Popon Suhaemah, Sukses Semanis Dodol Serenyah Keripik
Melihat hasil panen raya dari 83 pohon
mangganya sia-sia, ibu yang tidak
bekerja ini pun berpikir untuk menjual
jus. Kebetulan ada sekolahan di dekat
rumahnya. Meski usaha jusnya tak
berlangsung lama, namun ia tetap
dapat memanfaatkan sumber daya
di sekitarnya menjadi camilan yang
membuat lidah berdansa.
Ide bisnis memang dapat datang dari mana
saja. Termasuk dari pelataran rumah Popon
Suhaemah di Kelurahan Cijati, Kabupaten
Majalengka. Sebelum menjual jus, Popon pernah
membuat usaha telur asin tahun 2000 yang
berakhir ketika peternak bebek menghilang dari
desanya karena musim kemarau.
Senasib dengan usaha telur asin, usaha menjual
jus pun tidak berlangsung lama. Pasalnya,
baru seminggu disimpan, jus buatannya sudah
mengeluarkan bakteri. Dia memutar otak agar
olahan jus mangganya bisa tahan lama, tidak
cepat busuk. “Akhirnya saya berkonsultasi ke
Dinas Kesehatan, kalau pengen lama bagaimana
nih, saya bilang begitu,” cerita Popon mengenang
awal usahanya.
Atas saran pegawai Dinkes, Popon mengikuti
pelatihan untuk mendapatkan Surat Penyuluhan
(SP)—kini Perizinan Industri Rumah Tangga
(PIRT). Dia mendapat ilmu baru bagaimana
mengawetkan mangga dengan bahan pengawet
yang sudah diperbolehkan. Pada 31 Oktober
2002, dengan SP di tangan, Popon mendaftarkan
dagangannya dengan nama ‘Ibu Popon’. “Saya
berpikir sederhana waktu itu, kalau orang
nyari saya gampang, karena saya orang sini asli.
Kalau orang tanya Bu Popon, semua pasti tahu,”
cetusnya.
MEMANFAATKAN BUAH YANG BERLIMPAH
Setelah suaminya di-PHK saat krisis moneter
tahun 1998, perempuan asal Majalengka ini memang
harus pintar-pintar mencari peluang. Pada
bulan Oktober 2003, pohon mangganya kembali
menghasilkan buah yang banyak. Bermodalkan
ilmu dan pelatihan sebelumnya, Popon mengolah
mangga tersebut menjadi dodol dengan
menambahkan pengawet yang sudah mendapat
izin Dinas Kesehatan.
Dengan mengendarai motor GL 86, Popon
menaruh dodolnya di beberapa warung di
desanya. Setiap warung dititipkan sekitar 20
bungkus dodol. Dalam pikirannya, dodol yang
dibuatnya harus habis, tidak lagi disimpan di
rumah.
Namun, harapan tidak seindah kenyataan.
Ketika seminggu kemudian Popon menagih
hasil penjualan ke warung-warung tersebut,
ternyata dodol yang laku hanya 2-5 bungkus
saja. Selebihnya dikembalikan. Kejadian ini
berlangsung beberapa waktu. Untuk menghindari
malu kepada ibunya, Popon selalu membawa
gunting di tasnya. Dodol yang tidak laku
digunting dan dibuang ke sungai. Sementara
merek ‘Ibu Popon’ yang tertera di bungkus, ia
bakar.
Siapa sangka, keuletannya menjual dodol
mangga ke warung-warung itu menarik minat
seorang staf Dinas Pertanian. Betapa senangnya
Popon ketika tempat usahanya dikunjungi orang
berseragam dinas cokelat-cokelat. Rupanya,
orang tersebut hendak membeli dodolnya untuk
dibawa ke provinsi. Ia ingin menunjukkan bahwa
Majalengka pun bisa menghasilkan penganan
khas, mengingat daerah ini memang terkenal
dengan banyaknya pohon mangga.
“Dari hari itu seperti ada titik terang bagi
saya. Seperti ada malaikat penolong. Terus,
setelah ngobrol, saya minta nomor teleponnya,
dikasihlah nomor telepon,” tutur Popon. Setelah
Lebaran, Popon berkunjung ke Dinas Pertanian
tingkat Kabupaten Majalengka. Dia bertemu
dengan Pak Nunu, yang mengenalkannya
kepada Kepala Seksi Usaha. Kesempatan itu
dipergunakannya untuk berkisah panjang lebar
tentang kendala usahanya dan mimpi-mimpi
pengembangan usaha. Gayung pun bersambut,
Popon diajak menjadi warga tani binaan Dinas
Pertanian dengan syarat membentuk kelompok.
Bersama dengan 4 saudaranya, Popon membentuk
kelompok Asri Rahayu. Mereka mengumpulkan
uang Rp 50 ribu per orang untuk
mengikuti pembinaan tani. Mereka terus
melakukan trial and error dalam pembuatan
dodol mangga tanpa kenal lelah. “Kadang-
kadang belum diedarkan, dodol tersebut sudah
jamuran. Kemudian kami berkonsultasi
dan disarankan memakai lemak sapi, namun
hasilnya bau,” kenang Popon.
Nyaris setiap hari Popon dan kelompoknya
melakukan uji coba dan hasilnya dikonsultasikan
ke Dinas Pertanian, hingga akhirnya dikirim
ke pelatihan pengolahan pascapanen di Balai
Pelatihan Pertanian Cihea, Cianjur. “Di situ saya
mulai mendapat ilmu. Ooohhh... rupanya begini
cara mengolah dodol. Mulailah saya diajak studi
banding ke Ciamis, lalu Sukasena. Dari situ saya
semakin semangat. Oh kalau orang lain bisa,
kenapa saya enggak,” yakinnya.
Sejak saat itu, Popon semakin aktif mengikuti
pelatihan, mulai dari proses pengolahan sampai
packaging. Di pelatihan itu juga dia baru
mengetahui bahwa sebuah merek yang kuat
sebaiknya memiliki arti dan pengaruh yang
besar. Namun hal tersebut tidak membuatnya
mengubah merek yang sudah teregistrasi.
Selain pelatihan, Popon juga mendapat
bantuan dari Universitas Padjajaran (Unpad)
dan Universitas Pasundan (Unpas). Setiap
permasalahan juga dikonsultasikan kepada
para profesor Jurusan Teknologi Pangan pada
kedua perguruan tinggi tersebut. Bahkan Popon
memberikan tempatnya untuk menjadi
tempat penelitian mahasiswa, yang menurutnya
amat membantu usahanya. Berkat penelitian
mahasiswa jualah camilan ‘Ibu Popon’ kini
sudah mencantumkan informasi kandungan
nutrisi. Produknya pun kerap diajak pameran
yang digelar di lingkungan kedua universitas
tersebut.
Tahun 2004, jenis olahan Popon mulai beraneka
ragam. Dia mendapat tawaran alat vacuum
frying untuk menggoreng keripik. Selama
setahun dia harus mempelajari kegunaan alat
tersebut dan menghasilkan produk keripik
dan buah-buahan. Popon hanya fokus agar
keripiknya bagus. Dia belajar bagaimana
keripik pisangnya tidak cepat letoy. Ia baru
tahu, ternyata jenis pisang dan tingkat
kematangannya pun sangat berpengaruh.
“Jadi kita sekarang sudah bisa menentukan
Pisangnya seperti apa, kulitnya seperti
apa, harus kita goreng hingga kematangan
seperti apa. Kalau yang lewat dari sortasi
itu jadi dodol. Kalau dulu mah dihantam aja,
digoreng semua pisangnya. Pikirannya
sederhana, daripada dibuang,” papar Popon.
Meski tak pernah putus belajar, baru saat
menginjak tahun ketiga, Popon bisa menggoreng
keripik yang tahan lama. Seiring waktu pun
orang makin mengenal produk dodol dan keripik
merek ‘Ibu Popon’.
Popon pun terus belajar menjalankan usahanya ini.
Misalnya dalam menentukan harga.
Dengan berat 1 ons, Popon menjual keripik
tersebut ke warung seharga Rp3.500 dan dijual
warung tersebut ke masyarakat seharga
Rp5.000. Padahal ada juga yang menjual keripik
pisang seberat 1/4 kg dengan harga Rp2.500.
Sukses? Ternyata belum. Keripik pisang Popon
ternyata tidak laku dan ia kembali menerima
banyak retur. Maka ia pun menata ulang
penentuan harga produk-produknya.
MEMBESARKAN USAHA
Seperti usaha kecil lainnya, Popon pun mulai
mengalami permasalahan modal. Dengan bantuan
Dinas Koperasi, dia mendapat jaminan
untuk mendapatkan pinjaman dari bank bjb
sebesar Rp 9 juta pada 2005. Dia juga diajak
mengikuti pameran-pameran oleh Departemen
Perindustrian. Saat ini hampir semua wilayah
Indonesia sudah dikunjunginya untuk pameran,
mulai dari Surabaya, Jakarta, Makassar, NTB,
hingga Batam. Bahkan produk ‘Ibu Popon’ sudah
ikut pameran ke Singapore Expo (Singex).
Dari pameran-pameran itu juga Popon mengenal
packaging yang baik dan menarik.
Packaging House di Bandung menyarankan
Popon untuk membuat packaging yang menarik
dan menimbulkan minat orang untuk membeli.
Ketika pameran di Singex, produk Popon tidak
hanya dikemas dalam plastik, tapi dimasukkan
dalam kaleng dan kardus suvenir.
Dari pameran—pameran tersebut merek ‘Ibu
Popon’ akhirnya mulai dikenal orang. Sekarang
banyak pihak yang justru ingin memasarkan
camilan produksi Popon. Pemasarannya pun
sekarang sudah tak lagi hanya di sekitar
Majalengka, tapi sudah masuk Jakarta, termasuk
rest area jalan tol dan koperasi di perkantoran
Jalan Jenderal Sudirman. Di Bogor, produk Popon dapat
ditemukan di sentra oleh-oleh Priangan Sari. Pusat
perbelanjaan besar seperti Carrefour dan Yogya
pun sudah menjual camilan khas ‘Ibu Popon’.
Setelah usahanya semakin berkembang,
kini saatnya gantian, Popon harus membina
kelompok ibu-ibu wanita tani di desa-desa di
Majalengka. Saat ini dia sudah membina sekitar
40 kelompok, yang tiap kelompoknya terdiri
dari 10 orang. Setiap kelompok dibuatnya
memiliki keahlian khusus, misalnya membuat
keripik pisang saja, keripik jagung saja, atau
keripik salak saja. Muiai dari bumbu hingga
standard operational procedure (SOP) dan
pengawasannya dikontroi langsung oleh Popon.
Produksi dari setiap kelompok tani itu dijual
ke tempatnya.
Hingga saat ini, kelompok wanita tani binaan
Popon bukan hanya menghasilkan berbagai jenis
keripik, tapi juga rempeyek kacang hijau, hingga
sumpia (sejenis makanan ringan berbentuk
lumpia kecil dan digoreng kering) isi oncom.
Sementara di fasilitas produksinya, Popon sudah
menghasilkan keripik pisang, keripik
nangka, keripik salak, dodol jambu biji, dodol
mangga, dan dodol pisang. Siapa sangka wanita
berpenampilan sederhana ini bisa menyulap
mangga, salak, pisang, nangka, jagung menjadi
camilan seperti dodol dan keripik?
Popon pun rajin mengutak-atik produknya.
Misalnya, sumpia yang biasanya berisi udang
atau ebi, kini diganti dengan oncom. Popon
mengaku terkejut karena idenya itu ternyata
diminati banyak orang. Awalnya, dia hanya
melihat bahwa desanya banyak memproduksi
oncom. Dia pun memberdayakan masyarakat
untuk membungkus oncom dengan kulit lumpia.
Upah yang diberikan sebesar Rp2.000 per
kilogram dan dibayarkan setiap hari Sabtu.
Popon tinggal mempekerjakan orang untuk
menggoreng sumpia oncom tersebut.
Sementara emping jagung Popon paling di
minati oleh konsumen di Bogor. Awalnya Popon
hanya membuat rasa original. Namun para
pembelinya meminta diberi taburan bumbu rasa
barbekyu, yang kemudian dia penuhi. Meskipun
demikian, emping jagung rasa original juga tak
kalah peminatnya.
Popon dengan cepat juga mempelajari bahwa
setiap daerah di Jawa Barat ini memiliki
permintaan yang berbeda. Jika orang Bogor suka
emping jagung, di Jakarta yang paling laris
adalah keripik pisang. Rest area pada jalan tol
di Jakarta bahkan mengorder 2 kuintal setiap
2 minggu sekali. Artinya, dia harus mengolah 2
ton pisang untuk menghasilkan keripik pisang
sebanyak itu. Padahal, dengan kemampuannya
saat ini hanya 600-700 kilogram yang bisa
diolah karena terkendala alat produksi yang
minim dan kurang memadainya luas fasilitas
produksinya saat ini.
“Dengan 5 alat vacuum yang dimiliki saat
ini, kapasitas kita baru 1.000 kg keripik tiap
bulan,” ujar sarjana pendidikan Islam yang
memelesetkan gelar S.Pd.I yang diraihnya
menjadi sarjana pembuat dodol Ibu Popon.
Untuk itu, dia pun meminta tambahan modal.
Setelah melunasi utang Rp 9 juta, tahun 2007
Popon mendapat pinjaman lagi dari bank
bjb sebesar Rp 50 juta. Bisnisnya bertambah
pesat, dan keberaniannya berbisnis semakin
besar. Dan, akhir tahun 2010 lalu dia mendapat
pinjaman Rp 250 juta untuk membeli alat
produksi dan memindahkan fasilitas produksi
ke sebelah tokonya.
Saat ini, Popon baru mampu menghasilkan
2.000 kilogram untuk seluruh jenis produknya.
Khusus keripik dapat dihasilkan 1.000 kilogram,
yang artinya membutuhkan 10 ton bahan baku.
Untungnya, di bumi Nusantara ini Popon tidak
pernah kesulitan urusan bahan baku. Bermitra
dengan petani dan pengolah setengah jadi (pure)
membuat ketersediaan bahan tidak pernah
kurang. Selain itu, misalnya untuk mangga,
Popon membuat stok dengan menyimpannya
dalam beberapa buah freezer. Untuk pisang,
Popon bermitra dengan petani dan pengumpul
di Rajagaluh, Majaengka. Untuk nangka, ada
temannya yang berburu nangka dan menyetorkan
hasil buruannya kepada Popon.
Keripik yang awalnya hanya dilakukan coba-
coba, kini menjadi dagangan yang paling
diandalkan, mengingat penjualannya selalu habis.
Apalagi bahan baku buah-buahan amat berlimpah
di daerahnya. Inilah keuntungannya memulai
bisnis dengan memperhitungkan masak
masak sumber daya alam yang dibutuhkan
untuk keperluan tersebut.
Dari perjalanan panjangnya di awal usaha,
Popon banyak memperoleh pelajaran dan
pengalaman yang mendukung kemajuan usahanya.
Misalnya saja, dia menyadari pentingnya merek.
“Sekarang saya baru sadar, merek ternyata besar
artinya. Merek harus punya ciri khas, hurufnya
jangan terlalu banyak. Nah, itu saya baru dapat
sekarang, tapi sudah telanjur jadi dan terdaftar,”
ujarnya sambil tertawa.
MELATIH MASYARAKAT SEKITAR
Untuk sumber daya manusianya, Popon tidak
mau lagi hanya sekadar banyak menyerap tenaga
kerja. Dia kini ingin usahanya memberi manfaat
untuk orang lain. Bukan hanya bermanfaat
bagi sanak saudara, tetangga, kelompok tani,
dan para santri dari pesantren yang didirikan
ayahnya, melainkan juga bagi anak sekolah yang
tidak mampu. Mereka bisa magang di pabriknya.
Popon memberi pelatihan produksi kepada
mereka secara langsung. Mereka diarahkan sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Tak
tanggung-tanggung, Popon kini sudah memiliki
standar pelatihan, termasuk masalah kesehatan
serta kebersihan. Penggunaan celemek, penutup
kepala, dan penutup mulut, misalnya, adalah
sebuah keharusan. Bahkan ada modul yang
harus dipelajari calon pekerjanya.
Popon mencari anak-anak yang berpotensi.
Menurutnya, secara hukum alam, anak yang
kurang mau belajar akan tersingkir dengan
sendirinya, sementara yang bertahan akan
diberi pelatihan oleh suku dinas setempat. Ketika
mereka sudah keluar dari sekolah, Popon
mengajak mereka membantunya.
“Misalnya untuk membuat keripik jagung.
Kontrol, penjualan, dan bahan baku dari saya.
Jadi, hubungan saya dengan anak-anak ada
kaitan emosionalnya dan menjadi lebih panjang.
Bahkan petani mitra juga begitu, jadi banyak
berhubungan dengan santri-santri pesantren
yang saya kenal dari awal,” paparnya.
Saat ini, Popon memiliki 17 orang pegawai,
yang dibagi ke dalam 2 sif. Sementara untuk
urusan administrasi, ia memiliki 5 orang
karyawan yang sejak awal sudah ikut membangun
usaha keripik tersebut. Popon memberikan upah
untuk karyawannya yang bekerja
di fasilitas produksi dan outlet sebesar Rp 10
ribu per hari plus insentif dari jumlah pnoduksi
dan penjualan yang melebihi target. Kerajinan
masuk kerja pun memengaruhi pemberian insentif.
Sementana untuk tenaga teknis seperti orang
orang yang menangani mesin, dibayar sesuai
dengan jumlah alat yang dipegang. Tenaga
borongan, biasanya untuk bagian pembungkusan,
mendapat upah Rp 20 per bungkus. Biasanya
dibayarkan setiap minggu, atau sesuai dengan
permintaan tenaga borongan tersebut.
Popon tidak melupakan kesejahteraan masa
depan karyawannya. Zakat usaha diberikan
kepada karyawannya dalam bentuk tabungan
pensiun. Bahkan setiap tahunnya ada jatah
kurban Idul Adha untuk pegawainya yang
dilakukan secara bergantian. Kurban ini didapat
dengan menjual minyak goreng bekas yang
masih bersih kepada penduduk sekitar. Untuk
melepas jenuh, pada setiap tanggal 31 Oktober,
yakni hari ulang tahun usahanya, Popon dan
karyawannya pergi piknik bersama.
Popon juga telah menyiapkan regenerasi
untuk menjalankan bisnisnya. Dia melibatkan
langsung adiknya. Juga, salah satu keponakannya
diangkat menjadi sekretaris. Dengan
manajemen keluarga seperti ini, Popon merasa
lebih aman. Selain faktor kepercayaan, menurut
Popon, keluarga lebih mudah dipegang karena
ada rasa kebersamaan dan kepemilikan yang kuat.
Tentu saja, manajemen keluarga bukannya
tanpa masalah sama sekali. Misalnya, ada
anggota keluarga yang menitipkan anaknya
bekerja di pabrik, namun ternyata hasil
pekerjaannya atau disiplinnya tidak memuaskan.
Hal ini kerap menjadi dilema untuk Popon.
“Akan jadi omongan orang di kampung jika kita
sukses tapi saudara kita miskin. Tapi saya juga
enggak mau disangka tidak adil oleh anak-anak
lain. Sama saudaranya ngebela, tapi yang lain
tidak,” tutur Popon yang mengaku sudah pernah
mengeluarkan 4 orang karyawan yang berasal
dari keluarganya.
MENGATUR SISTEM PRODUKSI
Seperti usaha-usaha kecil yang tumbuh dari
bawah lainnya, Popon saat ini juga belum
menggunakan jasa profesional dalam
mengembangkan usahanya. Popon masih melakukan
pencatatan keuangan, perekrutan, dan
pemasarannya sendiri. Namun untuk urusan
rekrutmen karyawan, ia hanya mengandalkan
calon yang dibawa oleh karyawannya sendiri,
sehingga kesetiaan dan kejujurannya lebih
terjamin. Meskipun demikian, setiap calon
tetap harus diwawancara dan dites
kemampuannya langsung oleh Popon sendiri.
Pembagian tugas dan disiplin pun diterapkan.
Selain berdasarkan pengalaman, Popon juga
menerapkan pengetahuan yang ia dapat dari
berbagai pelatihan dan diskusi yang ia lakukan
dengan mahasiswa.
Untuk pencatatan keuangan, ia dibantu
seorang bendahara, demikian pula untuk
penghitungan keperluan produksi. Popon juga
sudah dapat membuat estimasi kemampuan
dan keperluan biaya produksi setiap minggu.
Misalnya, kebutuhan pengeluaran fasilitas
produksi mencapai Rp 20 juta per minggu. Jika
mengirim hasil produksi dengan nilai lebih dari
Rp 20 juta, outlet hanya akan membayar Rp 20
juta. Jika ada kelebihan keuntungan dan outlet
akan dialihkan ke investasi peralatan fasilitas
produksi. Misalnya untuk mengurus perizinan
halal, PIRT, merek, hingga barcode. Biaya-biaya
tersebut memang dibayarkan setiap tahun,
namun oleh Popon sudah disisihkan setiap bulan.
Terkait keuangan, meski belum memakai jasa
akuntan profesional, untuk membangun sistem
dan audit, Popon sudah memisahkan antara
biaya-biaya untuk urusan usaha dengan urusan
pribadinya. Rekening pun dibuat terpisah. Pada
tahun 2010, dia bahkan sudah memisahkan
antara urusan fasilitas produksi dengan outlet,
termasuk aset. Dari pendapatan, setiap minggu
dia menyisihkan Rp 2,5 juta untuk disetorkan ke
bank bjb sebagai pengembalian modal.
Untuk mengantisipasi kekurangan suplai
bahan baku, Popon mengelola banyak supplier.
Jika di antara supplier satu dan lainnya
memberikan harga berbeda, dia mengambil
harga tengah. “Pada periode tertentu memang
beberapa jenis bahan baku agak susah,” ujar
Popon, “Biasanya di bulan Maret-April.”
Untuk menyiasati hal ini, Popon menurunkan
jumlah produksi, meski menjual dengan harga
yang tetap. Untuk mengurangi ongkos produksi,
Popon juga memberikan libur tambahan bagi
karyawannya, yang biasanya hanya sehari dalam
seminggu menjadi dua hari. Bahkan kalau order
sangat sepi, karyawan pabrik diliburkan setiap
dua hari sekali. “Tapi sejak tahun 2010, pemasok
bahan baku jalan terus,” kata Popon. Untuk itu
karyawan bahkan tetap bekerja di hari Minggu
dan Popon memberi libur seminggu sekali
secara bergilir.
Kebijakan mengenai berapa banyak jumlah
produksi awalnya diambil Popon secara intuitif.
Namun seiring waktu ia mulai memberlakukan
pencatatan. Dengan demikian, berapa jumlah
order bulan depan sudah bisa terbaca dari
permintaan yang terjadi pada bulan ini dan
perkiraan produksi tahun lalu pada bulan yang
sama. Jika order sedikit, Popon menghentikan
produksi satu item dan berganti dengan
memproduksi komoditi yang lain.
“Setiap bulan saya mengadakan rapat sehingga
ketahuan data-data produksi dan penjualan
untuk membuat perencanaan produksi
berikutnya. Biasanya setiap tanggal 1 kita
kumpul dan hasil penghitungan kurang lebih
selalu sesuai dengan rencana produksi,” kata
perempuan murah senyum ini.
Untuk pencatatan barang masuk dan keluar,
Popon sudah menggunakan software pencatatan
yang mampu mendata dan menerima laporan
setiap hari dari bagian produksi dan outlet.
Teknologi pencatatan ini didapatkannya berkat
mengikuti diskusi-diskusi dengan banyak pihak.
Meski awalnya Popon mengaku mengalami
kesulitan, banyak dosen dan mahasiswa yang
secara sukarela tidak segan-segan menolongnya.
Penggunaan teknologi bukan hanya diperlukan
untuk pencatatan saja, melainkan
juga untuk menerima pesanan, yang bisa
dilakukan dengan internet. Sementara untuk
urusan promosi—juga dilakukan melalui internet—
allhamdulillah justru dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa Unpad dan Unpas yang
kerap bekerja sama dengan Popon.
MERANCANG MASA DEPAN
Ke depannya, Popon bermimpi untuk menggunakan
tenaga profesional di bagian produksi
dan pemasaran. Misalnya saja manajer pemasaran
profesional, akuntan profesional, dan
manajer pabrik. Dia ingin mimpinya itu
terwujud pada tahun 2012.
Dia berharap, ke depannya juga bisa
memiliki pabrik yang lebih besar lagi, sehingga
bisa meraup omzet hingga Rp 1 miliar per
bulan. Popon juga ingin menambah berbagai
alat produksi, seperti menambah 5 mesin
vacuum frying, untuk menggenjot jumlah
produksi. Apalagi pasar Singapura sudah
meminta kiriman emping jagung, yang saat
ini masih terkendala dalam menentukan agen
yang bersedia memasaknya di sana. “Soalnya,
kalau dikirim matang dari Majalengka, di
khawatirkan sampai Singapura sudah remuk,”
kata Popon sambil tergelak. Di Jakarta, pusat
retail yang berada di Grand Indonesia pun
sedang memproses masuknya camilan ‘Ibu
Popon’ ke pusat perbelanjaan bergengsi di
Jakarta itu.
Impiannya tak berhenti sampai di situ.
Popon juga ingin agar fasilitas produksi, toko,
dan kantornya terletak dalam satu kawasan
saja. Kantor berada di atas pabrik, sehingga
proses produksi dapat diawasi dari atas. Saat
ini kantornya masih mengambil bagian dari
rumahnya, sementara fasilitas produksi dan toko
berada di tempat lainnya. Dengan menyatukan
lokasi Popon berharap bisa memenuhi berbagai
permintaan yang sudah membanjir. Apalagi,
setiap menjelang bulan puasa dan tahun baru,
permintaan bisa meningkat hingga 3 kali lipat.
Misalnya saja permintaan dari Carrefour.
Awalnya hanya Carrefour Kiaracondong yang
menempatkan produk Popon pada bagian Pojok
Rakyat. Sekarang berlanjut dengan meminta
Popon menyuplai cabang-cabangnya di Jakarta,
Yogyakarta, dan Bali. Padahal untuk menyuplai
ke Carrefour di Bandung saja, Popon sudah
merasa kewalahan dan pernah mengorbankan
permintaan dari yang lainnya. Karena itu, dia
menambah 1 vacuum frying lagi, meski itu pun
dianggapnya masih kurang. Selain Bandung,
Popon juga ingin memusatkan pengirimannya
di Jakarta sehingga biaya pengiriman atau
distribusi bisa seminimal mungkin.
Untuk inovasi komoditas, Popon tidak pernah
berhenti. Setelah jus mangga, dodol pisang dan
tomat, berbagai jenis keripik, sumpia, Popon
berencana membuat sambal oncom dan ulukutek
(leunca khas Sunda) yang dikemas dengan
botol. Eksperimen biasanya dilakukannya pada
bulan-bulan sepi produksi dan order, yakni
antara bulan Maret hingga Mei. Dengan begitu,
eksperimen komoditas baru tidak mengganggu
kegiatan produksi.
“Banyak mimpi saya. Keripik pisang cokelat
juga baru saya tes, tapi belum launching di pasar.
Banyak PR untuk pengembangan. Biasanya dari
saya sendiri, lalu saya akan masukkan ke lab untuk
dites, setelah itu saya baru berani lepas ke pasar,”
ujar Popon.
Dengan kerja kerasnya selama 8 tahun, kini
omzet Popon sudah mencapai Rp 120 juta per
bulan, dengan keuntungan bersih sekitar 15-20
persen. Popon pun cukup senang karena dengan
caranya berkreasi, praktis ia sulit dikejar saingan
di sekitarnya ini. Kegigihannya membangkitkan
usaha kecil di Majalengka, membawa kelompok
Asri Rahayu yang dibinanya mendapat Penghargaan
Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian dari Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Kementerian Pertanian pada tahun 2009.
Yang paling dibanggakan Popon adalah
penghargaan yang diserahkan langsung oleh
Wakil Presiden Boediono pada bulan Desember
2010 di Istana Negara. Penghargaan Ketahanan
Pangan Tingkat Nasional itu diperoleh Kelompok
Asri Rahayu melalui Kementerian Pertanian
karena kelompok tersebut dianggap sukses
membina ibu-ibu mengolah hasil pertanian.
“Saya senang bisa masuk Istana, meski banyak
aturannya. Misalnya enggak boleh pakai celana
jeans. Seharusnya Presiden yang memberikan,
tapi saat itu beliau sedang berada di Kopenhagen,
jadi diwakilkan,” kenangnya riang. Foto-foto
Popon saat menerima penghargaan dari Wapres
Boediono pun terpajang manis di kios camilannya
di Kelurahan Cijati, Kabupaten Majalengka.
Begitu juga dengan piala dari Dirjen Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian
Pertanian.
Menurut Popon, mimpinya untuk memberdayakan
masyarakat sekitar, termasuk kaum
ibu, telah terwujud. Popon percaya, kunci
sukses usaha terletak pada kesungguhan,
niat yang tulus di dalam hati, fokus, dan
membangun usaha untuk membantu orang
lain. “Dengan membantu orang lain, insya
Allah urusan kita juga dibantu sama Yang
Kuasa,” ujarnya menutup pembicaraan.
Catatan Rhenald Kasali
SEORANG KREATIF MENEMBUS berbagai belenggu dengan berlari tiada henti.
Ibaratnya ia menari-nari mengikuti tabuhan tifa yang digendang seseorang.
Ia terus menari tiada letih, tetapi lambat laun tariannya mulai tidak
keruan, asal saja. Waktu tak bisa ditahan, umur bergerak ke depan. Ia terus
maju saja, padahal kesegaran sangat dibutuhkan.
Itulah gambaran sebagian besar usaha kecil Indonesia yang matanya baru
terbuka. Ia berlari terus seperti rusa yang dikejar cheetah, bergerak zig-
zag. Ia meraih kemajuan, namun pasar butuh kedalaman. Untuk mendapatkan
kedalaman, seseorang harus berhenti berlari dan mengendapkan pikiran-
pikirannya ke dalam selembar kertas yang bersih, dan menata usahanya pada
segala sisi, mulai dari manusia hingga ke mesin. Dari mesin hingga ke
produksi. Dari produksi hingga ka pasar, dan dari pasar sampai menghasilkan
uang.
Itu pula yang terjadi dengan Popon dan sebagian besar usaha kecil Indonesia
Kalau tidak terlalu aktif, mereka terlalu pasif. Yang satu penuh gairah tak
mau berhenti yang satunya lagi tak punya gairah dan selalu mengeluh.
Memang yang pertama lebih baik karena rezekinya lebih lancar, pintu selalu
terbuka. Tetapi Popon dan kawan-kawannya juga harus bisa naik kelas dengan
berhenti berlari membenahi usaha dan menempatkan usaha dalam desain yang
lebih strategis.
Ia perlu menata perusahaannya, bukan melulu membuat produk. Bila Popon
terus bergerak membuat produk, ia akan keletihan dan pasar dapat menjadi
jenuh. Saatnya sekarang bekerja dengan pikiran dan memakai tangan orang
lain.
Untuk berhentí berlarì, para pelaku usaha kecil dan mikro dapat menempuh
beberapa cara beríkut ini. Pertama, dalamilah manajemen. Setelah berusaha
empat-lima tahun, silakan mengendurkan kreativitas dalam membuat
produk baru, dan arahkan energi pada kreativitas manajemen.
Kedua, jangan takut merekrut orang-orang yang punya pengalaman untuk menata
SDM, keuangan, dan sistem. Ketiga, kurangi waktu dari operasional dan
perbanyak waktu untuk berkomunikasi internal.
Dengan berkomunikasi secara intens ke dalam, Anda dapat memperkuat tim
bisnis Anda sehingga perusahaan tidak terlalu tergantung pada cara
berpikir satu orang. Manajemen yang solid akan sangat membantu kemajuan
usaha Anda, dan mereka akan sangat membantu memajukan usaha Anda.
Maka bangunlah tim yang kuat. Tim yang kuat akan menjadikan Anda lebih dari
sekadar pengusaha kecil, melainkan menjadí wìrausaha yang inovalíf dan
kreatif.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment