Enday Media, Eloknya Bisnis Wayang Golek
“Wayang golek? Buat apa?”
Kalimat yang meremehkan ini
senantiasa terngiang dalam benaknya.
Perjalanan waktulah yang kemudian
Memberikan jawaban dalam kehidupan
perajin wayang golek sukses ini
Dari ayah, turun ke anak. Demikianlah
Enday Media memperoleh keterampilan
membuat wayang golek dari ayahnya,
Entang Sutisna, yang telah menjalani usaha
tersebut sejak 1965. Hasil karya tangan Entang
bahkan menarik minat Presiden Soeharto dan
Ibu Tien untuk mengunjungi rumahnya di
Kampung Tiawang-awang, Desa Sukamantri,
Kecamatan Ciomas pada tahun 1972. Pak Harto
memesan 120 karakter wayang golek yang biasa
dipakai untuk pertunjukan.
Usia Enday baru 13 tahun, masih duduk di
bangku SMP, saat ayahnya mulai mengajarinya
ilmu membuat wayang golek. Saat duduk di kelas
2 SMP, pria kelahiran tahun 1974 ini sudah bisa
membuat wayang golek sendiri dan menjualnya
untuk membiayai sekolah hingga lulus SMA.
“Bisa dikatakan wayang golek yang saya buat
di rumah sudah sampai ke luar negeri, karena
waktu itu saya jualannya ke orang asing di
Kebun Raya Bogor. Saya sekalian latihan bahasa
Inggris karena di situ banyak turis asing,”
kenang Enday.
Lulus SMA, Enday melanjutkan kuliah yang
tidak kunjung selesai hingga kini. Enday lantas
memilih untuk bekerja saja, meskipun menjadi
perajin wayang golek tidak termasuk dalam
pilihannya saat itu. Ia pun memilih pekerjaan
sebagai resepsionis di hotel berbintang di Bogor
dan Jakarta selama kurang lebih 11 tahun.
Namun pada tahun ke-8, skill membuat wayang
golek yang sekian lama terpendam mulai
menggelitik kalbu Enday. Tuntutan biaya dari
keluarga, istri, dan anak tidak sebanding dengan
gaji bulanan yang masuk ke kantongnya.
KANTORAN ATAU BISNIS?
Enday pun memutuskan untuk mencoba
menjajaki usaha wayang golek dengan menangani
usaha ayahnya. Enday mengatakan agar
ayahnya cukup berkonsentrasi membuat wayang
golek di rumah, dan ia berjanji bahwa
orang asing akan berdatangan ke sana. “Waktu
itu modal saya Rp 750 ribu, cash. Saya minta ke
bapak saya bikin wayang 10 biji, ternyata bapak
saya bikin 20 biji. Saya taruh di rak. Lalu saya
promosikan,” tutur Enday.
Salah satunya, Enday berpromosi ke Kebun
Raya Bogor. Setiap ada orang yang membawa
turis asing, diajaknya bicara. Namun, penolakan
demi penolakan menerpa Enday. Ternyata
perjalanan tak semudah dan semulus yang
dibayangkan.
Enday juga mendatangi teman-temannya di
Tourist Information Center, Bogor dan diterima
dengan baik. Tapi ternyata mereka sudah lebih
dulu bekerja sama dengan seorang penjual
wayang golek di Kebun Raya Bogor, yang dulu
membeli wayang golek dari ayahnya. Enday tahu
persis bahwa si penjual tersebut telah menjadi
orang yang terkenal, maju, dan berpunya.
Tapi Enday tak putus asa. “Saya tetap promosi
ke mereka dan mereka promosi ke orang asing.
Lama-lama terjadilah kunjungan orang asing ke
rumah saya. Pertama kali datang orang Swiss bersama
keluarganya. Dia beli sebuah wayang dengan
harga 50 Euro. Waktu itu tahun 2000. Kurang
lebih setelah dirupiahkan menjadi Rp 500 ribu.
Saya kemudian berpikir, dengan modal Rp 750
ribu mendapat 20 wayang. Lalu jual 1 wayang
seharga Rp 500 ribu sudah hampir menutupi
modal,” urai Enday.
Meski menyadari peluang emas yang terpampang
luas di hadapannya, Enday masih
tetap bekerja di hotel. Urusan kerja pun mulai
terganggu oleh urusan wayang golek. Saat
sedang bekerja, ternyata turis-turis asing banyak
yang datang ke rumahnya di Sirnagalih No.60
RT 01 RW 07 Kelurahan Loji, Bogor Barat, Jawa
Barat. Ia pun mengalami dilema, loyal kepada
pekerjaan di hotel atau kepada bisnis wayang
golek.
“Saya sedang di tempat kerja, orang-orang
yang mau bawa turis ke rumah telepon saya,
mau datang bawa tamu sekian orang jam 9 pagi.
Saya akhirnya cari alasan untuk bisa pulang,
saya bilang sakitlah, izinlah. Saya pulang, tamu
datang beli dua buah wayang seharga Rp 1,2 juta.
Lalu, ada lagi tamu beli 2 buah wayang seharga
Rp 1,5 juta. Saya pikir, wah dua kali jualan
saya dapat segini,” tutur Enday. Meski hasil
penjualan wayang golek cukup membuatnya
goyah, namun Enday mencoba bertahan dan
loyal pada perusahaan tempatnya bekerja. Tapi
‘gangguan’ tak kunjung berhenti.
Suatu hari, saat Enday berangkat bekerja, di
perjalanan ia menerima telepon dari orang yang
akan membawa turis ke rumahnya. Enday pun
kembali pulang dan beralasan ke kantor akan
datang terlambat. Setelah meladeni turis belanja
dan mengantongi Rp 1,2 juta hasil menjual dua
buah wayang, Enday segera menuju kantor. Namun
lagi-lagi Enday menerima telepon. Kali ini
ada 6 orang turis Belanda akan mengunjungi
rumahnya. Bingung mau memberikan alasan
apa lagi ke kantor, akhirnya Enday memutuskan
untuk tidak masuk kerja hari itu.
“Setelah tamu Belanda belanja, saya berpikir,
gaji saya enggak sampai segini. Akhirnya saya
ngobrol sama istri, sepertinya saya harus pilih
salah satu,” ujar Enday. Namun Enday belum juga
berani mengambil keputusan. Kerja kantoran
sambil menjual wayang golek dinikmatinya,
hingga akhirnya bisa membeli rumah.
MERASA SAKIT HATI
Suatu saat, Enday kepepet. Ia butuh modal Rp 5
juta dalam waktu seminggu untuk memproduksi
wayang goleknya. Dia pun menghampiri salah
satu bank dengan membawa sertifikat rumah
untuk mengajukan kredit. Enday yakin dan
penuh percaya diri bahwa pengajuan kreditnya
akan dikabulkan, sebab ada kerabatnya yang
bekerja di bank tersebut.
Saat pihak bank menanyakan apa usahanya,
Enday menjawab apa adanya, yakni perajin
wayang golek. Tak dinyana, Enday mendapat
jawaban yang menusuk hatinya. “Pimpinannya
bilang begini ke saya, ‘Wayang golek? Buat
apa?’ Sakit hati saya. Jujur, sampai sekarang
saya sakit hati dan merasa terhina. Dia bilang,
kalau usahanya sembako, besok juga dananya
cair. Saya bilang, tengok rumah saya. Setiap
hari ada 2-3 buah bus yang membawa belasan
turis asing. Belum terhitung mobil-mobil kecil
yang bawa 2-4 orang turis asing. Tapi akhirnya
ya sudahlah, rezekinya memang bukan di situ,”
kenang Enday.
Meski merasa sedih, Enday tak mau terpuruk.
Dia mencoba mendatangi Dinas Pariwisata dan
3 buah bank, namun kembali tak menemukan
solusi. Hingga akhirnya Enday mendatangi bank
bjb. Usaha yang digeluti Enday justru menarik
perhatian bank bjb, sehingga Enday mendapat
pinjaman. Masalah Enday pun teratasi. Problem
kekurangan SDM pun tertangani dengan merekrut
warga sekitar untuk dididik dan dilatih
membuat wayang golek. “Setelah dapat pinjaman
dari bank bjb, usaha saya mulai tertata,” ujar
Enday penuh syukur.
Setelah bisnis sampingan wayang goleknya
berjalan setahun, Enday berhasil membeli kendaraan.
Keberadaan ini mengundang komentar
miring dari orang-orang kantornya. Bahkan
ada yang menduga Enday melakukan korupsi, sampai
sampai bosnya juga menaruh kecurigaan serupa. Agar hal
negatif itu tak berkembang pesat, Enday mengajak salah
seorang asisten manajer ke rumahnya. Saat itu Enday
mendapat telepon bahwa ada pemandu wisata yang akan
membawa 2 orang turis Belanda ke rumahnya.
“Dia tanya, ngapain? Saya bilang, lihat saja. Lalu datang
orang Belanda, saya nyerocos pakai bahasa Belanda, dia
bingung. Terus setelah orang Belanda beli, saya tunjukin
uangnya. Dia tanya, uang apa nih?
Saya jawab, Euro. Besoknya begitu lagi, saya bawa lagi
itu orang. Dia tanya, berapa dapatnya? Saya jawab Rp 1,2
juta,” tutur Enday.
Meski selanjutnya Enday beroleh izin untuk mengurus
usaha wayang goleknya, namun lama-lama bosnya merasa
jengkel lantaran merasa Enday lebih mengutamakan bisnis
wayang goleknya sehingga ia jarang masuk. Suasana kerja
pun menjadi tidak enak karena Enday bolak-balik minta izin.
Puncaknya terjadi ketika seminggu Enday tidak masuk
kerja karena sakit. Bosnya mendatangi rumah Enday. Saat
itulah Enday menyatakan pengunduran dirinya.
“Itu terjadi setelah bisnis wayang golek saya berjahn
kurang lebih 4 tahun. Saya sedih ketika harus memilih bekerja
atau berusaha. Saya ‘sakit’, susah tidur. Tapi memang saya
harus pilih salah satu. Saya akhirnya mengundurkan diri
dari perusahaan pada 2005. Harapan saya, saya hanya
ingin maju,” cetus Enday.
TRIK SUKSES
Enday tetap mempertahankan tempat penjualan wayang
golek di rumahnya agar calon pembeli bisa sekaligus
‘berwisata’ melihat bengkel kerja pembuatan wayang.
“Awalnya produk wayang golek hanya
dipasarkan di Kebun Raya Bogor, tapi dengan semakin
banyaknya penjual wayang, akhirnya saya mencari
diferensiasi. Mulai dari produk,
tidak hanya wayang, tapi juga patung.
Dan, juga tidak lagi menjual di tempat umum.
Hanya menjual wayang di rumah,” tutur Enday.
Karena banyak turis asing yang datang, Enday pun
meletakkan gamelan sebagai daya tarik. Gamelan
tersebut cukup manjur menarik perhatian
para turis asing, sehingga bukan sekadar melihat
wayang golek. Enday juga kerap memainkan wayang
golek di hadapan turis agar mereka
tertarik membelinya. “Mereka bertanya, wayang
golek ini untuk apa. Saya bilang, sekarang sih
untuk dekorasi, tapi normalnya untuk dimainkan.
Saya pakai bahasa Inggris belepotan, tapi
alhamdulillah menghasilkan. Modal bahasa
Inggris kocar-kacir, nekat ngobrol dengan turis.
Yang datang ke sini 80 persen orang Belanda.
Akhirnya saya ngikutin pakai bahasa Belanda,
sedikit-sedikit bisa. Paling yah selamat pagi
bahasa Belandanya apa gitu, tahunya juga ya
dari mereka,” jelas Enday.
Enday juga memiliki buku berbahasa Belanda
tentang wayang golek asli karangan penulis
Belanda, Peter Gohan. Jika ada turis asing,
utamanya dari Belanda yang tidak percaya
dengan kualitas wayang golek buatannya—apa
lagi menyamakannya dengan wayang golek
berkualitas rendah berharga lebih murah—
Enday akan menyodorkan buku tersebut. Turis
asing tersebut akan menemukan persamaan
kualitas yang dipaparkan dalam buku tersebut
dengan buatannya, sehingga mereka kemudian
membeli karena sudah terbukti kualitasnya.
“Jadi, yang utama harus tetap membuktikan
kualitas. Ciri khas produk saya ada pada ukiran
yang halus dan menggunakan kayu lame.
Kalau yang di pinggiran jalan, kan, ukirannya
besar-besar dan pakai kayu albasia. Itu kayu
yang ringan sekali, hasilnya goyang-goyang
dan warnanya cokelat, muka dan pakaiannya
enggak rapi. Wayang yang dibuat Bapak saya
tahun 1965 sampai sekarang masih bagus
karena asli. Banyak orang di luar negeri juga
mempromosikan hasil karya Bapak saya,” tutur
Enday bangga.
Ini bukan sekadar kebanggaan semata.
Enday telah menyisir Bogor hingga semua
ujung Jawa Barat. Tidak ada wayang golek yang
memiliki ukiran sehalus buatannya. Enday pun
tidak takut dengan persaingan, karena kualitas
wayangnya ‘berani diadu’. Enday juga pernah
meminta perajin lainnya untuk membuat
wayang golek sebagus buatannya, namun tidak
ada yang sanggup. Meski gudangnya wayang
golek ada di Bandung dengan jumlah perajin
yang lebih banyak, menurut Enday, tetap saja
orang Bandung datang ke rumahnya.
Bagi pembeli yang tidak mengetahui perbedaan
kualitas wayang golek, Enday membagikan tipsnya.
Caranya dengan menekan
bagian pantat wayang golek yang terbuat dari
kayu. Jika kayunya terkopek dengan kuku jari,
berarti wayang tersebut berkualitas rendah
karena tidak menggunakan kayu yang kuat.
“Di JCC dan Smesco Jakarta, wayang golek
saya dibilang kualitas terbaik. Saya kaget, harga
wayang golek di Pasaraya Jakarta Rp 700 ribu,
padahal kualitasnya kurang. Saya jual Rp 400-
500 ribu dengan kualitas bahan lebih bagus.
Orang bule juga kerap menawar. Saya enggak
kalah trick. Mereka, kan, nawarnya 50 persen,
ya saya naikin saja lagi 50 persen. Tapi kalau
untuk orang kita, saya kasih harga Rp 300 ribu,”
ujar Enday.
Kini, Media Art and Handicraft Bogor yang
dibesarkannya sudah masuk dalam daftar
program kunjungan turis mancanegara. Volume
turis dalam seminggu mencapai 20-30
orang dalam sekali kunjungan untuk satu biro
perjalanan saja. Itu pun belum terhitung mobil-
mobil kecil yang membawa 2-4 orang. Kebanyakan turis
Belanda, Inggris, dan Kanada. Banjir order pun dialami
Enday. Hotel Indonesia Kempinsky di Jakarta minta di
buatkan 1.000 wayang golek untuk April 2011, setelah
tahun sebelumnya memesan 300 wayang golek. Pada bulan
yang sama, Sekolah Global Jakarta memesan 50
wayang golek untuk latihan pengecatan. Bulan Mei 2011,
Enday membuat 174 wayang golek untuk Jakarta
International School (JIS) di Jakarta. Enday
juga mengajari murid JIS mengecat wayang
golek yang kemudian mereka bawa pulang. Kegiatan ini rutin
setiap tahun dan sudah berjalan tiga tahun. “Saya mengajukan
pinjaman lagi ke bank bjb karena saya kekurangan modal
untuk memenuhi pesanan JIS. Ditambah lagi season libur
bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September. Itu kan untuk orang
asing semua,” kata Enday.
Enday juga sudah mempelajari pola dan perilaku turis
asing. Saat musim liburan, turis-turis asing itu datang dengan
membawa anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Kerap anak
anak kecil itu bermain bola di rumahnya yang penuh dengan
wayang golek. Awalnya Enday ngeri karyanya hancur. Namun
karena anak kecil itu tidak dimarahi orang tuanya, Enday pun
memilih diam. Kalau ada karyanya yang hancur, orangtuanya
tinggal ditagih bayaran. Ternyata mereka bisa menerima. Enday
juga membolehkan anak kecil mengecat wayang golek yang
belum jadi. Tak berapa lama, anak kecil itu akan menangis,
meminta agar wayang golek yang dicatnya bisa dibawa
pulang. Maka terjadilah permintaan, Enday tinggal
menyebutkan harganya. “Pokoknya saya sudah terbiasa
dengan pola-pola perilaku mereka. Seperti ketika
seorang Lebanon yang datang ke sini bilang bahwa wayang
golek harom, saya bilang terserah you, saya dapat duit
dari you buat kasih orang lain makan, lebih berguna mana.
Eh, akhirnya dia beli juga,”
katanya tersenyum lebar.
MANAJEMEN KETERAMPILAN
Omzet tertinggi yang pernah dicapai Enday adalah pesanan dari
Hotel Indonesia Kempinsky sebanyak 1.000 buah wayang. Ini di
luar dugaan dan rutinitas. Rata-rata omzet per tahun mencapai
Rp 120 juta dengan keuntungan bersih hingga 50 persen. Setiap
bulannya rata-rata ia bisa menjual 40 buah wayang golek.
Saking kewalahan menerima order, Enday pernah menolak
order 300 wayang golek cepot karena hanya diberi waktu 2 minggu.
“Tidak sanggup dan tidak mungkin terkejar,” ujarnya. Sedangkan
untuk pengerjaan 140 wayang golek Hanoman berbusana pencak
silat untuk perlombaan karate di Bali bisa dikerjakan dalam
waktu 2 minggU.
Selain berkat bantuan bank bib untuk permodalan dan
promosi, Enday juga merasa terbantu oleh Pemerintah Kabupaten
Bogor yang melakukan promosi melalui pameran. Contohnya pada
23 April 2011, di Supermal Karawaci, Tangerang, Banten digelar
pameran dengan menggunakan wayang golek. Pihak travel juga
kerap memberitahukan jadwal kunjungan turis
ke rumahnya.
Promosi juga dilakukan secara tidak langsung
oleh orang-orang asing yang membuatkannya
website. Padahal, Enday sendiri malah tidak
punya website, meski ia tetap menjaga hubungan
baik dengan pembelinya melalui telepon dan
email. Karya Enday juga terkenal berkat liputan
media televisi, koran, tabloid, dan portal berita
nasional, yang membuat Duta Besar Polandia
berkunjung ke rumahnya. Dari perwakilan
Polandia itulah Enday tahu bahwa ada orang
Polandia yang belum ke Indonesia pun sudah
mahir main gamelan. “Tapi kenapa anak muda
kita enggak mau? Apalagi bikin wayang golek
yang rumit. Itulah kendalanya,” keluhnya.
Kendala itu berpengaruh pada minimnya
sumber daya manusia perajin wayang golek.
Apalagi untuk generasi berikutnya, terutama
untuk pembuatan bagian kepala yang paling
sulit. “Sebenarnya, kalau mau belajar, satu atau
dua tahun saja sudah bisa. Masalahnya, sulit
menemukan anak muda yang berminat,” ujar
Enday menyayangkan. Padahal banyak anak
muda yang putus sekolah dan menganggur.
Enday pun mengajari anaknya agar mewarisi
skill turun-temurun.
Saat ini Enday memiliki 15 orang pekerja
untuk melakukan keseluruhan proses. Namun,
hingga saat ini pembuatan kepala hanya dapat
dilakukan oleh Enday dan ayahnya. Sementara
ibu, kakak, adik, dan saudara Enday juga terlibat
dalam pembuatan bagian lain, misalnya pakaian
dan badan wayang. Dalam 5 bulan mereka bisa
menghasilkan 1.000 wayang golek, dengan dua
ukuran standar, 65 cm dan 40 cm. Sedangkan
untuk ukuran yang lebih besar dari 65 cm dan
lebih kecil lagi dari 40 cm jarang dibuat karena
tidak tertangani.
“Ini memang bisnis yang ditangani keluarga.
Tapi saya tetap memperjuangkan agar warga di
sini juga bisa membuat wayang, dan saya pun
terbantu. Ada beberapa warga di sekitar sini
yang terlibat. Karena tidak punya bekal berupa
bakat, jadi mereka harus dilatih, diberdayakan.
Saya heran mengapa orang kita kok malah
bilang wayang golek buat apa? Padahal orang
asing datang ke sini mencari wayang golek dan
berani membeli dengan harga mahal” katanya
masih dengan nada kesal.
Diakuinya, karyawan yang bekerja memang
sebagian adalah keluarga. Karena dalam
industri pembuatan wayang golek, keahliannya
didapat secara turun-temurun, dan generasi ke
generasi. Dan, kualitas yang dihasilkan lebih
baik daripada menggunakan tenaga dari tempat
lain. Pernah juga ia merekrut tenaga dari luar,
hanya saja kualitas yang dihasilkan masih
jauh dibandingkan dengan buatan keluarganya
sendiri.
“Masalah yang timbul karena berbisnis
dengan keluarga adalah mereka akhirnya
mencari pekerjaan lain, sehingga saya akhirnya
tetap mengerjakan sendiri. Karyawan saya
belum pernah ada yang dibajak, tetapi ada
dari mereka yang keluar setelah bisa membuat
wayang sendiri,” tutur Enday.
Enday mengaku memang sudah saatnya ia
mempekerjakan karyawan profesional, “Hanya
saja di bidang pembuatan wayang, cuma sedikit
sekali perajin yang memiliki kemampuan
profesional untuk dapat menghasilkan patung
dengan kualitas baik.” Karena itu Enday
tetap bertahan dengan cara saat ini, memberi
pelatihan teknis kepada karyawan secara
mandiri. Meskipun Enday sadar, dengan sumber
daya yang terbatas, ia kerap harus berjuang
mati-matian jika tiba-tiba datang order dalam
jumlah besar.
Enday menjelaskan, bahwa sebagai usaha
keluarga, bisnisnya tumbuh dengan sendirinya.
Tidak ada sistem tertentu yang dijalankan. Sistem
manajeman masih tradisional, berdasarkan
intuisi saja. Bisnis serupa di daerah sekitarnya
memang ada, tetapi kualitasnya justru masih
berada jauh di bawah produksi Enday. Lagi
pula, mereka menggunakan pemasaran cara
lama, yaitu berjualan secara kaki lima di sekitar
Kebun Raya Bogor. dengan demikian, menurut
Enday usaha sejenis tersebut tidak menjadi
masalah karena diarahkan pada konsumen yang
berbeda.
Membuka outlet di pinggir jalan bukannya
tidak pernah dicoba oleh Enday, tapi ternyata
hasilnya kurang bagus. Ini berlawanan dengan
teori bisnis umum yang mengatakan bahwa
pemasaran di lokasi strategis lebih bagus
ketimbang di dalam kampung. Dalam kasus
Enday, ternyata pemasaran lebih baik dengan
posisi yang berada tidak di pinggir jalan raya.
“Posisi kami di dalam kampung. Orang asing
lebih tertarik dengan keberadaan kami di dalam
kampung. Apalagi orang Belanda banyak yang
ingin nostalgia mendatangi kampung tradisional
untuk melihat aktivitas sehari-hari orang kita,”
jelas Enday.
Masalah lain datang dari masyarakat sekitar
yang pro dan kontra atas kehadiran bus-bus
dan mobil-mobil turis asing, terutama masalah
lahan parkir di daerah perkampungan. Jika
ada kerusakan yang ditimbulkan akibat urusan
parkir, tanpa banyak bicara Enday langsung
memperbaikinya. Ia juga memperhatikan masalah
keamanan bagi kedua belah pihak.
MEMPELAJARI PERILAKU KONSUMEN
Meski sudah cukup sukses, Enday tak mau
berpuas diri. Enday ingin mengembangkan
usahanya lebih jauh lagi. Enday ingin menjangkau
turis asing yang tidak sempat mampir ke
rumahnya karena dianggap terlalu jauh. Target
pasarnya sudah jelas: turis asing. Menurut
perhitungan Enday, 80 persen pasarnya memang
untuk mereka.
Enday pun mengincar lokasi di dekat kantor Pos
yang kerap disinggahi turis. Enday
juga mempelajari biro perjalanan terbesar
dari Belanda, yang dalam seminggu bisa
mengirimkan 8 buah bus untuk singgah di kantor
pos. Belum lagi biro perjalanan lain dari
Malaysia, Jepang, Jerman, Cina, Lebanon, dan
Prancis.
Enday memutuskan bahwa ekspansi dilakukannya
tidak dengan membuka cabang, tetapi
melalui diferensiasi produk dan keunikan
tempat. Jadi, pembeli hanya dapat membeli
hasil kerajinan wayangnya di production house
langsung dan di pameran-pameran. Dari situ
mereka merasakan getaran-getaran seni,
originalitas sebuah handicraft. Mereka tidak
sekadar membeli, melainkan juga berwisata,
mendapatkan sebuah experience.
“Dari cara marketing seperti itu, order
langsung dari mancanegara menjadi lebih banyak.
Hanya saja kendala yang dihadapi tetap sama,
yaitu kekurangan tenaga untuk memenuhi
permintaan. Cara menyiasatinya adalah bekerja
sama dengan perajin-perajin di sekitar, yang
sebelumnya kita latih untuk menyamakan
kualitas,” jelas Enday.
Inovasi yang dilakukan Enday adalah dengan
melakukan diferensiasi produk. Manakala ada
pembeli dari luar negeri yang sebelumnya sudah
membeli produk sejenis, mereka bisa ditawarkan
lagi bentuk yang berbeda, atau jenis produk yang
berbeda, seperti patung atau hiasan meja, dan
lain-lain. Diferensiasi produk yang ia lakukan
ke pembuatan patung, menurut Enday, adalah
langkah yang paling mudah karena kualitas
dari hasil wayang sudah baik, sehingga kualitas
patung juga bisa mengikuti.
Enday bercita-cita kerajinan wayang
goleknya akan dikenal luas dan diakui oleh
masyarakat internasional. Ia juga berharap
usahanya bisa terus maju dari generasi ke
generasi. Jika ada yang bertanya ‘Wayang
golek? Buat apa?’ dengan nada sinis dan
meremehkan, kini Enday sudah punya jawabannya.
“Saya hidup dari wayang golek. Dulu
Bapak saya buat, jual wayang golek untuk
hidup dan pendidikan saya. Sekarang, saya
jual wayang golek untuk menghidupi keluarga
saya, anak buah saya, dan keluarga mereka.
Bisa merangkul tenaga kerja. Tradisi ini
semoga dipertahankan, jangan sampai hilang
atau punah,” harap Enday.
Catatan Rhenald Kasali
BANYAK ORANG MELAKUKAN pemasaran dengan menggunakan cara standar yang
beriaku dalam ravolusi industri. Produk standar dibuat oleh mesin secara
massal, lalu diciptakan dan didistribusikan secara massal. Produk-produk
seperti ini jauh sekali dari sentuhan manusia dan seni, sehingga lokasi
menjadi penting, yaitu sedekat mungkin jangkauan pasar.
Berbeda dengan produk-produk turunan revolusi industri, barang-barang
kerajinan adalah hasil karya manusia. Di dalamnya tidak hanya ada keindahan
produk, tetapi juga keindahan proses, impian tentang tokoh-tokohnya,
cerita tentang pembuatan, mitos-mitos yang diwariskan, bahkan cerita
tentang si pembuatnya. Jadi, manajemennnya tidak bisa dilakukan dengan
memisahkan antara cerita dengan produk. Memisahkan keduanya sama saja
memisahkan jiwa dari raga manusia. Berarti mati. Benda mati adalah benda
hasil ciptaan mesin. Sedangkan wayang golek, batik keris, patung,
ukir-ukiran, dan sebagainya adalah karya cipta yang kaya ‘ruh’. Ia akan
menjadi kekuatan kalau pemiliknya bisa memelihara ruh itu.
Ruh itu ditiupkan melalui story telling dan customer involvement. Jadi
lokasinya tidak tarus dekat dengan konsumen melainkan harus dapat memberi
kesan tersendiri, membangkitkan rasa ingin tahu, diperkaya oleh
cerita dan melibatkan konsumen dalam hubungan batin.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment