Sunday, April 14, 2013

Nizar Sungkar, Mantan Notaris yang Kini Sukses Berbisnis Farmasi dengan Omzet Ratusan Juta per Bulan

Nizar Sungkar, Jeli Melihat Peluang di Industri Farmasi

 

Di kalangan pengusaha daerah Jawa

Barat, namanya tak lagi asing. Dia

Menjabat sebagai Ketua Kadin Kabupaten

Karawang dan memiliki 4 perusahaan.

Di balik kisah suksesnya saat ini, ada

mata yang jeli menangkap peluang di

mana pun dia berada.

 

NIZAR Sungkar tidak dilahirkan sebagai

pengusaha. Memegang gelar sarjana

hukum, pada tahun 1991, dia bekerja

di kantor notaris yang memberikan jasa hukum

kepada pengusaha. Karena banyak bersentuhan

dengan para pengusaha itulah jiwa usaha Nizar

terpengaruh.

Menginjak tahun kedua bekerja sebagai pegawai,

 

hatinya mulai resah. Dia pun berpikir

untuk memiliki usaha sendiri atau membuka

kantor notaris sendiri. “Kita kan hidup harus

punya rencana. Okelah saya di sini 2 tahun

saja, tahun ke-3 punya kantor notaris sendiri,

tahun ke-5 punya pilihan: tetap di notaris atau

memulai usaha,” ujar Nizar sambil tersenyum.

DARI FURNITUR KE RUMAH MAKAN

Sambil bekerja di kantor notaris, Nizar mulai

 

melirik usaha furnitur yang dibangun

orangtuanya sejak tahun 1994. Dia mengubah

konsep penjualan furnitur menjadi penjual

jasa desain furnitur yang disesuaikan dengan

selera dan kebutuhan konsumen. Sayangnya,

 

ide ini kurang mendapat sambutan baik dari

masyarakat di Karawang. Nizar pun kesulitan

menggiring masyarakat untuk mengenal desain

interior. Masyarakat Karawang lebih senang

langsung membeli tempat tidur atau lemari,

ketimbang kamar tidurnya di-setting sesuai

selera dan kepribadian mereka. Sementara

orang-orang yang punya uang lebih cenderung

membeli furnitur langsung ke kota besar, seperti

Jakarta dan Bandung.

Namun, semua itu tidak membuat surut semangat

 

Nizar. Dengan kucuran modal dari bank

bjb sebesar Rp 35 juta, dia membuka workshop

di Jalan Moh. Toha. Usahanya lumayan berkembang

 

hingga mendapat plafon Rp 500 juta,

dan terus ditambah hingga total mencapai lebih

dari Rp 1 miliar.

Begitu berkembang, seperti biasa, usaha yang

diberi nama CV Madu Segara ini mulai mendapat

tantangan dengan kehadiran workshop-workshop

besar di Karawang. Nizar pun harus memutar

otak menghadapi persaingan tersebut. Dia lalu

bekerja sama dengan workshop-workshop kecil

 

yang dahulu pernah dibinanya. Harga barang pun

diturunkan untuk melayani segmen yang lebih

rendah. Namun, CV Madu Segara juga menerima

order desain interior. Salah satu hasil produk dan

desain interiornya menghiasi lantai 1 hingga 3

kantor Bupati Karawang.

Saat persaingan pada usaha desain interior

semakin berat, bapak 2 anak itu mulai melirik

 

usaha lain: rumah makan. Ide ini beranjak dari

sulitnya menemukan tempat untuk meeting dengan

 

mitra bisnisnya. Keluhan tersebut ternyata

juga dialami oleh kawan-kawan Nizar sesama

pengusaha di Karawang. Akhirnya dengan

dukungan bank bjb, Nizar mendirikan rumah

makan dengan ruang meeting untuk 20-40

orang yang dilengkapi peralatan hiburan.

 

Menurut Nizar, kesulitan bisnis rumah makan

 

terletak pada kepuasan pelanggan. “Kita

ingin orang yang datang ke sini merasa puas, dan

kita ingin mereka menyampaikan lagi kepuasan

tersebut kepada teman-temannya. Di sinilah

yang agak berat,” akunya. Nizar masih terus

mengembangkan usaha rumah makannya. Namun,

 

kesibukannya pada usaha yang lain, membuat

 

dia harus menyerahkan usaha tersebut

kepada istrinya.

Nizar tampaknya terus mencari peluang.

Dari usaha desain interior dan rumah makan,

Nizar merambah dunia konstruksi. Namun,

rupanya bidang ini hanya menjadi batu loncatan

untuk menjadi supplier alat kesehatan di Rumah

 

Sakit Umum Karawang. Dia mengamati

berbagai pengadaan segala kebutuhan yang ada

di rumah sakit tersebut. “Saya memperhatikan

orang-orang di sekitar situ. Rumah sakit kan

spesifiknya alat kesehatan, kenapa saya

 

menawarkan ban mobil? Kenapa saya tidak

mengirimkan alat kesehatan?” tuturnya.

PELUANG DI ALAT KESEHATAN

Membaca adanya peluang di sana, Nizar

pun mempelajari seluk-beluk alat kesehatan.

Awalnya, dia hanya memasarkan produk pihak

lain. Namun melihat peluang yang semakin

 

bagus, tahun 1997 ia mendirikan PT Mizindo

Mitra Karya. Perusahaan ini menyalurkan alat

kesehatan ke rumah sakit-rumah sakit. Nizar

menawarkan berbagai alat kesehatan yang

memang selalu dibutuhkan oleh RS, seperti

jarum suntik dan selang infus, hingga akhirnya

dia menguasai betul seluk-beluk bisnis ini.

Bahkan Nizar juga menyediakan tempat tidur

pasien.

Untuk memperlancar penjualannya ke Rumah

 

Sakit Umum Karawang, Nizar mendirikan

kantor PT Mizindo Mitra Karya di dekat rumah

sakit tersebut. Saking dekatnya, perjalanan bisa

ditempuh dengan berjalan kaki. Pemilihan posisi

yang strategis ini karena Nizar menganggap konsumen

 

alat kesehatan sudah sangat jelas, yaitu

ke rumah sakit. “Tidak mungkin disalurkan

langsung ke masyarakat,” urainya.

Untuk menyediakan barang, PT Mizindo

bekerja sama dengan beberapa pabrik dan

 

distributor yang juga sudah bergandengan dengan

banyak pabrik. Nizar memanfaatkan kelemahan

dari distributor yang menolak mengirimkan

barang pesanan ke rumah sakit jika ada 3 faktur

yang belum dibayar. “Nah, saya memanfaatkan

celah itu,” cetusnya.

Sebagai pemilik alat, distributor menawarkan

produk ke perusahaannya, lalu Nizar yang

 

menawarkannya ke rumah sakit. Kelebihannya,

PT Mizindo tidak perlu repot melakukan

promosi alat kesehatan, sebab tugas itu sudah

dilakukan oleh distributor dan pabrik. Di sisi

lain, distributor dan pabrik terbantu dengan

keberadaan PT Mizindo karena mereka tidak

perlu mengikuti tender. PT Mizindo yang akan

melakukannya.

“Karena cuma dagang, urusan produksi dan

promosi sudah dilakukan bersamaan dengan

distribusinya. Kita cuma sedia tenaga dan

 

menggarap pasar. Sementara yang menagih

 

pembayaran semuanya tetap mereka. Yang

 

memperagakan barang kesehatannya juga mereka,”

terang Nizar, yang saat ini sudah memiliki

pelanggan pada tiga rumah sakit.

Jika rumah sakit sedang kesulitan keuangan

untuk membayar, Nizar mempermudah dengan

menggandeng bank bjb untuk ikut membantu

transaksi tersebut. Bank bjb yang kemudian

membayarkan ke distributor atau pabrik,

 

sementara setiap bulannya rumah sakit akan

mencicil ke bank bjb. Peran PT Mizindo hanya

menjadi leasing-nya. Namun jika rumah sakit

mengalami kesulitan membayar ke bank bjb,

beberapa kekurangannya harus ikut ditanggung

oleh perusahaan Nizar.

Melihat perkembangan usahanya yang terus

 

meningkat, Nizar pun pamit meninggalkan

kantor notaris yang telah dijalaninya selama 7

tahun pada 1998. Dia mengembangkan usaha

alat kesehatan hingga PT Mizindo mampu juga

melayani Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten

Bekasi. “Kita pegang 2 rumah sakit saja sudah

kewalahan, Rumah Sakit Umum Karawang dan

Rumah Sakit Umum Kabupaten Bekasi. Tapi

yang paling banyak di Karawang,” terang Nizar.

GILIRAN BISNIS FARMASI

Hingga saat ini, usaha menyuplai alat

 

kesehatan itu bisa dikatakan ‘telah berjalan dengan

sendirinya’. Nizar hanya tinggal menunggu

laporan per bulan dari anak buahnya. Perkembangan

 

selanjutnya, Nizar tertarik dengan bisnis

 

obat-obatan. Kali ini dia terinspirasi dari

kisah pasangan suami-istri yang bekerja sebagai

 

apoteker. Si suami, yang merupakan saudaranya

sendiri, bekerja di pabrik obat sementara

istrinya menjadi apoteker di salah satu apotek di

Karawang.

“Saya melihat ada peluang di obat setelah

saya ngobrol-ngobrol dengan mereka,” ujar

Nizar, yang mengucurkan dana Rp 1 miliar

dari kantongnya sendiri untuk memulai usaha

ini. Setelah usaha ini mulai berjalan, Nizar

mendapat bantuan kredit Rp 400 juta dari bank

bjb. Lalu, dengan order yang semakin besar, dia

mendapat tambahan kredit lagi menjadi Rp 1,1

miliar.

Sebelumnya Nizar memang sudah mempelajari

 

adanya peluang di bisnis obat. Ia

melihat bahwa distributor dan pabrik obat

berskala besar hanya ada di kota Bandung.

Untuk melayani suplai obat di Karawang,

mereka membutuhkan waktu yang cukup

lama. Celah inilah yang dijadikan batu

pijakan Nizar untuk merambah bisnis farmasi

dan menganggapnya sebagai peluang yang

menjanjikan.

Tahun 2008, Nizar mendirikan PT HAS

Putra Harapan, yang diambil dari nama anak

keduanya, Hafidz Sungkar. PT HAS membidik

pasar obat-obatan ke sekitar 190 apotek (outlet)

di daerah Karawang, Subang, Purwakarta,

 

hingga Indramayu. Outlet di kota kecil ini

dianggapnya bisa meminimalkan persaingan

dengan distributor besar. Selain mengambil

obat-obatan langsung dari pabrik, Nizar juga

bekerja sama dengan 37 distributor obat.

Untuk mengatasi kendala waktu dan jarak

dari distributor, PT HAS menawarkan kerja

sama sehingga para distributor tidak perlu

lagi menyewa gudang dan membayar gaji

karyawan di Karawang. Pada tahun pertama,

Nizar menyediakan obat secara kelontongan ke

apotek. Namun, hal itu ternyata berisiko tinggi.

Sebab selama ini apotek di kota-kota kecil tidak

membeli dalam jumlah kartonan, hanya 1-3 slot

saja.

Oleh karena itu, PT HAS kemudian hanya

berkonsentrasi pada obat-obat tertentu saja

yang laku keras dan tidak tergoda ikut menjual

kelontongan lagi. “Kalau di obat, harus pintar

memilih siapa yang kita jadikan mitra. Kita

harus punya moril untuk membesarkannya

juga,” tutur Nizar mengenai pabrik yang menjadi

mitra kerja PT HAS. Meski begitu, dia tetap

menyuplai obat yang dibutuhkan apotek dengan

porsi yang lebih kecil. Seiring waktu, Nizar

semakin menguasai pasar. Dia membentuk tim

yang terdiri dari orang-orang yang mengenal

seluk-beluk bisnis obat, termasuk apoteker.

 

PUNYA APOTEK SENDRI

Kendala di bisnis farmasi tentu saja tetap ada.

Nizar melihat adanya ‘permainan’ dari hulu

hingga huir. Pabrik-pabrik obat tidak cuma

memproduksi obat, tapi juga memiliki anak

anak perusahaan yang bergerak di sektor outlet.

Outlet ini merupakan alat untuk meraup pasar

pula. Sehingga mau tidak mau, aturan tidak

tertulis ini pun harus diikuti olehnya.

“Tidak kuatlah kalau saya tidak ikut alur

mereka. Jadi, saya memutuskan untuk ikut

menjadi outlet mereka,” terangnya. Jika tidak

menjadi outlet, PT HAS semakin berat menjual

produk farmasi ke outlet karena distributor

biasanya memberi diskon langsung ke outlet.

 

Hal ini membuat PT HAS tidak lagi menjadi

pemain utama di Karawang. Dan pabrik atau

distributor, PT HAS mendapat keuntungan

sekitar 10-15 persen.

Di tahun kedua, Nizar melihat bahwa

keuntungan juga bisa didapat dengan menjual

langsung ke konsumen. Sementara kalau hanya

menjual ke outlet (dalam hal ini, apotek), ia

tidak bisa mendapatkan keuntungan sebanyak

yang didapatnya pada penjualan langsung

ke konsumen. Nizar pun membuka apotek,

sehingga keuntungan yang didapat lebih besar:

dari pabrik atau distributor dan dari konsumen.

Apotek yang didirikannya ini melayani segmen

bidan dan mantri kesehatan. Apotek ini juga

 

memberi keringanan pada mereka untuk kasbon dengan

nilai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta dan jangka waktu

pembayaran 1 bulan. Jika sudah melewati limit

 

peminjaman, obat hanya bisa dibeli

kembali jika utangnya sudah dilunasi.

Saat melakukan perluasan pasar, Nizar mengalami

 

kendala yang tidak mudah, sebab cakupan pasar sangat

 

bergantung pada distributor. Tiap-tiap distributor

 

memiliki cakupan wilayah yang berbeda,

yang diberikan untuk setiap penjual. Misalnya, obat A

 

yang dijual Nizar hanya boleh dijual

di beberapa wilayah yang sudah ditentukan distributor,

sementara wilayah lain sudah diperuntukkan bagi penjual

lain. Hal ini terjadi karena distributor membawahi

 

beberapa penjual di daerah-daerah yang berbeda.

Kalaupun ingin memperluas pasar, Nizar harus membeli

 

obat secara lepas, artinya tidak melalui distributor.

Dengan cara ini Nizar tidak akan terikat oleh wilayah

 

Yang ditentukan distributor dan dapat menjual ke daerah

 

sesuai keinginannya sendiri.

Risikonya, harga obat yang dijual bisa jadi lebih mahal

dibandingkan harga obat yang dibeli melalui distributor.

Akhirnya, sampai saat ini Nizar lebih memilih membeli

obat ke distributor. “Lagi pula beberapa distributor ada

yang menitipkan tenaga kerja, seperti sales, pada kami.

Kamilah yang nantinya mengurus insentif mereka,” imbuhnya.

Nizar mengakui, peran sales sangat penting dalam

bisnis ini. Merekalah yang menjajakan dan mencatat

berbagai order dan outlet outlet. Petugas sales harus

bekerja cepat untuk mengambil order dari outlet.

 

Jika ia lambat, kesempatan itu bisa diambil pesaing.

 

Meski demikian, Nizar cenderung tidak memilih petugas

sales yang sudah mahir, karena menurutnya,

kalau sudah mahir mereka suka mengelabui.

Permainan yang dilakukan petugas sales

biasanya menabrak aturan kerja. Petugas

 

sales yang curang seharusnya hanya bertugas

menawarkan barang, namun ia juga menerima

pembayaran. Padahal, dari mulai menawarkan,

mengorder, mengantar, hingga menagih uang,

sudah ada petugasnya masing-masing. Petugas

sales seperti ini tidak layak dipertahankan.

Karena itu, untuk urusan sales, Nizar

 

memutuskan untuk menyerahkan langsung ke distributor.

“Jadi saya tidak gaji petugas sales. Kalau pabrik

 

mau kerja sama dengan saya, saya minta

petugas sales 3 orang, sama supervisor 1 orang.

 

Tempat saya yang siapkan. Jadi, untuk gaji

sales, mereka yang nanggung. Profitnya penjualan

 

dan saya, mereka dapat fee dan pabrik,” urainya.

Nizar juga menyerahkan urusan monitoring kepada

distributor tunggal, mengingat mereka yang

 

membayar petugas sales. Meski begitu, Nizar

tetap memberikan trik-trik kepada petugas sales-nya

 

untuk melawan persaingan. Misalnya dengan melakukan

subsidi silang pada beberapa jenis obat agar

 

outlet atau apotek terangsang mengambil

obat dan mereka. Selain itu, petugas sales diminta

 

tetap melakukan pekerjaannya secara door to door

 

tatap muka, tidak menggunakan jejaring sosial.

 

“Menemui orang. Itu tetap cara yang paling efektif

 

untuk memasarkan obat-obatan,” ujarnya.

MANAJEMEN USAHA

Pasang surut berdagang obat kerap terjadi, tergantung pada

kondisi keuangan masyarakat di Karawang. Jika sedang ada uang,

biasanya pasien berobat ke rumah sakit. Pada saat itulah daya

beli mereka tinggi. Sementara jika sedang kurang uang, biasanya

mereka berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat generik,

yang merupakan obat bantuan pemerintah. Jika omzet sedang

turun, dievaluasi kendala-kendala yang dihadapi para petugas

sales sebagai ujung tombak penjualan.

Meski telah 3 tahun berjalan, jumlah pegawainya hingga kini

hanya 10 orang saja. Tapi Nizar benar-benar puas dengan para

karyawannya. Nizar menegaskan bahwa ia hanya mempekerjakan

karyawan profesional dengan merekrutnya melalui ikian di

media massa sekitar Karawang dan Bandung. Kalaupun ada yang

melalui rekomendasi, calon pegawai tersebut tetap harus melewati

prosedur melamar terlebih dulu.

 

Meski begitu, Nizar tidak ragu memberikan pelatihan

atau mengikutkan mereka pada beragam seminar demi

 

meningkatkan skill. Misalnya, untuk pegawai yang

 

mengurus masalah sumber daya manusia, diikutkan dalam

seminar motivasi. Bahkan, perusahaannya memiliki

 

konsultan dalam bidang SDM. Kebanyakan seminar atau

 

pelatihan itu merupakan undangan gratis, sehingga Nizar

 

tidak memiliki budget khusus untuk pelatihan karyawannya.

Pernah ada pegawainya yang diam-diam mengundurkan diri.

 

Belakangan Nizar tahu bahwa mereka dibajak

perusahaan obat lainnya. Meski hal ini cukup mengganggu,

Nizar tidak mau berlarut-larut dalam masalah. Ia pun

 

Segera mencari penggantinya, meski berarti ia harus

 

mengajar pegawai barunya dari awal lagi.

Demi mengembangkan PT HAS, Nizar memilih untuk

 

mempekerjakan saudaranya yang juga

telah memberi inspirasinya untuk terjun ke bisnis obat-obatan.

Nizar menganggap kemampuan mereka adalah hal penting

yang harus dimiliki bisnis apoteknya. Terlebih lagi,

 

salah satu saudaranya tersebut menjadi pengurus Pedagang

 

Besar Farmasi (PBF).

Untuk bisnis obatnya, mulai dari apotek dan distribusi, Nizar

sudah menerapkan sistem IT yang terintegrasi satu sama lain.

Sistem tersebut menghubungkan seluruh mata rantai usaha mulai

dari gudang hingga keuangan. Dia juga mempekerjakan pihak

ketiga untuk mengurus sistem tersebut. Pihak ketiga itu juga yang

memberikan pelatihan bagi pegawainya untuk menggunakan

sistem tersebut. Pegawainya pun cepat beradaptasi, mengingat

sistem yang digunakan adalah sistem standar yang telah

 

digunakan banyak orang. Namun, meski sistemnya sudah terintegrasi,

masih ada pegawai yang menerima gaji tunai. Ternyata tidak

semua pegawainya sudah memiliki rekening bank.

Sementara untuk pembayaran utang ke bank, Nizar sudah

pernah menerapkan berbagai sistem. Ada yang secara angsuran,

ada juga yang sistem investasi, yakni setahun sekali dibayar dan

 

bunga dibayarkan tiap bulan. Namun, Nizar tidak pernah

 

menggunakan sistem stand by loan.

“Saya tidak pernah menggunakan stand by loan

karena sistem tersebut baru bisa dilakukan

ketika ada kegiatan. Sementara kegiatan PT

HAS membutuhkan transaksi yang cepat.

Prosedur sistem itu terlalu lama, bisa-bisa malah

barangnya keburu diambil orang,” jelas Nizar.

Saat ini omzet PT HAS sudah mencapai Rp

300 juta per bulan dengan keuntungan bersih

 

hingga 10-15 persen. Namun, hal ini tak

membuatnya berhenti melihat peluang bisnis

lainnya. Nizar melihat masih ada peluang besar

dalam bisnis obat dan alat kesehatan. Malah, ia

terobsesi membuat pabrik obat dan klinik. “Saya

ingin konsentrasi ke alat kesehatan, saya ingin

bikin klinik. Target saya membuat rumah sakit.

Walaupun skalanya kecil, saya ingin bikin rumah

sakit yang beda, membuat orang nyamanlah,”

angannya.

 

Meski begitu, dia enggan tergesa-gesa untuk

mewujudkannya. Dia tetap melihat kemampuannya,

 

mulai dari urusan sumber daya manusia hingga

 

keuangan. “Cita-cita tinggi

dan ambisius akan membuat kita tergesa-gesa.

Padahal, jika SDM atau armada tidak kuat

dan finansial tidak mendukung, maka ambisi

tersebut akan sulit tercapai. Dalam arti lain,

mengejar cita-citanya perlahan-lahan dengan

cara menumbuhkan semua sektor terlebih

dahulu agar terjaga keseimbangan antara

 

kemampuan dan cita-cita,” papar Nizar berbagi

nasihat.

Nizar juga berangan-angan, dalam waktu 5

hingga 10 tahun ke depan, PT HAS bisa mempunyai

merek obat sendiri. Sebab dia tahu, semua obat

komposisinya sama, hanya mereklah yang

membuatnya berbeda. Namun, ia masih harus

menyiapkan hal tersebut dengan memperkuat

usahanya.

 

Catatan Rhenald Kasali

 

SAAT JUTAAN ORANG ‘tertutup matanya’ dan tak mampu melihat masalah sebagai

 

peluang, seseorang yang terbuka matanya justru melihat peluang-peluang baru

 

tiada henti. Ibarat membuka pintu, begitu satu pintu terbuka pintü-pintu

 

lain menunggu giliran itulah keajaiban yang ditemui seorang wirausaha yang

 

berhasil menemukan satu pintu emas.

Pintu emas memerlukan tangan emas, ÿaitu tangan yang berani masuk dengan

 

penuh kesungguhan. Ibarat menanam jagung, lubangnya tak perlu sedalam

 

menanam pohon jati. Anda perlu memahami perilaku setiap pasar dengan

 

menaruh tangan Anda selangkah demi selangkah. Bibit yang ditanam dalam akan

 

memberi hasil dalam jangka panjang, sedangkan bibit yang ditanam sejengkal

 

akan cepat berbuah. Yang cepat berbuah harus terus ditanam, yang

 

berbuah dalam waktu lama harus terus dirawat.

Orang-orang yang ‘terbuka matanya’ akan terus terbuka jalannya. Tetapi ia

 

Harus fokus dan berhenti berwacana, memilìh satu jalan dan

 

membangun istananya di atas fondasi yang kuat. Ia harus berhenti dari

 

kebingungan, dengan menetapkan hatinya pada satu jalan yang membawanya ke

 

tujuan, yaitu jalan utama. Jalan bercabang-cabang hanyalah godaan semata.

 

Tetaplah fokus, dalami usaha pada jalan utama dan tinggalkan jalan lainnya.

Maka bergeraklah, berjalanlah di mana pun Anda berada seperti yang ditempuh

 

Nizar. Mulanya Anda membangun keberanian lalu keterampilan memelihara

 

usaha dan mengenal masalah. Setelah itu Anda akah mengenal mana usaha yang

 

memberi peluang besar dan mana yang berjalan buntu. Anda juga akan

 

mengenal dinamikanya, hingga Anda mampu beradaptasi dan bertukar sebagai

 

pemenang. Ingatlah pemenang tak pernah berbenti dan hanya yang berhenti tak

 

pernah muncul sebagai pemenang!.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

1 comment:

Jasa Notaris Karawang said...

Karena sering berhubungan dengan pengusaha, bisa saja seorang notaris tertarik untuk terjun ke dunia usaha, dan itu sah-sah saja