Mengawali usahanya di bidang bordir
Tasik dengan modal Rp50 ribu dan satu
Mesin jahit, kini Atik Jumaeli mampu
membawa produk andalan usaha Dewì
Bordir memimpin pasar di kelasnya.
Bahkan dia mampu menggelar produk-
produk bordirnya di berbagai negara,
mulai dari Singapura hingga Rusia.
Waktu sudah menunjukkan pukul
20.00. Kota Tasikmalaya sudah mulai sepi.
Hj. Siti Atikah Huzaemah Jumaeli, pemilik
usaha Dewi Bordir, sudah menutup tempat
usahanya yang terletak di Jalan
Panunggal No. 64, di samping Asrama Polisi
Bojong, Tasikmalaya. Namun malam itu Dewi
Bordir kedatangan tamu, seorang perempuan
dan laki-laki. Kepada perempuan yang lebih
dikenal sebagai Atik Jumaeli itu, sang tamu laki-
laki mengaku bernama Gam Aceh.
Menerima tamu pada malam hari, apalagi mengaku
bernama Gam Aceh, membuat Atik merasa kecut hatinya.
Atik baru merasa sedikit tenang ketika sang tamu
Mengaku sebagai pengusaha jasa pengiriman paket di
Jakarta. Tamu itu memberitahukan bahwa
dari pengalaman menjalani usahanya, nilai
pengiriman paket Dewi Bordir menduduki
tempat tertinggi sehingga hidung bisnis Gam
menuntunnya untuk melihat sendiri usaha Dewi Bordir.
Kepada Tuan Gam, Atik menjelaskan perihal
usahanya. Setelah melihat-lihat produk Dewi
Bordir, Tuan Gam memesan sepasang baju
bordir. Namun tak lama kemudian, Tuan Gam
menelepon seseorang dan memberikan kejutan
dengan memesan 500 pasang baju bordir serupa.
Konon, pemesanan itu berkaitan dengan sebuah
rencana pernikahan di Kerajaan Kelantan, Malaysia.
Atik terkejut bukan karena ia tak biasa menerima
banyak pesanan. Masalahnya, Tuan Gam meminta
pesanan itu selesai dalam waktu
satu setengah bulan. Apalagi Tuan Gam juga
langsung memberikan uang muka sebanyak Rp
120 juta yang dibayarkan dua kali. Total harga
untuk 500 pasang baju bordir itu Rp 360 juta.
“Sesudah tamu kami pulang, saya hanya
berpikir bagaimana cara mendapat bahan yang
cocok. Paginya saya bangun subuh, salat, dan
mengaji. Saya berdoa, memohon petunjuk untuk
bisa dapat bahan sutra nomor satu,” tutur Atik.
Selanjutnya hari-hari Atik dipenuhi oleh
usaha jungkir-balik untuk mendapatkan bahan
sutra organdi sesuai pesanan. Untuk
mendapatkan bahan itu Atik berpikir bahwa
Jakarta-lah tempatnya. Namun setelah berkeliling
Jakarta dengan susah payah dan keluar
masuk Pasar Majestik, Tanah Abang, serta Pasar
Baru, hasilnya nihil.
“Setelah empat hari berputar-putar di Jakarta
saya cuma bisa merasa kecewa dan sedih.
Beberapa kali ditilang polisi karena salah jalan.
Akhirnya saya pulang ke Tasik dengan menangis,
kecewa, dan bingung. Uang ini mau diapakan?”
kenangnya.
Sekembalinya ke Tasik, Atik mengontak
relasi bisnisnya di Pekalongan dengan harapan
bisa memberikan informasi. Tak sampai seminggu
datang kabar yang sedikit menghibur.
Atik dikenalkan pada seorang pemilik bahan.
“Alhamdulillah orangnya mau menerima. Tapi
masih ada masalah. Bahan untuk bawahan
belum ada. Saya harus pergi lagi ke Bandung
untuk mencari bahan bawahan,” tuturnya.
Di Bandung dia mendatangi enam pabrik.
Namun, hingga pabrik keenam Atik hanya
memperoleh informasi bahwa bahan itu harus
diimpor dari Cina. “Saya sedih sekali. Sudah
hampir sebulan waktu terbuang hanya untuk
mencari bahan tapi tetap nihil,” tutur Atik lagi.
Kejadian seperti di Bandung menimpa lagi
ketika Atik bergerak ke Majalaya. Rasa putus asa
mulai menghampirinya.
Lalu, dari salah satu pabrik, ada orang yang
Memberitahu bahwa bahan itu bisa dibuat dengan
cara menenun benang sutra yang dicampur
bahan sintetis. Atik langsung berbelanja benang
sutra kemudian menyerahkannya ke pabrik
tersebut untuk dibuat kain tenun. Akhirnya
bahan sutra pun jadilah. Tapi masalah baru
datang, pewarnaannya mengalami kegagalan.
Atik hampir menyerah.
Dalam kondisi hampir putus asa, Atik pergi
lagi ke Bandung untuk memesan bahan sutra
impor. Tapi Atik diminta menunggu satu bulan.
Mendengar jawaban itu Atik hanya bisa pasrah
sambil menunggu keajaiban. Ternyata keajaiban
itu benar-benar datang. Bahan itu datang.
Namun ia harus mewarnainya lebih dulu.
Jadilah selama seminggu dia hampir tak tidur
untuk mendapatkan warna yang pas. “Waktu
cuma tinggal sisa 11 hari. Pewarnaan perlu tiga
hari,” kenang Atik.
Akhirnya, bahan gulungan sepanjang
1.280 m hasil celupan itu bisa dibawa pulang
dan dikerjakan tanpa kenal waktu dan lelah.
Pekerjaan sangat berat dan sulit itu akhirnya
beres. Kurang satu hari dari waktu yang
ditentukan, Atik mampu membawa hasilnya
ke Jakarta dan menyerahkannya kepada Tuan
Gam. Tetapi ujian belum berakhir juga. Sesampainya
di Jakarta “kejutan” muncul lagi. Tuan
Gam meminta tambahan 50 pasang lagi. Atik
pun menyanggupinya.
Anda mungkin deg-degan membaca cerita di
atas. Sudah kepepet waktu, uang sudah diterima,
bahan-bahan sulit dicari, sementara waktu berjalan
terus. Tetapi drama ini belum selesai.
Perjalanan dramatis untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi pelanggan barunya
memang hampir berakhir. Setelah semuanya
beres, “kejutan” terakhir datang. Kali ini berkaitan
dengan hitung-hitungan hasil jerih payahnya
selama satu setengah bulan. Semula
dia menghitung keuntungannya bisa mencapai
Rp 80 juta. Namun di ujung hari, ternyata Atik
hanya memperoleh keuntungan Rp 20 juta
ditambah sisa baju. Apa reaksinya?
“Ya, saya merasa kecewa. Tapi saya tetap
merasa bersyukur karena bisa mengatasi tantangan
dan menjaga kredibilitas Dewi Bordir,”
tutur Atik mengakhiri kisah yang tak pernah dia
lupakan seumur hidupnya. Atik mengaku peristiwa itu
menjadi pembelajaran untuk ‘naik kelas’
di dunia usaha yang dia tekuni maupun hidupnya sebagai
pribadi.
JATUH BANGUN DARI TITIK “NOL”
Atik Jumaeli boleh jadi tak akan lulus menghadapi
“ujian” yang datang dari orang seperti
Tuan Gam, andai saja ia belum teruji. Perempuan
Tasik ini sudah kenyang dengan pengalaman
jatuh-bangun sejak memulai usahanya dari nol.
Atik merintis Dewi Bordir pada tahun 1991, ketika
suaminya, Jumaeli, masih aktif bertugas sebagai
polisi berpangkat inspektur satu di Poires
Tasikmalaya. Sebagaimana istri polisi pada umumnya,
Atik wajib menjadi anggota Bhayangkari, organisasi
istri Poiri. Saat itu Bhayangkari banyak
melakukan kegiatan bersama Dharma Pertiwi, organisasi
istri TNI. Salah satu program yang mereka jalankan
ialah kegiatan ekonomi produktif, di mana
para anggota Bhayangkari dan Dharma Pertiwi diberi
fasilitas permodalan dan alat kerja. Atik termasuk
anggota Bhayangkari yang menerima modal sebesar Rp 50 ribu
dan satu unit mesin jahit untuk usaha kain bordir.
Usaha ini menjadi pilihan karena Tasik dikenal
sebagai kota industri kerajinan kain bordir.
Bahkan bordir telah menjadi salah satu identitas
masyarakat Tasik, selain anyaman mendong.
Hasil laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Budaya
dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI
menunjukkan bahwa industri kain bordir di Tasik terus
memperlihatkan perkembangan yang signifikan,
bahkan ketika Indonesia mengalami krisis
ekonomi tahun 1997 hingga selepas tahun
2000. Dari delapan kecamatan yang ada di
Tasik, empat di antaranya bergerak di bidang
usaha pembuatan kain bordir, yaitu Cibeureum,
Cipedes, Mangkubumi, dan Kawalu.
Pada tahun 2005, terdapat setidaknya 1.092
unit usaha bordir yang melibatkan 10.380 perajin.
Kecamatan Kawalu tercatat sebagai wilayah
yang memiliki pelaku usaha kerajinan bordir
paling banyak, yaitu 87,7 persen dari total perajin
bordir di Tasik. Di kecamatan ini, terutama di
Desa Tegalsari, terdapat banyak pengusaha kain
bordir berskala besar seperti Thratex, Purnama,
Ciwulan, Haryati, dan Bunga Tanjung. Total
produksinya mencapai 7,2 juta potong per tahun.
Nilai produksi bordir di Tasik telah mencapai
angka lebih dari Rp 500 miliar dan mampu
menyerap ribuan tenaga kerja.
Pada dekade 1990-an ketika Atik memulai
usahanya, produk bordir Tasik telah jauh berkembang
dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Saat itu
produk bordir didominasi oleh busana muslim, termasuk
baju garnis, mukena, jilbab, baju koko, dan kopiah.
Jauh sebelumnya, yakni pada dekade 1960-an, jenis bordir
yang dihasilkan hanyalah kebaya dan pakaian tradisional
Cina karena pemesan produk ini kebanyakan kalangan
etnis Tionghoa. Sejak dekade 1970-an, setelah mesin
bordir bertenaga listrik muncul di Tasik, jenis produk
bordir yang dihasilkan pun meluas ke jenis kain untuk
interior ruangan (home interior), seperti seprai,
taplak meja, gorden, dan lain-lain. Namun
pada dekade 1980-an jenis kain bordir yang
diproduksi mulai bergeser ke busana muslim
yang kemudian berkembang hingga kini.
Ketika mulai merintis usahanya itu, Atik
belum pernah menjalani satu jenis usaha pun.
Sebelum menikah dengan Jumaeli, Atik adalah
karyawan sebuah kantor konsultan hukum.
Namun Atik bukan pribadi yang asing dengan
dunia jahit-menjahit. Anak kelima dari 10 bersaudara
H. Saun dan Hj. Sitj Huzaemah ini tumbuh dalam keluarga
penjahit pakaian wanita. Ibunya dikenal sebagai penjahit
kebaya di Cikalong, Tasik. Selain itu Atik sendiri
pernah mengambil kursus menjahit selama 6 bulan di
tempat kursus ‘Abadi’ di Tasik.
Meski demikian, Atik mampu mengembangkan kemampuannya
menjadi sesuatu yang menghasilkan bermodalkan
kemauan bekerja keras, disiplin, ulet, dan kreatif.
Karakter-karakter seperti itu merupakan modal
penting bagi mereka yang ingin terjun di
bidang kerajinan. Selain itu, yang tak kalah
pentingnya adalah intuisi bisnis yang tajam
dalam menangkap pasar. “Usaha kerajinan bordir
memang menuntut pelakunya gigih, ulet, tekun,
dan kreatif. Orang-orang seperti itulah
khususnya kaum perempuan, yang membuat Tasik dikenal
sebagai kota bordir,” katanya. Sejumlah sumber menyebutkan
bahwa dari tangan orang-orang seperti itulah, lahir kain
bordir bermotif alam, terutama flora, yang indah dan
menjadi ciri bordir Tasik.
Sadar sebagai pemula, Atik menjalani usahanya dengan sabar
dan tekun hingga tahun pertama usahanya
terlewati. Memasuki tahun kedua, Atik terus
bergerak perlahan namun pasti, sementara para
koleganya yang dulu sama-sama memperoleh
modal seperti dirinya mulai berguguran. Selepas
tahun kedua, perjalanan usaha Atik semakin mantap.
Pada tahun 1996, Atik ingin Dewi Bordir
memiliki badan hukum. Lahirlah kemudian CV
Dewi Nugraha. Atik juga mendapatkan suntikan
modal dari hasil arisan sebesar Rp 500 ribu.
Dana itu dia gunakan untuk membayar uang
muka mesin jahit baru merek Zuki seharga Rp
3,5 juta. Sisa utangnya dilunasi dengan mencicil.
Namun perjalanan usaha Dewi Bordir
tidak selalu mulus. Pada tahun 1997 usaha ini
pernah jatuh. Ketika itu, Dewi Bordir menerima
pesanan 1.000 lusin tatakan dan tutup gelas
senilai Rp 67 juta. Tetapi krisis ekonomi yang
meluluhlantakkan Indonesia mengakibatkan
uang hasil pesanan tersebut tak tertagih. Kondisi
Dewi Bordir pun sempat terganggu.
Hal serupa juga terjadi pada 2007, ketika
Dewi Bordir menerima pesanan busana bordir
sebanyak 400 pasang untuk dikirim ke Brunei.
Pesanan sempat membengkak menjadi 550 pasang
namun hanya 400 pasang saja yang dibayar
sehingga Dewi Bordir tekor hingga Rp 45 juta.
Nasib nahas lainnya juga harus menimpa
Dewi Bordir. Suatu hari karyawan Dewi Bordir
menerima pengembalian barang yang sudah
dibeli orang. Namun setelah dibuka dan diteliti,
ternyata yang dikembalikan itu bukanlah produk
Dewi Bordir. “Dewi Bordir ketiban nahas akibat
kelakuan yang enggak sehat dari orang lain,” ujarnya.
Selain itu Dewi Bordirjuga pernah melakukan
kesalahan pengukuran ketika mendapatkan
pesanan baju koko sebanyak 20 kodi sehingga
harus menanggung semua kerugian. “Pernah
juga kami kena provokasi yang menyebut produk
kami mahal,” kata Dewi mengenang berbagai
peristiwa yang menimpa Dewi Bordir.
Sebagai lembaga bisnis dengan 30 orang
karyawan dan lebih banyak lagi karyawan
musiman pada saat pesanan meningkat, Dewi
Bordir tak luput dari gesekan internal. Umumnya
gesekan terjadi karena keluarga atau para
karyawan yang terlibat dalam bidang produksi
saling bersikukuh bertahan dengan tren yang
akan dilansir.
“Saya tipe orang yang suka bereksperimen
memasukkan produk-produk nonkonvensional
dan mencoba bertahan dengan sikap saya.
Mungkin itu yang sering menimbulkan gesekan,
baik dengan keluarga maupun karyawan,” katanya.
Namun Atik Jumaeli meyakinkan bahwa
setiap Dewi Bordir menghadapi masalah dari
luar, hal pertama yang mereka lakukan adalah
berusaha tidak panik dan saling menyalahkan.
“Kuncinya sadar dan sabar. Lalu bersama-sama
mencari penyebabnya dan bersama-sama juga
mencari jalan keluar,” katanya.
MENGELOLA SUMBER DAYA MANUSA
Sebagaimana dunia usaha bordir di Tasik pada
umumnya, Dewi Bordir juga harus menghadapi
masalah dari dalam berupa masalah tenaga
kerja. Walau mesin bordir dan mesin jahit
yang digunakan belum mengalami pembaruan
teknologi, tetapi pelatihan menggunakan
mesin tersebut tetap harus dilakukan pada
karyawan baru. “Tergantung, kalau karyawan
sudah memiliki pengetahuan cukup tentang menjahit,
maka gampang dilatih. Tetapi karyawan yang masih
baru sama sekali, memang agak
sedikit sulit,” jelas Atik.
Upah tenaga kerja berpengalaman di industri
bordir di Tasik mencapai Rp 1,2 juta
per bulan. Sementara UMR di Tasik hanya sebesar
Rp 680 ribu per bulan. Oleh sebab itu
mudah dijumpai karyawan yang keluar-masuk. “Kami
sadar bahwa di dunia bordir karyawan mudah
sekali keluar masuk. Dewi Bordir tidak
sendirian,” kata Atik seraya menduga banyak pengusaha
bordir tidak membuat kontrak kerja dengan karyawannya.
“Mungkin karena usaha bordir masih luas,” Atik
Menambahi keterangannya.
Untuk membuat orang merasa kerasan bekerja di Dewi
Bordir, Atik membangun pola hubungan kerja yang
manusiawi dan berusaha memberikan lebih kepada
karyawannya. Selain upah yang lebih tinggi dari UMR,
Atik memberikan insentif bagi mereka yang bekerja lebih.
Atik juga memberikan kesempatan kepada karyawan yang
ingin mandiri. Dari 30 karyawannya, ada tujuh orang yang
telah mandiri. Atik merasa bangga kepada mereka karena
pola pikir mereka memang melebihi dirinya. “Karena itu
saya sangat mendukung mereka. Malah saya mendorong mereka
untuk berani mengajukan bantuan modal ke bank bjb. Saya
katakan ‘Ibu jadi jaminannya’,” ujar Atik bangga.
Dengan cara tersebut Atik yakin bahwa hubungan Dewi Bordir
dengan mantan karyawan akan tetap terjaga. Apalagi di dunia
bordir situasi saling membutuhkan memang sangat tinggi.
Dewi Bordir akhirnya membuat anak usaha berupa lembaga
kursus atau pelatihan membordir, khusus bagi kaum muda Tasik.
Lembaga ini didirikan demi tersedianya sumber daya manusia
atau tenaga terampil di bidang bordir yang dapat diandalkan
untuk masa depan. Tempat kursus ini berada di bawah CV Dewi
Nugraha, badan hukum yang menaungi usaha Dewi Bordir.
Kegiatan kursus di Dewi Bordir ini dibagi menjadi dua kelas,
yakni kelas besar dan kecil. Kelas besar berisi 75 peserta setiap
angkatan dengan masa kursus selama tiga bulan. Dalam satu
tahun Dewi Bordir mampu menyelenggarakan tiga kali pelatihan.
Sedang kelas kecil terdiri dari 20 peserta dengan
masa kursus satu bulan. “Tempat kursus ini kami dirikan untuk
mendidik generasi muda agar mereka punya
kemampuan membordir sekaligus menciptakan
generasi penerus seni bordir Tasik. Ini juga
untuk membantu pemerintah mengurangi pengangguran,” kata Atik.
Melalui lembaga pelatihan ini Atik bersama
keluarga dan karyawan Dewi Bordir membuktikan bahwa
mereka benar-benar mampu melahirkan sumber daya manusia
yang andal di bidang bordir sehingga masyarakat dan
pemerintah pun memercayainya. Hal itu terlihat pada
banyaknya peserta kursus serta kepercayaan
yang diberikan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Tasikmalaya, juga beberapa BUMN untuk menjalin
kerjasama dengan CV Dewi Nugraha. Dalam kerja sama ini
instansi atau perusahaan menyediakan dana, sementara
Dewi Bordir bertanggung jawab atas proses pelatihannya.
Program ini sebenarnya merupakan beasiswa
bagi anak-anak muda. Para siswa yang mengikuti program
ini tidak perlu membayar uang kursus. Sebaliknya,
mereka bahkan mendapat uang saku sebanyak Rp 30 ribu per hari.
Selama tiga bulan, mereka mengikuti tiga tingkat pelatihan,
yaitu: tingkat dasar, tingkat terampil, dan
tingkat mahir. Para siswa yang lulus umumnya
sudah siap ditampung oleh perusahaan-perusahaan
bordir yang membutuhkan. Perusahaan bordir kain yang
membutuhkan tenaga kerja pun hanya perlu menghubungi
Dewi Bordir. Dewi Bordir juga kerap menjadi tempat magang
atau PKL (Praktik Kerja Lapangan) bagi pelajar
SMK dan perguruan tinggi. Banyak sekolah dan
kampus mengirimkan anak didik atau mahasiswa
mereka agar bisa menjalani masa magang atau PKL di sini.
KEJELIAN MEMILIH PRODUK ANDALAN
Seraya menjalani usahanya, Atik menyempatkan
diri untuk meningkatkan berbagai keterampilan yang
menunjang bisnisnya. Dia rajin mengikuti pelatihan
pemasaran dan manajemen.
Di samping itu Atik juga terus mengasah bakat
menggambarnya yang sangat mendukung usahanya,
terutama dalam menciptakan desain barang-barang
yang akan diproduksi.
Secara sekilas tatakan dan tutup gelas bordir
berdiameter lima hingga delapan sentimeter
sebagai produk andalan Dewi Bordir tampak
sederhana. Namun Atik mencoba memberikan
nilai tambah, yakni sulam timbul. Selain itu
Atik juga menciptakan produk serupa berbahan
perca. Semua produknya tampil dengan motif
bunga atau bintang berwarna-warni.
Meskipun sederhana, tatakan dan tutup gelas
justru menjadi pemimpin pasar untuk seluruh
produk Dewi Bordir, bahkan produk serupa di
Tasik. Produk-produk ini juga membawa Tasik
memperoleh kebanggaan. Sebab, tatakan dan
tutup gelas Dewi Bordir menjadi salah satu
produk UKM Tasik yang diekspor. Prestasi ini
menjadikan Dewi Bordir sebagai UKM yang
banyak memperoleh fasilitas dari pemerintah
atau lembaga lain.
Atik tentu bukan sosok yang naif. Ia tidak
ingin Dewi Bordir memenjarakan diri dengan
hanya memproduksi tatakan dan tutup gelas.
Dewi Bordir juga memproduksi produk bordir
lain yang diminta pasar seperti sarung bantal
termasuk untuk bantal kursi—taplak, tas,
batik, serta busana muslim dan kelengkapannya.
Bahkan Atik juga berhasil membawa Dewi
Bordir melahirkan produk busana yang kerap
tampil dalam acara peragaan busana, yaitu
busana muslim, busana resmi, dan busana
Sunda kontemporer. Saat ini Dewi Bordir
mampu memproduksi 500 baju bordir pesanan
hanya dalam waktu 2 bulan. Rentang waktu tersebut
sudah termasuk dari waktu perancangan,
mencari bahan, hingga waktu produksi.
Pengalaman menjalani usaha dari bawah
ternyata membuat intuisi bisnis Atik Jumaeli
terlatih membaca pasar. Hal ini melandasi Atik
saat memilih tatakan dan tutup gelas menjadi
produk andalan Dewi Bordir. Awalnya, Atik
memasarkan produk-produk tersebut pada
acara-acara arisan, bazar, dan pameran yang
melibatkan ibu-ibu anggota Bhayangkari dan
Dharma Pertiwi di Tasik. Setelah mulai di
kenal, Dewi Bordir tampil secara rutin pada
ajang serupa di Tasik maupun kota-kota lain di
Jawa Barat.
Pada tahun 2003, ketika produksi bordir di
Tasik telah mencapai angka Rp 300 miliar, Dewi
Bordir juga mengalami perkembangan. Pasarnya
bukan hanya ada di dunia arisan atau pameran,
melainkan pasar sesungguhnya. Kejelian menangkap
pasar dan cara memasarkan produk,
membuat Jakarta dan sejumlah kota lain mulai
mengenal produk Dewi Bordir.
KELUARGA DAN PENGEMBANGAN USAHA
Di balik sosok yang sukses selalu ada pendukung yang
hebat. Para pendukung itu pula yang selama ini
membuat Atik selalu merasa bersemangat
dan gigih dalam menjalani usahanya.
Jumaeli, suaminya, menurut Atik adalah sosok pendukung
yang hebat. Di luar tugasnya sebagai anggota Poires
Tasik, Jumaeli selalu siap memberikan bantuan dan dukungan
nyata yang dia perlukan. Demikian pula keempat anak
mereka, Budi Mulia, Dewi Fuji Fitriarti, Cecep Ibnu, dan
Jajang Nugraha. “Saya merasa menjadi lebih
bersemangat karena suami dan anak-anak sangat mendukung
usaha ini,” tuturnya. Budi, anak pertama, setelah lulus
kuliah banyak membantu di bidang pemasaran. Demikian
pula Dewi yang masih kuliah di Sekolah Tinggi Tekstil Bandung.
“Bahkan saya dan bapaknya berharap mereka bisa bekerja
sama melanjutkan usaha ini menjadi lebih besar lagi,”
katanya.
Khusus tentang Budi, Atik berterus terang
sangat memerlukan tenaganya, terutama saat
Atik harus mengikuti pameran di luar negeri.
Sebab sudah sejak beberapa tahun terakhir
Dewi Bordir kerap melakukan pameran di luar
negeri. Bahkan, untuk beberapa negara pameran
telah berlangsung secara rutin. Di Malaysia,
misalnya, Dewi Bordir telah melakukan pameran
sebanyak lima kali, di Singapura sudah
berlangsung tiga kali, di Brunei dua kali, dan di
Dubai sekali.
Pada April 2011 Atik melakukan pameran
lagi ke sejumlah negara, yakni Arab Saudi,
Jerman, dan Rusia. “Jadi meskipun hanya
tatakan dan tutup gelas, produk Dewi Bordir
sudah pernah berjalan-jalan ke luar negeri.
Malah sebagian sudah menetap di luar negeri,”
katanya berseloroh.
Karena kinerjanya itu pula, pada tahun
2006 usaha ini terpilih sebagai salah satu
UKM yang mendapatkan fasilitas permodalan
dari bank bjb. Meskipun enggan menyebutkan
jumlahnya, Atik mengakui dana tersebut ikut
membantu usahanya lebih berkembang dan
mampu membayar pinjaman dengan disiplin.
Adapun cara pembayarannya pertama adalah
dengan selalu membayar bunga pinjaman setiap
bulannya. Sementara pembayaran pinjamannya
dilakukan ketika mendapatkan untung dari pesanan besar.
Dewi Bordir sempat memperoleh pinjaman
modal lagi. “Tapi selanjutnya kami tak ingin di
pinjami lagi karena sudah punya modal sendiri
dari usaha yang ada,” ujar Atik. Kedisiplinan
adalah kunci lancarnya pembayaran pinjaman
Atik ke bank.
Dengan dukungan keluarga dan karyawan, Atik
juga telah mengantar Dewi Bordir
menerima sejumlah penghargaan sekaligus
kemudahan. Selain sering menerima fasilitas
pameran secara gratis, Dewi Bordir juga menerima
fasilitas berupa ruko di Asia Plaza, Jalan
Hajat Mustofa nomor 8, Tasikmalaya. “Saya sangat
menghargai tempat ini karena ini fasilitas yang
kami dapat setelah produk-produk Dewi Bordir
terpilih sebagai produk unggulan bordir Tasik,”
katanya.
Atik juga mengakui bahwa perhatian pemerintah
cukup membantu. Dewi Bordir sering
mendapatkan fasilitas pameran, baik di tingkat
lokal, nasional, maupun internasional. Selain
pameran, Presiden pada masa itu, Megawati
Sukarnoputri, memberikan penghargaan berupa fasilitas
HAKI pada produk Dewi Bordir yang telah mampu
memproduksi barang yang memiliki nilai tradisional
khas Indonesia. Dari usaha kerasnya dan berhasil
mendapatkan penghargaan itu, omzet yang dicapai
Dewi Bordir mencapai sekitar Rp loo juta per
bulan atau lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Dan,
dari omzet tersebut Atik meraih keuntungan
bersih sebesar 20 persennya.
MENYIAPKAN PASAR KE DEPAN
Pengalaman mengelola usaha selama bertahun-
tahun dan kejelian Atik Jumaeli membaca pasar
telah membawa Dewi Bordir pada posisi harus
mampu memilih segmen pasar yang tepat.
Menurut Atik, Dewi Bordir sedang merintis
jalan untuk masuk ke segmen pasar menengah
ke atas. Alasannya, “Di segmen ini kondisinya
lebih stabil,” katanya.
Atik mengaku sangat sadar bahwa di segmen
ini dia akan menghadapi pemain yang hebat-
hebat. Untuk memenangi pasar dia terus meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan.
Selain itu Dewi Bordir gigih menciptakan desain-
desain baru yang sesuai dengan tuntutan pasar.
“Untuk tahu pasar kami mencari informasi dari
internet atau majalah,” ujarnya.
Namun Atik juga berusaha profesional dan
memegang etika usaha. Dalam membuat desain,
misalnya, Dewi Bordir tidak mau menjiplak
karya orang lain. “Kalaupun terpaksa harus
mengikuti tuntutan pasar, kami melakukan
modifikasi atas tren yang sudah ada,” tuturnya.
Terkait bahan-bahan yang diperlukan, pada
umumnya usaha kerajinan bordir di Tasik jarang
mengalami kendala. Bahan dasar yang banyak
digunakan dalam usaha bordir di wilayah ini
ialah sutra. “Untuk bahan dasar, selama ini
masih bisa didapat dengan mudah,” ujar Atik.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tasikmalaya
menyebutkan bahwa untuk bahan baku
kain dan benang bordir, para pengusaha memperolehnya
dari sejumlah pabrik yang ada di
Bandung, Jepara, dan Pekalongan. Sebagian besar
menggunakan produk lokal, hanya sebagian
kecil yang diimpor dari negara lain.
Namun menurut Atik, jika pengusaha bordir
menerima pesanan mendadak dalam jumlah
besar, sementara bahan tidak mudah didapat di
Indonesia, maka mereka jelas kelabakan. “Jangan
sampai para pengusaha bordir menghadapi
masalah yang pernah saya alami. Cukup saya
saja yang menghadapi pengalaman seperti itu,”
katanya merujuk pada pesanan Tuan Gam yang
membuatnya kalang-kabut karena bahannya
sukar dicari di Indonesia.
Untuk urusan pemasaran dan promosi, Dewi
Bordir relatif tidak mendapatkan kesulitan.
Selain mempertahankan promosi dan mulut ke
mulut melalui ajang arisan, bazar, dan pameran,
Atik juga menempuh cara pemasaran yang
lazim ditempuh para pengusaha bordir Tasik
pada umumnya, yakni memasarkan sendiri ke
Jakarta dan beberapa kota lain. Sentra-sentra
pakaian di Jakarta, seperti Pasar Tanah Abang
dan Cipulir adalah sasaran mereka.
Namun, menurut data Dinas Perindustrian
dan Perdagangan, pengusaha bordir yang sudah
terkenal tidak perlu memasarkan sendiri karena
pemesan datang sendiri ke tempat usaha mereka.
Sebagian besar kain bordir mereka diborong oleh
para distributor, yang kemudian menjualnya
kembali ke kota-kota lain. Distributor juga
bertindak sebagai agen pengekspor kain bordir
ke negara-negara lain seperti Malaysia, Arab
Saudi, Brunei Darussalam, dan Yordania.
Para pengusaha kain bordir di Tasik juga telah
mendirikan organisasi Gabungan Pengusaha
Bordir Tasikmalaya (GAPEBTA). Di samping
membantu permodalan, organisasi ini juga bertujuan
membantu anggotanya mencari strategi
agar tercipta jaringan pemasaran produk.
GAPEBTA telah berhasil mencarikan kios-kios
bagi anggotanya untuk berjualan di berbagai
kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Solo, dan
Yogyakarta. Khusus untuk Jakarta, kios-kios
pengusaha dari Tasik dapat ditemui di Pasar
Tanah Abang. GAPEBTA memiliki anggota
hingga 8oo orang pengusaha kain bordir, dan
lebih dari separuhnya memiliki kios-kios di
kota-kota besar.
Namun Atik juga punya keyakinan bahwa
barang yang berkualitas selalu punya jalannya
sendiri untuk mencapai sasarannya. Oleh sebab
itu, selain terus berusaha memperluas pasar,
Atik juga sangat menjaga kualitas produknya.
Dengan sikap seperti itu, pasar Dewi Bordir terus
meningkat, dari lokal ke nasional, dan akhirnya
internasional.
Meskipun demikian, Atik tidak ingin semua
awak Dewi Bordir, termasuk dirinya, berleha-
leha. Mereka mulai belajar memanfaatkan
teknologi internet untuk mencari informasi dan
peluang memasarkan produk-produknya. Namun
sarana ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Dewi Bordir, misalnya, belum memiliki situs khusus.
Pada awal 2011 Atik merintis pembukaan
cabang Dewi Bordir di Season City, Jakarta
Barat, dengan tujuan membawa usaha ini
lebih profesional. Namun, seperti kata pepatah
‘setiap permulaan selalu sulit’, maka tampaknya
sampai saat ini dewi fortuna belum berpihak
pada Dewi Bordir. Karena masih sepinya mall
baru tersebut, Dewi Bordir mengalami kerugian,
sehingga cabang tersebut harus ditutup. Meski
demikian, kejadian tersebut tidak membuat
Atik putus asa. Ia masih memiliki satu cabang
lainnya di UKM Gallery, Smesco, Jakarta. Untuk
menjaga agar pasar tetap mencarinya, Dewi
Bordir menyewa konsultan manajemen untuk
melakukan quality control.
“Saya ingin maju seperti Dewi Motik
Pramono (mantan Ketua Umum Ikatan Wanita
Pengusaha Indonesia). Saya ingin membawa
Dewi Bordir menjadi perusahaan ekspor yang
maju,” demikian tutur Siti Atikah Huzaemah
Jumaeli mengakhiri kjsah perjalanan usaha
dan cita-citanya ke depan.
Catatan Rhenald Kasali
Salah satu syarat bagi pengusaha UMKM untuk naik kelas adaiah ‘berani dan
mau melakukan hal-hal yang sulit’. Anda mungkin masih ingat penstiwa
manusia yang mendarat di bulan pada 1969. Saat itu terbang ke bulan
suatu keniscayaan, tetapi di bawah J F Kennedy, Amerika Serikat berhasil
melakukannya.
Dalam suatu ceramah di Texas, Kennedy menjelaskan, “Ketika bangsa-bangsa
lain mengembangkan teknologi untuk mendaratkan manusia ka puncak gunung,
Kita justru memilih teknologi untuk mendaratkan manusia ke bulan. Mengapa
ke bulan? Jawabnya adalah karena pertama kita tidak ingin dilihat oleh
Rusia dari atas bumi kita dan kedua karena ini tidak mudah. Kita memilih
terbang ke bulan bukan karena mudah dan hanya bangsa yang mau
melakukan hal-hal yang sulit itulah yang akan menjadi bangsa yang hebat.”
Saya membuka kisah naik kelas Atik Jumaeli dengan keberaniannya menerima
order yang sulit sekali untuk ia penuhi. Orang-orang yang mengambil risiko
seperti ini adalah crang-orang yang mau bergerak dan mau berpikir.
Saya pikir orang-orang lain yang mendengar keluhannya akan mengatakan
‘Gila! Berani amat, sih mengambil risiko?”
Mayoritas manusia memang hanya mengambil langkah-langkah yang gampang dan
tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Bahkan melakukan perjalanan ka luar
negeri pun harus bergerombol dan diantar orang yang sudah tahu lebih dulu.
Kalau sudah begitu, Anda jadi bisa duduk tenang yang artinya tak perlu
Berpikir. Santai.
Tapi Anda tak tahu banyak. Anda takut tersasar bukan? Kata Columbus “Orang-
orang yang tak berani kesasar tak akan pernah menemukan jalan baru.”
Demikianiah Atik Jumaeli naik kelas karena ia mau berpikir, rela kesasar
Tetapi ia menemukan cara-cara dan keberanian-keberanian baru. Bagi sebagian
orang, hal ini memang sangat meletihkan. Tetapi, itulah yang membuat
pikiran manusia mandapatkan tempat terhormat, di atas kepala. Ia menjadi
komandan karena aktif digunakan dan cermat memberi perintah. Seperti kata
pepatah ‘bukan kaki yang menggerakkan langkah kita, melainkan pikiranlah’,
Ayo, beranilah melakukan hal-hal yang sulit!
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
1 comment:
Selamat siang semuanya !!
Nama saya Tn. Rashid Husaen dan saya berasal dari Jawa Barat, Indonesia dan saya berbicara sebagai salah satu orang paling bahagia di dunia saat ini dan saya mengatakan pada diri sendiri bahwa pemberi pinjaman menyelamatkan keluarga saya dari situasi buruk kami, saya akan memberi tahu namanya kepada dunia. dan saya sangat senang mengatakan bahwa keluarga saya kembali selamanya karena saya membutuhkan pinjaman sebesar Rp300.000.000,00 untuk memulai hidup saya karena saya adalah seorang ayah tunggal dengan 5 anak dan dunia sepertinya mengandalkan saya ketika saya mencoba untuk mendapatkan pinjaman Dari bank dan bank online menolak pinjaman saya, mereka mengatakan bahwa penghasilan saya rendah dan saya tidak memiliki jaminan untuk pinjaman jadi saya online dan hal-hal semakin sulit karena mereka merobek uang saya dari saya dengan janji manis untuk membantu saya
Sampai saya melihat pos ibu Nyonya Maria dari sebuah blog dan saya memohon padanya, dia memberi saya semua syarat dan ketentuan dan saya setuju dan dia mengejutkan saya dengan pinjaman yang mengubah hidup saya dan keluarga saya, dan pada awalnya saya berpikir ini tidak mungkin terjadi karena pengalaman masa lalu saya dan janji-janji palsu tetapi saya terkejut, saya menerima pinjaman saya sebesar Rp300.000.000,00 dan saya akan menyarankan siapa pun yang benar-benar membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Nyonya Maria Alexander wanita kata-katanya, melalui email : (Mariaalexander818@gmail.com) karena mereka adalah pemberi pinjaman yang paling memahami dan baik. siapa pun yang ingin pinjaman atau cara mendapatkan pinjaman asli, harus menghubungi Via
email: (mariaalexander818@gmail.com)
whatsapp: (+1 651-243-8090) Viber; (+1 651-243-8090)
Anda dapat menghubungi saya Ny. Rashid untuk informasi lebih lanjut (rashidhusaen18@gmail.com)
Allah Maha Besar
Terima kasih semuanya
Post a Comment