Eddy Permadi, Energi yang Menciptakan Kemandirian Ekonomi
Melepaskan pekerjaan tetap sebagai
dosen bukan berarti duduk berpangku
tangan. Dengan modal sendiri, mesin
turbin mikrohidronya tak hanya
menghasilkan energi, tetapi juga
berbagai minuman serbuk, seperti
bandrek. Perpaduan yang aneh
memang, tetapi inilah UMKM dengan
segmen keunikannya.
ADALAH Eddy Permadi, pemilik Cihanjuang
Inti Teknik, yang pertama kali menelurkan
ide menciptakan turbin embangkit listrik
mikrohidro di daerahnya.
Bapak tiga anak yang pernah belajar di Swiss
selama 3 tahun dan Jerman selama setahun
ini memang mendapat banyak pengalaman dari
periode singkat pembelajarannya di Eropa.
Menurut Eddy, kemajuan orang-orang Eropa dimulai
dari revolusi industri, yang berarti memberikan
nilai tambah pada sesuatu yang bernilai rendah.
Revo1usi industri dimulai dari revolusi
energi, dari mulai adanya kincir air untuk
menumbuk gandum, lalu ditemukannya tenaga
uap. Dengan demikian transportasi menjadi
bagus, jarak juga menjadi lebih dekat. Bahkan
di Zurich, Swiss terdapat laboratorium energi
yang memperlihatkan turbin, mulai dari
pembangkit yang paling sederhana dari kayu
sampai yang paling modern,” urainya panjang lebar.
Dari pengamatan inilah Eddy kemudian
menyimpulkan bahwa kalau ingin meningkatkan
ekonomi rakyat, jelas harus dimulai dari
energi. Pada titik itulah ia memutuskan untuk
mengeksplorasi dunia energi.
Eddy lantas mulai membuat proyek-proyek
percontohan, mulai dari turbin sederhana hingga
yang relatif modern. Hingga saat ini sudah
ada 7 turbin percontohan yang setiap tahunnya
ramai dikunjungi orang. “Tahun kemarin ada lebih
dari 5.000 orang yang berkunjung dan tahun
ini juga sudah mencapai angka 6.000 orang lebih
dan beberapa menteri juga sudah datang ke
tempat kami,” paparnya. Bahkan, turbin buatannya
sudah dipesan oleh pengusaha-pengusaha
dari negara lain. Tak kurang dari pemerintah
Malaysia dan Swiss kini mengoperasikan
pembangkit listrik buatannya.
MEMANFAATKAN AIR
“Meskipun debitnya tidak tetap, tapi kita punya
banyak air sungai untuk dimanfaatkan,” ujar pria
ramah senyum ini. Kelebihan turbin ciptaannya
adalah bisa disesuaikan dengan ketinggian
jeram berapa pun. Jadi, tidak perlu jeram yang
tinggi untuk menghasllkan listrik. Jeram pendek
pun tetap bisa membangkitkan listrik. Karena
fleksibilitas ini, sudah banyak
daerah yang memanfaatkan turbin mikrohidronya.
“Bahkan, masyarakat yang hanya bisa merasakan
8 bulan mendapat listrik pun sudah sangat
senang, karena mereka tidak perlu berada dalam
gelap sepanjang tahun,” kelakarnya
ketika diwawancara sebuah stasiun televisi.
Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air.
Berdasarkan besarnya daya yang dihasilkan, terdapat
beberapa jenis turbin. Pikohidro adalah pembangkit
yang menghasilkan kurang dari 3.000 watt listrik,
mikrohidro menghasilkan daya antara
3.000 watt sampai 1 megawatt,
sementara minihidro menghasilkan 1 hingga 3 megawatt.
Eddy memulai usahanya dengan modal uang tunai Rp 25
juta dan keahliannya di bidang teknik. “Saya membuat
banyak turbin,” ujar Eddy, “Lebih dari
300 lokasi sudah kita pasang di seluruh Indonesia.”
Eddy pun berhasil menyediakan lapangan
pekerjaan dan menampung ratusan tenaga kerja tidak langsung.
Lulusan PMS ITB (Polman) ini memang tidak tanggung
tanggung dalam menerapkan pengetahuannya bagi kepentingan
orang banyak. Yang ada dalam pikirannya adalah memberikan
solusi bagi sebuah permasalahan, “Dan, bagaimana memberi tahu
orang bahwa mikrohidro adalah solusi bagi masalah mereka,”
ujarnya.
Untuk itu ia membuat turbin percontohan bersama pemerintah
daerah dan dibuka bagi masyarakat umum, salah satunya
di Leuwikiara. Di sana terdapat masyarakat yang perlu
menempuh waktu sekitar 6-7 jam perjalanan ke Tasikmalaya
untuk bekerja sebagai buruh bordir. Setelah dipasang pembangkit
mikrohidro ditambah bantuan mesin bordir, di daerah kecil
itu kini menjamur industri bordir. “Dan yang
terjadi kemudian, bandar-bandar dari kota
berdatangan ke sana membawa bahan dan
benang sehingga kampung itu menjadi hidup.
Berhasil di Leuwikiara, hingga mendapatkan
Asean Energy Award, kini metode ini mulai
diaplikasikan ke daerah-daerah lainnya. Seperti
di Papua, listrik digunakan untuk pengolahan
umbi-umbian, kue, dan sebagainya,” urainya
bangga.
Apakah produknya akan menyaingi PLN?
“PLN sebenarnya masih sangat kekurangan
daya. Bahkan ada Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral yang menyatakan bahwa
PLN wajib membeli listrik dari mikrohidro.
Kalau ada dana, tempat, dan air, kita bisa
bangun pembangkit lalu kita jual ke PLN dan itu
wajib dibeli,” jelasnya.
Saat ini Eddy sudah menyiapkan produksi
turbin untuk menghasilkan daya 100 watt hingga
500 kilowatt. Menurut Eddy, ia membutuhkan
investasi yang cukup besar. Untuk itu, Eddy
bermitra dengan bank bjb dan mendapatkan
pinjaman sebesar Rp 450 juta tahun 2005.
Saat itu modal dari bank bjb digunakan untuk
membeli tanah tempat pabriknya sekarang
berdiri. Lantas, tahun 2010 pinjamannya
meningkat menjadi Rp 1,1 miliar dan Rp 1,8
miliar di tahun 2011.
Selain untuk memproduksi mesin, yang
perlu dipikirkan adalah tempat. Pabrik yang
sekarang menempati tanah seluas 700 meter
persegi sudah tidak memadai lagi. “Saya sedang
mencari tempat baru. Sudah melihat beberapa
tempat, tapi belum ada yang sesuai,” ujarnya
menerawang.
KAMPUNG BANDREK HANJUANG
Idealnya, perluasan dilakukan tidak jauh dari
lokasi pabrik yang sekarang. Dengan demikian
biaya operasional menjadi lebih murah dan
pengendalian pun lebih mudah. Tapi, tentu saja
tidak mudah, karena kawasan itu sudah dipadati
perumahan. Kalaupun tidak mendapatkannya di
situ, Eddy berencana menempatkan pabrik
bandreknya tetap di sini, sementara pembuatan
turbin akan menempati lahan yang baru. “Soalnya
bandrek sudah menjadi brand kawasan ini,”
Ujarnya mantap.
Ya, bandrek juga merupakan produk buatan
Eddy. “Idenya muncul dari kondisi masyarakat
ketika mendapatkan listrik. Mereka justru
menginginkan kehidupan seperti di kota. Ada
televisi, radio, dan sebagainya,” jelas Eddy,
“Kalau hal ini saya teruskan, saya akan berdosa
karena membuat perekonomian mereka
menurun karena terbuangnya waktu untuk
kegiatan yang tidak produktif.” Tentu, Eddy
tidak menyalahkan turbin mikrohidro karyanya
sendiri. Justru ia mencari solusinya, dengan
memanfaatkan energi tersebut.
Awalnya, Eddy ingin membuat bandrek.
Tetapi ternyata sudah ada banyak jenis
bandrek di pasar. “Dai situlah timbul ide
menggabungkan kopi dengan bandrek yang
belum ada di pasaran.” Pada tahun 2001, ia
membuat proyek percontohan teknologi tepat
guna dengan membuat pengolahan jahe dan gula
aren menjadi minuman serbuk khas Jawa Barat.
Ia hanya ingin membuat hal-hal yang bernilai
ekonomi rendah memiliki nilai tambah setelah
diolah. Dengan membuat serbuk bandrek, Eddy
merasa ikut mendidik dan menciptakan lapangan
kerja di sini.
Periode sulit terjadi di tahun-tahun pertama.
Meski sudah menawarkan ke berbagai toko dan
warung, produk kopi bandreknya tetap saja
tidak diterima. “Saya menawarkan sendiri ke
warung karena menurut saya bandrek adalah
produk yang sederhana,” jelas Eddy. Tetapi,
dengan penolakan itu Eddy justru belajar bahwa
kemungkinan segmen pasarnya tidak tepat.
Langkah pertama yang dilakukan adalah
mengubah kemasan, dengan memberi lukisan.
“Kami mengundang pelukis dan menyampaikan
ide-ide untuk gambar kemasan ini,” kenang
Eddy yang ingin menonjolkan kesan tradisional.
Dipilihlah sosok Kabayan yang mewakili daerah
Jawa Barat.
Eddy mengirim produknya masuk ke toko
oleh-oleh di tepi jalan tol Cipularang, bertepatan
dengan dibukanya jalan tol tersebut. Segera
saja kopi bandrek ini laris-manis. Meski banyak
yang menyukai rasanya, namun ada juga yang
mengeluh karena tidak kuat dengan kandungan
kopinya. “Mereka minta kopi-bandrek, tetapi
jangan pakai kopi,” ujar Eddy sambil tergelak,
“Itu jadinya bandrek biasa seperti ide awal saya.”
Tapi, karena tidak ingin menolak permintaan
pasar, Eddy pun akhirnya membuat bandrek.
Sejak itu, Eddy serius menekuni bisnisnya.
Produk berikut yang dibuatnya adalah bajigur.
“Bajigur sebenarnya telah sangat dikenal di Jawa
Barat dan kami hanya merupakan salah satu
penggagas bajigur dalam kemasan siap seduh,”
paparnya. Memang belum pernah ada produk
minuman bajigur dalam kemasan. Bajigur ini
pun mendapat respons yang baik. Eddy lalu
mengembangkan rasa lainnya, termasuk kopi
bajigur, sekoteng, cokelat bandrek, teh bandrek,
hingga beas cikur (minuman sejenis beras kencur).
Kemasannya pun dibuat berbeda. Produk dengan
kemasan bergambar Kabayan dalam bungkus cokelat
konsepnya adalah oleh-oleh.
“Bandung kan kota belanja, jadi kemasan seperti
ini adanya di factory outlet dan tempat oleh-
oleh,” paparnya. Menurut Eddy, orang kota menyukai
kemasan untuk buah tangan, sementara
di kota-kota kecil, kemasan seperti ini tidak diminati.
Produk serupa juga dibuat daam kemasan sachet
rencengan, meskipun bergambar Kabayan, menyasar
konsumen yang berbeda. “Harganya relatif lebih murah
dan terjangkau, produk seperti ini bisa
dipasarkan di daerah seperti Tasik, Garut, sampai ke
pesisir pantai utara,” jelasnya.
Sedangkan untuk restoran, Eddy hanya menyiapkan
produk dalam kemasan plastik
transparan karena mereka tidak membutuhkan kemasan luarnya.
“Kami mengikuti kemauan pasar saja,” ujarnya ringan.
Kini produk bandreknya sudah dapat ditemukan di Alfamart,
Indomart, Griya, 7/11, Borma, dan Circle K. Sementara kemasan
klasik untuk buah tangan, selain dapat dijumpai di gerai factory
outlet, juga tersedia di Carrefour dan Gazebo di Bandung.
Untuk bahan baku, Eddy mengambil dari beberapa tempat.
Jahe, misalnya, bisa diambil dari Jawa Barat dan Lampung. Tetapi,
Eddy lebih suka jahe Lampung karena untuk menghasilkan 1 kg
jahe kering hanya membutuhkan 9 kg jahe basah, sementara dari
Jawa Barat diperlukan 12 kg.
Untuk gula aren, Eddy bekerjasama dengan masyarakat
di Gunung Halimun. “Ini betul-betul kelas
perajin. Mereka harus memilih nira yang bagus,
membuatnya jadi gula tepung, dikumpulkan,
kemudian dibawa ke sini,” urai Eddy. Di sini, gula
tepung itu disortir lagi dan dikeringkan, baru
diproses menjadi minuman serbuk. Sementara
bahan baku kopi diambil dari masyarakat sekitar saja.
MENJUAL SOLUSI
Kini, keyakinannya terbukti sudah. “Sekarang
bandrek merupakan solusi untuk menikmati
rempah-rempah. Kalau orang ingin membuat
bandrek tidak perlu membeli bahan-bahannya
dulu. Tinggal menggunting kemasan, praktis.
Solusi inilah yang menarik,” papar Eddy. Pasar
minuman serbuknya pun meluas, bahkan telah
dinikmati konsumen di Aceh, Nusa Tenggara,
dan Papua.
Di luar negeri, produk bandreknya telah
menjelajah Qatar. Ada pula yang membeli secara
borongan untuk dijual di luar negeri.
“Sebetulnya kami sudah menjajaki ke Australia
dan Amerika,” ujar Eddy, “Sudah sampai di
sana, tetapi tidak formal.” Eddy juga pernah
menjajal pasar di Malaysia, tetapi ternyata
penduduk negeri jiran itu tidak terlalu menyukai
rasa manisnya. “Kadang suka agak repot juga
dengan permintaan mereka, sehingga kita harus
menggunakan trik, kami sarankan untuk memperbanyak
airnya.” Produk terbarunya diberi nama Arjuna. “Ini
adalah produk khusus vitalitas untuk orang
dewasa,” ujarnya penuh arti. Menurut Eddy, produk
ini yang sekarang sedang booming. Selain
minuman serbuk, Eddy juga memproduksi
permen dengan varian rasa yang sama dengan
minuman serbuk. Angan-angannya, lima tahun
lagi daerah sekitarnya akan menjadi Kampung
Bandrek. Keuntungannya lumayan untuk memperkuat modal.
Seperti turbin, sebagian besar mesin yang
digunakan dalam produksi minuman serbuk
ini adalah buatannya sendiri. Dengan membuat
sendiri, ia bisa mendapatkan mesin yang
sesuai dengan keinginannya. “Kita juga tahu
kinerjanya. Kalau membeli produk yang sudah
jadi, belum tentu cocok dengan keinginan,”
paparnya. Selain itu, lebih murah produksi
maupun perawatan, karena mereka telah menguasai
seluk beluk mesinnya.
MEMBINA KARYAWAN DAN PERAJIN
Selain menguntungkan, tujuan kemandirian
sudah tercapai. Ia menggerakkan masyarakat
yang tinggal di sekitar untuk bekerja di pabriknya.
Dari awal yang sangat sederhana, Eddy kini berhasil
menciptakan lapangan kerja untuk tenaga kerja langsung
dan tidak langsung berupa kelompok kerja (pokja).
Pokja yang berada di sekitar pabrik bertugas untuk
mempersiapkan kemasan, sementara tenaga kerja
langsung yaitu sekitar 80 orang, sebagian besar
bekerja di dua bidang sekaligus, yaitu pembuatan
turbin dan membuat serbuk minuman bandrek. Kedengarannya
aneh memang, tetapi itulah UKM, selalu ada saja caranya,
“Jadi kalau lagi ramai pesanan di bandrek mereka
diperbantukan di produksi bandrek. Tapi kalau pesanan
turbin sedang banyak, mereka pindah mengerjakan turbin.
Malah ada pembuat mesin yang jago membungkus bandrek,”
urainya. Pembuatan turbin yang 100 persen dananya
dari APBD dan ABPN, biasanya ditenderkan
dan baru diterima Eddy sekitar bulan Agustus hingga
September. Ini berarti antara Januari hingga Juli praktis
tidak ada pesanan. Periode itulah yang dimanfaatkan
untuk memproduksi bandrek. Setiap tahun produksi
minuman serbuk membutuhkan sekitar loo ton jahe yang
dibeli pada saat panen raya karena harganya lebih murah.
Jahe tersebut kemudian diolah, disterilisasi, hingga di
keringkan. “Kalau dalam sehari kita bisa mengerjakan 1
ton pengolahan jahe, berarti butuh waktu sekitar 100 hari
atau 3-4 bulan untuk menyelesaikan semuanya,” paparnya,
“Pada periode Januari hingga Juli yang kosong ini,
para teknisi yang biasa ngebubut ikut mengolah jahe.”
Eddy mengaku tidak banyak keahlian yang dibutuhkan
untuk mengerjakan bandrek dan turbin, kecuali untuk teknisi
mesin turbin. “Yang penting mau kerja saja,” tegas Eddy.
Pekerjaan seperti mencuci dan mengepak tidak membutuhkan
keahlian khusus, sehingga para ahli mesin pun bisa
mengerjakannya. Cara seperti inilah yang membuat mereka
fleksibel dan bisa tetap eksis.
Selain itu, perusahaannya memiliki enam kelompok
kerja yang tersebar di rumah rumah warga. Satu pokja
beranggotakan sekitar 10 orang.
Mereka bertugas mengemas minuman serbuk. Setiap seribu
bungkus—yang biasanya di kerjakan dalam waktu 2 jam—
para pekerja mendapat upah Rp 16 ribu. Saking terampilnya,
membuat lipatan bungkus sampai mengelem hanya
perlu waktu 6 detik dengan hasil yang rapi jali. Dan,
setelah melewati pemeriksaan kualitas, minuman serbuk pun
siap dipasarkan.
Menurut Eddy, yang perlu diperbanyak adalah pokja, bukan
karyawan. “Soalnya pekerjaan ini bisa dibawa pulang,” jelasnya.
Selain itu, setiap tahunnya Eddy memilih beberapa orang
karyawan yang berprestasi untuk disekolahkan dengan biaya
dari perusahaan bekerja sama dengan Universitas Ahmad Yani.
“Karena jaraknya cukup dekat, kami juga bekerja sama untuk
program pelatihan dan praktik,” ujarnya.
Hampir setiap minggu selalu ada mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi yang mengadakan penelitian di tempatnya.
“Ada yang meneliti efisiensi produk, proses produksi, seni
merek, keuangan, pemasaran, dan sebagainya,” papar salah
satu stafnya. Eddy mendapat laporan dari setiap penelitian yang
dilakukan. Ia pun menyediakan tempat menginap selama mereka
melakukan penelitian.
MANAJEMEN PROMOSI
Kini, baik turbin maupun bandrek sama-sama
bersaing untuk menjadi lebih maju. “Sekarang
ini setiap tahun kita meluncurkan produk baru
yang memberikan peluang dan segmen yang
berbeda karena setiap daerah memiliki potensi
yang berbeda,” ujar Eddy. Beberapa daerah
membutuhkan jenis turbin besar, yang lain
hanya membutuhkan turbin kecil. Keunikan
produk yang menjadi kebutuhan masyarakat
inilah yang terus dikembangkan Eddy.
Eddy tetap mengandalkan promosi dari mulut
ke mulut karena untuk produk seperti ini orang
akan lebih percaya kalau mendengar langsung
dari orang lain tentang kebaikan suatu produk,
dibandingkan jika mendapatkannya dari iklan.
Menurut Eddy, “Bobot kepercayaannya akan
berbeda. Bobot yang paling kuat adalah cerita
dari teman ke teman.”
Prinsipnya adalah membuat semakin banyak
orang mengetahui produknya. Caranya,
dengan mengajak mereka mendatangi proyek
percontohannya. “Bayangkan kalau saya harus
ke daerah-daerah untuk berpromosi,” ujarnya,
“Biayanya akan jauh lebih besar. “Proyek
percontohan ini lambat laun menjadi objek wisata
teknologi. Mereka yang datang disuguhi minuman
bandrek. Dengan demikian, setiap orang pulang
dengan membawa cerita dan oleh-oleh. Cerita
orang-orang tersebutlah yang membesarkan
usaha turbin dan bandrek Hanjuang.
Promosi internet tetap dilakukan sebagai
pelengkap. “Kuncinya adalah ketika suatu produk
menjadi solusi, pasti laku,” ujarnya mantap,
“Sebaliknya, walaupun produk bagus, kalau
tidak bisa menjadi solusi, tidak laku.”
Eddy kini merasa bahwa bisnis turbin dan
bandreknya sudah tinggal menjalankan saja.
“Cash flow-nya sudah benar-benar mandiri,
bahkan bisa menyerap tenaga kerja,” urainya.
Lalu, ia pun mencari ‘mainan baru’. Melihat
kondisi air yang cukup baik di sekitar tempat
tinggalnya, ia pun berencana membangun
sentra ikan koi. Saat ini ia mulai membiakkan
ikan-ikan itu di tanahnya yang luas. “Apa pun
keadaannya saya selalu menikmati prosesnya,
termasuk kesulitan dan hambatannya juga saya
nikmati,” ujarnya.
Catatan Rhenald Kasali
KALI INI ANDA membaca sebuah proses membangun usaha berbasis teknologi
sederhana yang dimulai dari kesenangan. Seorang yang senang akan terus
bekerja, seperti seorang seniman yang keasyikan. Namun seperti
kebanyakan “seniman” bisnis lainnya, mereka mudah tergoda dalam
kesenangan-kesenangan yang sering kali kurang memikirkan kesatuan konsep
dalam bisnis Bahwa bisnis harus ditata dikelola secara sophisticated dengan
ahlì-ahli di luar produksi. Namun demikian, para seniman usaha ini selalu
menyatakan, “Kalau saya suka, sudah menguntungkan, den membuat saya happy,•
apa salahnya?”
Seniman-seniman UMKM seperti ini biasanya menggunakan survival instinct
naluri untuk bartahan atau beradaptasi. Mareka bukanlah expansionist
seperti pengusaha-pengusaha Barat atau pengusaha-pengusaha dari
Asia Timur (Cina, Taiwan, Korea, bahkan India). Mereka mudah puas kalau
cash flow-nya aman dan produknya selalu ada pesanan. Apalagi bila mereka
bisa secara langsung melihat dampaknya pada lapangan pekerjaan.
Eddy memulai usaha dari skll yang ia miliki dan ia melihat masalah energi
begitu luas di negeri ini. Ia pun mengisinya dengan membuat turbin, Tetapi
apa hubungan dengan bandrek? Ya tidak ada! Kalau Anda pakai strategi bisnis
dan Anda tidak romantis, maka Anda memilih usaha lain yang membantu usaha
utama Anda untuk tumbuh menjadì industri. Eddy memilih bandrek. Dugaan saya
ini pasti karena ia suka bandrek. Ia juga senang melihat orang
kumpul bekerja. Dan, ternyata bisa juga dihubung-hubungkan, karena Eddy
adalah seniman sekaligus tahu cara membuat mesinnya.
Orang-orangnya ternyata bisa juga dipekerjakan di sana. Walaupun nilai
ekonominya berbeda, sebagai survival instinct bolehlah. Toh, pada setiap 6
bulan pertama, pesanan turbin tidak besar. Mereka butuh pekerjaan. Namun
kalau UMKM ingin maju, mereka harus berefleksi dan berhenti berkreasi
barang sejenak. Berhentilah berlari-lari yang meletihkan barang sesaat,
lalu tuangkan mimpi-mimpi Anda dalam rencana bisnis yang terpadu. Dari situ
Anda akan bisa melihat labih bijak, ke mana Anda akan membawa usaha ini di
kemudian hari. Bukanlah waktu berjalan terus dan suatu saat Anda tak bisa
mencari makan dengan tangan sendiri?
Di masa depan Anda perlu mencari makan melalui tangan orang-orang lain, dan
produk Anda bisa berevolusi menemukan pintunya dengan pikiran-pikiran
dan tangan-tangan orang lain.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment