Norman
Kamaru yang mendadak tenar karena aksi
lipsync melalui situs YouTube.
Eman masih memiliki mimpi besar membuat
usahanya menjadi lebih besar dari yang
sekarang, dengan memperbesar kapasitas
produksi dan memperbesar pabrik, bukan
membuka cabang. Untuk itu, dia berupaya
memperkenalkan produksinya melalui website,
dan semakin rajin mengikuti pameran bertaraf
internasional. Setidaknya 3 kali dalam setahun.
Dia pun ingin usahanya memiliki badan
hukum, serta menyusun pembukuan yang
lebih baik untuk mempermudah pinjaman modal.
Dengan omzet Rp 200-350 juta per tahun
dan keuntungan bersih 20-30 persen, Eman
bersikukuh tetap mempertahankan usaha tradisi
khas di Plered, yang sudah turun temurun
di keluarganya. Dia memiliki keyakinan akan
muncul kembali momentum masa keemasan
perajin keramik. Dan ketika masa itu tiba, Eman
sudah siap beraksi.
Catatan Rhenald Kasali
SEKALI LAGI ANDA melihat betapa sulitnya UKM Indonesia untuk naik kelas.
Selain sepi dari pembinaan yang membina pun sering kali tidak paham apa
yang harus dilakukan. Kalau Anda tanya kepada pemerintäh jawabannya pasti
mereka telah berbuat sesuatu. Pemerintah telah memberikan fasliltas-
fasilitas untuk ikut pameran, bahkan mungkin teknologí tertentu.
Tetapi mengapa mereka tetap sulit naik kelas? Bukankah mereka telah bekerja
sangat keras? Mereka ulet, tekun, terus mempelajari selera pasar, mendalami
teknik pemasaran, proses pembuatan, dan seterusnya.
Jawabnya adalah, setiap usaha ada DNA-nya. Untuk memulai usaha saja Anda
cukup memiliki a start up DNA. Tetepi untuk membuat perusahaan Anda
menjadi sebuah lokomotif ekonomi yang besar, menjadi sebuah power
house seperti Siemens, Unilever, atau IKEA, Anda membutuhkan DNA manusia
alpha. Segalanya serba alpha, hurut A, the first of everything, the best of
the best.
DNA Manusia Alpha selain terdiri dari manusia-manusia pilihan, berpikirnya
besar, lompatnya besar, dan keberhasilannya juga tidak boleh tanggung-
tanggung. Anda membutuhkan manajemen yäng canggih dengan orang-orang
berkemauan tinggi dan berorientasi pada langkah-langkah besa.
Untuk menjadi besar, UMKM seperti Eman dan perajin tembikar dari Plered
harus sering-saring diajak melihat usaha-usaha besar. Ia juga perlu
disekolahkan untuk meningkatkan kemampuan bahasa, manajemen, dan
teknologinya. Ia harus bersentuhan dengan pelaku-pelaku usaha besar agar
tertular cara-cara berpikir baru. Pepatah lama mengatakan: the more ÿou
see, the more you do. Tanpa keberanian melihat, manusia akan diam di
tempat dan lambat laun tergerus evolusi.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment