Nizar Sungkar, Jeli Melihat Peluang di Industri Farmasi
Di kalangan pengusaha daerah Jawa
Barat, namanya tak lagi asing. Dia
Menjabat sebagai Ketua Kadin Kabupaten
Karawang dan memiliki 4 perusahaan.
Di balik kisah suksesnya saat ini, ada
mata yang jeli menangkap peluang di
mana pun dia berada.
NIZAR Sungkar tidak dilahirkan sebagai
pengusaha. Memegang gelar sarjana
hukum, pada tahun 1991, dia bekerja
di kantor notaris yang memberikan jasa hukum
kepada pengusaha. Karena banyak bersentuhan
dengan para pengusaha itulah jiwa usaha Nizar
terpengaruh.
Menginjak tahun kedua bekerja sebagai pegawai,
hatinya mulai resah. Dia pun berpikir
untuk memiliki usaha sendiri atau membuka
kantor notaris sendiri. “Kita kan hidup harus
punya rencana. Okelah saya di sini 2 tahun
saja, tahun ke-3 punya kantor notaris sendiri,
tahun ke-5 punya pilihan: tetap di notaris atau
memulai usaha,” ujar Nizar sambil tersenyum.
DARI FURNITUR KE RUMAH MAKAN
Sambil bekerja di kantor notaris, Nizar mulai
melirik usaha furnitur yang dibangun
orangtuanya sejak tahun 1994. Dia mengubah
konsep penjualan furnitur menjadi penjual
jasa desain furnitur yang disesuaikan dengan
selera dan kebutuhan konsumen. Sayangnya,
ide ini kurang mendapat sambutan baik dari
masyarakat di Karawang. Nizar pun kesulitan
menggiring masyarakat untuk mengenal desain
interior. Masyarakat Karawang lebih senang
langsung membeli tempat tidur atau lemari,
ketimbang kamar tidurnya di-setting sesuai
selera dan kepribadian mereka. Sementara
orang-orang yang punya uang lebih cenderung
membeli furnitur langsung ke kota besar, seperti
Jakarta dan Bandung.
Namun, semua itu tidak membuat surut semangat
Nizar. Dengan kucuran modal dari bank
bjb sebesar Rp 35 juta, dia membuka workshop
di Jalan Moh. Toha. Usahanya lumayan berkembang
hingga mendapat plafon Rp 500 juta,
dan terus ditambah hingga total mencapai lebih
dari Rp 1 miliar.
Begitu berkembang, seperti biasa, usaha yang
diberi nama CV Madu Segara ini mulai mendapat
tantangan dengan kehadiran workshop-workshop
besar di Karawang. Nizar pun harus memutar
otak menghadapi persaingan tersebut. Dia lalu
bekerja sama dengan workshop-workshop kecil
yang dahulu pernah dibinanya. Harga barang pun
diturunkan untuk melayani segmen yang lebih
rendah. Namun, CV Madu Segara juga menerima
order desain interior. Salah satu hasil produk dan
desain interiornya menghiasi lantai 1 hingga 3
kantor Bupati Karawang.
Saat persaingan pada usaha desain interior
semakin berat, bapak 2 anak itu mulai melirik
usaha lain: rumah makan. Ide ini beranjak dari
sulitnya menemukan tempat untuk meeting dengan
mitra bisnisnya. Keluhan tersebut ternyata
juga dialami oleh kawan-kawan Nizar sesama
pengusaha di Karawang. Akhirnya dengan
dukungan bank bjb, Nizar mendirikan rumah
makan dengan ruang meeting untuk 20-40
orang yang dilengkapi peralatan hiburan.
Menurut Nizar, kesulitan bisnis rumah makan
terletak pada kepuasan pelanggan. “Kita
ingin orang yang datang ke sini merasa puas, dan
kita ingin mereka menyampaikan lagi kepuasan
tersebut kepada teman-temannya. Di sinilah
yang agak berat,” akunya. Nizar masih terus
mengembangkan usaha rumah makannya. Namun,
kesibukannya pada usaha yang lain, membuat
dia harus menyerahkan usaha tersebut
kepada istrinya.
Nizar tampaknya terus mencari peluang.
Dari usaha desain interior dan rumah makan,
Nizar merambah dunia konstruksi. Namun,
rupanya bidang ini hanya menjadi batu loncatan
untuk menjadi supplier alat kesehatan di Rumah
Sakit Umum Karawang. Dia mengamati
berbagai pengadaan segala kebutuhan yang ada
di rumah sakit tersebut. “Saya memperhatikan
orang-orang di sekitar situ. Rumah sakit kan
spesifiknya alat kesehatan, kenapa saya
menawarkan ban mobil? Kenapa saya tidak
mengirimkan alat kesehatan?” tuturnya.
PELUANG DI ALAT KESEHATAN
Membaca adanya peluang di sana, Nizar
pun mempelajari seluk-beluk alat kesehatan.
Awalnya, dia hanya memasarkan produk pihak
lain. Namun melihat peluang yang semakin
bagus, tahun 1997 ia mendirikan PT Mizindo
Mitra Karya. Perusahaan ini menyalurkan alat
kesehatan ke rumah sakit-rumah sakit. Nizar
menawarkan berbagai alat kesehatan yang
memang selalu dibutuhkan oleh RS, seperti
jarum suntik dan selang infus, hingga akhirnya
dia menguasai betul seluk-beluk bisnis ini.
Bahkan Nizar juga menyediakan tempat tidur
pasien.
Untuk memperlancar penjualannya ke Rumah
Sakit Umum Karawang, Nizar mendirikan
kantor PT Mizindo Mitra Karya di dekat rumah
sakit tersebut. Saking dekatnya, perjalanan bisa
ditempuh dengan berjalan kaki. Pemilihan posisi
yang strategis ini karena Nizar menganggap konsumen
alat kesehatan sudah sangat jelas, yaitu
ke rumah sakit. “Tidak mungkin disalurkan
langsung ke masyarakat,” urainya.
Untuk menyediakan barang, PT Mizindo
bekerja sama dengan beberapa pabrik dan
distributor yang juga sudah bergandengan dengan
banyak pabrik. Nizar memanfaatkan kelemahan
dari distributor yang menolak mengirimkan
barang pesanan ke rumah sakit jika ada 3 faktur
yang belum dibayar. “Nah, saya memanfaatkan
celah itu,” cetusnya.
Sebagai pemilik alat, distributor menawarkan
produk ke perusahaannya, lalu Nizar yang
menawarkannya ke rumah sakit. Kelebihannya,
PT Mizindo tidak perlu repot melakukan
promosi alat kesehatan, sebab tugas itu sudah
dilakukan oleh distributor dan pabrik. Di sisi
lain, distributor dan pabrik terbantu dengan
keberadaan PT Mizindo karena mereka tidak
perlu mengikuti tender. PT Mizindo yang akan
melakukannya.
“Karena cuma dagang, urusan produksi dan
promosi sudah dilakukan bersamaan dengan
distribusinya. Kita cuma sedia tenaga dan
menggarap pasar. Sementara yang menagih
pembayaran semuanya tetap mereka. Yang
memperagakan barang kesehatannya juga mereka,”
terang Nizar, yang saat ini sudah memiliki
pelanggan pada tiga rumah sakit.
Jika rumah sakit sedang kesulitan keuangan
untuk membayar, Nizar mempermudah dengan
menggandeng bank bjb untuk ikut membantu
transaksi tersebut. Bank bjb yang kemudian
membayarkan ke distributor atau pabrik,
sementara setiap bulannya rumah sakit akan
mencicil ke bank bjb. Peran PT Mizindo hanya
menjadi leasing-nya. Namun jika rumah sakit
mengalami kesulitan membayar ke bank bjb,
beberapa kekurangannya harus ikut ditanggung
oleh perusahaan Nizar.
Melihat perkembangan usahanya yang terus
meningkat, Nizar pun pamit meninggalkan
kantor notaris yang telah dijalaninya selama 7
tahun pada 1998. Dia mengembangkan usaha
alat kesehatan hingga PT Mizindo mampu juga
melayani Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten
Bekasi. “Kita pegang 2 rumah sakit saja sudah
kewalahan, Rumah Sakit Umum Karawang dan
Rumah Sakit Umum Kabupaten Bekasi. Tapi
yang paling banyak di Karawang,” terang Nizar.
GILIRAN BISNIS FARMASI
Hingga saat ini, usaha menyuplai alat
kesehatan itu bisa dikatakan ‘telah berjalan dengan
sendirinya’. Nizar hanya tinggal menunggu
laporan per bulan dari anak buahnya. Perkembangan
selanjutnya, Nizar tertarik dengan bisnis
obat-obatan. Kali ini dia terinspirasi dari
kisah pasangan suami-istri yang bekerja sebagai
apoteker. Si suami, yang merupakan saudaranya
sendiri, bekerja di pabrik obat sementara
istrinya menjadi apoteker di salah satu apotek di
Karawang.
“Saya melihat ada peluang di obat setelah
saya ngobrol-ngobrol dengan mereka,” ujar
Nizar, yang mengucurkan dana Rp 1 miliar
dari kantongnya sendiri untuk memulai usaha
ini. Setelah usaha ini mulai berjalan, Nizar
mendapat bantuan kredit Rp 400 juta dari bank
bjb. Lalu, dengan order yang semakin besar, dia
mendapat tambahan kredit lagi menjadi Rp 1,1
miliar.
Sebelumnya Nizar memang sudah mempelajari
adanya peluang di bisnis obat. Ia
melihat bahwa distributor dan pabrik obat
berskala besar hanya ada di kota Bandung.
Untuk melayani suplai obat di Karawang,
mereka membutuhkan waktu yang cukup
lama. Celah inilah yang dijadikan batu
pijakan Nizar untuk merambah bisnis farmasi
dan menganggapnya sebagai peluang yang
menjanjikan.
Tahun 2008, Nizar mendirikan PT HAS
Putra Harapan, yang diambil dari nama anak
keduanya, Hafidz Sungkar. PT HAS membidik
pasar obat-obatan ke sekitar 190 apotek (outlet)
di daerah Karawang, Subang, Purwakarta,
hingga Indramayu. Outlet di kota kecil ini
dianggapnya bisa meminimalkan persaingan
dengan distributor besar. Selain mengambil
obat-obatan langsung dari pabrik, Nizar juga
bekerja sama dengan 37 distributor obat.
Untuk mengatasi kendala waktu dan jarak
dari distributor, PT HAS menawarkan kerja
sama sehingga para distributor tidak perlu
lagi menyewa gudang dan membayar gaji
karyawan di Karawang. Pada tahun pertama,
Nizar menyediakan obat secara kelontongan ke
apotek. Namun, hal itu ternyata berisiko tinggi.
Sebab selama ini apotek di kota-kota kecil tidak
membeli dalam jumlah kartonan, hanya 1-3 slot
saja.
Oleh karena itu, PT HAS kemudian hanya
berkonsentrasi pada obat-obat tertentu saja
yang laku keras dan tidak tergoda ikut menjual
kelontongan lagi. “Kalau di obat, harus pintar
memilih siapa yang kita jadikan mitra. Kita
harus punya moril untuk membesarkannya
juga,” tutur Nizar mengenai pabrik yang menjadi
mitra kerja PT HAS. Meski begitu, dia tetap
menyuplai obat yang dibutuhkan apotek dengan
porsi yang lebih kecil. Seiring waktu, Nizar
semakin menguasai pasar. Dia membentuk tim
yang terdiri dari orang-orang yang mengenal
seluk-beluk bisnis obat, termasuk apoteker.
PUNYA APOTEK SENDRI
Kendala di bisnis farmasi tentu saja tetap ada.
Nizar melihat adanya ‘permainan’ dari hulu
hingga huir. Pabrik-pabrik obat tidak cuma
memproduksi obat, tapi juga memiliki anak
anak perusahaan yang bergerak di sektor outlet.
Outlet ini merupakan alat untuk meraup pasar
pula. Sehingga mau tidak mau, aturan tidak
tertulis ini pun harus diikuti olehnya.
“Tidak kuatlah kalau saya tidak ikut alur
mereka. Jadi, saya memutuskan untuk ikut
menjadi outlet mereka,” terangnya. Jika tidak
menjadi outlet, PT HAS semakin berat menjual
produk farmasi ke outlet karena distributor
biasanya memberi diskon langsung ke outlet.
Hal ini membuat PT HAS tidak lagi menjadi
pemain utama di Karawang. Dan pabrik atau
distributor, PT HAS mendapat keuntungan
sekitar 10-15 persen.
Di tahun kedua, Nizar melihat bahwa
keuntungan juga bisa didapat dengan menjual
langsung ke konsumen. Sementara kalau hanya
menjual ke outlet (dalam hal ini, apotek), ia
tidak bisa mendapatkan keuntungan sebanyak
yang didapatnya pada penjualan langsung
ke konsumen. Nizar pun membuka apotek,
sehingga keuntungan yang didapat lebih besar:
dari pabrik atau distributor dan dari konsumen.
Apotek yang didirikannya ini melayani segmen
bidan dan mantri kesehatan. Apotek ini juga
memberi keringanan pada mereka untuk kasbon dengan
nilai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta dan jangka waktu
pembayaran 1 bulan. Jika sudah melewati limit
peminjaman, obat hanya bisa dibeli
kembali jika utangnya sudah dilunasi.
Saat melakukan perluasan pasar, Nizar mengalami
kendala yang tidak mudah, sebab cakupan pasar sangat
bergantung pada distributor. Tiap-tiap distributor
memiliki cakupan wilayah yang berbeda,
yang diberikan untuk setiap penjual. Misalnya, obat A
yang dijual Nizar hanya boleh dijual
di beberapa wilayah yang sudah ditentukan distributor,
sementara wilayah lain sudah diperuntukkan bagi penjual
lain. Hal ini terjadi karena distributor membawahi
beberapa penjual di daerah-daerah yang berbeda.
Kalaupun ingin memperluas pasar, Nizar harus membeli
obat secara lepas, artinya tidak melalui distributor.
Dengan cara ini Nizar tidak akan terikat oleh wilayah
Yang ditentukan distributor dan dapat menjual ke daerah
sesuai keinginannya sendiri.
Risikonya, harga obat yang dijual bisa jadi lebih mahal
dibandingkan harga obat yang dibeli melalui distributor.
Akhirnya, sampai saat ini Nizar lebih memilih membeli
obat ke distributor. “Lagi pula beberapa distributor ada
yang menitipkan tenaga kerja, seperti sales, pada kami.
Kamilah yang nantinya mengurus insentif mereka,” imbuhnya.
Nizar mengakui, peran sales sangat penting dalam
bisnis ini. Merekalah yang menjajakan dan mencatat
berbagai order dan outlet outlet. Petugas sales harus
bekerja cepat untuk mengambil order dari outlet.
Jika ia lambat, kesempatan itu bisa diambil pesaing.
Meski demikian, Nizar cenderung tidak memilih petugas
sales yang sudah mahir, karena menurutnya,
kalau sudah mahir mereka suka mengelabui.
Permainan yang dilakukan petugas sales
biasanya menabrak aturan kerja. Petugas
sales yang curang seharusnya hanya bertugas
menawarkan barang, namun ia juga menerima
pembayaran. Padahal, dari mulai menawarkan,
mengorder, mengantar, hingga menagih uang,
sudah ada petugasnya masing-masing. Petugas
sales seperti ini tidak layak dipertahankan.
Karena itu, untuk urusan sales, Nizar
memutuskan untuk menyerahkan langsung ke distributor.
“Jadi saya tidak gaji petugas sales. Kalau pabrik
mau kerja sama dengan saya, saya minta
petugas sales 3 orang, sama supervisor 1 orang.
Tempat saya yang siapkan. Jadi, untuk gaji
sales, mereka yang nanggung. Profitnya penjualan
dan saya, mereka dapat fee dan pabrik,” urainya.
Nizar juga menyerahkan urusan monitoring kepada
distributor tunggal, mengingat mereka yang
membayar petugas sales. Meski begitu, Nizar
tetap memberikan trik-trik kepada petugas sales-nya
untuk melawan persaingan. Misalnya dengan melakukan
subsidi silang pada beberapa jenis obat agar
outlet atau apotek terangsang mengambil
obat dan mereka. Selain itu, petugas sales diminta
tetap melakukan pekerjaannya secara door to door
tatap muka, tidak menggunakan jejaring sosial.
“Menemui orang. Itu tetap cara yang paling efektif
untuk memasarkan obat-obatan,” ujarnya.
MANAJEMEN USAHA
Pasang surut berdagang obat kerap terjadi, tergantung pada
kondisi keuangan masyarakat di Karawang. Jika sedang ada uang,
biasanya pasien berobat ke rumah sakit. Pada saat itulah daya
beli mereka tinggi. Sementara jika sedang kurang uang, biasanya
mereka berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat generik,
yang merupakan obat bantuan pemerintah. Jika omzet sedang
turun, dievaluasi kendala-kendala yang dihadapi para petugas
sales sebagai ujung tombak penjualan.
Meski telah 3 tahun berjalan, jumlah pegawainya hingga kini
hanya 10 orang saja. Tapi Nizar benar-benar puas dengan para
karyawannya. Nizar menegaskan bahwa ia hanya mempekerjakan
karyawan profesional dengan merekrutnya melalui ikian di
media massa sekitar Karawang dan Bandung. Kalaupun ada yang
melalui rekomendasi, calon pegawai tersebut tetap harus melewati
prosedur melamar terlebih dulu.
Meski begitu, Nizar tidak ragu memberikan pelatihan
atau mengikutkan mereka pada beragam seminar demi
meningkatkan skill. Misalnya, untuk pegawai yang
mengurus masalah sumber daya manusia, diikutkan dalam
seminar motivasi. Bahkan, perusahaannya memiliki
konsultan dalam bidang SDM. Kebanyakan seminar atau
pelatihan itu merupakan undangan gratis, sehingga Nizar
tidak memiliki budget khusus untuk pelatihan karyawannya.
Pernah ada pegawainya yang diam-diam mengundurkan diri.
Belakangan Nizar tahu bahwa mereka dibajak
perusahaan obat lainnya. Meski hal ini cukup mengganggu,
Nizar tidak mau berlarut-larut dalam masalah. Ia pun
Segera mencari penggantinya, meski berarti ia harus
mengajar pegawai barunya dari awal lagi.
Demi mengembangkan PT HAS, Nizar memilih untuk
mempekerjakan saudaranya yang juga
telah memberi inspirasinya untuk terjun ke bisnis obat-obatan.
Nizar menganggap kemampuan mereka adalah hal penting
yang harus dimiliki bisnis apoteknya. Terlebih lagi,
salah satu saudaranya tersebut menjadi pengurus Pedagang
Besar Farmasi (PBF).
Untuk bisnis obatnya, mulai dari apotek dan distribusi, Nizar
sudah menerapkan sistem IT yang terintegrasi satu sama lain.
Sistem tersebut menghubungkan seluruh mata rantai usaha mulai
dari gudang hingga keuangan. Dia juga mempekerjakan pihak
ketiga untuk mengurus sistem tersebut. Pihak ketiga itu juga yang
memberikan pelatihan bagi pegawainya untuk menggunakan
sistem tersebut. Pegawainya pun cepat beradaptasi, mengingat
sistem yang digunakan adalah sistem standar yang telah
digunakan banyak orang. Namun, meski sistemnya sudah terintegrasi,
masih ada pegawai yang menerima gaji tunai. Ternyata tidak
semua pegawainya sudah memiliki rekening bank.
Sementara untuk pembayaran utang ke bank, Nizar sudah
pernah menerapkan berbagai sistem. Ada yang secara angsuran,
ada juga yang sistem investasi, yakni setahun sekali dibayar dan
bunga dibayarkan tiap bulan. Namun, Nizar tidak pernah
menggunakan sistem stand by loan.
“Saya tidak pernah menggunakan stand by loan
karena sistem tersebut baru bisa dilakukan
ketika ada kegiatan. Sementara kegiatan PT
HAS membutuhkan transaksi yang cepat.
Prosedur sistem itu terlalu lama, bisa-bisa malah
barangnya keburu diambil orang,” jelas Nizar.
Saat ini omzet PT HAS sudah mencapai Rp
300 juta per bulan dengan keuntungan bersih
hingga 10-15 persen. Namun, hal ini tak
membuatnya berhenti melihat peluang bisnis
lainnya. Nizar melihat masih ada peluang besar
dalam bisnis obat dan alat kesehatan. Malah, ia
terobsesi membuat pabrik obat dan klinik. “Saya
ingin konsentrasi ke alat kesehatan, saya ingin
bikin klinik. Target saya membuat rumah sakit.
Walaupun skalanya kecil, saya ingin bikin rumah
sakit yang beda, membuat orang nyamanlah,”
angannya.
Meski begitu, dia enggan tergesa-gesa untuk
mewujudkannya. Dia tetap melihat kemampuannya,
mulai dari urusan sumber daya manusia hingga
keuangan. “Cita-cita tinggi
dan ambisius akan membuat kita tergesa-gesa.
Padahal, jika SDM atau armada tidak kuat
dan finansial tidak mendukung, maka ambisi
tersebut akan sulit tercapai. Dalam arti lain,
mengejar cita-citanya perlahan-lahan dengan
cara menumbuhkan semua sektor terlebih
dahulu agar terjaga keseimbangan antara
kemampuan dan cita-cita,” papar Nizar berbagi
nasihat.
Nizar juga berangan-angan, dalam waktu 5
hingga 10 tahun ke depan, PT HAS bisa mempunyai
merek obat sendiri. Sebab dia tahu, semua obat
komposisinya sama, hanya mereklah yang
membuatnya berbeda. Namun, ia masih harus
menyiapkan hal tersebut dengan memperkuat
usahanya.
Catatan Rhenald Kasali
SAAT JUTAAN ORANG ‘tertutup matanya’ dan tak mampu melihat masalah sebagai
peluang, seseorang yang terbuka matanya justru melihat peluang-peluang baru
tiada henti. Ibarat membuka pintu, begitu satu pintu terbuka pintü-pintu
lain menunggu giliran itulah keajaiban yang ditemui seorang wirausaha yang
berhasil menemukan satu pintu emas.
Pintu emas memerlukan tangan emas, ÿaitu tangan yang berani masuk dengan
penuh kesungguhan. Ibarat menanam jagung, lubangnya tak perlu sedalam
menanam pohon jati. Anda perlu memahami perilaku setiap pasar dengan
menaruh tangan Anda selangkah demi selangkah. Bibit yang ditanam dalam akan
memberi hasil dalam jangka panjang, sedangkan bibit yang ditanam sejengkal
akan cepat berbuah. Yang cepat berbuah harus terus ditanam, yang
berbuah dalam waktu lama harus terus dirawat.
Orang-orang yang ‘terbuka matanya’ akan terus terbuka jalannya. Tetapi ia
Harus fokus dan berhenti berwacana, memilìh satu jalan dan
membangun istananya di atas fondasi yang kuat. Ia harus berhenti dari
kebingungan, dengan menetapkan hatinya pada satu jalan yang membawanya ke
tujuan, yaitu jalan utama. Jalan bercabang-cabang hanyalah godaan semata.
Tetaplah fokus, dalami usaha pada jalan utama dan tinggalkan jalan lainnya.
Maka bergeraklah, berjalanlah di mana pun Anda berada seperti yang ditempuh
Nizar. Mulanya Anda membangun keberanian lalu keterampilan memelihara
usaha dan mengenal masalah. Setelah itu Anda akah mengenal mana usaha yang
memberi peluang besar dan mana yang berjalan buntu. Anda juga akan
mengenal dinamikanya, hingga Anda mampu beradaptasi dan bertukar sebagai
pemenang. Ingatlah pemenang tak pernah berbenti dan hanya yang berhenti tak
pernah muncul sebagai pemenang!.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
1 comment:
Karena sering berhubungan dengan pengusaha, bisa saja seorang notaris tertarik untuk terjun ke dunia usaha, dan itu sah-sah saja
Post a Comment