Saturday, April 13, 2013

Sulaeman, dari Bisnis Gerabah Plered Sukses Raup Omzet Ratusan Juta Hingga Produknya Tembus Sampai Jerman dan Jepang

Eman Sulaeman, Mempertahankan Usaha Warisan Plered

Plered, Purwakarta merupakan salah

satu sentra kerajinan gerabah di

Indonesia yang terkenal di mancanegara.

Usaha di bidang ini pun kebanyakan

merupakan bisnis turun-temurun yang

konon sudah ada sejak tahun 1904.

Namun seiring waktu, usaha ini ternyata

tak lagi mudah. Dibutuhkan cucuran

keringat dan usaha yang luar biasa

untuk mempertahankannya.

SALAH satu pengusaha yang memulai bisnis

gerabah ini secara mandiri sejak 1993 adalah

H.Eman Sulaeman. Sejak duduk di bangku sekolah

dasar, pemilik Risman Wijaya Keramik ini sudah

ikut membantu orangtuanya memajukan bisnls

gerabah yang didapat ayahnya dari sang

Kakek. “Jadi, keseharian saya membantu orangtua

sejak SD. Dari proses produksi sampai

masalah finishing. Kecuali masalah pembentukan

dengan teknik putar, saya enggak bisa,” tutur

Eman yang ditemui di warungnya. Sekitar tahun

1982, bisnis gerabah memang sedang jaya-jayanya.

Gerabah jenis grafir sedang tren dan

amat disukai pasar untuk kebutuhan rumah tangga.

Namun adanya campuran timbal yang dilarang oleh

Pemerintah karena berbahaya menggeser tren grafir

Ke bahan terakota.

Bisnis keramik itu hanya sempat dinikmati

Eman sampai ia lulus SMA. Orangtua Eman memintanya

kuliah. Dia pun terpaksa meninggalkan

hiruk-pikuk Plered demi bersekolah di IKIP Bandung.

Namun, kuliah tidak memadamkan minat Eman pada

dunia gerabah yang sudah mendarah daging.

Tahun 1993, sebelum diwisuda,

dia memutuskan untuk terjun membuka usaha

keramik sendiri, tidak lagi ikut dengan ayahnya.

Dia sudah memutuskan tidak akan menjadi

pegawai negeri dan akan menekuni bisnis tersebut.

Target awalnya sederhana, mendapatkan 1

kontainer untuk diekspor dalam tahun pertama.

Target tersebut berhasil dilampaui, bahkan Eman

kebanjiran order sampai mampu mempekerjakan

sekitar 30 orang.

PASAR INTERNASIONAL VS LOKAL

Meski sudah mengerjakan bisnis sendiri, bantuan

tetap diberikan oleh orangtua Eman, berupa

modal awal sebesar Rp 200 ribu. Eman pun

masih menggunakan peralatan lainnya, seperti

tungku, dari usaha milik orangtuanya. Dengan

modal minim, Eman mampu menghasilkan

keramik ukuran 55 cm yang per unitnya dijual

Rp 30 ribu. Padahal biaya produksinya hanya

Rp2.500 dengan upah Rpl.250.

Berbeda dengan para perajin lain di Plered,

Eman lebih berkonsentrasi menembus pasar

internasional ketimbang lokal. Turis mancanegara

yang banyak menengok Plered memberi

order hingga jauh melebihi kemampuan Eman.

“Jadi, kemampuan saya ibaratnya cuma satu

gelas, tetapi order yang saya terima sampai satu

teko. Karena memang belum disiasati, saya

belum punya kemampuan untuk bikin kerja

sama dengan teman-teman, order dibuang ke

mana-mana,” kenangnya.

Tahun 1993-2002 adalah masa keemasan

Eman. Pada periode tersebut order dari pasar

internasional tidak pernah sepi. Kala itu dia

bisa menikah, membeli tanah, membeli rumah,

bahkan naik haji. Dia juga mengirimkan kontainer

dengan jumlah terbanyak, yaitu 10

kontainer senilai Rp 1 miliar. “Saya kalau hitung

satuan untuk retail, bingung. Dari dulu

hitungannya kontainer, jadi produksinya enggak

banyak item, tapi kuantitasnya banyak,”

jelasnya. Dari order ini, keuntungan bersih yang

diperolehnya mencapai sekitar Rp 250 juta.

Tahun 1998, dia bekerja sama dengan broker

besar yang khusus melayani pasar internasional

dengan produk gerabah untuk interior. Sejak

saat itu, hubungan Eman dengan pasar lokal

terputus. Konsumen lokal tidak terjaga dengan

baik, hal ini yang membuat bisnis Eman merosot

di kemudian hari. Dia hanya menarget produksi

pasar lokal sebesar 30 persen, sementara pasar

internasional hingga 70 persen.

Namun tahun 2002, pasar internasional

semakin sepi sedangkan pasar lokal semakin

bergairah. Sementara perajin yang berfokus di

pasar lokal mulai mendulang untung, Eman harus

memulai kembali dari nol untuk mendekati pasar

lokal yang sempat ditinggalkannya. “Tahun

2002 pasar lokal nyambung, pasar ekspor putus

hubungan. Bingung masuk ke pasar lokal lagi,

karena trennya sudah beda,” tutur Eman yang

harus mempelajarii lagi selera pasar lokal.

Di pasar lokal, tren keramik interior di tahun

1985-2000 bergeser menjadi tren eksterior di

tahun 2000-2010. Pot-pot cantik untuk kebun,

misalnya, merupakan salah satu produk yang

amat diminati. Hampir setiap bulan perajin

Plered mengirim barang ke Jakarta. Untuk

kembali meraih pasar lokal, selain mempelajari

tren eksterior, Eman pun memberi porsi yang

seimbang bagi kedua jenis pasar.

Setelah dua tahun menekuninya kembali,

Eman berhasil menggaet kembali pasar lokal.

Kuncinya adalah mengikuti kemauan pasar.

Selain menyukai produk eksterior, pasar lokal

pun menyukai warna yang ngejreng. Jika

dibawa ke Jakarta, produk-produk yang seperti

itu akan laris-manis. Hal itu bertolak belakang

dengan pasar internasional yang lebih menyukai

warna-warna lembut dan minim dekorasi. Dan,

belajar dari pengalaman, pasar internasional

tetap tak ditinggalkan.

Benar saja, karena tahun 2007 pasar internasional

ternyata kembali bergairah. Eman

membawa Risman Wijaya Keramik mengikuti

pameran internasional seperti Pameran Produksi

Ekspor (PPE). Bahkan Eman mengikuti

pameran yang digelar di Jerman. Hingga kini,

dia sudah 3 kali ikut pameran di negara itu.

Selain itu, di warungnya di Plered tetap

tersedia stok keramik dengan berbagai bentuk

untuk melayani permintaan pasar lokal. Pasar

ini pun dikembangkan dengan rajin mengikuti

pameran produk-produk kerajinan nasional, misalnya

CRAFINA. Dari pameran itu bisa diketahui,

misalnya, tren 2007-2010 kecenderungannya

minimalis, tanpa gagang. Jika tidak ikut pameran,

Eman yang menjadi ketua koperasi di

Plered ini mencari informasi perkembangan tren

dari perajin sekitar yang ikut pameran.

Dari situ, dia tidak ketinggalan

mengetahui kecenderungan pasar internasional maupun

lokal. Pasar internasional yang sudah dijangkau Eman

antara lain Amerika, Jerman, Hongkong dan Italia.

Namun sejak tahun 2004, importir sudah jarang

bertransaksi langsung dengannya. Biasanya sudah

ada eksportir lokal yang mendapatkan pesanan,

kemudian dilanjutkan ke Eman. Menurut prediksi Eman,

kecenderungannya saat ini pasar lebih suka datang ke

satu tempat, seperti ke sebuah pameran, dan di sana

mereka mendapatkan berbagai macam jenis barang

sekaligus. Biasanya eksportir semacam itu

paling sedikit memesan 200 unit.

Karenanya, mengikuti pameran adalah wajib hukumnya

agar tetap bisa eksis. Setahun minimal seorang

perajin harus mengikuti 3 pameran

‘wajib’, seperti PPE, IFFINA, dan INACRAFT,

untuk ajang promosi. Dan pameran-pameran

itulah order lokal maupun internasional berskala

besar didapat. “Kalau sekarang keramik sudah

enggak tren. Jadi, menyiasatinya beda dengan dulu.

Kalau dulu cukup disiasati dengan membikin

barang yang bagus. Kalau sekarang, barang

yang bagus juga harus kuat promosinya,”

jelas Eman. Berapa biaya yang harus

disiapkan Eman untuk mengikuti 3 pameran tersebut?

Eman memperkirakan minimal per tahun berkisar

antara Rp 45 juta hingga Rp 6o juta.

Biaya promosi yang tidak sedikit ini bisa diatasi

dengan mencari sponsor. Eman biasanya mendapatkan

dari bank bjb.

Kehadiran bank bjb pun dirasakan amat

membantu usaha Eman sejak ia menjadi debitur

bank tersebut tahun 2008. Dia bisa meminjam

terlebih dulu modal untuk membuat keramik

pesanan, mengingat biasanya buyer hanya

memberi uang muka sebesar 30 persen dan

pelunasannya baru dibayarkan 15 hari setelah

barang dikirim. Selain itu, kehadiran bank

bjb kerap mendukung perajin setempat untuk

mengikuti sejumlah pameran.

TANGAN TERAMPIL UNTUK PRODUKSI

Meskipun menghadapi masa sepi seperti tahun

2008, empat pekerjanya tetap memproduksi

berbagai macam jenis keramik setiap harinya. Saat

ini pekerja di tempat Eman berjumlah 12 orang.

Namun, jika order cukup banyak, Eman bisa

menambah pekerja hingga 30 orang. Kebanyakan

dari mereka terhitung masih keluarga. Misalnya

keponakan yang baru lulus sekolah. Namun,

mereka hanya dijadikan pekerja kasar, tidak

menangani manajemen.

Untuk memilih pekerja, Eman tidak sembarangan,

meskipun kerap diambil dari tetangga dan

kerabatnya sendiri. Berbekal

pengalamannya sejak kecil menjadi perajin

keramik, Eman mengetahui siapa saja di

antara mereka yang memiliki kemampuan

bagus. Karena lingkungannya adalah perajin

keramik, dia mengambil karyawan dari warga

sekitar. Alasannya, akomodasi lebih murah

dan lebih efisien mengingat orang sekitar tidak

memerlukan biaya transportasi, dan tidak

ada yang pulang ke daerah asal. Selain itu,

pengawasannya jauh lebih mudah. Pekerja yang

mudah loncat-loncat pun masuk dalam daftar

blacklist yang tidak diliriknya.

Para karyawan yang bekerja di tempat Eman

mendapat upah harian, yang berkisar antara

Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu. Mereka mulai

bekerja pukul o8.oo hingga 15.30, dengan jam

istirahat antara pukul 12.00-13.00. Selain itu,

ada juga yang dibayar secara borongan, yakni

untuk pekerja yang khusus membakar dan

memutar gerabah. Biasanya mereka mendapat

bayaran dalam kisaran Rp 75 ribu hingga Rp

150 ribu, tergantung dari jumlah barang yang

diproduksi. Perbedaan upah ini tergantung pada

kualitas barang yang dihasilkan. Jika barang

yang dihasilkan berkualitas ekspor, otomatis

upahnya pun tinggi.

Jika pesanan cukup banyak, Eman biasanya

akan merekrut karyawan harian yang mau

tak mau standar kemampuannya pun belum

jelas. Dan, mengingat usahanya masih belum

berskala besar, Eman belum menganggap

perlu adanya karyawan profesional. Untuk

pelatihan karyawan pun hanya diperoleh dari

pemerintah. Meski begitu, ke depannya dia akan

membuat sistem kerja yang lebih baik mulai dari

perekrutan, produksi, dan lainnya, mengingat

dia masih berorientasi memenuhi pasar keramik

internasional.

Selain masalah sumber daya manusia, Eman

juga terus berupaya memperbaiki teknologi

untuk produksi, seperti mengolah bahan baku,

teknologi pembakaran, sampai pengeringan.

Biasanya Eman menjalin kerja sama dengan

perguruan tinggi setempat, meski masih dalam

bentuk yang sederhana. Dukungan pun

didapatnya dari suku dinas setempat, berupa

bantuan alat produksi seperti tungku pembakaran.

Untuk pasar retail, biasanya Eman menyediakan

stok dari kelebihan produksi yang

ada hingga sisa ekspor. “Kalau ada pesanan

1.000 unit, biasanya saya buat 1.100 unit.

Pertimbangannya, 50 unit adalah barang reject yang

tidak sesuai kriteria, sementara selebihnya akan

dijual retail di warung,” urainya. Hanya saja,

bermacam-macam keramik yang diproduksi

kadang tidak sesuai dengan selera konsumen.

Sehingga ia harus jeli melihat kecenderungan

pasar lokal. Dan biasanya, trennya hanya bisa

bertahan selama 8-10 bulan saja.

Cara lain membaca tren pasar lokal adalah

mengandalkan majalah interior dan eksterior.

Eman juga pernah mencoba mengaplikasikan

tren internasional ke dalam pasar lokal.

Misalnya saja dari hasil pameran di Jerman pada

tahun 2010. “Kan tren internasional udah

ketahuan, tapi di Jakarta belum semuanya tahu.

Saya coba masuk. Kalau seleranya nyambung,

berarti ngetrennya begini,” paparnya.

Lebih dari 4 tahun mempelajari pasar

internasional maupun lokal, Eman mengetahui

keunikan setiap pasarnya. Misalnya, pasar Jerman

lebih menyukai desain minimalis dengan warna

lembut, sementara Jepang cenderung menyukai

keramik dengan desain sederhana yang kecil,

mengingat rumah-rumah di Negeri Sakura itu

kebanyakan berukuran mungil. Meski kecil

dan tampaknya remeh, pasar Jepang menuntut

bentuk yang sempurna.

Lain lagi dengan Korea yang cenderung menyukai

gerabah untuk eksterior. Pasar ini menuntut

perhatian sendiri karena yang paling

utama dari produk eksterior adalah daya tahan

untuk menghadapi 4 musim di Korea.

“Sayangnya, untuk masalah seperti itu saya

belum punya solusinya. Kalau nanti solusinya

ditemukan, bisa itu ditembus,” ujar Eman.

Beda lagi dengan pangsa pasar Amerika yang

lebih menyukai desain etnik dan dekoratif.

Kecenderungannya tidak banyak macam, namun

secara kuantitas banyak. Permasalahannya

hanya soal packing, karena harus aman dan

terlindungi dari kemungkinan rusak akibat

benturan sepanjang perjalanan. Selain itu,

pemasaran ke Amerika langsung dengan

packagingnya. Sehingga urusan pengemasan sama

persis dengan kondisi saat pengiriman dari

Indonesia. Hal ini berarti Eman pun harus

memperhatikan kemasan yang baik sejak gerabah

tersebut berangkat dari tempatnya. Cara

seperti ini biasanya dilakukan oleh buyer besar

yang memiliki ratusan showroom.

Masalah ukuran barang juga harus tepat

untuk pasar internasional, bukan hanya karena

permintaannya demikian, tetapi juga berkaitan

dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengirim

barang. Dari segi ketelitian, pasar internasional

biasanya hanya memberi toleransi ukuran meleset

sebesar 2 cm saja. Jika meleset hingga 5 cm,

barang langsung di-reject.

Perbedaan ukuran dan bentuk barang pesanan

juga bisa memengaruhi packaging masuk ke dalam

kontainer. Jika barang pesanan

berukuran besar, jumlah yang masuk ke dalam

kontainer otomatis akan berkurang. Misalnya,

standarnya bisa mengangkut 1.200 unit barang,

bila dimasukkan barang-barang besar

berkurang bisa berubah menjadi 8oo unit saja.

Padahal harganya pun sama.

“Otomatis biaya transportasinya pun jadi

jauh lebih mahal. Itu hitungan fisiknya susah.

Maka desainnya yang sederhana-sederhana

saja,” imbuhnya. Racikan bahan baku dan pemanasan

di tungku yang tepat menjadi kunci

produk tersebut bisa sesuai dengan pesanan.

Namun, untuk barang-barang yang meleset

ukurannya itu, Eman tak hilang akal. Barang

barang tersebut dipajang di warung atau

dipasarkan pada pameran lokal.

SERBA DIURUS SENDIRI

Lulusan Fakultas Seni dan Sastra IKIP Bandung

ini juga berupaya menciptakan tren sendiri

dengan mempertimbangkan selera pasar. Biasanya

tren ciptaannya sendiri itu mendapat

sambutan lebih baik di luar negeri ketimbang di

pasar dalam negeri sendiri. Bahkan pada tahun

2007, order bisa mencapai Rp 400 juta per

tahun. Itu belum pemasukan yang didapat dari

warungnya.

Seperti kebanyakan UKM lainnya Eman

mengurus semuanya sendiri, mulai dan produksi

hingga packaging. Eman belum memercayakan

anak buahnya melakukan segala

pekerjaan tersebut tanpa pengawasan. Sebab

berdasarkan pengalamannya, ketika diserahkan

ke perajinnya tanpa diawasi, barang yang

dihasilkan malah mendapat komplain dari buyer.

“Semuanya saya urus sendiri. Pameran,

produksi...,” ujarnya. Sebenarnya Eman ingin

melepas salah satu supaya bisa mengurus pasar.

Apalagi ia juga menjabat sebagai ketua perajin

di Plered. Menurut Eman, seharusnya sesama

perajin keramik bisa bekerja sama. “Setiap

perajin kan punya kekhasan sendiri,” ujarnya,

“Jadi, dibagi-bagi saja. Kalau tidak laku, ya

dikembalikan. Yang penting jangan ada yang

nakal, jangan ada yang main sendiri.”

Untungnya, dari pengalaman Eman selama

ini, sesama perajin keramik di daerahnya tidak

ada yang berkarakter plagiat. Justru mereka

berlomba-lomba membuat desainnya masing

masing sehingga keramik Plered menjadi

beraneka ragam. Adik Eman sendiri mewarisi

pembuatan keramik dari orangtuanya. Mereka

banyak bekerja sama, di antaranya karena si

Adik kini telah menjadi eksportir keramik di

Jakarta.

Eman menyayangkan, persaingan yang

kian tinggi di antara perajin keramik mulai

menjadi masalah, bahkan membuat beberapa

usaha keramik di Plered gulung tikar. Mereka

bukan saja bersaing di antara sesama perajin,

melainkan juga dengan usaha-usaha lain yang

lebih menarik bagi pemilik modal. Mereka beralih

ke usaba lain, seperti menjual pulsa. Eman

amat menyayangkan hal tersebut, mengingat

nama besar Plered sebagai kota perajin keramik.

Eman berupaya mendorong teman-temannya

agar tidak menyerah dan tetap bertahan, salah

satunya dengan mendirikan koperasi. Koperasi

perajin di Plered didirikan untuk memecahkan

masalah bahan baku agar menghasilkan satu

formula untuk setiap keramik yang menjadi

tujuan negara-negara tertentu. Sebab, bila

perajin salah meracik bahan baku akan berdampak

pada mutu dan kualitas keramik hasil akhirnya.

Apalagi, harga bahan baku pun semakin

mahal. “Kalau dulu bahan baku tanah liat hanya

sekitar Rp 6o ribu satu ton, sekarang Rp 150

ribu. Sementara untuk kayu bakar sekitar Rp

120 ribu per 4 m3, kalau sekarang Rp 500 ribu.

Kalau upah enggak terlalu naik, paling 2 kali

lipat. Makanya, kalau sekarang ini eksportirnya

berat. Kalau dulu masa bulan madunya, kalau

sekarang sudah bukan. Bisa bertahan juga sudah

untung,” jelas Eman. Untuk urusan produksi,

menurut Eman, kendalanya memang di modal

untuk memulai proses dan tenggat waktu untuk

memenuhi pesanan.

Eman pun menjelaskan bahwa bahan

baku pembuatan keramik yang terbaik adalah

lumpur. Hasilnya sangat halus dan kuat, tetapi

lumpur yang bagus menuntut perlakuan yang

‘manja’, yaitu harus benar-benar disaring

supaya halus, dibakar dengan suhu tinggi, dan

seterusnya. Bahan lainnya adalah puder yang

kasar tetapi lebih cepat pengerjaannya. Dengan

demikian, untuk memenuhi tenggat waktu yang

diminta pelanggan, Eman harus pintar-pintar

mengombinasikan bahan-bahan tersebut dan

menyesuaikannya dengan permintaan pelanggan.

“Konsumen dari Jepang dan Jerman

sangat detail, mereka tidak mau kalau bahannya

dicampur,” jelasnya

Sementara untuk masalah pemasaran, Eman

mengaku masih pasif. Ia masih menunggu

permintaan melalui email. Kehadiran internet

menurutnya belum cukup membantu. Kendala

yang dimilikinya bukanlah kesulitan

mendapatkan akses internet, tetapi masalah

bahasa. “Kalau dulu kan buyer-nya datang

langsung, jadi meskipun bahasanya belepotan,

tetap nyambung,” ujarnya malu-malu, “Sekarang

kan ketika pameran hanya bertemu

1-2 jam, selanjutnya kontak lewat email. Jadi

kemampuan bahasanya harus bagus.”

Dengan kondisi sesulit apa pun, Eman

tidak berniat beralih profesi maupun

jenis usaha. “Ada ucapan guru saya, kalau

kaya itu takdir dari Allah, cuma kemauan

yang membikin kita tidak kelaparan. Jadi

prinsipnya begini, walaupun saya 70 kali ke

Jerman, tapi kalau enggak ada usaha dan ridho

Allah, enggak bakalan sukses. Paling tidak

pengalaman aja, enggak bikin rugi,” ujarnya

sambil mencontohkan nasib Briptu Norman

Kamaru yang mendadak tenar karena aksi

lipsync melalui situs YouTube.

Eman masih memiliki mimpi besar membuat
usahanya menjadi lebih besar dari yang

sekarang, dengan memperbesar kapasitas

produksi dan memperbesar pabrik, bukan

membuka cabang. Untuk itu, dia berupaya

memperkenalkan produksinya melalui website,

dan semakin rajin mengikuti pameran bertaraf

internasional. Setidaknya 3 kali dalam setahun.

Dia pun ingin usahanya memiliki badan

hukum, serta menyusun pembukuan yang

lebih baik untuk mempermudah pinjaman modal.

Dengan omzet Rp 200-350 juta per tahun

dan keuntungan bersih 20-30 persen, Eman

bersikukuh tetap mempertahankan usaha tradisi

khas di Plered, yang sudah turun temurun

di keluarganya. Dia memiliki keyakinan akan

muncul kembali momentum masa keemasan

perajin keramik. Dan ketika masa itu tiba, Eman

sudah siap beraksi.

 

Catatan Rhenald Kasali
SEKALI LAGI ANDA melihat betapa sulitnya UKM Indonesia untuk naik kelas.

Selain sepi dari pembinaan yang membina pun sering kali tidak paham apa

yang harus dilakukan. Kalau Anda tanya kepada pemerintäh jawabannya pasti

mereka telah berbuat sesuatu. Pemerintah telah memberikan fasliltas-

fasilitas untuk ikut pameran, bahkan mungkin teknologí tertentu.

Tetapi mengapa mereka tetap sulit naik kelas? Bukankah mereka telah bekerja

sangat keras? Mereka ulet, tekun, terus mempelajari selera pasar, mendalami

teknik pemasaran, proses pembuatan, dan seterusnya.

Jawabnya adalah, setiap usaha ada DNA-nya. Untuk memulai usaha saja Anda

cukup memiliki a start up DNA. Tetepi untuk membuat perusahaan Anda

menjadi sebuah lokomotif ekonomi yang besar, menjadi sebuah power

house seperti Siemens, Unilever, atau IKEA, Anda membutuhkan DNA manusia

alpha. Segalanya serba alpha, hurut A, the first of everything, the best of

the best.

DNA Manusia Alpha selain terdiri dari manusia-manusia pilihan, berpikirnya

besar, lompatnya besar, dan keberhasilannya juga tidak boleh tanggung-

tanggung. Anda membutuhkan manajemen yäng canggih dengan orang-orang

berkemauan tinggi dan berorientasi pada langkah-langkah besa.

Untuk menjadi besar, UMKM seperti Eman dan perajin tembikar dari Plered

harus sering-saring diajak melihat usaha-usaha besar. Ia juga perlu

disekolahkan untuk meningkatkan kemampuan bahasa, manajemen, dan

teknologinya. Ia harus bersentuhan dengan pelaku-pelaku usaha besar agar

tertular cara-cara berpikir baru. Pepatah lama mengatakan: the more ÿou

see, the more you do. Tanpa keberanian melihat, manusia akan diam di

tempat dan lambat laun tergerus evolusi.

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

No comments: