Saturday, April 13, 2013

Enday, dari Bisnis Pembuatan Wayang Golek Sukses Raup Omzet Ratusan Juta

Enday Media, Eloknya Bisnis Wayang Golek

“Wayang golek? Buat apa?”

Kalimat yang meremehkan ini

senantiasa terngiang dalam benaknya.

Perjalanan waktulah yang kemudian

Memberikan jawaban dalam kehidupan

perajin wayang golek sukses ini

Dari ayah, turun ke anak. Demikianlah

Enday Media memperoleh keterampilan

membuat wayang golek dari ayahnya,

Entang Sutisna, yang telah menjalani usaha

tersebut sejak 1965. Hasil karya tangan Entang

bahkan menarik minat Presiden Soeharto dan

Ibu Tien untuk mengunjungi rumahnya di

Kampung Tiawang-awang, Desa Sukamantri,

Kecamatan Ciomas pada tahun 1972. Pak Harto

memesan 120 karakter wayang golek yang biasa

dipakai untuk pertunjukan.

Usia Enday baru 13 tahun, masih duduk di

bangku SMP, saat ayahnya mulai mengajarinya

ilmu membuat wayang golek. Saat duduk di kelas

2 SMP, pria kelahiran tahun 1974 ini sudah bisa

membuat wayang golek sendiri dan menjualnya

untuk membiayai sekolah hingga lulus SMA.

“Bisa dikatakan wayang golek yang saya buat

di rumah sudah sampai ke luar negeri, karena

waktu itu saya jualannya ke orang asing di

Kebun Raya Bogor. Saya sekalian latihan bahasa

Inggris karena di situ banyak turis asing,”

kenang Enday.

Lulus SMA, Enday melanjutkan kuliah yang

tidak kunjung selesai hingga kini. Enday lantas

memilih untuk bekerja saja, meskipun menjadi

perajin wayang golek tidak termasuk dalam

pilihannya saat itu. Ia pun memilih pekerjaan

sebagai resepsionis di hotel berbintang di Bogor

dan Jakarta selama kurang lebih 11 tahun.

Namun pada tahun ke-8, skill membuat wayang

golek yang sekian lama terpendam mulai

menggelitik kalbu Enday. Tuntutan biaya dari

keluarga, istri, dan anak tidak sebanding dengan

gaji bulanan yang masuk ke kantongnya.

KANTORAN ATAU BISNIS?

Enday pun memutuskan untuk mencoba

menjajaki usaha wayang golek dengan menangani

usaha ayahnya. Enday mengatakan agar

ayahnya cukup berkonsentrasi membuat wayang

golek di rumah, dan ia berjanji bahwa

orang asing akan berdatangan ke sana. “Waktu

itu modal saya Rp 750 ribu, cash. Saya minta ke

bapak saya bikin wayang 10 biji, ternyata bapak

saya bikin 20 biji. Saya taruh di rak. Lalu saya

promosikan,” tutur Enday.

Salah satunya, Enday berpromosi ke Kebun

Raya Bogor. Setiap ada orang yang membawa

turis asing, diajaknya bicara. Namun, penolakan

demi penolakan menerpa Enday. Ternyata

perjalanan tak semudah dan semulus yang

dibayangkan.

Enday juga mendatangi teman-temannya di

Tourist Information Center, Bogor dan diterima

dengan baik. Tapi ternyata mereka sudah lebih

dulu bekerja sama dengan seorang penjual

wayang golek di Kebun Raya Bogor, yang dulu

membeli wayang golek dari ayahnya. Enday tahu

persis bahwa si penjual tersebut telah menjadi

orang yang terkenal, maju, dan berpunya.

Tapi Enday tak putus asa. “Saya tetap promosi

ke mereka dan mereka promosi ke orang asing.

Lama-lama terjadilah kunjungan orang asing ke

rumah saya. Pertama kali datang orang Swiss bersama

keluarganya. Dia beli sebuah wayang dengan

harga 50 Euro. Waktu itu tahun 2000. Kurang

lebih setelah dirupiahkan menjadi Rp 500 ribu.

Saya kemudian berpikir, dengan modal Rp 750

ribu mendapat 20 wayang. Lalu jual 1 wayang

seharga Rp 500 ribu sudah hampir menutupi

modal,” urai Enday.

Meski menyadari peluang emas yang terpampang

luas di hadapannya, Enday masih

tetap bekerja di hotel. Urusan kerja pun mulai

terganggu oleh urusan wayang golek. Saat

sedang bekerja, ternyata turis-turis asing banyak

yang datang ke rumahnya di Sirnagalih No.60

RT 01 RW 07 Kelurahan Loji, Bogor Barat, Jawa

Barat. Ia pun mengalami dilema, loyal kepada

pekerjaan di hotel atau kepada bisnis wayang

golek.

“Saya sedang di tempat kerja, orang-orang

yang mau bawa turis ke rumah telepon saya,

mau datang bawa tamu sekian orang jam 9 pagi.

Saya akhirnya cari alasan untuk bisa pulang,

saya bilang sakitlah, izinlah. Saya pulang, tamu

datang beli dua buah wayang seharga Rp 1,2 juta.

Lalu, ada lagi tamu beli 2 buah wayang seharga

Rp 1,5 juta. Saya pikir, wah dua kali jualan

saya dapat segini,” tutur Enday. Meski hasil

penjualan wayang golek cukup membuatnya

goyah, namun Enday mencoba bertahan dan

loyal pada perusahaan tempatnya bekerja. Tapi

‘gangguan’ tak kunjung berhenti.

Suatu hari, saat Enday berangkat bekerja, di

perjalanan ia menerima telepon dari orang yang

akan membawa turis ke rumahnya. Enday pun

kembali pulang dan beralasan ke kantor akan

datang terlambat. Setelah meladeni turis belanja

dan mengantongi Rp 1,2 juta hasil menjual dua

buah wayang, Enday segera menuju kantor. Namun

lagi-lagi Enday menerima telepon. Kali ini

ada 6 orang turis Belanda akan mengunjungi

rumahnya. Bingung mau memberikan alasan

apa lagi ke kantor, akhirnya Enday memutuskan

untuk tidak masuk kerja hari itu.

“Setelah tamu Belanda belanja, saya berpikir,

gaji saya enggak sampai segini. Akhirnya saya

ngobrol sama istri, sepertinya saya harus pilih

salah satu,” ujar Enday. Namun Enday belum juga

berani mengambil keputusan. Kerja kantoran

sambil menjual wayang golek dinikmatinya,

hingga akhirnya bisa membeli rumah.

MERASA SAKIT HATI

Suatu saat, Enday kepepet. Ia butuh modal Rp 5

juta dalam waktu seminggu untuk memproduksi

wayang goleknya. Dia pun menghampiri salah

satu bank dengan membawa sertifikat rumah

untuk mengajukan kredit. Enday yakin dan

penuh percaya diri bahwa pengajuan kreditnya

akan dikabulkan, sebab ada kerabatnya yang

bekerja di bank tersebut.

Saat pihak bank menanyakan apa usahanya,

Enday menjawab apa adanya, yakni perajin

wayang golek. Tak dinyana, Enday mendapat

jawaban yang menusuk hatinya. “Pimpinannya

bilang begini ke saya, ‘Wayang golek? Buat

apa?’ Sakit hati saya. Jujur, sampai sekarang

saya sakit hati dan merasa terhina. Dia bilang,

kalau usahanya sembako, besok juga dananya

cair. Saya bilang, tengok rumah saya. Setiap

hari ada 2-3 buah bus yang membawa belasan

turis asing. Belum terhitung mobil-mobil kecil

yang bawa 2-4 orang turis asing. Tapi akhirnya

ya sudahlah, rezekinya memang bukan di situ,”

kenang Enday.

Meski merasa sedih, Enday tak mau terpuruk.

Dia mencoba mendatangi Dinas Pariwisata dan

3 buah bank, namun kembali tak menemukan

solusi. Hingga akhirnya Enday mendatangi bank

bjb. Usaha yang digeluti Enday justru menarik

perhatian bank bjb, sehingga Enday mendapat

pinjaman. Masalah Enday pun teratasi. Problem

kekurangan SDM pun tertangani dengan merekrut

warga sekitar untuk dididik dan dilatih

membuat wayang golek. “Setelah dapat pinjaman

dari bank bjb, usaha saya mulai tertata,” ujar

Enday penuh syukur.

Setelah bisnis sampingan wayang goleknya

berjalan setahun, Enday berhasil membeli kendaraan.

Keberadaan ini mengundang komentar

miring dari orang-orang kantornya. Bahkan

ada yang menduga Enday melakukan korupsi, sampai

sampai bosnya juga menaruh kecurigaan serupa. Agar hal

negatif itu tak berkembang pesat, Enday mengajak salah

seorang asisten manajer ke rumahnya. Saat itu Enday

mendapat telepon bahwa ada pemandu wisata yang akan

membawa 2 orang turis Belanda ke rumahnya.

“Dia tanya, ngapain? Saya bilang, lihat saja. Lalu datang

orang Belanda, saya nyerocos pakai bahasa Belanda, dia

bingung. Terus setelah orang Belanda beli, saya tunjukin

uangnya. Dia tanya, uang apa nih?

Saya jawab, Euro. Besoknya begitu lagi, saya bawa lagi

itu orang. Dia tanya, berapa dapatnya? Saya jawab Rp 1,2

juta,” tutur Enday.

Meski selanjutnya Enday beroleh izin untuk mengurus

usaha wayang goleknya, namun lama-lama bosnya merasa

jengkel lantaran merasa Enday lebih mengutamakan bisnis

wayang goleknya sehingga ia jarang masuk. Suasana kerja

pun menjadi tidak enak karena Enday bolak-balik minta izin.

Puncaknya terjadi ketika seminggu Enday tidak masuk

kerja karena sakit. Bosnya mendatangi rumah Enday. Saat

itulah Enday menyatakan pengunduran dirinya.

“Itu terjadi setelah bisnis wayang golek saya berjahn

kurang lebih 4 tahun. Saya sedih ketika harus memilih bekerja

atau berusaha. Saya ‘sakit’, susah tidur. Tapi memang saya

harus pilih salah satu. Saya akhirnya mengundurkan diri

dari perusahaan pada 2005. Harapan saya, saya hanya

ingin maju,” cetus Enday.

TRIK SUKSES

Enday tetap mempertahankan tempat penjualan wayang

golek di rumahnya agar calon pembeli bisa sekaligus

‘berwisata’ melihat bengkel kerja pembuatan wayang.

“Awalnya produk wayang golek hanya

dipasarkan di Kebun Raya Bogor, tapi dengan semakin

banyaknya penjual wayang, akhirnya saya mencari

diferensiasi. Mulai dari produk,

tidak hanya wayang, tapi juga patung.

Dan, juga tidak lagi menjual di tempat umum.

Hanya menjual wayang di rumah,” tutur Enday.

Karena banyak turis asing yang datang, Enday pun

meletakkan gamelan sebagai daya tarik. Gamelan

tersebut cukup manjur menarik perhatian

para turis asing, sehingga bukan sekadar melihat

wayang golek. Enday juga kerap memainkan wayang

golek di hadapan turis agar mereka

tertarik membelinya. “Mereka bertanya, wayang

golek ini untuk apa. Saya bilang, sekarang sih

untuk dekorasi, tapi normalnya untuk dimainkan.

Saya pakai bahasa Inggris belepotan, tapi

alhamdulillah menghasilkan. Modal bahasa

Inggris kocar-kacir, nekat ngobrol dengan turis.

Yang datang ke sini 80 persen orang Belanda.

Akhirnya saya ngikutin pakai bahasa Belanda,

sedikit-sedikit bisa. Paling yah selamat pagi

bahasa Belandanya apa gitu, tahunya juga ya

dari mereka,” jelas Enday.

Enday juga memiliki buku berbahasa Belanda

tentang wayang golek asli karangan penulis

Belanda, Peter Gohan. Jika ada turis asing,

utamanya dari Belanda yang tidak percaya

dengan kualitas wayang golek buatannya—apa

lagi menyamakannya dengan wayang golek

berkualitas rendah berharga lebih murah—

Enday akan menyodorkan buku tersebut. Turis

asing tersebut akan menemukan persamaan

kualitas yang dipaparkan dalam buku tersebut

dengan buatannya, sehingga mereka kemudian

membeli karena sudah terbukti kualitasnya.

“Jadi, yang utama harus tetap membuktikan

kualitas. Ciri khas produk saya ada pada ukiran

yang halus dan menggunakan kayu lame.

Kalau yang di pinggiran jalan, kan, ukirannya

besar-besar dan pakai kayu albasia. Itu kayu

yang ringan sekali, hasilnya goyang-goyang

dan warnanya cokelat, muka dan pakaiannya

enggak rapi. Wayang yang dibuat Bapak saya

tahun 1965 sampai sekarang masih bagus

karena asli. Banyak orang di luar negeri juga

mempromosikan hasil karya Bapak saya,” tutur

Enday bangga.

Ini bukan sekadar kebanggaan semata.

Enday telah menyisir Bogor hingga semua

ujung Jawa Barat. Tidak ada wayang golek yang

memiliki ukiran sehalus buatannya. Enday pun

tidak takut dengan persaingan, karena kualitas

wayangnya ‘berani diadu’. Enday juga pernah

meminta perajin lainnya untuk membuat

wayang golek sebagus buatannya, namun tidak

ada yang sanggup. Meski gudangnya wayang

golek ada di Bandung dengan jumlah perajin

yang lebih banyak, menurut Enday, tetap saja

orang Bandung datang ke rumahnya.

Bagi pembeli yang tidak mengetahui perbedaan

kualitas wayang golek, Enday membagikan tipsnya.

Caranya dengan menekan

bagian pantat wayang golek yang terbuat dari

kayu. Jika kayunya terkopek dengan kuku jari,

berarti wayang tersebut berkualitas rendah

karena tidak menggunakan kayu yang kuat.

“Di JCC dan Smesco Jakarta, wayang golek

saya dibilang kualitas terbaik. Saya kaget, harga

wayang golek di Pasaraya Jakarta Rp 700 ribu,

padahal kualitasnya kurang. Saya jual Rp 400-

500 ribu dengan kualitas bahan lebih bagus.

Orang bule juga kerap menawar. Saya enggak

kalah trick. Mereka, kan, nawarnya 50 persen,

ya saya naikin saja lagi 50 persen. Tapi kalau

untuk orang kita, saya kasih harga Rp 300 ribu,”

ujar Enday.

Kini, Media Art and Handicraft Bogor yang

dibesarkannya sudah masuk dalam daftar

program kunjungan turis mancanegara. Volume

turis dalam seminggu mencapai 20-30

orang dalam sekali kunjungan untuk satu biro

perjalanan saja. Itu pun belum terhitung mobil-

mobil kecil yang membawa 2-4 orang. Kebanyakan turis

Belanda, Inggris, dan Kanada. Banjir order pun dialami

Enday. Hotel Indonesia Kempinsky di Jakarta minta di

buatkan 1.000 wayang golek untuk April 2011, setelah

tahun sebelumnya memesan 300 wayang golek. Pada bulan

yang sama, Sekolah Global Jakarta memesan 50

wayang golek untuk latihan pengecatan. Bulan Mei 2011,

Enday membuat 174 wayang golek untuk Jakarta

International School (JIS) di Jakarta. Enday

juga mengajari murid JIS mengecat wayang

golek yang kemudian mereka bawa pulang. Kegiatan ini rutin

setiap tahun dan sudah berjalan tiga tahun. “Saya mengajukan

pinjaman lagi ke bank bjb karena saya kekurangan modal

untuk memenuhi pesanan JIS. Ditambah lagi season libur

bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September. Itu kan untuk orang

asing semua,” kata Enday.

Enday juga sudah mempelajari pola dan perilaku turis

asing. Saat musim liburan, turis-turis asing itu datang dengan

membawa anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Kerap anak

anak kecil itu bermain bola di rumahnya yang penuh dengan

wayang golek. Awalnya Enday ngeri karyanya hancur. Namun

karena anak kecil itu tidak dimarahi orang tuanya, Enday pun

memilih diam. Kalau ada karyanya yang hancur, orangtuanya

tinggal ditagih bayaran. Ternyata mereka bisa menerima. Enday

juga membolehkan anak kecil mengecat wayang golek yang

belum jadi. Tak berapa lama, anak kecil itu akan menangis,

meminta agar wayang golek yang dicatnya bisa dibawa

pulang. Maka terjadilah permintaan, Enday tinggal

menyebutkan harganya. “Pokoknya saya sudah terbiasa

dengan pola-pola perilaku mereka. Seperti ketika

seorang Lebanon yang datang ke sini bilang bahwa wayang

golek harom, saya bilang terserah you, saya dapat duit

dari you buat kasih orang lain makan, lebih berguna mana.

Eh, akhirnya dia beli juga,”

katanya tersenyum lebar.

MANAJEMEN KETERAMPILAN

Omzet tertinggi yang pernah dicapai Enday adalah pesanan dari

Hotel Indonesia Kempinsky sebanyak 1.000 buah wayang. Ini di

luar dugaan dan rutinitas. Rata-rata omzet per tahun mencapai

Rp 120 juta dengan keuntungan bersih hingga 50 persen. Setiap

bulannya rata-rata ia bisa menjual 40 buah wayang golek.

Saking kewalahan menerima order, Enday pernah menolak

order 300 wayang golek cepot karena hanya diberi waktu 2 minggu.

“Tidak sanggup dan tidak mungkin terkejar,” ujarnya. Sedangkan

untuk pengerjaan 140 wayang golek Hanoman berbusana pencak

silat untuk perlombaan karate di Bali bisa dikerjakan dalam

waktu 2 minggU.

Selain berkat bantuan bank bib untuk permodalan dan

promosi, Enday juga merasa terbantu oleh Pemerintah Kabupaten

Bogor yang melakukan promosi melalui pameran. Contohnya pada

23 April 2011, di Supermal Karawaci, Tangerang, Banten digelar

pameran dengan menggunakan wayang golek. Pihak travel juga

kerap memberitahukan jadwal kunjungan turis

ke rumahnya.

Promosi juga dilakukan secara tidak langsung

oleh orang-orang asing yang membuatkannya

website. Padahal, Enday sendiri malah tidak

punya website, meski ia tetap menjaga hubungan

baik dengan pembelinya melalui telepon dan

email. Karya Enday juga terkenal berkat liputan

media televisi, koran, tabloid, dan portal berita

nasional, yang membuat Duta Besar Polandia

berkunjung ke rumahnya. Dari perwakilan

Polandia itulah Enday tahu bahwa ada orang

Polandia yang belum ke Indonesia pun sudah

mahir main gamelan. “Tapi kenapa anak muda

kita enggak mau? Apalagi bikin wayang golek

yang rumit. Itulah kendalanya,” keluhnya.

Kendala itu berpengaruh pada minimnya

sumber daya manusia perajin wayang golek.

Apalagi untuk generasi berikutnya, terutama

untuk pembuatan bagian kepala yang paling

sulit. “Sebenarnya, kalau mau belajar, satu atau

dua tahun saja sudah bisa. Masalahnya, sulit

menemukan anak muda yang berminat,” ujar

Enday menyayangkan. Padahal banyak anak

muda yang putus sekolah dan menganggur.

Enday pun mengajari anaknya agar mewarisi

skill turun-temurun.

Saat ini Enday memiliki 15 orang pekerja

untuk melakukan keseluruhan proses. Namun,

hingga saat ini pembuatan kepala hanya dapat

dilakukan oleh Enday dan ayahnya. Sementara

ibu, kakak, adik, dan saudara Enday juga terlibat

dalam pembuatan bagian lain, misalnya pakaian

dan badan wayang. Dalam 5 bulan mereka bisa

menghasilkan 1.000 wayang golek, dengan dua

ukuran standar, 65 cm dan 40 cm. Sedangkan

untuk ukuran yang lebih besar dari 65 cm dan

lebih kecil lagi dari 40 cm jarang dibuat karena

tidak tertangani.

“Ini memang bisnis yang ditangani keluarga.

Tapi saya tetap memperjuangkan agar warga di

sini juga bisa membuat wayang, dan saya pun

terbantu. Ada beberapa warga di sekitar sini

yang terlibat. Karena tidak punya bekal berupa

bakat, jadi mereka harus dilatih, diberdayakan.

Saya heran mengapa orang kita kok malah

bilang wayang golek buat apa? Padahal orang

asing datang ke sini mencari wayang golek dan

berani membeli dengan harga mahal” katanya

masih dengan nada kesal.

Diakuinya, karyawan yang bekerja memang

sebagian adalah keluarga. Karena dalam

industri pembuatan wayang golek, keahliannya

didapat secara turun-temurun, dan generasi ke

generasi. Dan, kualitas yang dihasilkan lebih

baik daripada menggunakan tenaga dari tempat

lain. Pernah juga ia merekrut tenaga dari luar,

hanya saja kualitas yang dihasilkan masih

jauh dibandingkan dengan buatan keluarganya

sendiri.

“Masalah yang timbul karena berbisnis

dengan keluarga adalah mereka akhirnya

mencari pekerjaan lain, sehingga saya akhirnya

tetap mengerjakan sendiri. Karyawan saya

belum pernah ada yang dibajak, tetapi ada

dari mereka yang keluar setelah bisa membuat

wayang sendiri,” tutur Enday.

Enday mengaku memang sudah saatnya ia

mempekerjakan karyawan profesional, “Hanya

saja di bidang pembuatan wayang, cuma sedikit

sekali perajin yang memiliki kemampuan

profesional untuk dapat menghasilkan patung

dengan kualitas baik.” Karena itu Enday

tetap bertahan dengan cara saat ini, memberi

pelatihan teknis kepada karyawan secara

mandiri. Meskipun Enday sadar, dengan sumber

daya yang terbatas, ia kerap harus berjuang

mati-matian jika tiba-tiba datang order dalam

jumlah besar.

Enday menjelaskan, bahwa sebagai usaha

keluarga, bisnisnya tumbuh dengan sendirinya.

Tidak ada sistem tertentu yang dijalankan. Sistem

manajeman masih tradisional, berdasarkan

intuisi saja. Bisnis serupa di daerah sekitarnya

memang ada, tetapi kualitasnya justru masih

berada jauh di bawah produksi Enday. Lagi

pula, mereka menggunakan pemasaran cara

lama, yaitu berjualan secara kaki lima di sekitar

Kebun Raya Bogor. dengan demikian, menurut

Enday usaha sejenis tersebut tidak menjadi

masalah karena diarahkan pada konsumen yang

berbeda.

Membuka outlet di pinggir jalan bukannya

tidak pernah dicoba oleh Enday, tapi ternyata

hasilnya kurang bagus. Ini berlawanan dengan

teori bisnis umum yang mengatakan bahwa

pemasaran di lokasi strategis lebih bagus

ketimbang di dalam kampung. Dalam kasus

Enday, ternyata pemasaran lebih baik dengan

posisi yang berada tidak di pinggir jalan raya.

“Posisi kami di dalam kampung. Orang asing

lebih tertarik dengan keberadaan kami di dalam

kampung. Apalagi orang Belanda banyak yang

ingin nostalgia mendatangi kampung tradisional

untuk melihat aktivitas sehari-hari orang kita,”

jelas Enday.

Masalah lain datang dari masyarakat sekitar

yang pro dan kontra atas kehadiran bus-bus

dan mobil-mobil turis asing, terutama masalah

lahan parkir di daerah perkampungan. Jika

ada kerusakan yang ditimbulkan akibat urusan

parkir, tanpa banyak bicara Enday langsung

memperbaikinya. Ia juga memperhatikan masalah

keamanan bagi kedua belah pihak.

MEMPELAJARI PERILAKU KONSUMEN

Meski sudah cukup sukses, Enday tak mau

berpuas diri. Enday ingin mengembangkan

usahanya lebih jauh lagi. Enday ingin menjangkau

turis asing yang tidak sempat mampir ke

rumahnya karena dianggap terlalu jauh. Target

pasarnya sudah jelas: turis asing. Menurut

perhitungan Enday, 80 persen pasarnya memang

untuk mereka.

Enday pun mengincar lokasi di dekat kantor Pos

yang kerap disinggahi turis. Enday

juga mempelajari biro perjalanan terbesar

dari Belanda, yang dalam seminggu bisa

mengirimkan 8 buah bus untuk singgah di kantor

pos. Belum lagi biro perjalanan lain dari

Malaysia, Jepang, Jerman, Cina, Lebanon, dan

Prancis.

Enday memutuskan bahwa ekspansi dilakukannya

tidak dengan membuka cabang, tetapi

melalui diferensiasi produk dan keunikan

tempat. Jadi, pembeli hanya dapat membeli

hasil kerajinan wayangnya di production house

langsung dan di pameran-pameran. Dari situ

mereka merasakan getaran-getaran seni,

originalitas sebuah handicraft. Mereka tidak

sekadar membeli, melainkan juga berwisata,

mendapatkan sebuah experience.

“Dari cara marketing seperti itu, order

langsung dari mancanegara menjadi lebih banyak.

Hanya saja kendala yang dihadapi tetap sama,

yaitu kekurangan tenaga untuk memenuhi

permintaan. Cara menyiasatinya adalah bekerja

sama dengan perajin-perajin di sekitar, yang

sebelumnya kita latih untuk menyamakan

kualitas,” jelas Enday.

Inovasi yang dilakukan Enday adalah dengan

melakukan diferensiasi produk. Manakala ada

pembeli dari luar negeri yang sebelumnya sudah

membeli produk sejenis, mereka bisa ditawarkan

lagi bentuk yang berbeda, atau jenis produk yang

berbeda, seperti patung atau hiasan meja, dan

lain-lain. Diferensiasi produk yang ia lakukan

ke pembuatan patung, menurut Enday, adalah

langkah yang paling mudah karena kualitas

dari hasil wayang sudah baik, sehingga kualitas

patung juga bisa mengikuti.

Enday bercita-cita kerajinan wayang

goleknya akan dikenal luas dan diakui oleh

masyarakat internasional. Ia juga berharap

usahanya bisa terus maju dari generasi ke

generasi. Jika ada yang bertanya ‘Wayang

golek? Buat apa?’ dengan nada sinis dan

meremehkan, kini Enday sudah punya jawabannya.

“Saya hidup dari wayang golek. Dulu

Bapak saya buat, jual wayang golek untuk

hidup dan pendidikan saya. Sekarang, saya

jual wayang golek untuk menghidupi keluarga

saya, anak buah saya, dan keluarga mereka.

Bisa merangkul tenaga kerja. Tradisi ini

semoga dipertahankan, jangan sampai hilang

atau punah,” harap Enday.

Catatan Rhenald Kasali

BANYAK ORANG MELAKUKAN pemasaran dengan menggunakan cara standar yang

beriaku dalam ravolusi industri. Produk standar dibuat oleh mesin secara

massal, lalu diciptakan dan didistribusikan secara massal. Produk-produk

seperti ini jauh sekali dari sentuhan manusia dan seni, sehingga lokasi

menjadi penting, yaitu sedekat mungkin jangkauan pasar.

Berbeda dengan produk-produk turunan revolusi industri, barang-barang

kerajinan adalah hasil karya manusia. Di dalamnya tidak hanya ada keindahan

produk, tetapi juga keindahan proses, impian tentang tokoh-tokohnya,

cerita tentang pembuatan, mitos-mitos yang diwariskan, bahkan cerita

tentang si pembuatnya. Jadi, manajemennnya tidak bisa dilakukan dengan

memisahkan antara cerita dengan produk. Memisahkan keduanya sama saja

memisahkan jiwa dari raga manusia. Berarti mati. Benda mati adalah benda

hasil ciptaan mesin. Sedangkan wayang golek, batik keris, patung,

ukir-ukiran, dan sebagainya adalah karya cipta yang kaya ‘ruh’. Ia akan

menjadi kekuatan kalau pemiliknya bisa memelihara ruh itu.

Ruh itu ditiupkan melalui story telling dan customer involvement. Jadi

lokasinya tidak tarus dekat dengan konsumen melainkan harus dapat memberi

kesan tersendiri, membangkitkan rasa ingin tahu, diperkaya oleh

cerita dan melibatkan konsumen dalam hubungan batin.

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

No comments: