Nani Oktaviani, Dari Hobi ke Bisnis Konveksi
Banyak pelaku bisnis yang mengawali
usahanya dari hobi. Wanita ini adalah
salah satu pelaku usaha konveksi yang
berhasil membangun usaha dari minatnya
di bidang seni dan fesyen. Diiringi usaha
keras dan dukungan penuh sang suami,
produk fesyennya yang dibangun dari
usaha kecil mulai dikenal di Indonesia
bahkan sampai kalangan muslim Amerika
Serikat.
SENI, kampus UNPAD (Universitas Padjajaran),
dan kota Bandung adalah tiga ha1 yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Nani.
Tiga hal tersebutlah yang kemudian
mengantarkannya menjadi pelaku
usaha konveksi. Dunia seni yang pertama
dikenalnya adalah dunia tari. Sejak kecil
Nani mampu membawakan berbagai tarian
tradisional Jawa Barat. Sekarang pun ia masih
dapat menarikannya dengan gemulai.
Selain menari, kegemarannya dengan kesenian
juga tampak dari gaya berpakaiannya.
Alumnus program diploma Sastra Jepang
UNPAD ini dikenal modis dalam berpakaian.
Hal ini bukannya tanpa alasan. Jurusan sastra
memang dikenal sebagai jurusan yang
mahasiswinya berpenampilan modis. Tak hanya
modis, baju yang dikenakan Nani juga unik
karena tidak ada orang lain yang memilikinya.
Rahasianya adalah mendesain dan membuat
sendiri baju yang diinginkannya. Karena modis
dan unik itulah, banyak teman yang menyukai
busana buatan Nani. Banyak dari mereka yang
akhirnya ingin dibuatkan baju muslim seperti
yang dikenakan Nani.
Nani pun dengan senang hati mengerjakan
pesanan teman-temannya. Tanpa terasa ia sudah
membuat banyak pakaian dan, karena dipakai
teman-temannya, desain Nani semakin dikenal
orang banyak. Dalam waktu yang tak berapa
lama Nani pun dikenal sebagai perancang amatir
busana muslim yang modis di kampus.
Sebagaimana ungkapan bahwa produk bermutu
punya jalannya sendiri untuk menemui
pintunya, busana rancangan Nani pun mencapai
sasarannya. Promosi gratis ‘dari mulut ke mulut’
melalui teman-temannya, mengantarkan Nani
ke pasar yang lebih luas. Berbagai penyelenggara
bazar kampus yang digelar di Bandung mengundang
Nani untuk ikut berpameran. Desain
busana muslim rancangan Nani pun semakin
dikenal di luar kampusnya.
Setelah melalui bazar kampus, kaki Nani
pun mulai melangkah lebih jauh. Dia kerap
mendapatkan undangan untuk tampil di pameran
fesyen kota Bandung dan sekitarnya.
Kota yang dikenal sebagai sentra industri
clothing dan fesyen ini mulai memberikan
tempat bagi Nani untuk mengembangkan minatnya.
Bandung memang memiliki arti khusus bagi Nani.
Baginya, Bandung dan orang-orang di dalamnya
adalah lingkungan dan entitas yang telah
mengantarkannya menjadi perempuan mandiri dan
mampu berpikir kreatif. Selain itu, Bandung
adalah tempat di mana dia menemukan jodohnya. Di
kota inilah Nani bertemu Irfan, pria yang kemudian
menjadi suami sekaligus motivator terhebat dalam
hidupnya.
TIDAK MALU UNTUK BELAJAR
Lahir di Majalengka, Jawa Barat, tanggal 24 Oktober
1972, Nani yang berasal dan keluarga pegawai BUMN ini
merupakan sosok yang mudah beradaptasi. Mungkin karena
beberapa kali pindah tempat tinggal. Pada usia 8 tahun,
Nani mengikuti orangtuanya pindah ke Kuningan, lalu
ke Tasikmalaya di usia 13 tahun. Di Tasikmalaya, Nani
menghabiskan masa SMA-nya sampai pindah ke Bandung
untuk kuliah di UNPAD. Karena cukup lama tinggal di
Tasikmalaya itulah Nani kerap merasa bahwa Tasikmalaya
adalah kota asalnya. Setelah menikah, Nani
mengikuti suaminya bertugas di Kalimantan Timur selama 3
tahun, lalu pindah lagi ke Riau selama 3 tahun. Baru pada
tahun 2000-lab ibu tiga anak ini kembali ke Tasikmalaya.
Meski sempat tinggal jauh dari kota industri pakaian, Nani
tetap menekuni kecintaannya pada fesyen. Sehingga ketika
kembali ke Tasikmalaya, Nani segera memutuskan untuk
menekuni bisnis fesyen. Keputusannya ini mendapat
dukungan dari suaminya, yang mengajukan pensiun dini dari
perusahaannya di Pekanbaru pada tahun 2004 dan
memutuskan untuk memulai usaha konveksi.
Salah satu alasan di balik keputusan tersebut adalah
karena Tasikmalaya dikenal sebagai salah satu kawasan
industri pakaian jadi Indonesia.
Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian setempat
menunjukkan bahwa jumlah pelaku usaha di bidang ini
mencapai 17.000 orang. Selain itu, mereka merasa dapat
belajar banyak dari adik-adik mereka yang sudah lebih dulu
terjun di usaha konveksi. “Adik-adik kami sudah sukses
berbisnis sebagai supplier pakaian jadi ke Pasar Tanah Abang,
Jakarta. Jadi kami memilih bergabung lebih dulu. Modalnya
Sebagian dari orangtua,” kata Nani. Setelah merasa cukup
belajar dengan sang Adik, tahun 2005 Nani dan Irfan secara
perlahan mencoba mandiri. Mereka mengembangkan usaha
pembuatan pakaian jadi, hanya berbekal 3 orang penjahit
yang bekerja di garasi rumahnya. Nani memberi merek
pakaian muslim wanitanya dengan nama Nadira.
Merek tersebut hanya ditawarkan secara terbatas, kepada
teman-teman arisan atau pengajiannya. Namun, tampaknya
desain busana muslim rancangan Nani memang memikat
banyak onang. Mengulang kembali promosi word of mouth semasa
perkuliahan, kali ini desain busana muslimnya
tersebar meialui teman-teman pengajiannya.
Usaha Nani pun mulai dikenal banyak orang,
hingga suatu ketika seseorang datang pada
Irfan untuk memesan busana muslim pria.
Berbeda dari busana muslim wanita yang
memerlukan jahitan detail, busana muslim
pria langsung dapat diproduksi secara massal.
Jadi, jika busana muslim wanita diproduksi
sesuai pesanan, busana muslim pria dapat dibuat stok.
Saat itulah, Nani dan Irfan membentuk perusahaan
konveksi yang diberi nama PT Janamas. Sejak Janamas
berdiri, keduanya selalu berusaha mencari pasar yang
berbeda dengan pelaku bisnis konveksi lain. Keduanya
juga memilih kreativitas sebagai andalan. Selain
berusaha tampil unik sebagai kekuatan utama
bisnisnya, pasangan ini juga menggenjot sisi
kualitas produk. “Untuk masalah kreativitas,
kami tekankan pada desain. Sementara untuk
kualitas, kami tekankan pada bagian bordirnya,”
kata Nani lagi, “Dengan mengandalkan
keduanya, alhamdulillah kami belum pernah
gagal di pasar.”
KENDALA DAN SOLUSI
Menjadi pemasok pakaian di pasar konveksi
Tanah Abang ternyata tidak semudah yang Nani
bayangkan. Pasalnya, pedagang Tanah Abang
banyak yang menggunakan sistem pembayaran
melalui giro. “Nah dengan sistem pembayaran
seperti ini, temponya sering meleset,” papar
Nani. Oleh sebab itu Nani dan Irfan memutuskan
berhenti sebagai pemasok pakaian jadi.
Tahun 2006, mereka memilih untuk menjual
langsung ke outlet-outlet di pusat-pusat
perbelanjaan. “Di outlet kita langsung berhadapan
dengan pembeli. Ini membuat kami tidak harus
mengambil risiko,” katanya. Ketika itu, Nani dan
Irfan memutuskan untuk membuat usaha baru
dengan nama CV Avertura. Tujuannya untuk
membuat sebuah merek busana muslim yang
lebih menarik. Sementara PT Janamas menerima
pesanan massal, Avertura mengkhususkan diri
untuk memproduksi busana muslim yang lebih
personal. Kemudian dengan merek barunya
yaitu Massive, Nani langsung memasarkannya
ke outlet-outlet baju di Bandung dan meminta
kesempatan mempresentasikan produk. “Ternyata
90 persen outlet menerima presentasi
kami,” ujar Nani.
Menjelang Lebaran, outlet-outlet pun mengalami
kebanjiran permintaan, terutama busana muslim.
Nani dan Irfan pun berusaha
meningkatkan produksi. Mereka berusaha mendapatkan
keuntungan lebih dari kesempatan itu.
Namun, justru pada saat itulah mereka menghadapi
hambatan baru. “Kalau sudah menghadapi musim Lebaran,
tenaga kerja terampil menjadi mahal dan terbatas,”
kata Irfan. Pasalnya, pada saat yang sama para
pengusaha pakaian lain juga mendapatkan banyak
pesanan sehingga permintaan tenaga kerja pun
melonjak. Ditambah lagi, karena puasa dan libur
Lebaran, banyak penjahit di Tasikmalaya enggan
menerima pesanan. Hal ini menyebabkan neraca
permintaan dan ketersediaan tenaga kerja
menjadi tidak seimbang, yang berimbas pada
meningkatnya honor mereka.
Tetapi, Nani dan Irfan harus tetap memenuhi
pesanan. Untuk mengatasi masalah ini, keduanya
menggunakan pendekatan khusus. Mereka
membuat perjanjian dengan para pekerjanya
bahwa mereka akan terus memberikan pesanan
setelah selesai Lebaran. Hal ini menjadi pilihan
karena biasanya pesanan justru menurun pasca
Lebaran sehingga para penjahit tidak memiliki
pekerjaan.
Dengan menggunakan perjanjian yang
menguntungkan kedua belah pihak tersebut,
para penjahit setuju untuk membantu PT Janamas.
Mereka mau menjahit asalkan setelah Lebaran
tetap mendapat pekerjaan, meskipun
dengan volume kecil. Selain itu, mereka juga
mendapat insentif dan bantuan keuangan dari
PT Janamas.
Satu per satu hambatan dapat terselesaikan.
Namun, PT Janamas tidak luput dari kerugian
besar. Tahun 2006, ketika memasok pesanan
ke sebuah toko baju di Cikarang, ratusan juta
rupiah tak tertagih dan lenyap begitu saja. Hal
ini membuat Nani berpikir lebih keras untuk
menyelamatkan usaha yang juga merupakan
hobinya ini. “Karena pesanan dari Cikarang
itu menguras modal, kami kemudian datang ke
bank bjb. Kami mendapat pinjaman modal kerja
Rp 40 juta dengan sistem profit sharing. Modal
ini menyuntik semangat kami lagi,” kata Nani.
Dengan semangat baru itu, usaha mereka
kembali merekah. Bank bjb kembali memberikan
suntikan modal sebesar Rp 100 juta pada tahun
2010 setelah melihat perkembangan Janamas.
Terakhir, pada tahun 2011 mereka kembali
mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 160 juta.
Janamas pun mulai melebarkan sayapnya.
Perusahaan ini menarik tenaga kerja dalam
jumlah yang lebih banyak lagi. Kini, selain 4
orang karyawan reguler, ada 50 orang yang
terlibat dalam usaha konveksi ini; sekitar 10
orang penjahit bekerja di garasi rumah Nani,
sementara yang lainnya menyelesaikan pesanan
di rumah masing-masing. “Kebanyakan mereka
adalah tenaga kerja di bagian finishing,” jelas
Nani.
Untuk bertahan dan meningkatkan omzet,
selain mengutamakan kreativitas dan kualitas,
Nani dan Irfan terus mendorong PT Janamas untuk
mengikuti tren pasar. “Bahkan kami sering
menciptakan tren pasar,” kata Nani sambil
menunjukkan sejumlah busana muslim yang telah
beredar di butik-butik Jakarta dan Bandung.
Walau menggunakan bahan dasar yang beragam_
seperti katun, linen, raw silk atau Thai
silk—Janamas tak menghadapi kesulitan untuk
mendapatkan bahan-bahan tersebut. Tetapi,
baik Irfan maupun Nani mengaku bahwa hal
tersebut tidak berarti membebaskan mereka
dari persoalan bahan baku. Harga bahan
bahan yang mereka butuhkan terus mengalami
kenaikan. “Semua pemain konveksi menghadapi
masalah ini. Karena harga terus naik, kami
juga tidak melirik bisnis bahan baku sebagai
peluang,” tambahnya.
REKANAN DAN PESANAN
Meskipun usaha konveksinya masih tergolong
lokal, Nani memiliki cita-cita tinggi. Setelah
perbankan menilai usaha ini layak memperoleh
modal, Nani ingin membawa Janamas dikenal
masyarakat luas. Salah satunya dengan cara
tampil profesional di dalam negeri.
Untuk pasar dalam negeri, Nani memilih memasarkan
produknya ke segmen kelas menengah.
Nani rajin melakukan promosi dengan cara
mengikuti pameran, presentasi, atau membuat
brosur dan beriklan di media cetak. “Dari segi
kreativitas, saya terus mendorong Janamas
menjadi usaha konveksi yang produknya
berkualitas dan berkelas,” kata Nani.
Tidak hanya menenima pesanan baju muslim,
Nani juga mulai menerima semua jenis
produk yang berkaitan dengan jahit-menjahit,
termasuk seragam pegawai perusahaan manufaktur
hingga seragam pegawai hotel bintang
5 di Jakarta. Selain itu, Janamas juga pernah
menerima pesanan sarung jok kursi dari
perusahaan furnitur di Yogya, yang kemudian
diekspor ke Eropa. Dari promosi word of mouth
itulah lambat-laun pesanan berbagai jenis
jahitan membanjiri Janamas.
Usaha keras Nani dan Irfan tak sia-sia.
Dengan rajinnya Nani menerima berbagai
pesanan dan mengikuti pameran di tingkat
lokal maupun nasional, ia banyak diundang
tampil di berbagai ajang pameran fesyen,
termasuk pameran di luar negeri. Salah satu
pihak yang beberapa tahun belakangan rajin
mengundangnya adalah ajang kegiatan Moslem
Journal Award di Amerika Serikat. Setiap ada
kesempatan untuk berpameran di ajang ini Nani
mencoba tampil habis-habisan.
Dalam Moslem Journal Award 2011, ada tiga
kegiatan yang dilakukan Nani, termasuk peragaan
busana muslim, malam penghargaan,
dan bazar di Majelis Taklim. “Saya diperkenalkan
sebagai satu di antara dua undangan terhormat,”
ujarnya bangga, seraya menginformasikan
bahwa undangan terhormat lainnya adalah
perancang busana muslim dari Timur Tengah.
Salah satu dampak positif pameran tersebut
adalah datangnya order mendesain dan
memproduksi seragam untuk sebuah islamic school.
Janamas diminta membuat pakaian seragam
dari TK hingga Perguruan Tinggi di Louisville,
Kentucky. Selain itu, Nani juga pernah tampil di
Moslem Journal dan Azizah Magazine.
Meskipun demikian Nani mengaku belum
ingin terlalu fokus untuk memasarkan produknya
ke luar negeri karena belum menemukan
cara untuk mengatasi masalah jarak dan biaya
pengiriman. Pemesan dari luar negeri biasanya
menginginkan baju bagus dengan harga murah.
Tetapi ongkos kirim ke luar negeri masih
sangat mahal. Hal ini menyebabkan harga
pokok menjadi sangat tinggi, terutama ketika
jumlah pesanan tidak terlalu banyak. “Kecuali
bila ada pesanan yang banyak sehingga bisa
menutup biaya kirim,” jelas Nani yang kemudian
memutuskan untuk fokus mengembangkan
usaha di dalam negeri.
MANAJEMEN USAHA
Banyaknya warga Tasikmalaya yang bekerja
sebagai penjahit, membuat Nani tidak kesulitan
untuk mencari tenaga kerja. Tanpa perlu
memberikan pelatihan khusus, Nani mampu
mendapatkan penjahit, tukang potong, dan tukang
bordir dengan mudah. Dengan demikian, Nani
hanya perlu membuatkan desain, sementara
produksinya langsung diserahkan sesuai bidang
keahlian mereka.
Urusan keuangan, diatur sendiri oleh Irfan
yang memiliki latar belakang pendidikan di
bidang akuntansi. Pernah juga Nani
mempekerjakan saudara sendiri untuk urusan keuangan.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama
karena orang tersebut mengundurkan diri ketika
akan menikah.
Seperti yang terjadi pada hampir semua
usaha rumahan Indonesia lainnya, Nani yang
terjun langsung dalam pemilihan pegawai tidak
memiliki kriteria khusus dalam menenima pegawainya.
“Asalkan mau bekerja dan memiliki
tekad untuk belajar, mereka akan diterima
bekerja di sini,” tegasnya. Nani merasa tidak
perlu memikirkan apakah pegawainya memiliki
latar belakang pendidikan yang sesuai dengan
pekerjaannya atau tidak. Ia merujuk pada
dirinya sendiri yang menjadi desainer dengan
latar belakang pendidikan sastra Jepang.
Dengan sistem pembayaran sesuai posisi—
para penjahitnya diupah per potong, sementara
staf kantor diupah per bulan—Nani mampu
mengatasi masalah turnover para penjahit.
Dengan memberikan upah per potong, Nani dapat
dengan mudah mencari pengganti penjahitnya
yang mengundurkan diri secara tiba-tiba.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah
penjahit di Tasikmalaya memang sangat banyak.
Meski harus sering berganti penjahit, Nani
mengaku tidak perlu memberikan pelatihan
khusus mengenai keterampilan menangani mesin
jahit terbaru. Saat ini Nani menggunakan
mesin jahit berkecepatan tinggi dan mesin
jahit biasa. Kedua jenis mesin jahit tersebut
dapat dengan mudah digunakan oleh para
penjahitnya. Mesin jahit berkecepatan tinggi
membantu para penjahitnya bekerja lebih cepat,
dengan demikian mereka mendapatkan upah
yang lebih tinggi. Sedangkan mesin jahit biasa
digunakan untuk memproduksi busana muslim
wanita yang memerlukan kehati-hatian dan
banyak detailnya.
Dalam dunia usaha, khususnya UKM yang
bergerak di bidang ekonomi kreatif seperti
fesyen, ternyata manajemen yang baik tak hanya
dibutuhkan pada sisi hulu atau produksi. Tanpa
manajemen yang baik dan tepat pada sisi hilir
atau pemasaran, diakui Nani bahwa usaha ini
akan lambat berkembang. Meski masih memilih
cara pemasaran konvensional, yaitu dari
mulut ke mulut, Nani dan Irfan merasa bahwa
pemasaran produk mereka memerlukan cara
cara yang lebih kreatif. “Intinya, marketing
konvensional boleh saja tetap dipakai namun
dengan cara kreatif,” kata Nani.
Ia kini tengah menyiapkan pemasaran
dengan menggunakan jasa internet. Namun
Nani yakin, selama perusahaannya mampu
memenuhi pesanan dengan kualitas yang baik
dan tepat waktu, maka para pelanggan tidak
akan pindah ke perusahaan lain dan nama baik
perusahaan pun tetap terjaga.
Nani juga menjelaskan bahwa perusahaannya
melayani pesanan dengan sistem first come first
served. Pesanan yang lebih dulu diterima akan
langsung diselesaikannya. Sementara untuk
sistem pembayaran, Nani memberlakukan dua
sistem. Sistem pertama adalah bayar di muka,
kemudian dilunasi ketika pesanan telah selesai.
Sistem kedua adalah pre order, setelah pesanan
disetujui, Nani langsung memproduksi
pesanan tersebut dan baru akan dibayar setelah
selesai. “Sistem pre order kami setujui asalkan
pemesannya merupakan perusahaan yang jelas
dan punya reputasi yang baik. Dan kami terlebih
dahulu membuat perjanjian yang jelas dengan
si pemesan,” jelas Nani mengenai bagaimana ia
memitigasi risiko penerapan sistem ini.
Secara garis besar, sisi manajemen Janamas
dan Averture menggunakan sistem manajemen
modern, tetapi mereka tetap menjaga hubungan
kerja yang dekat dengan pegawai sesuai adat
yang berlaku di Timur. Jadi, sembari membangun
sistem pengelolaan perusahaan yang
profesional, Nani dan Irfan tetap menjalin
hubungan kekeluargaan dengan seluruh karyawan.
“Kami sedang menyiapkan sistem agar
karyawan memiliki saham hingga 30 persen.
Bahkan mesin jahit pun kami serahkan kepada
mereka,” katanya. Dengan cara ini Nani dan
Irfan berharap karyawan betah bekerja di
tempat mereka.
Menurut Irfan, Janamas selalu berupaya
memperbaiki sisi produksi, pemasaran, dan
permodalan. “Kami mulai menerapkan QC
(quality control) yang dikerjakan oleh satu
orang saja,” kata Irfan. Usaha yang berdiri
dengan modal awal Rp 100 juta ini telah
mampu memproduksi 6.000 potong pakaian
per bulan. Omzet bersih usaha yang berlokasi di
Kompleks Perumahan Tajur Indah, Tasikmalaya
ini mencapai Rp 800 juta per tahun. Setelah
dikurangi ongkos produksi, keuntungan bersih
yang dicapai Janamas sedikitnya mencapai Rp
100 juta per tahun.
Pengusaha busana muslim yang sudah menerbitkan
buku panduan berbusana muslim
dengan judul “Inspirasi Berbusana Muslim” ini
ingin agar dalam 5-10 tahun ke depan, usahanya
mampu berdiri lebih kokoh. Tidak muluk-muluk,
Nani hanya ingin memiliki konveksi yang dapat
mewadahi para penjahitnya yang sebagian masih
bekerja di rumah masing-masing saat ini.
Selain itu Nani ingin memiliki outlet sendiri di
Tasikmalaya. Dan, tujuan utama Nani berusaha
adalah ingin dapat terus membantu wanita
muslim tampil modis. “Karena semua ini saya
lakukan dengan tujuan untuk berniaga di jalan
Allah,” ujar Nani bersahaja.
Catatan Rhenald Kasali
SEPERTI KIKI GUMELAR, Nani Oktaviani dan suaminya yang mengawali kariernya
di dunia kerjä, juga pulang kampung yang satu pulang ke Garut, yang satunya
ke Tasikmalaya. Mereka memilih bisnis yang didukung oleh lingkungannya
sehingga tidak tarlalu sulit memu1ai, mempertahankan pertumbuhan, mencari
pegawai, membeli bahan baku, dan seterusnya.
Tentu saja hal seperti ini tidak berlaku sama pada setiap orang. Belum
tentu Anda barasal dari kampung yang memiliki daya dukung lingkungan
saperti Garut. Tasik adalah gudangnya pengusaha konveksi khususnya bordir.
Anda tinggal menyebut, ribuan tukang jahit akan datang. Demikian juga bahan
baku dan pembeli. Anda punya akses yang luas untuk membuat usaha jahitan
Anda menjadi produktif.
Demikian juga dengan Garut. Selain sebagai daerah wisata, penduduk Garut
terbiasa membuat pangan dodol dan jajanan wisata. Daya dukung pertanian dan
alamnya sangat kaya. Kota ini juga memiliki jendela pasar yang mudah
diakses.
Yagyakarta, Solo, Sleman, Plered, Cirebon, Pekalongan, Lombok, Bali,
Pontianak, Makassar, dan banyäk kota lainnya juga punya potensi yang sama
Anda tinggal mencocokkan minat dan keterampilan Anda pada potensi yang
Tersimpan di kota-kota tersebut, Selebihnya 90% keberhasilan ada di sana.
Anda tentu tidak harus mendaptakan sesuatu yang baru sama sekali. Seperti
kata pepatah we don’t have to reinvent the will.
Namun demikian, Anda perlu menyegarkan industri yang sudah ada. Sebab
Perilaku-perilaku usaha di kampung itu sudah puluhan tahun berada di sana
Dan, mereka saling meniru satu sama lain, mencocokkan produksi
dan pemasaran dengan yang dilakukan tetangga-tetangganya. Demikian terus
selama bertahun-tahun mereka melakukannya bersama-sama, bersaing dan
bekerja sama. Mereka lupa suatu ketika konsumen pun berubah.
Konsumen jenuh dengan barang yang sama terus-menerus. Selera pasar berubah,
menunggu sang pembaru.
Oleh karena itu, pulanglah ke kampung dan perbaruilah apa yang sudab ada.
Di sana semuanya sudah ada. Anda tinggal memperbaruinya.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment