Sunday, April 14, 2013

Eddy Permadi, Resign Sebagai Dosen, Kini Sukses Lewat Usaha Turbin Mikrohidro yang Sudah Menembus Luar Negeri

Eddy Permadi, Energi yang Menciptakan Kemandirian Ekonomi

Melepaskan pekerjaan tetap sebagai

dosen bukan berarti duduk berpangku

tangan. Dengan modal sendiri, mesin

turbin mikrohidronya tak hanya

menghasilkan energi, tetapi juga

berbagai minuman serbuk, seperti

bandrek. Perpaduan yang aneh

memang, tetapi inilah UMKM dengan

segmen keunikannya.

 

ADALAH Eddy Permadi, pemilik Cihanjuang

 

Inti Teknik, yang pertama kali menelurkan

 

ide menciptakan turbin embangkit listrik

 

mikrohidro di daerahnya.

Bapak tiga anak yang pernah belajar di Swiss

selama 3 tahun dan Jerman selama setahun

ini memang mendapat banyak pengalaman dari

 

periode singkat pembelajarannya di Eropa.

Menurut Eddy, kemajuan orang-orang Eropa dimulai

 

dari revolusi industri, yang berarti memberikan

 

nilai tambah pada sesuatu yang bernilai rendah.

Revo1usi industri dimulai dari revolusi

energi, dari mulai adanya kincir air untuk

menumbuk gandum, lalu ditemukannya tenaga

uap. Dengan demikian transportasi menjadi

bagus, jarak juga menjadi lebih dekat. Bahkan

di Zurich, Swiss terdapat laboratorium energi

yang memperlihatkan turbin, mulai dari

 

pembangkit yang paling sederhana dari kayu

 

sampai yang paling modern,” urainya panjang lebar.

 

Dari pengamatan inilah Eddy kemudian

menyimpulkan bahwa kalau ingin meningkatkan

 

ekonomi rakyat, jelas harus dimulai dari

 

energi. Pada titik itulah ia memutuskan untuk

mengeksplorasi dunia energi.

Eddy lantas mulai membuat proyek-proyek

percontohan, mulai dari turbin sederhana hingga

 

yang relatif modern. Hingga saat ini sudah

ada 7 turbin percontohan yang setiap tahunnya

ramai dikunjungi orang. “Tahun kemarin ada lebih

 

dari 5.000 orang yang berkunjung dan tahun

ini juga sudah mencapai angka 6.000 orang lebih

 

dan beberapa menteri juga sudah datang ke

tempat kami,” paparnya. Bahkan, turbin buatannya

 

sudah dipesan oleh pengusaha-pengusaha

dari negara lain. Tak kurang dari pemerintah

Malaysia dan Swiss kini mengoperasikan

 

pembangkit listrik buatannya.

MEMANFAATKAN AIR

“Meskipun debitnya tidak tetap, tapi kita punya

banyak air sungai untuk dimanfaatkan,” ujar pria

ramah senyum ini. Kelebihan turbin ciptaannya

adalah bisa disesuaikan dengan ketinggian

jeram berapa pun. Jadi, tidak perlu jeram yang

tinggi untuk menghasllkan listrik. Jeram pendek

pun tetap bisa membangkitkan listrik. Karena

 

fleksibilitas ini, sudah banyak

daerah yang memanfaatkan turbin mikrohidronya.

 

“Bahkan, masyarakat yang hanya bisa merasakan

 

8 bulan mendapat listrik pun sudah sangat

senang, karena mereka tidak perlu berada dalam

 

gelap sepanjang tahun,” kelakarnya

ketika diwawancara sebuah stasiun televisi.

Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air.

Berdasarkan besarnya daya yang dihasilkan, terdapat

 

beberapa jenis turbin. Pikohidro adalah pembangkit

 

yang menghasilkan kurang dari 3.000 watt listrik,

 

mikrohidro menghasilkan daya antara

3.000 watt sampai 1 megawatt,

sementara minihidro menghasilkan 1 hingga 3 megawatt.

Eddy memulai usahanya dengan modal uang tunai Rp 25

juta dan keahliannya di bidang teknik. “Saya membuat

 

banyak turbin,” ujar Eddy, “Lebih dari

300 lokasi sudah kita pasang di seluruh Indonesia.”

 

Eddy pun berhasil menyediakan lapangan

pekerjaan dan menampung ratusan tenaga kerja tidak langsung.

Lulusan PMS ITB (Polman) ini memang tidak tanggung

tanggung dalam menerapkan pengetahuannya bagi kepentingan

orang banyak. Yang ada dalam pikirannya adalah memberikan

solusi bagi sebuah permasalahan, “Dan, bagaimana memberi tahu

orang bahwa mikrohidro adalah solusi bagi masalah mereka,”

ujarnya.

Untuk itu ia membuat turbin percontohan bersama pemerintah

 

daerah dan dibuka bagi masyarakat umum, salah satunya

 

di Leuwikiara. Di sana terdapat masyarakat yang perlu

menempuh waktu sekitar 6-7 jam perjalanan ke Tasikmalaya

untuk bekerja sebagai buruh bordir. Setelah dipasang pembangkit

mikrohidro ditambah bantuan mesin bordir, di daerah kecil

 

itu kini menjamur industri bordir. “Dan yang

terjadi kemudian, bandar-bandar dari kota

berdatangan ke sana membawa bahan dan

benang sehingga kampung itu menjadi hidup.

Berhasil di Leuwikiara, hingga mendapatkan

Asean Energy Award, kini metode ini mulai

diaplikasikan ke daerah-daerah lainnya. Seperti

di Papua, listrik digunakan untuk pengolahan

umbi-umbian, kue, dan sebagainya,” urainya

bangga.

 

Apakah produknya akan menyaingi PLN?

“PLN sebenarnya masih sangat kekurangan

daya. Bahkan ada Keputusan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral yang menyatakan bahwa

PLN wajib membeli listrik dari mikrohidro.

Kalau ada dana, tempat, dan air, kita bisa

bangun pembangkit lalu kita jual ke PLN dan itu

wajib dibeli,” jelasnya.

Saat ini Eddy sudah menyiapkan produksi

turbin untuk menghasilkan daya 100 watt hingga

 

500 kilowatt. Menurut Eddy, ia membutuhkan

investasi yang cukup besar. Untuk itu, Eddy

bermitra dengan bank bjb dan mendapatkan

pinjaman sebesar Rp 450 juta tahun 2005.

Saat itu modal dari bank bjb digunakan untuk

membeli tanah tempat pabriknya sekarang

berdiri. Lantas, tahun 2010 pinjamannya

meningkat menjadi Rp 1,1 miliar dan Rp 1,8

miliar di tahun 2011.

Selain untuk memproduksi mesin, yang

perlu dipikirkan adalah tempat. Pabrik yang

sekarang menempati tanah seluas 700 meter

persegi sudah tidak memadai lagi. “Saya sedang

mencari tempat baru. Sudah melihat beberapa

tempat, tapi belum ada yang sesuai,” ujarnya

menerawang.

KAMPUNG BANDREK HANJUANG

Idealnya, perluasan dilakukan tidak jauh dari

lokasi pabrik yang sekarang. Dengan demikian

biaya operasional menjadi lebih murah dan

 

pengendalian pun lebih mudah. Tapi, tentu saja

 

tidak mudah, karena kawasan itu sudah dipadati

perumahan. Kalaupun tidak mendapatkannya di

 

situ, Eddy berencana menempatkan pabrik

 

bandreknya tetap di sini, sementara pembuatan

 

turbin akan menempati lahan yang baru. “Soalnya

bandrek sudah menjadi brand kawasan ini,”

Ujarnya mantap.

Ya, bandrek juga merupakan produk buatan

Eddy. “Idenya muncul dari kondisi masyarakat

ketika mendapatkan listrik. Mereka justru

menginginkan kehidupan seperti di kota. Ada

televisi, radio, dan sebagainya,” jelas Eddy,

“Kalau hal ini saya teruskan, saya akan berdosa

 

karena membuat perekonomian mereka

menurun karena terbuangnya waktu untuk

kegiatan yang tidak produktif.” Tentu, Eddy

tidak menyalahkan turbin mikrohidro karyanya

sendiri. Justru ia mencari solusinya, dengan

memanfaatkan energi tersebut.

Awalnya, Eddy ingin membuat bandrek.

Tetapi ternyata sudah ada banyak jenis

bandrek di pasar. “Dai situlah timbul ide

menggabungkan kopi dengan bandrek yang

belum ada di pasaran.” Pada tahun 2001, ia

membuat proyek percontohan teknologi tepat

guna dengan membuat pengolahan jahe dan gula

 

aren menjadi minuman serbuk khas Jawa Barat.

Ia hanya ingin membuat hal-hal yang bernilai

ekonomi rendah memiliki nilai tambah setelah

diolah. Dengan membuat serbuk bandrek, Eddy

merasa ikut mendidik dan menciptakan lapangan

 

kerja di sini.

Periode sulit terjadi di tahun-tahun pertama.

Meski sudah menawarkan ke berbagai toko dan

warung, produk kopi bandreknya tetap saja

tidak diterima. “Saya menawarkan sendiri ke

warung karena menurut saya bandrek adalah

produk yang sederhana,” jelas Eddy. Tetapi,

dengan penolakan itu Eddy justru belajar bahwa

kemungkinan segmen pasarnya tidak tepat.

Langkah pertama yang dilakukan adalah

mengubah kemasan, dengan memberi lukisan.

“Kami mengundang pelukis dan menyampaikan

ide-ide untuk gambar kemasan ini,” kenang

Eddy yang ingin menonjolkan kesan tradisional.

Dipilihlah sosok Kabayan yang mewakili daerah

Jawa Barat.

 

Eddy mengirim produknya masuk ke toko

oleh-oleh di tepi jalan tol Cipularang, bertepatan

dengan dibukanya jalan tol tersebut. Segera

saja kopi bandrek ini laris-manis. Meski banyak

yang menyukai rasanya, namun ada juga yang

mengeluh karena tidak kuat dengan kandungan

kopinya. “Mereka minta kopi-bandrek, tetapi

jangan pakai kopi,” ujar Eddy sambil tergelak,

“Itu jadinya bandrek biasa seperti ide awal saya.”

Tapi, karena tidak ingin menolak permintaan

pasar, Eddy pun akhirnya membuat bandrek.

Sejak itu, Eddy serius menekuni bisnisnya.

Produk berikut yang dibuatnya adalah bajigur.

“Bajigur sebenarnya telah sangat dikenal di Jawa

Barat dan kami hanya merupakan salah satu

penggagas bajigur dalam kemasan siap seduh,”

paparnya. Memang belum pernah ada produk

minuman bajigur dalam kemasan. Bajigur ini

pun mendapat respons yang baik. Eddy lalu

mengembangkan rasa lainnya, termasuk kopi

bajigur, sekoteng, cokelat bandrek, teh bandrek,

 

hingga beas cikur (minuman sejenis beras kencur).

Kemasannya pun dibuat berbeda. Produk dengan

kemasan bergambar Kabayan dalam bungkus cokelat

konsepnya adalah oleh-oleh.

“Bandung kan kota belanja, jadi kemasan seperti

 

ini adanya di factory outlet dan tempat oleh-

oleh,” paparnya. Menurut Eddy, orang kota menyukai

 

kemasan untuk buah tangan, sementara

di kota-kota kecil, kemasan seperti ini tidak diminati.

Produk serupa juga dibuat daam kemasan sachet

 

rencengan, meskipun bergambar Kabayan, menyasar

 

konsumen yang berbeda. “Harganya relatif lebih murah

 

dan terjangkau, produk seperti ini bisa

dipasarkan di daerah seperti Tasik, Garut, sampai ke

 

pesisir pantai utara,” jelasnya.

Sedangkan untuk restoran, Eddy hanya menyiapkan

 

produk dalam kemasan plastik

 

transparan karena mereka tidak membutuhkan kemasan luarnya.

“Kami mengikuti kemauan pasar saja,” ujarnya ringan.

Kini produk bandreknya sudah dapat ditemukan di Alfamart,

Indomart, Griya, 7/11, Borma, dan Circle K. Sementara kemasan

klasik untuk buah tangan, selain dapat dijumpai di gerai factory

outlet, juga tersedia di Carrefour dan Gazebo di Bandung.

Untuk bahan baku, Eddy mengambil dari beberapa tempat.

Jahe, misalnya, bisa diambil dari Jawa Barat dan Lampung. Tetapi,

Eddy lebih suka jahe Lampung karena untuk menghasilkan 1 kg

jahe kering hanya membutuhkan 9 kg jahe basah, sementara dari

Jawa Barat diperlukan 12 kg.

Untuk gula aren, Eddy bekerjasama dengan masyarakat

 

di Gunung Halimun. “Ini betul-betul kelas

perajin. Mereka harus memilih nira yang bagus,

membuatnya jadi gula tepung, dikumpulkan,

kemudian dibawa ke sini,” urai Eddy. Di sini, gula

tepung itu disortir lagi dan dikeringkan, baru

diproses menjadi minuman serbuk. Sementara

bahan baku kopi diambil dari masyarakat sekitar saja.

MENJUAL SOLUSI

Kini, keyakinannya terbukti sudah. “Sekarang

bandrek merupakan solusi untuk menikmati

rempah-rempah. Kalau orang ingin membuat

bandrek tidak perlu membeli bahan-bahannya

dulu. Tinggal menggunting kemasan, praktis.

Solusi inilah yang menarik,” papar Eddy. Pasar

minuman serbuknya pun meluas, bahkan telah

dinikmati konsumen di Aceh, Nusa Tenggara,

dan Papua.

Di luar negeri, produk bandreknya telah

menjelajah Qatar. Ada pula yang membeli secara

 

borongan untuk dijual di luar negeri.

“Sebetulnya kami sudah menjajaki ke Australia

dan Amerika,” ujar Eddy, “Sudah sampai di

sana, tetapi tidak formal.” Eddy juga pernah

menjajal pasar di Malaysia, tetapi ternyata

penduduk negeri jiran itu tidak terlalu menyukai

rasa manisnya. “Kadang suka agak repot juga

 

dengan permintaan mereka, sehingga kita harus

menggunakan trik, kami sarankan untuk memperbanyak

 

airnya.” Produk terbarunya diberi nama Arjuna. “Ini

adalah produk khusus vitalitas untuk orang

dewasa,” ujarnya penuh arti. Menurut Eddy, produk

 

ini yang sekarang sedang booming. Selain

minuman serbuk, Eddy juga memproduksi

permen dengan varian rasa yang sama dengan

minuman serbuk. Angan-angannya, lima tahun

lagi daerah sekitarnya akan menjadi Kampung

Bandrek. Keuntungannya lumayan untuk memperkuat modal.

Seperti turbin, sebagian besar mesin yang

digunakan dalam produksi minuman serbuk

ini adalah buatannya sendiri. Dengan membuat

 

sendiri, ia bisa mendapatkan mesin yang

sesuai dengan keinginannya. “Kita juga tahu

kinerjanya. Kalau membeli produk yang sudah

jadi, belum tentu cocok dengan keinginan,”

paparnya. Selain itu, lebih murah produksi

 

maupun perawatan, karena mereka telah menguasai

seluk beluk mesinnya.

MEMBINA KARYAWAN DAN PERAJIN

Selain menguntungkan, tujuan kemandirian

sudah tercapai. Ia menggerakkan masyarakat

yang tinggal di sekitar untuk bekerja di pabriknya.

 

Dari awal yang sangat sederhana, Eddy kini berhasil

menciptakan lapangan kerja untuk tenaga kerja langsung

dan tidak langsung berupa kelompok kerja (pokja).

 

Pokja yang berada di sekitar pabrik bertugas untuk

 

mempersiapkan kemasan, sementara tenaga kerja

 

langsung yaitu sekitar 80 orang, sebagian besar

 

bekerja di dua bidang sekaligus, yaitu pembuatan

 

turbin dan membuat serbuk minuman bandrek. Kedengarannya

 

aneh memang, tetapi itulah UKM, selalu ada saja caranya,

 

“Jadi kalau lagi ramai pesanan di bandrek mereka

 

diperbantukan di produksi bandrek. Tapi kalau pesanan

 

turbin sedang banyak, mereka pindah mengerjakan turbin.

 

Malah ada pembuat mesin yang jago membungkus bandrek,”

 

urainya. Pembuatan turbin yang 100 persen dananya

 

dari APBD dan ABPN, biasanya ditenderkan

dan baru diterima Eddy sekitar bulan Agustus hingga

September. Ini berarti antara Januari hingga Juli praktis

tidak ada pesanan. Periode itulah yang dimanfaatkan

 

untuk memproduksi bandrek. Setiap tahun produksi

 

minuman serbuk membutuhkan sekitar loo ton jahe yang

 

dibeli pada saat panen raya karena harganya lebih murah.

Jahe tersebut kemudian diolah, disterilisasi, hingga di

keringkan. “Kalau dalam sehari kita bisa mengerjakan 1

ton pengolahan jahe, berarti butuh waktu sekitar 100 hari

atau 3-4 bulan untuk menyelesaikan semuanya,” paparnya,

 

“Pada periode Januari hingga Juli yang kosong ini,

para teknisi yang biasa ngebubut ikut mengolah jahe.”

Eddy mengaku tidak banyak keahlian yang dibutuhkan

 

untuk mengerjakan bandrek dan turbin, kecuali untuk teknisi

mesin turbin. “Yang penting mau kerja saja,” tegas Eddy.

Pekerjaan seperti mencuci dan mengepak tidak membutuhkan

keahlian khusus, sehingga para ahli mesin pun bisa

 

mengerjakannya. Cara seperti inilah yang membuat mereka

fleksibel dan bisa tetap eksis.

Selain itu, perusahaannya memiliki enam kelompok

kerja yang tersebar di rumah rumah warga. Satu pokja

 

beranggotakan sekitar 10 orang.

Mereka bertugas mengemas minuman serbuk. Setiap seribu

bungkus—yang biasanya di kerjakan dalam waktu 2 jam—

para pekerja mendapat upah Rp 16 ribu. Saking terampilnya,

membuat lipatan bungkus sampai mengelem hanya

perlu waktu 6 detik dengan hasil yang rapi jali. Dan,

setelah melewati pemeriksaan kualitas, minuman serbuk pun

siap dipasarkan.

 

Menurut Eddy, yang perlu diperbanyak adalah pokja, bukan

karyawan. “Soalnya pekerjaan ini bisa dibawa pulang,” jelasnya.

Selain itu, setiap tahunnya Eddy memilih beberapa orang

karyawan yang berprestasi untuk disekolahkan dengan biaya

dari perusahaan bekerja sama dengan Universitas Ahmad Yani.

“Karena jaraknya cukup dekat, kami juga bekerja sama untuk

program pelatihan dan praktik,” ujarnya.

Hampir setiap minggu selalu ada mahasiswa dari berbagai

perguruan tinggi yang mengadakan penelitian di tempatnya.

“Ada yang meneliti efisiensi produk, proses produksi, seni

merek, keuangan, pemasaran, dan sebagainya,” papar salah

satu stafnya. Eddy mendapat laporan dari setiap penelitian yang

dilakukan. Ia pun menyediakan tempat menginap selama mereka

melakukan penelitian.

 

MANAJEMEN PROMOSI

Kini, baik turbin maupun bandrek sama-sama

bersaing untuk menjadi lebih maju. “Sekarang

ini setiap tahun kita meluncurkan produk baru

yang memberikan peluang dan segmen yang

berbeda karena setiap daerah memiliki potensi

yang berbeda,” ujar Eddy. Beberapa daerah

membutuhkan jenis turbin besar, yang lain

hanya membutuhkan turbin kecil. Keunikan

produk yang menjadi kebutuhan masyarakat

inilah yang terus dikembangkan Eddy.

Eddy tetap mengandalkan promosi dari mulut

ke mulut karena untuk produk seperti ini orang

akan lebih percaya kalau mendengar langsung

dari orang lain tentang kebaikan suatu produk,

dibandingkan jika mendapatkannya dari iklan.

Menurut Eddy, “Bobot kepercayaannya akan

berbeda. Bobot yang paling kuat adalah cerita

dari teman ke teman.”

Prinsipnya adalah membuat semakin banyak

 

orang mengetahui produknya. Caranya,

dengan mengajak mereka mendatangi proyek

percontohannya. “Bayangkan kalau saya harus

ke daerah-daerah untuk berpromosi,” ujarnya,

 

“Biayanya akan jauh lebih besar. “Proyek

 

percontohan ini lambat laun menjadi objek wisata

teknologi. Mereka yang datang disuguhi minuman

bandrek. Dengan demikian, setiap orang pulang

dengan membawa cerita dan oleh-oleh. Cerita

orang-orang tersebutlah yang membesarkan

usaha turbin dan bandrek Hanjuang.

Promosi internet tetap dilakukan sebagai

pelengkap. “Kuncinya adalah ketika suatu produk

 

menjadi solusi, pasti laku,” ujarnya mantap,

“Sebaliknya, walaupun produk bagus, kalau

tidak bisa menjadi solusi, tidak laku.”

Eddy kini merasa bahwa bisnis turbin dan

bandreknya sudah tinggal menjalankan saja.

“Cash flow-nya sudah benar-benar mandiri,

bahkan bisa menyerap tenaga kerja,” urainya.

Lalu, ia pun mencari ‘mainan baru’. Melihat

kondisi air yang cukup baik di sekitar tempat

tinggalnya, ia pun berencana membangun

sentra ikan koi. Saat ini ia mulai membiakkan

ikan-ikan itu di tanahnya yang luas. “Apa pun

keadaannya saya selalu menikmati prosesnya,

termasuk kesulitan dan hambatannya juga saya

nikmati,” ujarnya.

 

Catatan Rhenald Kasali

KALI INI ANDA membaca sebuah proses membangun usaha berbasis teknologi

 

sederhana yang dimulai dari kesenangan. Seorang yang senang akan terus

 

bekerja, seperti seorang seniman yang keasyikan. Namun seperti

kebanyakan “seniman” bisnis lainnya, mereka mudah tergoda dalam

 

kesenangan-kesenangan yang sering kali kurang memikirkan kesatuan konsep

 

dalam bisnis Bahwa bisnis harus ditata dikelola secara sophisticated dengan

ahlì-ahli di luar produksi. Namun demikian, para seniman usaha ini selalu

 

menyatakan, “Kalau saya suka, sudah menguntungkan, den membuat saya happy,•

 

apa salahnya?”

Seniman-seniman UMKM seperti ini biasanya menggunakan survival instinct

 

naluri untuk bartahan atau beradaptasi. Mareka bukanlah expansionist

 

seperti pengusaha-pengusaha Barat atau pengusaha-pengusaha dari

Asia Timur (Cina, Taiwan, Korea, bahkan India). Mereka mudah puas kalau

 

cash flow-nya aman dan produknya selalu ada pesanan. Apalagi bila mereka

 

bisa secara langsung melihat dampaknya pada lapangan pekerjaan.

Eddy memulai usaha dari skll yang ia miliki dan ia melihat masalah energi

 

begitu luas di negeri ini. Ia pun mengisinya dengan membuat turbin, Tetapi

 

apa hubungan dengan bandrek? Ya tidak ada! Kalau Anda pakai strategi bisnis

 

dan Anda tidak romantis, maka Anda memilih usaha lain yang membantu usaha

 

utama Anda untuk tumbuh menjadì industri. Eddy memilih bandrek. Dugaan saya

 

ini pasti karena ia suka bandrek. Ia juga senang melihat orang

 

kumpul bekerja. Dan, ternyata bisa juga dihubung-hubungkan, karena Eddy

 

adalah seniman sekaligus tahu cara membuat mesinnya.

Orang-orangnya ternyata bisa juga dipekerjakan di sana. Walaupun nilai

 

ekonominya berbeda, sebagai survival instinct bolehlah. Toh, pada setiap 6

 

bulan pertama, pesanan turbin tidak besar. Mereka butuh pekerjaan. Namun

kalau UMKM ingin maju, mereka harus berefleksi dan berhenti berkreasi

 

barang sejenak. Berhentilah berlari-lari yang meletihkan barang sesaat,

 

lalu tuangkan mimpi-mimpi Anda dalam rencana bisnis yang terpadu. Dari situ

Anda akan bisa melihat labih bijak, ke mana Anda akan membawa usaha ini di

 

kemudian hari. Bukanlah waktu berjalan terus dan suatu saat Anda tak bisa

 

mencari makan dengan tangan sendiri?

Di masa depan Anda perlu mencari makan melalui tangan orang-orang lain, dan

 

produk Anda bisa berevolusi menemukan pintunya dengan pikiran-pikiran

 

dan tangan-tangan orang lain.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

No comments: