Ujang Sasmita, Bisnis Timah Tanpa Kredit Macet
Membeli dan menjual dengan tunai,
itulah rahasia keberhasilan bisnis
timahnya hingga bero1eh omzet hingga
Rp 300 juta per minggu. Padahal,
di awal ia justru harus bergulat
membayar utang yang ditinggalkan
usaha ayahnya.
EMPAT buah mobil pribadi dan sebuah truk
di garasi rumahnya menjadi salah satu bukti
keberhasilannya menjalani bisnis ini.
Di masa kecilnya, Ujang Sasmita ikut
mengerjakan pesanan timah dari bisnis
ayahnya hingga mengantar barang dari
desanya di Cisaat, Sukabumi ke Jakarta.
Setelah menyelesaikan Sekolah Teknik
Menengah (STM, sekarang namanya menjadi
SMK-Sekolah Menengah Kejuruan) tahun 1979,
ia hanya sempat menjalani kuliah selama
satu tahun. Sebagai anak tertua, Ujang
mengalah demi adik-adiknya yang berjumlah
10 orang. Mundur dari bangku kuliah, Ujang
langsung terjun membantu usaha ayahnya.
“Toh, kuliah nanti ujung-ujungnya cari duit
juga,” cetus Ujang yang tak pernah terpikir ingin
menjadi pegawai seperti kebanyakan orang.
Usaha timah keluarganya belum juga terbilang
sukses. Malah pada tahun 2000, usaha
itu terlilit utang yang cukup besar. Ujang pula
yang harus menanggungnya. Dalam waktu
4 bulan, dia berhasil melunasi utang usaha
ayahnya. Namun, kejadian ini membuat Ujang
mulai berpikir untuk membuat usaha sendiri,
memisahkan diri dari bisnis keluarga. Apalagi
dia pun sudah memiliki keluarga sendiri.
Penghasilan Rp 10 ribu per hari dari menjalani
usaha timah dengan ayahnya dirasa tidak cukup
untuk menghidupi keluarga.
Kesulitan yang sering dialami ayahnya
hingga terlilit utang menjadi pelajaran yang
amat berharga. Dia tidak menerapkan cara
yang pernah dilakukan ayahnya dulu. Uang
pemasukan yang seharusnya diputar kembali
untuk usaha, malah dipakai untuk kebutuhan
keluarga, sehingga yang terjadi adalah besar
pengeluaran ketimbang pemasukan. Namun dia
mengerti, saat itu ayahnya tidak bisa berbuat
banyak, mengingat anaknya cukup banyak.
Dengan pinjaman dari bank bjb, Ujang
memutar uangnya untuk membayar utang,
menambah modal, juga membiayai kebutuhan
keluarganya. Dengan kegigihannya, Ujang
berhasil memiliki rumah yang layak tahun 2008,
yang ditinggali bersama istri dan 3 putranya.
Bahkan tahun 2010, Ujang bersama sang istri
bisa beribadah haji ke Tanah Suci.
MEMBUAT BISNIS SENDRI
Kegigihan Ujang menyelesaikan utang ayahnya
Itulah yang menarik minat bank bjb memberikan
pinjaman awal Rp 17 juta pada tahun 2002 untuk
membuka usahanya sendiri. Ujang mendapat
waktu setahun untuk melunasi utang berikut
bunganya. Dengan modal pengalaman bekerja
dengan ayahnya dan pinjaman dari bank bjb,
mulailah Ujang membuka usaha timah yang
diberi nama Agung Sejahtera.
Awal tahun 2002, Ujang menerima order
bandul pemberat alat pancing dari seorang
distributor di Pasar Ikan, Jakarta. Distributor
ini pun menjadi tempat pemasaran utama
batu alat pancing Ujang. Distributor tersebut
meminta Ujang eksklusif menjual hanya kepadanya,
dan selanjutnya distributor tersebut yang
mengedarkan ke agen atau toko, baik di Jakarta,
Pulau Jawa, hingga ke daerah-daerah di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Setiap minggu Ujang mengirim 10 ton timah
untuk menyuplai distributor itu. Namun selain ke
Pasar Ikan, Ujang juga menyuplai pesanan dari
Glodok dan beberapa pusat pertokoan. “Cuma
yang paling continue adalah timah bandulan
buat kebutuhan nelayan ke laut, yang nerimanya
itu grosir,” kisahnya. Tapi Ujang sudah membuat
patokan, melayani 3 tempat saja sudah cukup.
“Segitu juga saya sudah kenyang,” cetusnÿa.
Dalam seminggu dia minimal mengantongi Rp
150 juta untuk penjualan batu alat pancing.
Pada tahun pertamanya, Ujang mendulang
sukses. Order untuk membuat bandul timah alat
pancing sangat banyak. Dalam seminggu, ia bisa
membeli 15 ton timah, yang kemudian diolahnya
menjadi barang sesuai keinginan pemesan.
Utangnya pun bisa dilunasi tepat waktu, hingga
pinjaman terus dikucurkan oleh bank bjb.
Pinjamannya meningkat menjadi Rp 35 juta,
kemudian naik menjadi Rp 75 juta, dan tahun 2011
Ujang beroleh pinjaman hingga Rp 300 juta.
Ujang memulai usahanya dengan bekerja
sendiri. Mulai dari menerima order, melakukan
pencetakan, hingga memasarkannya. Pengalaman
bekerja dengan bapaknya menjadi modal
penting, sehingga dia tahu semua ‘jeroan’ bisnis
timah ini.
THE STOCK IS READY!
Namun, bandul pemberat alat pancing bukan
satu-satunya produk yang dihasilkan dari usaha
timah Ujang. Dia juga menerima order apa pun,
sesuai yang diinginkan pemesan. Misalnya
saja, dia pernah menerima pesanan timah segel
listrik dari PLN ketika terjadi gempa Padang
yang menghancurkan instalasi listrik di sana.
Dan, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi
dengan cepat dari Ujang.
Rupanya Ujang memiliki kelebihan dari
perajin timah lainnya, yakni selalu menyediakan
stok timah. Ketika order datang, Ujang tidak
perlu lagi mencari-cari bahan. Dan dalam waktu
2 bulan, order tersebut segera dikirim ke PLN di
Sunter. Dari situ, Ujang mendapat omzet Rp 700
juta. “Waktu itu saya punya 25 ton timah keluar
semua. Uang pun langsung dapat,” ujar pria
berusia 53 tahun ini dengan senang.
Untuk mendapatkan bahan baku timah, Ujang
tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya,
Ujang tidak hanya memegang satu supplier
saja. Ada 3 penyuplai timah yang menjadi
supplier-nya, yakni dari daerah Cinangeng
Bogor, Tangerang, dan Buah Batu-Bandung.
Ketiga supplier ini didapatnya berdasarkan
pengalaman sewaktu bekerja dengan ayahnya,
juga informasi dari sesama perajin timah.
Harga yang didapatnya dari ketiga supplier
ini pun cukup kompetitif. Jika harga pasar Rp 22
ribu, Ujang bisa mendapatkannya dengan harga
Rp19.500. Paling tinggi seharga Rp19.750. Namun
untuk mendapatkan harga yang ‘manis’ itu, sistem
pembayaran yang dilakukan Ujang juga harus
‘manis’: ia tidak pernah berutang. Bahkan, Ujang
berusaha untuk selalu membayar di muka.
“Saya main di uang, bukannya sombong,
ya. Tapi saya lebih suka sistem cash untuk
bayar, bukan sistem bon. Jadi dia punya
barang, saya punya uang. Kalau main timah
kita secara bon harganya bisa beda, walaupun
jeda pembayarannya cuma seminggu. Makanya
saya selalu bayar tunai. Ada perbedaan Rp300—
Rp400 saja, kalau saya bayarnya cash, harga bisa
ditekan,” terang Ujang yang bisa mendapatkan
keuntungan dari selisih harga bahan baku Rp
1 juta untuk setiap 4 ton baku timah. Dia juga
menyebut hal ini sebagai salah satu rahasia
usahanya, dibandingkan dengan perajin timah
lainnya.
Khusus untuk bandul pemberat alat pancing,
Ujang bisa memproduksi hingga berbagai bentuk
dan ukuran. Menurut catatannya, ada sekitar
l00 jenis bandul, mulai dari bandul sebesar
pentol korek api hingga seberat 1 kilogram.
Setiap jenis harus memiliki matres atau cetakan
masing-masing.
Untuk mendapatkan cetakan ini, Ujang harus
merogoh kocek yang tidak sedikit. Dia harus
membayar setidaknya Rp 1 juta untuk satu cetakan.
Sementara untuk 1 ukuran bandul saja, Ujang
harus memiliki antara 7 hingga 10 cetakan. Bisa
dibayangkan, berapa dana tunai yang harus
dikeluarkan untuk itu. Cetakan tersebut memang
wajib dimiliki karena akan mempermudah,
mempercepat pembuatan, juga menghasilkan ukuran
barang yang tepat sesuai pesanan.
“Tapi, saya membelinya secara bertahap.
Begitu ada uang, beli matres. Enggak langsung
semua, saya bisa babak belur,” kelakarnya.
Investasi Ujang di matres memang tidak main-
main. Menurut catatannya, ada yang dibeli
dengan harga Rp 1 miliar. Setelah empat tahun,
barulah ia memiliki seluruh matres yang di
perlukan.
Meskipun sederhana, matres adalah salah satu
bentuk teknologi yang mempermudah usahanya.
Karena itu Ujang tak segan mengeluarkan uang.
Demikian pula ia terus menambah teknologi
untuk mendukung produksinya, salah satunya
dengan membeli mesin injection baru. Ia pun
merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti
dengan teknologi yang semakin canggih.
SIMBIOSIS MUTUALISME
Bisnis pada dasarnya merupakan pertukaran
yang sama-sama menguntungkan. Ujang
mengikuti hal ini. Ia hanya akan membuat barang
berdasarkan pesanan pelanggan. “Dalam hal produk,
sih, saya bukannya sombong. Selama ini setiap
ada pesanan, apa pun bentuk dan modelnya, saya
bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa
pun,” ujar Ujang. Yang penting baginya adalah
mengikuti keinginan pasar.
Ujang juga amat pintar menyenangkan para
langganannya. Apa pun pesanan distributor,
dia bisa membuat dengan hasil bagus dan
memuaskan. Selain itu dia tidak pernah ingkar
janji soal waktu. Jika dijanjikan barangnya
selesai dalam 3 hari, maka dalam 3 hari itu pun
barang sudah dikirim. Baginya, permintaan
pelanggan, baik berupa bentuk maupun waktu,
merupakan tantangan yang harus diatasinya.
Dan untungnya, dia tidak pernah mendapatkan
kendala yang berarti. “Kalau sampai membuat
pelanggan kecewa, saya bakalan enggak jualan
timah lagi, jualan pisang saja,” ujarnya serius.
Karena itu, soal ketepatan waktu dan janji amat
dipegangnya.
Hal itu juga berlaku pada janjinya kepada
distributor di Pasar Ikan bahwa Ujang tidak
menyuplai ke agen-agen atau toko-toko kecil.
Ujang sudah merasa sangat cukup hanya dengan
mendapat order dari distributor tersebut.
Namun, ada pula imbal balik yang dimintanya
dari distributor tersebut: Pembayaran dilakukan
secara tunai, tidak utang. Dengan cara demikian
uang yang diputar kembali untuk bisnisnya
berjalan dengan lancar dan risikonya dimitigasi
menjadi nol. “Saya membeli timah dari supplier
secara tunai, menjual pun harus dibayar tunai,”
tandasnya.
Untuk sistem pembayaran, Ujang lebih memilih
mentransfer dana. “Jarang saya kasihkan
uang, misalnya l00 juta, ya main transfer aja.
Paling cuma kasih Rp 20 juta sampai Rp 30
juta tunainya,” terang Ujang, yang menilai
pembayaran dengan cash amat memperlancar
usahanya, sehingga tidak ada ‘kredit macet’.
Ujang berkeyakinan, usahanya tidak akan
mati. Apalagi suplai timah diyakininya akan
terus ada. Selain itu, banyak pula produk
yang membutuhkan timah, seperti aki mobil.
Jadi, selama mobil terus diproduksi, maka
kebutuhan akan timah pun terus ada. Apalagi,
dari pengalamannya selama ini, dalam bisnis
timah tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan
ampas atau abu timah buangan produksi pun
bisa laku dijual. Dalam sebulan, hasil penjualan
abu timah ini saja mencapai Rp 15 juta hingga
Rp 16 juta.
Akan halnya keberadaan perajin timah lain,
bagi Ujang hal itu dapat menyehatkan usahanya.
Pasalnya, ia jadi bisa mempelajari perbedaan
pengelolaan usaha timah. Misalnya, salah satu
perajin timah di Jakarta yang bahan bakunya
menggunakan timah bekas atau timah rongsok.
Sementara, Ujang cenderung memanfaatkan timah
batangan atau timah bekas aki yang bobotnya
berkisar 22-35 kilogram per batang.
“Saya memutuskan untuk berani berspekulasi
di bahan baku. Mahal sedikit, enggak masalah.
Makanya saya punya stok timah dari aki
batangan cukup banyak,” terang Ujang, “Orang
lain mah ngandalin timah-timah yang bekas,
rongsok. Kan, itu terbatas. Kalau timah dari
aki ngecor banyak yang punya, asal kita berani
bayar harga, ikutin pasar, banyak barangnya.”
Ketidakterbatasan bahan baku itu membuat
usaha Ujang terus maju. Dia tidak pernah sepi
order karena bahan baku pun selalu ada, ready
stock, tanpa bingung mencari terlebih dulu jika
ada order.
Untuk memenuhi pesanan, saat ini Ujang
mempekerjakan 16 orang, plus seorang mandor.
Ujang berupaya memberdayakan tenaga kerja
yang tinggal di wilayah sekitarnya, yakni para
tetangga. “Biasanya sih keluarga saya yang
merekomendasikan. Kalau orangnya jujur dan baik,
biasanya saya terima,” ujarnya. Bagi Ujang, cara
ini akan membantu menyejahterakan tetangga-
tetangganya. Selain itu, banyak keuntungan
yang didapatnya. Misalnya saja, jika mendapat
pesanan mendadak, para karyawannya bisa
segera datang.
Jika ada tetangga yang berminat bekerja di
tempatnya, Ujang akan langsung menyuruh
mereka praktik. Jika hasilnya bagus, mereka akan
langsung direkrut dan selanjutnya mendapatkan
bimbingan langsung darinya. Setelah mahir akan
langsung diterjunkan untuk produksi. Ujang
tetap memberikan pelatihan langsung, hingga
semua karyawannya mahir mengerjakan
semua tahap produksi. Ia tidak mau proses
produksi terganggu karena ketergantungan pada
karyawan-karyawan tertentu saja.
Mengingat mereka memiliki keahlian sama
dan harus bisa melakukan semua tahapan
produksi, Ujang menggaji karyawannya dengan
nilai yang sama rata. Pembayaran biasanya
dilakukan setiap minggu, tapi bagi yang sudah
berkeluarga, “Mereka dibayar per bulan, supaya
uangnya enggak langsung habis,” kelakarnya.
Urusan karyawan yang dibajak juga pernah
dialami Ujang. Namun dia tidak terlalu khawatir
dengan persoalan itu, sebab biasanya mereka
kembali ke tempatnya lagi karena merasa tidak
cocok dengan si pembajak. Bagi Ujang, semua itu
ada hikmahnya. Demikian pula dengan usaha
ayahnya yang kini dipegang oleh sang Adik.
Ujang tidak menganggapnya sebagai pesaing,
justru masih sering memberikan bantuan stok
kepada adiknya.
Demi mendapatkan barang sesuai dengan yang
diinginkan pemesan, Ujang selalu mengawasi
pekerjaan anak buahnya. Untuk hal ini dia di
bantu salah satu kerabatnya yang dikenal jujur.
Dengan pengalamannya mengerjakan pesanan
sendiri, Ujang tahu mana barang yang tidak layak
atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Kalau
sudah begitu, tak ayal lagi Ujang lebih memilih
untuk membuat ulang pesanan itu.
BERSIAP UNTUK ESTAFET
Ujang sudah mulai menurunkan ilmu bisnisnya
kepada anak tertuanya yang kini sudah berusia
26 tahun. Dia melihat potensi besar putra
sulungnya itu, terutama ketika Ujang berangkat
haji dan menyerahkan cek Rp l00 juta, uang
tunai Rp 150 juta, dan stok timah 40 ton. Selama
40 han Ujang beribadah, si sulung berhasil
mengolah ‘modal’ tersebut hingga mendapatkan
omzet Rp 1 miliar dan untung sekitar Rp 300
juta.
“Saya audit lagi, stok timah malah nambah.
Saya pikir, anak ini jujur. Yang saya kagum, selain
tenang beribadah, ternyata pembukuannya juga
beres,” ujarnya bangga. Belum lagi dari penjualan
abu timah, putra sulungnya itu mendapatkan Rp
12,8juta. Ujang berencana menurunkan usahanya
ini kepada putra-putranya. Dia menggembleng
langsung Dede dan Heri untuk terjun ke bisnis ini,
juga mendukung anaknya yang sedang menjajaki
perluasan usaha di Kebumen, Jawa Tengah.
Nantinya, Ujang berharap anak-anaknya dapat
mengelola usahanya secara lebih profesional,
sebab hingga saat ini Ujang menjalankannya
hanya bermodalkan intuisi semata. Urusan
manajemennya pun masih ditanganinya sendiri.
Jika putra-putranya sudah mumpuni, Ujang berniat
melebarkan sayap membuka cabang di Pulau
Sumatera karena cukup banyak bisnis timah di
daerah tersebut yang menginduk ke tempat Ujang.
Selain perluasan bisnis, Ujang berencana
memproduksi timah plat yang saat ini sedang
dibuat cetakannya. Timah plat yang berbentuk
seperti kertas timah di bungkus rokok ini juga
ditujukan untuk mempermudah para nelayan
sehingga tidak perlu menggunakan bandul
pemberat alat pancing lagi. Timah plat cukup
dilipat-lipat saja untuk kemudian dipasangkan
di mata pancing sebagai pemberat.
Menurut perhitungannya, dari satu kilogram
timah akan didapatkan sekitar 12 lembar timah
plat berukuran 20 x 20 cm. Harganya sekitar
Rp 40 ribu, jauh lebih mahal ketimbang bandul
pemberat yang dijualnya di kisaran Rp 26 ribu
hingga Rp 27 ribu. “Hanya saja saat ini saya
sedang proses bikin matresnya dulu untuk nipisin
timahnya,” ujarnya, yang berharap tahun ini
mesin tersebut sudah siap digunakan.
Pasalnya, timah plat ini sudah banyak yang
memesan, sehingga lambatnya pembuatan mesin
membuat Ujang agak kelabakan. Padahal,
Ujang amat enggan membuat pelanggannya
kecewa karena terlalu lama menunggu. Itu
bertentangan dengan kunci sukses usahanya.
“Kalau janji mesti tepat, itu termasuk kunci
sukses,” tegasnya di akhir pertemuan.
Catatan Rhenald Kasali
KESULITAN YANG DIALAMI orangtua tidak selalu diturunkan kepada anak-anaknya
dalam bentuk kesulitan-kesulitan baru. Anak-anak yang menyaksikan kesedihan
dapat berontak, dan satu di antara mereka akan memberikan ‘perlawanan
positif’. Dendam. Anak itu tidak mengambil sisi yang negatif melainkan
berikrar. “Jlka aku sudah dewasa akan kubuat anak-anakku tersenyum.
Aku pedih merasakannya, melihat orang bolak-balik menagih utang dengan
penuh ancaman. Melihat Ayah tak bisa berkata apa-apa. Pedih merasa putus
asa, tidak ada makanan di meja makan. Pedih melihat ibu menangis melindungi
anak-anaknya.”
Anak itu bergerak dan mempelajari apa yang harus dihindarkan kalau ingin
lebih berhasil dari ayahnya. Ilmu itu adalah sebuah refleksi yang
menghasilkan ilmu mitigasi risiko, yaitu mengurangi segala resiko yang akan
berujung pada kebangkrutan. Saya bertemu beberapa usahawan muda yang
dulunya, kecílnya mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami Ujang.
Dari situlah mereka belajar mengambil celah, membayar tunai—mendapatkan
marjin lebih besar dengan menciptakan keunggulan-keunggulan, merekrut
pegawai bukan berdasarkan kecerdasan melainkan kejujuran, dan menuntut
pembayaran tunai. Bisnis, selain ada untung-rugi, selalu ada risiko-
risikonya. Maka hadapilah, atasilah, bertarunglah, dan buatlah mekanisme
untuk mengatasìnya.
Pertama, jangan mendiamkan. Bisnis menjadi rusak karena Anda diamkan. Kalau
sudah turun, bisnis akan turun terus kalau Anda diamkan. Maka carilah
langkah-langkah baru. Yang jelas jangan didiamkan. Kedua, cari cara-cara
baru. Hampir mustahil Anda mendapatkan hasil yang berbeda kalau cara yang
Anda tempuh sama dengan yang dilakukan generasi pendahulu Anda. Cara yang
ditempuh para pendahulu adalah cara yang oocok dilakukan kala tak ada
persaingan, dengan selera pasar yang masih sederhana. Oleh karena zaman
yang Anda hadapi berbada, maka gunakanlah cara berbeda.
Ketiga, latihlah diri Anda membaca hal-hal yang kasat mata namun tak
terlihat oleh banyak orang. Caranya, bangun kepedulian. Hanya orang-orang
yang peduli menjadi manusia yang sensitif terhadap suara-suara alam.
Dengarkanlah gejolak-gejolak suara alam yang keluar dari mulut dan gerakan
tubuh manusia. Niscaya dari situ Anda akan mengenali kebutuhan-kebutuhan
mereka dan mengenal perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya manusia yang
cepat menangkap gejolak-gejolak perubahan itulah yang adaptif dan mampu
membaca peluang.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
1 comment:
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [1216] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI DARSA,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 770 JUTA , wassalam.
Post a Comment