Sanin, Berkah Garam Seorang Tukang Becak
Sepuluh tahun bertekun mengayuh becak
tak membuat Sanin menyerah begitu saja
terhadap nasib. Keringat yang mengucur
akhirnya mengkrista1 bagai garam.
Asinnya garam membuat kehidupan Sanin
tak lagi hambar.
DARI seorang tukang becak, Sanin meniti
usaha sebagai pembuat garam dapur dan pupuk
yang kini beroleh sukses. CV Sanutra Utama
yang didirikannya tahun 1985 dengan
modal awal Rp 1 juta dan dikerjakan sendiri,
kini telah memiliki 50 pekerja dan 0mzet
Rp 200 juta per bulan. Pemikirannya sederhana
saja: di Cirebon sangat banyak dan mudah
mencari bahan garam. Lalu, di usia 35 tahun,
Sanin pun mendirikan pabrik garam.
Memang bukan perjalanan yang mudah. Kesulitan
Modal pun masih dirasakannya hingga sekarang.
Namun, kalau sejak dulu ia mudah berputus
asa, mungkin bukan seperti ini hidup yang sekarang
digenggamnya.
PRODUKSI GARAM YANG BERBUAH MANIS
Selama 5 tahun mengayuh becak di Cirebon, Sanin
mengamati Cirebon sebagai sentral garam. Melihat ada
peluang untuk memperbaiki kualitas hidupnya, ia pun
berganti haluan. Becak ditinggalkan dan beralih menjadi
karyawan perusahaan garam sebagai pencetak garam dapur.
“Kerja dulu nyetak garam, berguru selama 5 bulan. Setelah
bisa, bikin sendiri di rumah. Dulu sama istri nyetak sendiri,
manggang sendiri, dipasarkan sendiri, kita kan pakai
sepeda dulu,” tutur Sanin. Usaha yang dirintisnya
ini terus bergulir. Sanin pun tak lagi hanya mengandalkan
istrinya. Ia mulai mengambil tetangga sekitarnya untuk
bekerja di pabrik garamnya. “Mereka datang sendiri
karena butuh pekerjaan,” kenang Sanin.
Mungkin para penduduk di sekitarnya mulai
merasakan pertumbuhan usaha garam Sanin.
Jadi, Sanin pun tak perlu pilih-pilih. “Rata-rata
saya sudah kenal dengan mereka. Jadi ketika
mereka minta pekerjaan, ya saya berikan,”
ujarnya lugas. Kini, ada 8 orang yang bekerja
di ladang garam, 30-an orang di pabrik, 6 orang
bagian distribusi, dan 4 orang sales.
Sanin sendirilah yang melatih semua pekerjanya
mengenai segala hal pengolahan garam. Ia fasih
mengenai pekerjaan di ladang garam, mengumpulkan
butir garam hingga menggenjot cetakan, juga
memasukkan dalam kemasan yang siap dijual.
“Kalau ada pelatihan mengenai pengolahan garam,
saya dan anak saya yang datang, sampai pernah ikut
pelatihan di Madura,” ujarnya. Lalu, mereka berdualah
yang mengajarkan semua karyawan. Sanin yang berhasil
menyekolahkan anak anaknya hingga lulus dari perguruan
tinggi negeri ternama di Yogyakarta kemudian melibatkan
anak-anaknya dalam usaha garam ini. Bagi Sanin, anggota
keluarganya adalah orang-orang yang paling mengetahui
dan memahami kondisi perusahaan. Merekalah orang-orang
yang paling tepat untuk membesarkan usaha yang
dirintisnya tersebut. “Selain itu, saya lebih tahu
kebiasaan anggota keluarga saya daripada
karyawan lain di luar keluarga,” ujarnya.
Jadi, tiga dari empat anaknya yang notabene
perempuan semua, kini berkecimpung mengurus garam.
Tak terkecuali, para suami mereka.
Bahkan salah satu menantunya kini dipercaya
mengepalai gudang, mengawasi produksi,
juga mengurus rekrutmen di pabrik. “Ada juga
yang mengurus pengadaan barang,” ujarnya,
“Jadi saya tinggal kontrol dan tanda tangan
untuk menjual BG.” Mungkin, firasat Sanin
tidak keliru. Hingga saat ini semua anggota
keluarga yang terlibat tetap rukun dan memiliki
hubungan yang baik.
Dalam benak Sanin, memang ada keinginan
untuk mempekerjakan orang-orang yang profesional
dalam bidangnya. Namun, melihat kondisi keuangan
dan pabrik saat ini, niat tersebut belum bisa
terwujud. “Ya, nantilah. Kalau sudah punya modal
besar dan pabriknya juga sudah besar. Saat ini kami
belum mampu mempekerjakan karyawan profesional,” ujarnya.
MENYIASATI KEUANGAN
Minimnya mengecap bangku sekolah sempat
membuat Sanin mengalami kesulitan saat berurusan
dengan pihak bank. Saat membuat bilyet biro (BG)
di sebuah bank swasta ternama,
Sanin kagok saat membubuhkan tanda tangan.
Semakin sering mencoba agar tanda tangannya
sama persis, semakin berbeda hasilnya.
Walhasil, Sanin pun ditolak menjadi debitur
bank tersebut, meski memiliki usaha dan mobil
sendiri serta perusahaan atas nama pribadi.
Sulitnya Sanin mencari suntikan modal mendapat
jalan keluar saat mulai bisa berutang ke
bank tahun 1997. Namun baru pada tahun 2003,
Sanin mendapat pinjaman sesuai jumlah yang
diinginkannya, yaitu Rp 100 juta dari bank bjb,
dengan jaminan perusahaannya sendiri. Sanin
butuh permodalan banyak, sebab minimal
dalam sehari harus memiliki 6 ton bahan baku
garam. Dalam sebulan ia membutuhkan kurang
lebih 200 ton garam, sehingga dalam setahun
minimal ia harus menyediakan 2.000 ton garam.
Apalagi, untuk membeli bahan baku tersebut ia
harus membayar kontan.
Lantaran ingin memiliki uang banyak untuk
membeli 2.000 ton garam sekaligus setiap
tahunnya, Sanin pun rutin meminjam ke bank
dengan jamjnan rumah dan kendaraan. Namun,
agar tertib dan disiplin dalam membayar utang,
Sanin selalu mengambil tempo pinjaman 1 tahun.
Tidak pernah lebih dari itu. “Minimal per bulan
bayar ke bank Rp 45 jutaan, lah. Alhamdulillah
belum pernah ada masalah. Lancar terus. Bulan
tujuh sudah ketutup lagi. Garam murah kami
beli lagi, pinjam lagi, setahun ketutup lagi,”
urai Sanin. Ia pun mengakui bahwa salah satu
yang membuatnya sukses dalam urusan kredit
ini adalah memilih bank yang bunganya paling
rendah.
Dengan menggunakan perputaran uang
pinjaman setahun sekali, Sanin lebih mudah
mengontrol dan mengetahui untung atau rugi
usahanya. Setiap menjelang bulan Juli, saat
hendak penutupan pinjaman bank, Sanin
menghitung hitung dana. Setelah utang
tertutupi, jika ada lebih, digunakan untuk
menambah aset seperti ladang garam, tanah
untuk perluasan pabrik garam, rumah, maupun
kendaraan.
Usahanya terus berkembang hingga perlahan
tapi pasti Sanin memiliki pabrik
pengolahan garam di Rawa Urip, 6 buah rumah,
serta 9 kendaraan yang terdiri dari truk dan
mobil pribadi. Selain itu, impian Sanin ke Tanah
Suci pun tercapai pada tahun 2000 dan 2010.
Setiap keuntungan yang diraih, dibelikannya
aset secara bertahap. Dengan membeli aset,
Sanin mengaku dapat mengetahui apakah
bisnisnya mendapatkan untung atau justru rugi
di tahun yang sedang berjalan. “Soalnya bisa
kelihatan wujudnya,” ujarnya lugu.
Karena setiap keuntungan dibelikan aset,
Sanin harus selalu kembali mengajukan
pinjaman ke bank untuk membeli bahan baku.
Dana yang dipinjam bisa cukup besar bila ia
merasa barga bahan baku garam sedang turun
dan dia perlu membeli banyak. “Kalau
musim kemarau, garam lokal bisa dibeli dengan
harga Rp300,” ujarnya. Setelah itu
disimpannya bahan baku tersebut dan dijual
secara bertahap. Harga jualnya bisa
mencapai Rp600, yang berarti dua kali lipat
dari harga beli. “Bahkan, kadang bisa saya
jual Rp1.000,” urainya, “Kalau saya jual
ke pelosok dengan harga Rp500, untungnya
sudah hampir 75 persen.” Dari keuntungan
itulah Sanin menutup utang dan membeli aset.
Meskipun berkali-kali meminjam, hingga
saat ini Sanin amat menjaga kepercayaan
agar tidak terjadi masalah ke bank, “Tutup
utang, lalu tahun berikutnya utang lagi!” Sanin
tampaknya tidak sekadar bicara. Pabrik yang
dibeli secara bertahap, sedikit demi sedikit
setiap ada keuntungan, juga ladang garam yang
kini mencapai luas 6 hektar adalah saksi bisu
perjalanannya mengolah garam selama hampir
30 tahun.
Sanin melihat kelemahan pengusaha yang
bangkrut dikarenakan manajemen keuangan
yang kurang terkontrol. Keuntungan yang
diperoleh tidak disimpan atau diputar kembali
untuk membeli bahan baku atau melunasi utang,
melainkan dibelikan hal-hal yang diinginkan.
Beda halnya dengan Sanin yang disiplin
memprioritaskan pelunasan utang bank. “Yang
penting adalah mencatat pemasukan dan
pengeluaran dengan benar,” demikian tipsnya.
Apalagi, bahan-bahan yang dibelinya harus
dibayar secara kontan. Pada saat diwawancara,
Sanin tengah menunggu dua trailer yang
membawa 105 ton bahan mentah garam dari Surabaya.
“Seratus lima ton itu harus dibayar Rp 105
juta kontan,” paparnya, “Jadi, kadang-kadang
saya jual BG.”
Meski berusaha disiplin dalam hal keuangan,
bukan berarti Sanin tidak pernah menghadapi
masalah keuangan. Ini terjadi pada tahun 2003
saat menantu sulungnya mencalonkan diri dalam
pemilihan kepala desa (Pilkades). Modal untuk
membeli garam yang saat itu harganya masih
murah digunakan untuk biaya pencalonan. Saat
hendak membeli garam pada tahun 2006, harganya
ternyata sudah melonjak tinggi. Apesnya
lagi, sang menantu tak memenangkan Pilkades.
Sanin pun berutang hingga Rp 6oo juta. Namun,
Sanin merasa lega dan bersyukur karena pada
tahun 2008, seluruh utang tersebut telah lunas.
“Alhamdulillah, pulih lagi. Malah akhirnya sampai
lebih. Sampai susah ngitung lebihnya,” ucap Sanin.
Pelajaran mahal yang dipetik Sanin adalah
tidak mau sembrono memperlakukan BG. Setiap
ada BG segera ditukar agar terus berputar dan
bergulir. Sanin menjaga namanya dengan baik
agar jangan sampai cacat dalam catatan bank.
“Kalau sekali nama kita tercemar, semua bank
akan tahu,” ujarnya, “Nanti kita juga yang jadi
tidak laku. Padahal kita harus bayar plastik ke
Semarang, garam ke Surabaya, banyak sekali!
Jadi, saya pesan benar-benar ke anak-anak,
supaya mereka jangan sampai menunggak.”
Dengan cara tersebut ia berharap kapan pun
membutuhkan pinjaman uang dari bank, ia tidak
akan mengalami kesulitan. Sanin yang pernah
dengan mulus meningkatkan pinjaman ke bank
bjb menjadi Rp 150 juta pun berencana menaikkan
jumlah utang menjadi Rp 200 juta. Faktor
kepercayaan dan tidak pernah menunggak
pembayaran dipegang teguh oleh Sanin.
Karena sudah mendapat kepercayaan, Sanin
mengaku tidak lagi sering dikejar-kejar
untuk masalah pembayaran. “Waktu tahun
pertama, telat sehari sudah ditelepon terus,”
kenangnya, “Padahal, saya mah orang usaha.
Kena bunga berapa pun pasti saya bayar. Yang
penting menutup utang di bulan itu.” Sanin
merasa beruntung karena bank bjb memahami
usahanya. “Lebih longgar dan tidak cepat
memberi peringatan,” katanya bersyukur.
PEMASARAN DAN PERLUASAN
Karena menjalankan pabrik berdasarkan intuisi
bisnisnya sendiri, Sanin tidak banyak melakukan
inovasi dalam usahanya. Setiap pagi
Sanin dan anak-anaknya menjual garam ke
pasar-pasar yang ada di sekitar tempat tinggal
dan pabrik mereka. Penjualan yang dulu
menggunakan sepeda, kini telah menggunakan
mobil yang disopirinya sendiri.
Sementara sore hari, para sales-lah yang
memasarkan garam ke toko-toko yang sebagian
besar berlokasi di wilayah 3, yaitu daerah
Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu.
Kadang mereka juga merambah
Jatibarang hingga Jawa Tengah. Garam dapur
tidak diberikan kepada agen, melainkan ke
pasar langsung, itu sebabnya Sanin langsung
mendapat hasil. Sales juga mendapat fasilitas
mobil sebagai modal untuk mengangkut barang
dagangan. Setiap hari sales-nya bisa membawa
rezeki Rp 3-6 juta. “Jadi, kalau untuk anak
sekolah atau kebutuhan sehari-hari, saya tidak
bingung. Selalu ada dana,” paparnya bangga.
Selain uang, membina karyawan agar bekerja
dengan benar dan baik juga menjadi
modal bagi Sanin, terutama untuk para sales.
Karena begitu pentingnya peran sales dalam
usaha garam ini, Sanin berencana menambah
sales yang bisa terjun langsung ke lapangan
dalam rangka memperluas pasar hingga seluruh
wilayah Jawa Barat. Sanin juga ingin membuka
cabang di tempat lain, selain di Paliaman yang
berfungsi sebagai distributor.
Tentunya, perluasan pasar tidak dapat dilakukan
jika produk yang dihasilkan masih
terbatas. “Saya ingin membuat garam dalam
kemasan botol karena selama ini saya cuma
membuat kemasan plastik yang beratnya
berbeda-beda,” jelasnya. Namun, hal ini pun
masih terkendala dengan kapasitas produksi
yang mampu dihasilkan. “Kesulitan memakai
tenaga manusia adalah tidak bisa diberikan
target. Kalau sudah terlalu lelah, hasilnya akan
sangat sedikit,” ucapnya.
Lantas, mengapa tak membeli mesin saja?
“Sebenarnya, kami sangat butuh mesin, tapi
terkendala modal. Mesin itu pembiayaannya
besar,” ujar Sanin. Sanin sendiri mengaku sudah
banyak mempelajari cara kerja mesin-mesin
pembuat garam dari hasil melihat langsung
ke pabrik-pabrik lain tempatnya belajar. Jadi,
kalau kelak mampu membeli mesin, ia sudah
tahu cara mengoperasikannya. Sanin
kini giat mencari pinjaman dengan bunga
rendah untuk mewujudkan mesin-mesin
impiannya. Setidaknya, separuh produksi dilakukan
secara manual, separuh dengan mesin.
GARAM LOKAL VS IMPOR
Langganan masa sulit bagi pengusaha garam adalah
ketika turun hujan. Bahkan pada tahun 2010
mereka mengalami gagal panen sehingga tidak
ada garam lokal. Di musim kemarau, garam bisa
dihasilkan dari ladangnya sendiri maupun
membeli dari masyarakat. “Garam lokal lebih murah,”
jelas Sanin. Misalnya, dengan harga jual Rp
300, Sanin bisa mendapat keuntungan Rp5o, atau
Sekitar 15 persen. Sementara garam impor hanya
menghasilkan keuntungan maksimal 10 persen
karena modalnya tinggi. Sanin juga
mengambil garam dari Surabaya, yang
didatangkan dan Australia dan India.
Sebagai petani garam, ia fasih menceritakan
proses pembuatan garam. “Kita seperti bikin
kolam yang besar, lalu dipetak-petak,
seperti orang menggarap sawah. Perbedaannya,
kalau ladang garam membutuhkan tanah yang
halus dan keras. Kalau orang sini
sih memakai silinder, sejenis silinder mesin
yang dipakai untuk mengeraskan jalan. Setelah
ladangnya bersih, air dipindahkan.
Setelah kering, dipindahkan lagi ke petak lain.
Jadi, kalau airnya sudah mengental, kita periksa
dengan arometer. Kalau di sini disebut
hipermil. Biasanya kalau udah jadi garam,
ukurannya minimal 22 arometer. Ketika masih
berupa air laut, ukurannya 0 arometer.
Kalau sudah 22 arometer, baru jadi garam,
keluar, dan bertumbuh,” urainya panjang lebar.
Kalau tidak ada hujan, Sanin mengibaratkan
garam seperti kumis atau jenggot: hari ini dikeruk,
kalau besok panas bisa dikeruk lagi. Perbedaannya
dengan garam di Madura, ketebalan
garam di daerah Sanin untuk dikeruk hanya 1 cm.
Kalau di Madura, ladang-ladang garam bisa
mencapai ketebalan 5 cm karena ditunggui hingga
minimal 15 hari. “Kalau di sini tidak
bisa begitu. Kalau kena hujan, wah! Istri bisa
ngamuk karena anaknya enggak bisa jajan,”
ujarnya sambil tergelak.
Menurut perhitungan Sanin, nilai murni
garam adalah Rp 500 per kilogram. Kalau sehari
saja pekerja di ladang garam bisa mendapat
sekuintal garam, ia sudah beroleh uang Rp 50
ribu. Padahal, setiap harinya setiap petak bisa
menghasilkan 5 kuintal hingga 1 ton garam.
Untuk menjadi garam balok, bahan garam
dari Australia butuh perlakuan khusus, karena
tidak mengandung air. Prosesnya harus diairi
dulu supaya melekat, dicetak balok, lalu di
masukkan ke dalam oven untuk dipanggang.
Sedangkan garam lokal yang memang sudah
mengandung air bisa langsung dicetak balok.
Sementara untuk garam halus, baik lokal
maupun dari luar negeri bisa langsung di
masukkan ke dalam plastik kemasan.
Diakui Sanin, warna garam dari Australia
lebih putih karena tumbuh seperti gunung di
pinggiran laut. Sedangkan garam lokal berasal
dari air sehingga terkadang ada kotoran debu.
Namun soal rasa, menurut Sanin, garam lokal
lebih enak dan gurih. Ini karena PPN atau
kadar keasinan garam lokal paling tinggi 70,
sedangkan garam Australia lebih dari l00.
“Kalau masak pakai garam Australia, saat
dicicipi sudah cukup asin. Tapi begitu masakan
sudah dingin, asinnya luar biasa. Nah, kalau
garam lokal, biarpun masakannya masih panas
atau sudah dingin, rasanya tetap sama. Cuma
kadang-kadang orang kota tuh suka yang putih,
yang putih sekali, padahal enggak enak,” kata
Sanin.
Untuk proses pemanggangan, awalnya Sanin
menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.
Tetapi, pemakaian solar ternyata menjadikan
biayanya lebih tinggi. Karena itu, sejak tahun
ini ia menggunakan elpiji, yang lebih ringan dan
irit.
Selain memproduksi garam dapur, Sanin
mendiversifikasikan usahanya, yakni berjualan
pupuk untuk semua jenis tanaman. Pembuatan
pupuk memerlukan garam hingga 40 persen. “Lalu
ditambah kaptan, bahan kaptul seperti kapur dari
Sukabumi,” urainya. KCI dalam garam dibutuhkan
untuk menguatkan batang. Ia mengirim pupuknya
ke Sumatera karena tanah di sana cenderung
bersifat gambut. “Kalau tidak diberi garam,
tanamannya tidak bisa hidup, tidak bisa berbuah,
atau buahnya sedikit,” papar Sanin. Berbisnis
garam sangat menguntungkan bagi Sanin karena
tidak ada garam yang tersisa, “Semua garam
dipakai. Yang kotor dicampur untuk pupuk.”
Penjuaan pupuk pun dalam setahun
mencapai 2 ribu ton, bahkan pernah hingga
3 ribu ton. Tentu saja, garam yang digunakan
adalah jenis yang berbeda. Untuk garam dapur
menggunakan garam putih kualitas 1 dan 2.
Sedangkan untuk pupuk, Sanin menggunakan
garam kualitas 3.
Baik di bidang garam maupun pupuk, Sanin
tidak terlalu memusingkan urusan persaingan.
Ia percaya bahwa rezeki diatur oleh Yang Di Atas.
Apalagi Sanin melihat banyak pesaingnya yang
bangkrut. “Ada bisnis yang sama di daerah ini,
tapi perusahaannya kecil. Bahkan, untuk bahan
baku saja mengambil dari saya. Mereka tinggal
mengemasnya,” ujar Sanin. Bisa jadi, memang
tidak ada pesaing yang berarti di sekitar wilayah
tersebut.
Bagi Sanin, ia hanya beruntung. “Menyekolahkan
empat anak sampai jadi sarjana butuh biaya
yang enggak sedikit,” ujarnya. Ia mengisahkan,
anak bungsunya yang menjadi bidan setiap
bulan paling sedikit butuh Rp 4-5 juta. “Kalau
tidak mengandalkan usaha, ya repot,” ujarnya
sembari tersenyum.
Ketika ditanya, akan dibawa ke mana bisnis
garam ini, Sanin menjawab, “Saya hanya mau
memperbesar pabrik, menaikkan jumlah
produksi, menambah tenaga kerja, membeli
mesin, dan menambah jumlah armada agar
produksi saya bisa menjangkau seluruh Jawa
Barat. Setelah menggeluti usaha garam dapur
dan pupuk hingga seperempat abad, Sanin
yang kini berusia 60 tahun memercayakan
pengelolaan perusahaan kepada para anak dan
menantunya dengan berbagi tugas. Sanin hanya
tinggal mengontrol agar semuanya berjalan
dengan baik.
Pesan penting pun dibagikan kepada semua
anak dan menantunya, bahkan karyawannya,
dan siapa pun yang hendak terjun ke dalam
dunia usaha, yakni harus sabar dan jujur.
“Susahlah kalau kita berbisnis inginnya
langsung besar. Pelan-pelan saja, begitu.
Jangan sekali-kali kita banyak bohong. Kita
harus jujur. Suatu saat dalam usaha, kejujuran
pasti menjadi kesuksesan kita,” ujarnya
bersahaja.
Catatan Rhenald Kasali
SAYA TERTEGUN DENGAN cara Sanin membangun usahanya. Ya, seperti inilah
manajamen UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Tumbuhnya perlahan-lahan
sacara alamiah. Dan hanya mereka yang tekun jujur, serta disiplinlah yang
mampu bertahan dan tumbuh. Bagi Sanin untung itu ditandai dengan
membesarnya jumlah aset bukan yang lainnya. Seperti pangusaha lain Sanin
juga butuh bantuan cash flow dari bank. Namun cara kerja bank yang mampu
manyederhanakan proses dan membuat usaha UMKM ‘nyaman’ sangat menentukan
keberhasilan hubungan antara bank dengan UMKM. Jadi sederhanakanlah semua
proses dan mengertilah cara kerja mereka.
Sanin seperti UMKM lainnya adalah sebuah produk dari sebuah proses evolusi.
Mereka naik kelas secara alamiah dari bekal kerja keras dan kejujuran. Saya
sering menyebutkan, pengusaha-pengusaha kecil modalnya berawal dari sekolah
50 senti atau setangah meter. Dari ujung telapak kaki ke atas dengkul.
Mulai dari tukang becak sampai menjadi pemilik pabrik garam. Itu pun hanya
kecil-kecilan saja. Namun karena tekun, ia bisa berurusan dengan bank dan
mampu mencicil pinjaman hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Sanin berbeda dangan sarjana-sarjana yang hanya bersekolah lima senti,
yaitu hanya mengisi kepalanya dengan teori, namun kaki dan tangannya tidak
‘disekolahkan’ di lapangan. Mereka yang demikian hanya menjadi penganggur.
beban bagi msyarakat.
Bisnis ‘50 senti’ ini adalah bisnis yang marjinnya besar, namun nilainya
kecil dan volumenya besar. Bayangkan 105 ton hanya berharga Rp 105 juta.
Bagi para sarjana, nilai seperti itu terlalu kecil. Namun bagi rakyat
jelata, nilai seperti itu sudah sangat disyukuri. Apalagi oleh seorang
mantan tukang bacak.
Berbeda dengan kebanyakan usaha, bisnis UKM seperti ini mempunyai karakter
tunai (sehingga banyak uang recehannya). Karakter tunai yang demikian bisa
membuat pelaku usaha kecil terperangkap dalam ‘perilaku pedagang’ yang lupa
melakukan inovasi atau perluasan produksi. Setiap mendapat tawaran
berutang, mereka hanya berpikir untuk memodali pembelian bahan baku atau
barang-barang untuk dijual kembali, bukan untuk membangun pabrik yang lebih
besar, lebih efisien, atau lebih produktif.
Kedua, usaha kecil juga sarat dengan godaan-godaan duniawi yang bisa
berakhir kalau pemiliknya terperangkap dalam godaan. Secara alamiah kita
semua terpanggil untuk menjalankan ibadah ke Tanah Suci, namun semua ada
syaratnya yaitu mampu. Godaan pertama adalah ‘merasa mampu’ bukan karena
benar-benar mampu, melainkan karena gengsi, ingin terlihat hebat. Kedua,
godaan kawin lagi. Dan ketiga, godaan Pilkada. Mereka bisa menjadi besar
kalau mampu mengatasi godaan-godaan tersebut dan fokus pada upaya memajukan
usaha.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment