Koheri Latief, Sandal Katrok Masuk Hotel
Sandal hotel yang ringan dan lembut
sering kali masuk di koper kita setelah
meninggalkan hotel. Bukan hanya
karena fungsinya, tetapi juga sebagai
tanda bahwa kita pernah menginap di
hotel tersebut.
Bisa jadi salah satunya adalah sandal
katrok produksi Koheri Latief. Ketika
pertama kali menjajakannya melalui
email, pria yang akrab dipanggil Koheri ini
memperkenalkan diri sebagai perajin sandal
katrok. Hal ini dilakukan untuk menarik
perhatian, meski kunci utamanya tetaplah
kualitas, on time delivery, dan harga yang
kompetitif.
Kisah Koheri menggeluti usaha ini pun tidak
sengaja. Tahun 2002 ketika menjadi korban
PHK, Koheri merasa mati kutu. Dia berpikir
keras untuk memulai usaha, namun belum juga
mendapatkan ide. “Mimpinya sederhana, dan
awalnya yang penting memiliki penghasilan
lebih baik daripada gaji saat masih menjadi
pegawai,” terang Koheri mengenang masa awal
ingin memiliki usaha. Saat itu Koheri berusia 36
tahun.
Dan, yang namanya ide memang dapat
muncul dari arah tak terduga. Ketika datang
kerumah salah satu temannya, ia melihat jajaran
botol sampo, sikat gigi, dan sabun ukuran mini.
“Saya tanya, ini apa? Buat apa? Dikirim ke mana?
Terus dia jawab, kalau itu semua buat ngisi ke
hotel,” cerita Koheri tentang ide usahanya.
SANDAL PENOPANG PHK
Koheri pun mendapat ide untuk membuat sandal
hotel. Ia mencari informasi dan dikenalkan ke
salah seorang perajin sandal di daerah Depok.
Awalnya berniat untuk sekadar bertanya, yang
terjadi justru sebaliknya. Mereka sepakat bekerja
sama dan Koheri mendirikan UD Herry Sandal
pada tahun 2003 dengan menjual rumahnya
seharga Rp 6o juta untuk modal usaha.
Meski masih dalam taraf belajar membuat
sandal, Koheri nekat menjajakan sendiri sandal-
sandalnya ke berbagai hotel, secara door to
door pada 2003. Dia hanya mengikuti intuisi
saja, melihat bahwa para calon pembeli lebih
mudah tertarik dengan barangnya jika melihat
langsung, ketimbang hanya dikirimi email
atau proposal. Dengan door to door, dia bisa
menjelaskan langsung kualitas barangnya. Hal
ini terus dilakukan Koheri seorang diri.
Di bulan pertama, Koheri berhasil menyuplai
sandal untuk Hotel Santika Cirebon dan Hotel
Bentani Cirebon. Namun, bukan keuntungan
yang didapat. Justru selama 6 bulan pertama
Koheri merugi karena biaya produksinya
terlalu tinggi, sementara pemasukan tidak
seberapa. Koheri pun menganggap proses
itu sebagai pembelajarannya. “Bisa dibilang
setahun pertama tidak ada keuntungan yang
berarti,” kenangnya, “Baru setelah setahun saya
merasakan nikmatnya usaha sandal.”
Selama setahun itu Koheri bisa dikatakan
bekerja apa saja, karena usaha sandalnya belum
menguntungkan. “Ada permintaan membuat
pensil, saya ambil. Ada yang meminta dibuatkan
tisu, saya iyakan,” ujarnya tergelak. Meskipun
untungnya kecil, tetapi usaha-usaha ini cukup
membantu mengamankan kondisi keuangannya.
Meski kecil, cash flow-nya berputar balik.
Minimal gaji dan tagihan listrik bisa dibayarnya.
Setelah bersabar setahun, usaha sandal
Koheri pun mulai mendapat sambutan bagus
dari pelanggannya. Kepuasan manajemen
Hotel Santika dan Bentani pada produk sandal
Koheri berbuah baik untuk bisnisnya. Dia
direferensikan ke cabang-cabang lain dalam
kelompok hotel tersebut, bahkan ke sesama
pengusaha hotel. Hingga Mei 2011, Koheri telah
menyuplai sandal ke sekitar 50 hotel di Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta,
Bandung, Jakarta, Bogor, dan Sumedang. Untuk
luar Pulau Jawa, sandal Koheri sudah menginjak
Balikpapan dan Belitung. Selain hotel, sandal
Koheri pun diminati oleh rumah sakit.
Sayangnya karena faktor kepercayaan,
kemitraan Koheri dengan perajin di Depok tidak
berumur panjang. Koheri kemudian membuat
usaha sendiri di Plered, lalu di Cirebon pada
2006.
Karena mengandalkan promosi mulut ke mulut
dari kliennya, Koheri mengaku tidak mengenal
langsung customer-nya. Transaksi yang mereka
lakukan hanya bermodal kepercayaan. Begini
sistem kerjanya: customer mengirimkan contoh,
Koheri kemudian membuatkan mock up yang
dikirim kembali untuk mendapat persetujuan.
Persetujuan ini memang sangat penting karena
setiap hotel biasanya memiliki desain sendiri
yang harus dipenuhi oleh Koheri. Misalnya
urusan pemakaian warna yang sesuai dengan
warna hotel tersebut. Koheri mengaku, kadang
ia juga memberi masukan terhadap desain yang
diinginkan konsumen. Tetapi, pada dasarnya ia
tidak mengubah terlalu banyak dari contoh yang
diajukan. Setelah mock up disetujui, proses
pembuatan sandal baru dijalankan.
Mengenai penetapan harga, Koheri berkata,
“Harga pokok produksi ya dihitung semua,
seperti bahan baku spons, lem, benang,
dan lain lain. Kemudian menghitung biaya
tenaga kerja dan ekspedisi. Untuk lingkup
Cirebon, kita pakai mobil sendiri. Kalau di
luar Cirebon, menggunakan ekspedisi yang
sudah berlangganan. Tapi terkadang konsumen
meminta ekspedisi yang dia percaya. Itu juga
bisa.” Setiap karung biasanya berisi 500 pasang
sandal yang dibagi-bagi dalam 50 kemasan plastik.
Jumlah pesanan dari setiap hotel memang
tidak sama, tergantung kebutuhan hotel itu
sendiri. Namun, agar biaya ekspedisinya tidak
terlalu mahal, untuk Pulau Jawa biasanya
Koheri mematok jumlah sandal minimal. “Oasis
Amir Hotel, Marbella, dan Parama itu biasanya
order sekitar 5.000 per bulannya, sedangkan
Hotel Santika Balikpapan itu sekitar 6.ooo per
bulan,” ujarnya memberi contoh.
MENOLAK DOWN PAYMENT
Koheri memegang teguh nilai-nilai yang harus
dipegang seorang pengusaha, seperti kejujuran,
kedisiplinan, dan keuletan. “Kejujuran adalah
hal yang paling tidak bisa ditawar. Tanpa itu saya
tidak akan mau berbisnis,” tegasnya. Sementara
kedisiplinan dibutuhkan agar dapat bertahan
walau kondisi tidak memungkinkan untuk
dilakukan, dan keuletan sangat membantu pada
saat menghadapi masa sulit dan tekanan yang
datang bertubi-tubi.
Menurut Koheri, kualitas dan pengiriman
yang tepat waktu menjadi faktor utama kelancaran
bisnisnya. Pasalnya, Koheri pernah
mendapatkan pengalaman pahit urusan pengiriman
barang. Ia pernah menggunakan
perusahaan ekspedisi yang kurang cermat
sehingga barang yang seharusnya berangkat
ke Bogor dikirim ke Bandung, begitu juga
sebaliknya. Di sinilah kredibilitas usaha
dipertaruhkan. Dia menuai protes atas kelalaian
yang bukan dilakukannya.
“Tapi saya belajar cerdik, ada copy bukti
kirim dari ekspedisi, kan. Saya kirim itu,
maka yang ada memang saya sudah kirim.
Cuma kenyataannya, di lapangan itu tertukar.
Diharapkan dia memaafkan saya. Tapi kalau
kita tidak bisa berargumentasi kayak begitu,
ya tadi, secara on time delivery saya kalah.
Kalau on time delivery kalah, hotel sudah
kehabisan sementara saya belum kirim. Jelek dong
kesannya. Dia pasti pindah ke tempat lain,”
paparnya. Ketepatan dan kecepatan perusahaan
ekspedisi termasuk faktor penting demi
mencegah customer-nya kabur.
Dari pengalaman tersebut Koheri selalu
berpesan kepada customer-nya untuk
memberitahu jika stok di hotel sudah menyentuh
kisaran 200-300 pasang. Sebab jika hotel
kehabisan sandal, sudah dipastikan toko
mana pun tidak ada yang menjual sandal
hotel tersebut. Dengan menjaga stok di kisaran
tersebut, hotel tidak sampai kehabisan
persediaan sandal dan Koheri mempunyai
cukup waktu untuk menyediakan sandal yang
dibutuhkan. Hal ini sudah termasuk waktu
pengiriman dari perusahaan ekspedisi di
sekitar Pulau Jawa yang memakan waktu 1
hari. Koheri memberikan keleluasaan kepada
customer-nya untuk menggunakan perusahaan
ekspedisi yang dipercaya. Jika customernya
menyerahkan kepada Koheri, baru dia
menggunakan perusahaan ekspedisi yang sudah
menjadi mitranya.
Urusan kualitas pun Koheri tak kalah berhati-
hati. Hal ini dipelajarinya dari pengalaman
pahit ketika ada pesanan dari salah satu hotel di
Malang, akibat PO (Purchase Order, dokumen
pemesanan) tertanggal 20 baru dibacanya
tanggal 25. Padahal, hotel tersebut sudah amat
membutuhkan sandal. Keterlambatan respons
Koheri membuat stok sandal keburu habis.
Koheri pun membuat sandal dengan terburu
buru tanpa mengontrol apakah sesuai seperti
yang biasa dikirimkan ke hotel tersebut, yakni
sandal mengilat. Seribu enam ratus pasang
sandal pun segera dibuat dan dikirim.
Heri tidak menyadari bahwa sandal-sandal
tersebut berbeda warna dan tidak mengilat.
Alhasil hotel tersebut mengirimkan kembali
sandal-sandal Koheri karena dianggap tidak
sesuai pesanan. Selain kerugian biaya produksi,
Koheri juga menelan kerugian akibat
pengiriman barang kembali. Nama baiknya pun
dipertaruhkan. Kliennya bisa saja berpindah
hati ke perajin lainnya. “Ketika tidak memenuhi
kualitas, dampaknya di saya,” cetusnya. Sandal-
sandal tersebut juga tidak bisa dijual ke mana
pun, karena nama hotelnya sudah tercantum.
Pun, tidak bisa didaur ulang. Sebagai pengusaha
kecil dan pemula, kerugian yang didapatnya
kala itu cukup besar, Rp 5 juta.
Di luar faktor pengiriman dan kualitas, Koheri
juga belajar untuk memiliki mitra kerja yang tidak
membuatnya rugi. Meski banyak yang berminat
menjadi agen sandal, Koheri hanya memberi
porsi 20 persen. Sedangkan 80 persennya, Koheri
memasok langsung ke hotel dan rumah sakit.
Dia pernah mengalami pengalaman pahit
ditinggal kabur agen sandalnya pada tahun 2004.
Awalnya, orang tersebut yang mengajak bekerja
sama. Koheri pun diajak ke tempat tinggalnya,
sebuah kos-kosan di Bandung. Secara kasat
mata, orang tersebut tampak berduit, terlihat
dari mobilnya yang berganti-ganti. Koheri pun
menyediakan sandal untuknya. Pembayaran
dilakukan dengan bilyet giro, yang ternyata
kosong. Dua kali dikirim nota, tidak juga dibayar.
Ketika dicari di kosannya, orang tersebut telah
pergi.
Hampir setiap hari Koheri menelepon ke
Surabaya, yang membuat tagihan teleponnya
membengkak. Hingga pada suatu titik, Koheri
memutuskan untuk merelakannya. Namun
sejak itu, Koheri meninggalkan perasaan ‘tidak
enakan’ dalam berbisnis. Ketika ada orang baru
yang ingin menjadi agen dan minta disediakan
sandal, dia dengan tegas meminta pembayaran
lunas sebelum sandal dibuat.
“Saya enggak mau sistem DP. Kalau DP
separuh, setelah sandal jadi dan dikirim,
masih perlu mengirim tagihan lagi. Saya mau
pembayaran full dulu. Logikanya, ketika sandal
saya sudah jadi lalu dia cancel, sandal itu jadi
sampah. Saya enggak mau seperti itu terulang
lagi,” jelasnya. Namun, perlakuan itu hanya
khusus untuk agen. Sementara untuk customer
tetap, yakni pihak hotel dan rumah sakit, Koheri
menggunakan asas kepercayaan, mengingat
mereka adalah customer yang setiap bulannya
sudah pasti memesan sandal dalam jumlah besar.
NIKMATNYA MUSIM LIBURAN
Setiap bulan, rata-rata Koheri memproduksi 80
ribu pasang sandal untuk menyuplai ke seluruh
hotel dan rumah sakit yang menjadi kliennya,
juga agen-agen sandal. Namun angka produksi
ini bisa meningkat hingga 2-3 kali lipat ketika
liburan sekolah, tahun baru, dan Lebaran.
Di ketiga musim ‘hot’ tersebut, permintaan
dari hotel bisa meningkat. Yang biasanya
memesan seribu pasang, menjadi dua ribu
pasang sandal. Namun, di antara 3 musim ramai
tersebut, Lebaran-lah yang paling mendapat
perlakuan istimewa. Pasalnya, tenaga kerja
libur nyaris 2 minggu, sementara hotel malah
sedang ramai-ramainya dengan tamu. Belum
lagi, perusahaan ekspedisi pun libur sejak H-3
hingga H+3 hari raya.
Pada awal usahanya, Koheri pernah kelabakan
hingga mengirim barang sendiri ke
kliennya karena sudah tidak ada perusahaan
ekspedisi yang beroperasi menjelang Lebaran.
Hal tersebut dilakukannya demi menjaga
kliennya tidak berpindah ke lain hati. Padahal
ongkos untuk pengiriman saja sudah cukup
tinggi.
Belajar dari itu, Koheri mewanti-wanti
customer-nya bahwa batas waktu order adalah
3 minggu sebelum Lebaran. Barang dikirim
beberapa hari sebelum hari raya. Lewat dari
masa itu, order yang datang terpaksa ditolaknya.
Mau tidak mau, hotel akan mengikuti aturan
tersebut karena tidak berani mengambil risiko
kehabisan stok sandal saat pengunjung
melimpah. Sehingga jauh sebelum Lebaran,
persediaan sandal mereka sudah cukup hingga
beberapa minggu pasca-Lebaran.
Tapi, banyaknya permintaan saat musim liburan
itu tak lantas membuat Koheri menaikkan
harga jualnya. Meskipun di saat Lebaran harga
bahan pokok menjulang, dia tetap menerapkan
harga yang sama. Koheri menyadari sulit
baginya menaikkan harga sandal saat Lebaran,
mengingat bahan bakunya, spons, yang didapatnya
dari Tangerang pun harganya relatif
stabil. Hanya saat harga BBM naik, customer
akan memaklumi jika Koheri meningkatkan
harga sandalnya.
“Kalau beli gula, beli heras, menjelang
Lebaran kan harga naik. Kalau saya mah tetep.
Aneh gitu. Pengennya ngaruh dong, biar saya
juga rezekinya banyak,” ujarnya dengan logat
Sunda yang kental sambil tertawa. Namun
sepanjang 8 tahun usaha sandal ini, dia masih
mampu memenuhi permintaan. Jika kekurangan
modal, dia masih dibantu oleh bank bjb yang
sudah meminjaminya uang 3 kali, yakni Rp 25
juta pada tahun 2005, Rp 30 juta pada tahun
2007, dan terakhir Rp 40 juta.
Apalagi, persaingan tampaknya tidak
menjadi masalah. Usaha Koheri berada di
kawasan kotamadya, sementara perajin sandal
lainnya biasanya berada di kawasan kabupaten.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Koheri
tidak punya pesaing yang berarti. Ia memiliki
akses yang jauh lebih besar untuk berhubungan
dengan hotel di mana pun. “Sengaja beda
sendiri,” imbuh pria berusia 45 tahun ini sambil
tergelak.
Pada prinsipnya, Koheri tidak pernah pilih
pilih, “Konsumen dari berbagai macam tingkat
hotel, dari mulai hotel bintang satu sampai lima
dan diamond, semua saya layani.” Bahkan beberapa
temannya menjadikan sandal buatan
Koheri sebagai oleh-oleh! Koheri menyikapinya
dengan santai. Selama ada peluang tersedia,
Koheri yakin akan terus memanfaatkannya.
MANAJEMEN USAHA
Namun, yang namanya usaha, tidak selalu berjalan
semanis harapan. Koheri kembali harus
menutup tempat usahanya pada tahun 2010 yang
diprotes warga sekitar karena bau lem yang menyeruak.
“Padahal saya kurang apa ya sama mereka?
Ketika saya bikin usaha di situ, anak muda
di sekelilingnya kan saya rekrut. Walaupun,
talentanya tidak ada. Dididik dulu,” tuturnya
heran.
Jadi, untuk sementara Koheri memproduksi
sandal-sandal di 3 rumah kecil miliknya. Koheri
masih mengincar daerah di pinggiran
Cirebon untuk menjadi tempat produksinya.
Dia beralasan, jika di pinggiran, bau lem
yang merebak saat pembuatan sandal tidak
akan mengganggu penduduk sekitar. Namun
tempatnya masih dalam pencarian, alias belum
ketemu.
Kesulitan mencari lokasi ini memang terkait
dengan idealisme Koheri untuk memberdayakan
masyarakat sekitar namun mereka tetap
tidak terganggu dengan proses produksinya.
“Kalau dapat seperti yang di Plered itu enak,”
ujarnya. “Tidak menimbulkan benturan dengan
masyarakat sekitar, mengingat di desa itu
masyarakatnya juga perajin sandal.”
Selain itu, dalam waktu sepuluh tahun mendatang
Koheri berharap sudah memiliki pabrik
sendiri, lengkap dengan kantor berkaca di atasnya,
sehingga mudah mengawasi proses produksi secara langsung.
Dengan jumlah karyawan sekitar 30 orang—
per orangnya bisa memproduksi 3 ribu pasang
sandal per harinya—Koheri ingin agar produknya
bisa menjelajah pasar yang lebih luas lagi. Baru
baru ini, dia sudah berhubungan dengan calon
klien dari Singapura yang meminta sampel dan
mock up. Sayangnya, hingga saat ini Koheri
belum mendapat tanggapan positif. Selain itu,
Koheri juga ingin menjelajah pasar yang lebih
besar, yakni Timur Tengah.
Terkait masalah tenaga kerja, kedepannya
Koheri berencana memiliki karyawan profesional
seperti kepala pabrik dan akuntan.
Namun, penggunaan tenaga profesional masih
harus dilihat dari kemampuan produksi dan
pemasukan keuangan. Untuk saat ini, dengan
kondisi tempat usaha dan permodalan yang ada,
menggunakan tenaga profesional hanya akan
menambah beban biaya produksi. Oleh sebab
itu semua pekerjaan—mulai dari pengawasan
produksi, penggajian karyawan, penagihan,
hingga penawaran produk—masih dilakukan
sendiri oleh Koheri dan istrinya.
Koheri mengaku saat ini belum bisa
memercayakan orang luar untuk mengurus manajemen
usahanya karena khawatir ditipu. “Banyak
kejadian begitu manajemen diserahkan kepada
orang luar, pengawasan oleh pemiliknya masih
lemah, sehingga banyak terjadi penipuan,”
tuturnya. Dengan mengerjakan sendiri, Koheri
mengaku kadang terjadi perselisihan dengan
istri, meskipun tidak pernah besar. “Paling
sekadar masalah salah pesan atau salah
membeli,” ujarnya sambil tertawa.
Sementara untuk buruh kasar, Koheri
mempekerjakan orang-orang di sekitar lokasi
usahanya yang dipilih berdasarkan kekerabatan
dengan orang yang telah bekerja sebelumnya.
Koheri menyerahkan urusan pelatihan
keterampilan karyawan baru pada orang yang
membawanya, sebab kebanyakan dari mereka
sama sekali belum memiliki keterampilan.
Biasanya, mereka akan menjadi terampil setelah
bekerja selama satu hingga tiga bulan.
Namun untuk kesetiaan pegawainya, Koheri
merasa tidak memiliki jaminan. Bukan saja
dibajak oleh perajin lain setelah memiliki
keterampilan, karyawan yang pergi pun kadang
mencuri informasi tentang pemesanan sandal.
Padahal, persaingan di antara sesama produsen
sandal hotel sangat ketat, hingga masing-masing
produsen menyembunyikan dengan baik siapa
saja pelanggan yang mereka miliki. Maka,
ketika karyawan dibajak, info penting pun bisa
berpindah tangan. “Beberapa kali tiba-tiba
pelanggan membagi dua pesanan, satu kepada
kita, satu lagi kepada saingan yang membajak
karyawan kita itu,” ujar Koheri prihatin.
Jika karyawan sudah terampil, sebenarnya
menurut Koheri tidak ada masalah lagi.
Dalam bisnisnya, inovasi produk tidak terlalu
dibutuhkan, sebab konsumen sudah mempunyai
bentuk standar masing-masing. Bagi
Koheri, yang lebih penting adalah menekan
biaya produksi serendah-rendahnya yang
dapat dicapai dengan membuat produk dalam
kuantitas sebanyak-banyaknya.
Pembayaran honor pekerjanya dilakukan
setiap akhir minggu mengikuti tradisi upah
mingguan yang berlaku dalam industri ini.
Mungkin itulah penyebab turunnya
produktivitas pada setiap Senin, karena karyawan
masih terbawa suasana libur hari Minggu
sehingga hari Senin kurang semangat bekerja.
“Mereka masuk semaunya dan jam kerja
diabaikan,” kisahnya. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Koheri menggunakan sistem borongan,
yaitu memperpanjang jam kerja hari
Sabtu. Koheri memberi insentif lebih untuk
setiap kelebihan produksi yang mereka hasilkan
pada hari Sabtu, sehingga kekurangan pada hari
Senin dapat tertutupi.
Dia berkeyakinan, bisnis sandalnya masih
menjanjikan dan terbuka lebar untuk
menyentuh seluruh hotel maupun rumah sakit
di Indonesia. “Modal berapa pun masuk, pasti
habis. Begini, pasar kita ke nasional masih
terbuka luas. Sekarang modal saya sudah di atas
Rp loo juta. Ketika saya punya modal di atas Rp
200 juta-300 juta, jelas dong lebih lebar, lebih
luas. Ngisi ke hotelnya lebih banyak,” ujarnya
yakin.
Koheri mengaku kini sedang menikmati
jadi pengusaha dengan omzet Rp 100 juta
per bulan, ketimbang kala menjadi pegawai.
Menurutnya, dialah yang menentukan besaran
gajinya sendiri. Apalagi keuntungan usahanya
mencapai 10-15 persen dari omzetnya per bulan.
“Jadi pengusaha itu, gaji kita tetapkan sendiri,
saya pengen targetnya mau gaji berapa, Rp
10 juta, targetnya sekian,” cerita bapak 4 anak
yang ditemui di rumahnya di Taman Indah,
Kecamatan Harjamukti, Cirebon, dengan bangga.
Catatan Rhenald Kasali
USAHA KECIL ADALAH usaha pemula yang menggantungkan keberhasi1annya pada
diri Anda sendiri. Andalah yang menentukan usaha ini berhasil atau tidak,
menjadi besar atau tetap kecil, berputar atau teronggok mati.
Usaha kecil serba terbatas: modal tarbatas, karyawan sadikit, lokasi
barpindah-pindah, dan seterusnya.
Namun saat Anda memulai usaha dalam nuansa ‘penuh keterbatasan’ itulah Anda
merasakan ‘berkelebihan’. Anda menjadi lebih efisien lebih berhati-hati,
dan lebih teliti. Berbeda benar dengan usaha yahg bisa langsung
mempekerjakan banyak orang dengan space yang luas. Anda dapat lihat
sendiri, orang banyak mengangur dan tidak produktif. Jadi, tetaplah
produktìf meski penuh keterbatasan.
Supaya usaha Anda tidak stagnan maka Anda harus punya keberanian, untuk
berubah. Berubah atau mendiamkan terbawa arus gejolak jiwa adalah suatu
pilihan. Hidup hari ini seperti kemarin atau hari ini lebih baik
daripada kemarin. Anda sendiri yang memilihnya, Banyak orang memilih hidup
yang stagnan sehingga masalah yang dihadapi dari hari ke hari tetap sama.
Sulitnya tetap sama. Rezekinya pun tetap sama.
Padahal masalah yang Anda hadapi adalah ancaman bagi keberlangsungan usaha
Anda, namun peluang bagi mereka yang mau memperbaikinya. Orang-orang yang
melihat bagaimana cara kerja Anda akan memukul Anda dengan cara-cara yang
lebih efisien dan 1ebih modern.
Oleh karena itu janganlah tanggung-tanggung dalam berusaha. Anda hanya
punya dua pilihan menjadi pengusaha biasa-biasa saja, sekadar menumpang
hidup, atau menjadi pengusaha luar blasa. Pengusaha luar biasa tidak
berusaha yang tanggung-tanggung. Tutup semua kekurangan dengan menunda
kesempatan hidup bermewah-mewah dan memperbesar investasi, baik dalam fisik
(bangunan) maupun nonfisik (citra usaha, sistem, keterampi1an
karyawan, hubungan jangka panjang, dan seterusnya).
Perhatikanlah pengusaha-pengusaha mikro dalam buku ini. Di antara mereka
ada yang sudah berpikir jauh ke depan, namun juga ada yang masih
terbelenggu masalah rutin yang sama sepanjang hari. Sekali lagi, Anda bebas
memilih.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment