Sunday, April 14, 2013

Kiki Gumelar, Mantan Manager yang Kini Sukses Lewat Bisnis Kuliner 'Chocodot' Cokelat dengan Dodol Garut

Kiki Gumelar, Tak Sengaja Mencipta Chocodot

Katakan dengan cokelat! Dan Kiki

Gumelar pun melakukannya dengan

Kreatif. Di tangan pria muda asal Garut

ini usaha makanan ringan berbahan

cokelat hadir sebagai keajaiban. Kiki

juga melihat peluang besar untuk

membawa Indonesia menjadi produsen

cokelat kelas dunia.

 

DALAM waktu dua tahun Kiki Gumelar

berhasil mengembangkan usaha dengan

omzet Rp 1 miliar per bulan. Berawal

dari modal sebesar Rp 17 juta pada tahun 2009,

Kiki mencoba untuk membuat makanan ringan

olahan berbahan dasar cokelat. Kini, Kiki

mampu memproduksi berbagai jenis makanan

cokelat dengan merek Chocodot Indonesian

Chocolate, atau lebih dikenal dengan nama

 

Chocodot. Usaba inilah yang membuat kota Garut

memiliki citra baru, dari kota dodol menjadi

kota cokelat.

Sebenarnya usaha Kiki sudah dirintis sejak

dia tinggal di Yogyakarta, tahun 2007. Saat itu

Kiki bekerja sebagai karyawan PT Nirwana Lestari,

 

distributor cokelat terbesar di Asia Pasifik,

Ceres. Namun, hobinya di bidang kuliner telah

menuntunnya menjadi pengajar di bidang

bakery dan cokelat. Akhirnya Kiki memutuskan

untuk membuka sendiri usaha bakery dan

cokelat bernama UD Tama Cokelat, yang diambil

dari nama anaknya semata wayang, Tama.

Tahun 2009, Kiki berniat untuk serius

 

mengembangkan usahanya. Dia ingin melakukan

ekspansi usaba ke Garut, Jawa Barat agar bisa

 

membangun kota asalnya. Di Garut, Kiki

 

menghasilkan panganan ringan dari cokelat yang

unik, yang dikenal dengan nama Chocodot,

sebuah akronim yang dibentuk dari kalimat

chocolate berisi dodol Garut. -

Penemuan Chocodot sendiri merupakan

serpihan kisah yang menarik. Suatu hari,

 

ketika sedang bersiap mengajar kelas cokelat di

rumahnya di Yogya, ibunya datang dari Garut

untuk menengok cucunya. Saat itu ibunya

datang membawa oleh-oleh khas dari Garut

yaitu dodol. Karena sibuk memanasi bahan

cokelat, Kiki tidak terlalu tertarik untuk

mencicipi oleh-oleh tersebut. Namun, secara

spontan Kiki justru memasukkan beberapa

potong dodo tersebut ke dalam cairan cokelat

yang sedang dipanasinya. Setelah coke!at

tersebut padat, Kiki pun mencicipinya. “Enak

juga,” pikirnya.

Peristiwa yang berlangsung hanya ‘sekejap’

itu ternyata sangat membekas di hatinya. Dan,

catatan tersebutlah yang akhirnya berubah

menjadi sebuah langkah kecil untuk melahirkan

usaha pembuatan produk makanan ringan baru

di Indonesia.

 

PRESTASI MENUJU SUKSES

Ketika mulai membangun usahanya di Garut

 

bulan Juli 2009, Kiki masih bekerja di PT

Nirwana Lestari, sebagai business development

 

manager untuk area Jawa Tengah dan

Yogyakarta. Meskipun sudah beberapa kali

mengajukan surat pengunduran diri, permohonannya

 

selalu ditolak. Masuk akal, karena selama

tiga tahun berturut-turut Kiki berhasil

 

menyelenggarakan festival bakery bernama D’Java

Bakery Festival. Festival makanan berbahan

cokelat itu berlangsung di Solo (2006), Semarang

(2007), dan Yogyakarta (2008), serta mendapat

sambutan hangat masyarakat. Barulah pada

November 2009, Kiki resmi meninggalkan PT

Nirwana Lestari.

Kiki bukan hanya kaya ide, tapi juga mampu

merealisasikan ide-ide tersebut. Kehebatan ini

sudah terlihat sejak masih duduk di bangku

SMA. Berbagai macam prestasi diraihnya. Pada

tahun 1997, Kiki terpilih sebagai Jajaka Garut

dan Runner-Up Jajaka Jawa Barat. Prestasi

lainnya menjadi Duta Boga dari PT Bogasari di

 

Yogyakarta dan Runner Up II di tingkat Nasional

tahun 2000.

Prestasi, kepandaian, dan kepribadian yang

menyatu ini rupanya tercium sejumlah perusahaan.

 

Ketika usianya baru menginjak 21

tahun, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang

 

tepung terigu, PT Pangan Mas Inti Persada

Cilacap, mengajaknya bergabung. Pada 2002,

dia direkrut oleh perusahaan kecap, PT Aneka

Food Semarang. Lalu tahun 2003, Kiki pindah

ke perusahaan santan, PT Kara Santan Pratama

Jakarta sebagai promotion supervisor. Terakhir,

pada 2005, Kiki bergabung dengan PT Nirwana

Lestari.

Rupanya di PT Nirwana Lestari inllah kelekatan

 

Kiki dengan dunia cokelat semakin

terbentuk. Saat menjadi distributor technical

officer di sana, ia belajar banyak untuk dapat

menjelaskan cara mencairkan cokelat, serta

mengolah cokelat dan mengaplikasikannya pada

roti, cake, juga makanan lainnya.

Walaupun sudah memiliki pekerjaan tetap,

Kiki tidak melupakan passion-nya di bidang

kehumasan dan mengajar. Kiki tidak pernah

melewatkan undangan atau tawaran mengajar

atau melatih yang datang dari berbagai lembaga

pendidikan, khususnya yang memiliki jurusan

boga. Kegiatan ini membuat Kiki semakin terdorong

 

untuk mendalami dunia kuliner terutama di bidang cokelat.

 

Dampaknya terlihat ketika ia semakin mahir

mengolah cokelat. Dari pengalaman inilah,

Kiki mendapat inspirasi untuk membuat usaha

cokelat sendiri. “Waktu mengajar saya sering

memberi saran agar mereka membangun usaha

berbahan cokelat. Lama-lama saya mikir,

mengapa menganjurkan orang lain melakukan

itu? Mengapa saya enggak merintis sendiri?”

katanya.

Suatu hari, ketika sedang menjelajah internet,

 

secara tak sengaja ia menemukan informasi

bahwa Ceres ternyata lahir di Garut. Informasi

ini semakin memperkuat niat Kiki untuk membuka

 

usaba di bidang cokelat. Dan, karena saat

itu Kiki dan keluarga juga berencana untuk

pulang ke Garut, Kiki memutuskan untuk

 

mengembangkan idenya tersebut di kota asalnya.

“Toh, sejarahnya sudah ada,” katanya mengenang

 

ide dan pemikiran awal bisnisnya itu.

Ketika kembali ke Garut, Kiki terus teringat

pada peristiwa dodol Garut yang tanpa sengaja

dimasukkannya ke dalam adonan cokelat. Ia

 

kemudian melakukan berbagai percobaan untuk

menemukan resep yang tepat. Hasilnya adalah

cokelat berisi dodol Garut.

Awalnya Kiki mengusulkan tiga nama, yaitu

Chodol (akronim untuk chocolate dan dodol);

Chodot (chocolate isi dodol Garut), dan Choqodot

(chocolate with dodol Garut). “Tapi akbirnya

yang muncul justru nama Chocodot dan langsung

 

saya daftarkan ke Ditjen HAKI (Hak Kekayaan

 

Intelektual) untuk merek, kemasan, dan

resep,” katanya.

Namun, ternyata usaha cokelat tersebut tidak

mendapat dukungan dari ayahnya yang tidak

ingin Kiki menekuni usaha kuliner. Pasalnya,

Kiki pernah mengalami kegagalan tahun 2003

dalam usaha bakery. “Tapi saya enggak bisa

berhenti. Saya jalan terus,” kenangnya lagi.

Pada bulan Juli tahun 2009, Kiki nekat

membuat dummy Chocodot sebanyak 20 kg,

yang kemudian ditawarkan ke toko-toko di

Garut. Dari toko-toko yang didatangi, hanya 4

toko yang menerimanya. “Dengan empat toko

itu saya ingin langsung beroperasi. Tapi saya

enggak punya modal. Minta Papa, enggak punya

uang. Akhirnya Mama iba dan meminjamkan

modal sebesar Rp 17 juta berupa kartu kredit,”

tuturnya.

Dengan modal tersebut, Kiki mulai merintis

kembali UD Tama Cokelat-nya di Garut. Awalnya,

 

upaya ini tak berjalan mulus. Tetapi, dengan

 

dukungan pamannya yang sudah memiliki bisnis

sendiri, Kiki kembali memiliki keberanian

untuk berbisnis. “Beruntung saya punya paman

yang penuh perhatian dan selalu meyakinkan

bahwa saya bisa melakukan sesuatu,” katanya.

Dari hasil diskusi dengan sang Paman,

Kiki semakin bersemangat. “Indonesia adalah

produsen besar tanaman cokelat tingkat dunia,

tapi ternyata enggak punya oleh-oleh cokelat

yang ready to eat. Saya bermimpi Garut harus

menjadi kota cokelat. Perusahaan sebesar Ceres

saja lahir di Garut, jadi apa lagi yang perlu

dibuktikan?” ungkapnya.

INOVASI DAN MENGOLAH PENAMPILAN

Seminggu setelah produksi pertama Chocodot

berhasil masuk ke empat toko di Garut, Kiki

bertemu dengan seseorang dari Koperasi Wanita

Indonesia di Garut Summit. Orang tersebut

menyarankan agar Kiki mengikuti Pameran

Pangan Nusa di Kementerian Perdagangan,

Jakarta. Walau sedang sibuk mempersiapkan

peluncuran Chocodot di Garut, Kiki tetap

menyanggupi pameran tersebut.

 

Melihat keseriusan menjalani usahanya,

akhirnya hati kedua orangtuanya luluh. Mereka

memberikan biaya dan bantuan untuk acara

peluncuran Chocodot di Garut, sementara Kiki

mempersiapkan pameran di Jakarta. Dengan

mengusung tema ‘Garut Gemar Chocodot’, acara

peluncuran yang dimeriahkan oleh pemilihan

ikon Chocodot dari semua umur—sejak balita

hingga dewasa—ini berjalan lancar dan sukses.

Sementara itu Pameran Pangan Nusa juga

memberikan hasil yang memuaskan. Kehadiran

Chocodot di ajang pameran pangan tersebut

mendapat sambutan cukup meriah dari

pengunjung, terutama media massa. Mereka

tertarik pada Chocodot yang unik baik dari

segi kreativitas, kesegaran ide, dan kemasan.

Kiki yang mengenal baik dunia humas dan

komunikasi, tidak menyia-nyiakan kesempatan

tersebut. Dia melayani media-media tersebut

dengan sebaik-baiknya. Akibatnya Chocodot

mendapatkan publikasi cukup besar di sejumlah

media, khususnya media kuliner.

Sejak Pameran Pangan Nusa, usaha Chocodot

berkembang pesat. Pada 1 Agustus 2009, Kiki

menyewa rumah seluas 36 meter persegi sebagai

 

tempat usaha. Rumah yang terletak di Jalan

Babakan Salawi, Garut tersebut kemudian diberi

nama Saung Cokelat.

Di sisi lain, Kiki juga tidak pernah jeda

 

melakukan inovasi. Ia merasa sudah saatnya berbuat

lebih dan memberikan sesuatu bagi Jawa Barat.

Karena itu, lahirlah Van Java Cokelat. Lewat

merek Van Java Cokelat, Chocodot melahirkan

produk inovasi berbahan dasar cokelat yang

belum pernah dipikirkan oleh banyak orang.

Produk inovasi tersebut antara lain cokelat

rasa bajigur, bandrek, sekoteng, dan kacang.

Namun, produk inovasi paling unik yang pernah

ia hasilkan adalah cokelat rasa cabai. Produk

produk baru ini kemudian diluncurkan pada

tanggal 14 Februari 2010, berbarengan dengan

dibukanya mitra cabang Chocodot di Jalan

Ottista, Garut, dengan nama Warung Cokelat

Intan.

Selain kaya ide, kekuatan Chocodot terletak

pada kepekaannya dalam menangkap dan mengemas

 

gagasan dari lingkungan, seperti kondisi

alam dan budaya Garut. Ia merefleksikan

 

kekayaan lingkungan ke dalam kemasan produk

 

Chocodot. Hal ini dapat dilihat pada

kemasan produk Chocodot tentang gunung

di Jawa Barat; Gunung Haruman untuk Dark

Chocolate; Gunung Talaga Bodas untuk White

Chocolate; dan Gunung Papandayan untuk

 

Milk Chocolate. Sementara untuk pertanian,

Chocodot memproduksi dua edisi khusus yaitu

Jeruk Garut untuk Dark Cholocolate with Dodol

Buah Jeruk dan Candi Cangkuang untuk Dark

Chocolate with Aneka Dodol.

Potensi geografis, legenda, dan produk

 

kerajinan anyaman khas Garut pun dijadikannya

bagian dalam kemasan produknya. Dalam

 

perkembangannya, Chocodot melahirkan beberapa

produk baru lain, yaitu Brodol dan Gage. Brodol

merupakan akronim dari brownies dodol,

sedangkan Gage adalah akronim Garut Geulis.

Gage adalah paket cokelat berisi krim buah yang

dikemas dalam besek atau bakul yang terbuat

dari anyaman cantik khas bumi Parahyangan.

Kemasan seperti itu tidak hanya mendatangkan

 

keuntungan bagi produk Chocodot tetapi

juga untuk para perajin anyaman di Garut.

“Kami juga menggandeng para remaja desa

untuk membuat paper bag dari tali berbahan

 

eceng gondok. Rantai ekonomi dan sosial ini

berkontribusi dalam membersihkan lingkungan

 

dari ancaman gulma,” paparnya.

Setelah mengeluarkan produk-produk

cokelat inovatif tersebut, langkah Kiki

 

selanjutnya adalah membuat rencana promosi

dengan mengemas kekayaan sosio-kultural

Garut. Kiki mengaku terkesan pada Jepang

yang mengemas kekayaan alam dan sosial

budayanya dalam sikap hidup sehari-hari

serta berbagai produknya. “Garut punya

banyak potensi alam dan sosial budaya seperti

Jepang. Cuma satu kekurangannya: promosi!”

ujarnya penuh semangat.

Untuk mewujudkan rencana promosinya

tersebut, ia mengikiankan produknya di

stasiun televisi lokal. Sejak ikian tersebut

muncul, ia mulai dikenal banyak orang dan

selain menjadi incaran media cetak, Kiki dan

Chocodot-nya mulai menjadi incaran stasiun

televisi nasional. Terhitung sejak tampil pada

Pameran Pangan Nusa hingga awal 2011, Kiki

dan Chocodot sudah 40 kali ditayangkan

oleh berbagai stasiun TV dan sudah tampil

di berbagai media cetak seperti tabloid Saji

dan majalah Sedap. Kiki ‘Chocodot’ yang

tak pernah kehabisan ide ini tampil sebagai

pengusaha UKM yang berhasil.

 

POSITIVE THINKING

Setiap usaha, pasti ada rintangannya.

 

Demikian pula usaha yang dijalani Kiki Gumelar.

Pemilik rumah yang disewa Kiki sebagai toko

pertamanya, kerap menaikkan barga sewa.

Awalnya harga sewa rumah tersebut hanya Rp

4 juta per tahun, lalu pada tahun kedua naik

menjadi Rp 7 juta per tahun, dan pada tahun

ketiga menjadi Rp 13 juta per tahun. Kiki tidak

bereaksi negatif terhadap tindakan tersebut

sebab pasar Chocodot terus meluas. Jumlah

cabang toko yang menjual Chocodot bertambah

menjadi 10 toko, sehingga jumlah karyawan

yang semula hanya satu orang terus bertambah

menjadi i6 orang.

Selain itu, Kiki juga sempat mengalami penipuan.

 

Pernah suatu ketika, Kiki didatangi

relasi bisnis yang ingin menjadi agen penjualan

Chocodot untuk Jakarta. Kiki pun tidak

 

menyiakan-nyiakan kesempatan ini. Namun, setelah

 

kerja sama berjalan dan barang-barang dikirimkan,

 

ternyata sang agen menghilang tanpa

jejak. Akibatnya uang sebesar Rp 50 juta pun

bablas.

Kiki memang cenderung tidak memiliki prasangka

 

buruk. Sayangnya, justru sifatnya inilah

yang membuatnya mudah diperdaya. Suatu kali

ia mendapatkan telepon dari seseorang di Pekanbaru,

 

Riau yang mengajaknya pameran di sana.

 

Tanpa buruk sangka, Kiki pun menyetujuinya.

Tapi sejak pameran selesai hingga saat ini, uang

hasil penjualan Chocodot sebesar Rp 33 juta,

tak pernah diterimanya. “Selain itu saya juga

sering menghadapi pemilik toko yang handel.

Mau utangnya, tapi susah bayarnya. Tapi saya

menganggap semua ini sebagai peringatan agar

saya bisa naik kelas. Intinya saya harus teliti,”

katanya.

Dalam mengalami berbagai masalah, Kiki

tetap berpikir positif. Dia pun mencari modal

tambahan dari bank. Meskipun setelah mengajukan

 

ke beberapa bank, belum juga berhasil,

Kiki tidak pernah mengeluh. Masalahnya

 

terpecahkan ketika Kiki tampil dalam suatu

 

seminar yang diselenggarakan oleh UMKM Centre

bank bjb. Saat itu Kiki menemukan jalan untuk

mendapatkan modal tambahan dari bank bjb

sebesar Rp 100 juta. Sejak saat itu, Kiki tak henti

memberikan apresiasi kepada bank daerah yang

tengah berjuang untuk menjadi bank nasional,

sama seperti dirinya.

Selain masalah keuangan, Kiki juga sempat

mendapatkan tekanan dari para pendahulunya

yang sudah lama dan menjadi ikon kota Garut.

Mereka merasa sebaiknya Chocodot tidak

 

menggunakan istilah cokelat isi dodol Garut atau

chocolate with dodol Garut karena mengancam

popularitas produk dodol Garut. Tidak ingin

 

masuk ke lingkaran persaingan yang tidak sehat,

Kiki memutuskan untuk mengganti istilah

 

tersebut menjadi Chocodot Indonesian Chocolate.

“Hikmahnya saya terpicu untuk menjadi lebih

kreatif,” katanya.

Walau awalnya berpikiran positif sempat

membuatnya sulit, namun kini Kiki berhasil

membuat kekurangannya tersebut menjadi kelebihan.

 

Berpikir positif membuatnya tetap melangkah maju,

 

melawan semua kendala.

MANAJEMEN USAHA

Bisnis UD Tama Cokelat ini tentu belum bisa

dilepaskan dari pendirinya. Pengalamannya

bekerja dalam bidang kuliner membuat Kiki

menjadi perancang utama. Kiki jugalah yang

menentukan dan merancang sistem manajemen

usahanya.

Pengalaman terdahulu mengajarkan Kiki

 

dan keluarganya agar tetap bersikap terbuka

dan lebih profesional. Kini, ia mulai menggeser

karakter bisnis keluarga menjadi usaha yang

profesional. Ia mulai merekrut tenaga profesional

dalam bidang manajerial. Ia berharap struktur

organisasi perusahaannya juga akan semakin

profesional, dengan 60 orang karyawan di luar

keluarganya.

Meski demikian Kiki masih melibatkan orang-

orang yang memiliki hubungan keluarga dengannya.

 

Ibunda Kiki, Nina Herlina, bertugas sebagai

 

pengawas produksi. Ayahnya yang masih

berstatus karyawan negeri sipil di Dinas Tenaga

Kerja, Garut, Tatang Kurnia, bertugas menangani

karyawan dan informasi seputar dunia tenaga

kerja. Sementara adiknya, Mila Ariani, dipercaya

sebagai manajer keuangan.

Dengan sistem keterbukaan dan profesionalitas,

 

Kiki mampu membangun relasi yang manusiawi.

 

UD Tama Cokelat memberikan gaji di

atas UMR sesuai dengan kinerja masing-masing

karyawannya. Sistem ini terbukti mampu

 

mengembangkan bisnisnya dan tidak ada kendala

yang berarti.

Intuisinya mengatakan usaha ini memiliki

masa depan yang cerah. Bukan hanya karena

penduduk Indonesia yang sangat besar,

 

melainkan juga posisi Indonesia sebagai penghasil

cokelat. Untuk itu, diperlukan kreativitas dan

pengelolaan yang tepat, baik di sisi hulu maupun

hilir.

Di sisi hulu, selain produktif melahirkan inovasi

 

produk baru yang berkualitas, Kiki tidak lupa

untuk terus belajar dan memperbarui teknologi

produksi. Melalui internet, Kiki mendapatkan

informasi mengenai perkembangan teknologi

produksi dan marketing. Karenanya Kiki pun

tidak lupa untuk mengembangkan keahlian para

karyawan dengan memberikan pelatihan yang

sesuai kepentingan karyawannya. Misalnya,

pelatihan marketing, pelatihan membuat cokelat,

 

dan pelatihan keterampilan lainnya.

Sementara di sisi hilir, Kiki giat melakukan

promosi. Selain menggunakan media cetak,

Kiki juga menggunakan jejaring sosial.

 

“Tentunya kami tak melupakan kekuatan word of

mouth, pelayanan yang menyenangkan, mau

 

mendengarkan, dan memberikan diskon sesuai

KTP. Kalau ada pembeli berusia 70 tahun kami

berikan diskon 70 persen; 60 tahun mendapat

diskon 60 persen, dan seterusnya,” katanya.

Karena promosi dan pemasaran tersebut

cukup berhasil, maka Chocodot mulai dikenal

di mana-mana. Kini, Chocodot sudah bisa di

dapatkan di Jakarta. “Kami juga sudah

 

mendapatkan pelanggan di kalangan pejabat dan

public figure,” ujar Kiki bangga.

Selain itu, UD Tama Cokelat juga mulai

mengeksplorasi pengembangan jaringan dengan

metode business opportunity. Dengan cara

ini Kiki telah memiliki dua gerai pribadi dan

dua gerai milik mitranya. Gerai-gerai yang

telah beroperasi itu menggunakan nama yang

berbeda-beda, yaitu Saung Cokelat, D’Jieun

Cokelat, Warung Cokelat Intan, dan Toko Cokelat

Neo. “Pendirian D’Jieun Cokelat mendapatkan

 

bantuan modal dari bank bjb sebesar Rp 450

juta. Luasnya 500 meter persegi,” paparnya.

Sikap bank bjb yang memberikan bantuan

modal dengan mudah bagi pengusaha UKM

membuat Kiki memiliki kelekatan emosional

khusus terhadap bank ini. Kiki yang melunasi

pinjaman dari bank bjb dengan sistem

 

membayar cicilan tepat waktu setiap bulannya,

 

tidak segan-segan menempelkan logo bank bjb besar-

besar di tempat usahanya. “Saya senang menjadi

PR (public relations) bank bjb,” katanya.

Kini, praktis tidak ada kendala yang berarti.

Tiga impian besar bagi usaha cokelatnya ini

mulai tampak hasilnya. Pertama, membuat

Garut terkenal karena cokelatnya. Bahkan

 

terkenal dengan wisata belanja cokelat. Kalau

Yogya bisa mengembangkan bisnis wisata agro

sekaligus rumah inap dan spa, maka siapa pun

yang datang ke Garut pasti akan singgah di

 

berbagai gerai cokelat miliknya untuk mencari

oleh-oleh cokelat khas Garut.

Kedua, men-cokelat-kan Indonesia. Indonesia

merupakan penghasil tanaman cokelat ketiga

terbesar di dunia, tetapi masyarakat Indonesia

belum memiliki produk cokelat dalam negeri.

Karenanya ia harus lebih menyebarluaskan

produk cokelat ke seluruh Indonesia.

Yang ketiga, memiliki istana cokelat di Garut,

 

Yogyakarta, Bali, Makassar, Kalimantan, dan

Sumatera. Untuk mewujudkan ini ia perlu

 

menyiapkan sistem kemitraan yang lebih baik

dan membentuk sistem untuk memantau

 

perkembangan pasar di daerah-daerah tersebut.

Semua impian tersebut tentu saja juga akan

tampak dalam omzet usahanya. Saat ini, omzet

UD Tama Cokelat baru mencapai sekitar Rp

1 miliar per bulan. Kiki percaya dia mampu

 

meningkatkannya menjadi sekitar Rp 2 miliar

dalam waktu dekat. Selain peningkatan omzet,

tujuannya yang paling penting adalah agar bisa

membuka lapangan kerja. “Semakin banyak

lapangan kerja yang dapat dibuka, maka

semakin banyak orang bisa membuka usaha

bersama Chocodot,” katanya mantap.

 

USAHA KECIL MENENGAH

ASGAR DAN COKELAT DODOLNYA

Chocodot jadi buah tangan baru di Garut.

Meraih penghargaan di Italia.

NUANSA SERBA KECOKELATAN menghiasi sebuah toko di Jalan Oto Iskandar

 

Dinata, Tarogong, Garut, Jawa Barat. Tak hanya dinding, kusen-kusen kayu di

 

rumah berdesain minimalis itu pun dilabur kelir cokelat cerah. Ruangan

 

depannya penuh rak yang memajang bermacam penganan dari cokelat. Ada

permen, cokelat batangan, hingga bolu cokelat. Bahkan dipajang pula patung

 

replika prajurit terakota dari Tiongkok setinggi 1 meter yang juga terbuat

 

dari cokelat.

Sekilas cokelat di toko itu biasa saja. Tapi, ketika dikunyah, terasa ada

 

yang unik. Ternyata makanan cokelat ini dilapisi lempengan dodol Garut

 

empuk dan legit. Inilah Chocodot atau cokelat isi dodol yang

belakangan jadi buah tangan favorit dari Kota Intan. “Paduan enak dan

 

unik,” ujar Resti Eka, 21 tahun, warga Tangerang, Banten, yang menyambangi

 

gerai itu, Kamis pekan lalu.

 

Lantaran keunikannya itulah Chocodot menjadi istimewa. Selain laris manis,

 

penganan ini kerap meraih penghargaan. Chocodot sudah meraih 10 penghargaan

 

sejak diproduksi dua tahun lalu. Pertengahan Mei lalu, misalnya, Chocodot

 

dianugerahi gelar Product Niche dalam TuttoFood Milano World Food

 

Exhibition di Italia, pameran dua tahunan yang dilkuti produsen makanan

 

dari 65 negara. Product Niche adalah penghargaan untuk produk yang

 

melestarikan tradisi, inovatif, dan tentu saja laku di pasar. Sekarang

dalam setiap kemasan Chocodot ada tambahan logo Tutto Food.

Sukses di balik sukses Chocodot tak lain Kiki Gurnelar. Pria asal Garut—

 

terkenal dengan sebutan Asgar—ini memilih jalan sebagai pengusaha kuliner

 

karena ingin pulang kampung dan mandiri. Rupanya, setelah beberapa tahun

 

bekerja di Yogyakarta sebagai kepala cabang sebuah pabrik cokelat ternama,

Kiki merasa jenuh. Kebetulan seluruh keluarga mendukung,” kata dia.

Dengan modal Rp 17 juta, Kiki mendirikan toko roti dan cokelat. Duitnya

 

pinjam dari sang Ayah, Tatang Kurnia, yang kebetulan pegiat Usaha Kecil dan

 

Menengah (UKM) di Garut. Meski pemiliknya berpengalaman jadi kepala cabang

 

produsen cokelat, usaha mandiri ini terantuk-antuk juga.

Lelaki berusia 31 tahun itu lalu putar otak. Muncul ide meromnbak dodol

 

ketan penganan khas Garut.

Iseng-iseng camilan kenyal itu dicelupkan ke cokelat cair. “Ternyata jadi

 

lebih enak.” Kiki menjual makanan baru ini. Modalnya, Rp 52 juta, pinjam

 

lagi dari orangtua. Dana ini buat membeli bahan baku dan menyewa

toko kecil di kawasan Babakan Selawi, Cipanas, Garut. Pada 19 Juli 2009,

 

Chocodot diperkenalkan pertama kali dalam sebuah pameran yang digelar

 

pemerintah daerah.

Toh, bisnis baru Kiki tak langsung sukses. Toko makanan di seputar Garut

 

ogah menampung Chocodot. Apes, kontestan Jejaka Jawa Barat 1997 ini bahkan

 

sempat tertipu. Barangnya dibawa kabur mitra dagang. “Mungkin semua itu

 

pelajaran buat naik kelas,” ujarnya seraya menolak menyebut angka

kerugian.

Kepalang basah, ayah satu anak ini terus berusaha. la merangkul kolega dan

 

sesekali memasarkan produknya lewat jejaring sosial Facebook. Chocodot juga

 

tak pernah absen ikut berpameran, hingga akhirnya menarik perhatian Dicky

 

Chandra. Mantan artis yang kini menjadi Wakil Bupati Garut itu punya

program mengembangkan UKM. Kegigihan Kiki kali ini membuahkan hasil.

 

Pemerintah daerah Garut menjadikan Chocodot sebagai salah satu suvenir buat

 

tetamu. Chocodot semakin terkenal dan diincar wisatawan. “Toko yang dulu

 

menolak Chocodot kini antre minta jatah,” ujar Kiki terkekeh-kekeh.

Bank-bank juga mulai melirik. Sukses mendapat kredit Rp 100 juta, Kiki

 

berekspansi menambah peralatan, bahan baku, dan membangun dua gerai. Dengan

 

bendera UD Tama Cokelat, produksi per bulan mencapai empat ton cokelat dan

 

dodol. Jenis produknya pun bertambah. Kini Chocodot memiliki

30 varian, misalnya cokelat rasa cabai, brownies, dan pizza isi dodol.

Kemasannya bermacam-macam, dari bakul bambu, sangkar burung, kertas

 

alumunium, hingga dalam boneka domba Garut. Dalam bungkus cokelat batangan

 

dipasang gambar dan informasi obyek wisata Garut. Dari penganan yang

 

harganya Rp 5 ribu hingga Rp 40 ribu sebungkus itu, Kiki bisa meraup

omzet Rp 1 miliar saban bulan.

Bagi pengusaha lain, meski Chocodot menjadi pesaing anyar, toh ada juga

 

sisi positifnya. Ato Hermanto, pemilik merek Picnic, produsen dodol ternama

 

asal Garut, mengatakan pamor dodol justru semakin terangkat. “Pasar lebih

 

menggairahkan lagi,” ujarnya. Kini merek legendaris itu malah latah

membuat produk serupa: Cokodol.

(Fery Firmansyah, Sigit Zulmunir, Tempo 20-26 Juni 2011 Hal. 112)

 

 

Catatan Rhenald Kasali

 

SEMUA ORANG BISA membuat sesuatu lebih baik. Dan semua orang bisa berbicara

 

bahwa produk atau makanan buatannya lebih baik dari buatan orang lain.

 

Tatapi sedikit sekali orang yang berani menggulirkan produknya ke pasar,

 

berhenti berbicara, beralih profesi menjadi wirausaba, sarta membangun

 

usaba dari nol.

Berbada dengan Kiki, ia benar-benar berhenti dari pekerjaan bagusnya dan

 

mengambil langkah berani. Pulang kampung, mambuat ookelat buatannya

 

sendiri, dan menjajakannya dari toko ke toko, memungut bayaran-bayaran

kecil mendengarkan suara pelanggan dan menyewa rumah untuk mengembangkan

 

usahanya sampai usaha itu tumbuh menjadi lebih stabil. Ia juga berani maju

 

menghadapi tantangan demi tantangan dari para incumbent yang bishisnya

 

terancam.

Seperti dodol garut yang terancam dengan kehadiran dodol berbalut cokelat

 

masa depan setiap produk pangan selalu menghadapi tantangan-tantangan baru

 

Selalu muncul inovasi yang mengubah salera. Maka itu perbaruilah produk

 

Anda dan beradalah selangkah di depan salera-salera baru

Setiap usaha memiliki dua sisi yaitu aspek tangibles (fisik, kasat mata)

 

dan aspek intangibles (melekat pada manusia, nonfisik tak kalihatan)

 

Pengusaha selalu terkait oleh kedua hal itu tetapi sering melupakan atau

 

tidak paham bahwa segala yang tak terlihat, kasat mata (intangibles) jauh

 

lebih penting daripada yang kasat mata.

Apa sajakah aspk-aspek intangibles itu? Aspek-aspek intangibles itu adalah

 

sagala sesuatu yang hanya didapat kalau kita melatih dan melangkah, dan

 

melekat pada diri manusia. Keterampilan mernasak, reputasi, kelincahan

kaki melangkah mendatangi outlet, keberanian berhenti dari pekerjaan dan

 

mengambil resiko, kejelian melihat lokasi, jaringan pertemanan, nama usaha

 

(brand image), kegelisahan tangan untuk membuat produk-produk inovatif dan

Seterusnya.

Kiki Gumelar melatih dirinya melalui serangkaian tindakan. Ia tidak hanya

 

sekolah lima sentimeter melainkan sekolah dua meter. Ia belajar mengolah

 

tepung di Bogasari, belajar membuat kecap dan mengolah cokelat dari

 

perusahaan tempat ia bekerja. Ia belajar menghadapi suara ibu-ibu, mengajar

 

di sekolah dan mendengarkan apa kata pasar. Lalu, ia melangkah pulang

 

kampung membuka usaha memberi nama yang unik, menghubungi orangtua untuk

mencari pinjaman modal, menghubungi para pemilik toko, membangun kerjasama

 

dengan perajin, dan seterusnya.

Intangibles tak pernah terputus. Ia terus mengakumulasi harta Anda, harta

 

yang tak terlihat. Dari bisa membuat satu menjadi serba bisa. Dari tak

 

dikenal menjadi mulai dikenal dan sangat terkenal. Inilah modalnya Kiki

 

Gumelar, modal yang memperbesar Chocodot. Ini pulalah yang membedakan usaha

 

Yang tetap kecil—berkisar jutaan rupiah saja—dengan usaha yang berevolusi

 

menjadi besar—berkisar miliaran rupiah.

Maka berhentilah berbicara dan mulailah bekerja, eksplorasi dunia ini

 

dengan segenap kreasi dan impian Anda. Kelak dunia mimpi itu

 

akan jadi milik Anda jua.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

No comments: