Carsim Cahyadi, Tarikolot Punya Ketan, Kuningan Punya Nama
Meskipun Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat dikenai sebagai penyedia oleh-o1eh
Tape ketan, namun produksi penganan
itu sendiri berasal dari jerih payah para
pembuat tape ketan di Desa Tarikolot
dan Cibeureum. Carsim Cahyadi adaläh
salah satunya. Mimpinya sangat besar
suatu hari kelak Kuningan akan menjadi
gudang tape ketan untuk Indonesia.
Siapa tak kenal tape ketan? Penganan ini
sangat dikenal di Indonesia bahkan di kawasan Asia Tenggara.
Masyarakat di kawasan ini sudah lama mengonsumsi makanan khas
berbahan beras ketan atau beras pulut. Dibuat
melalui proses fermentasi atau peragian, tape
ketan dihidangkan pada hari besar keagamaan
atau hajatan.
Dan segi volume dan pasar, tape ketan merupakan
jenis tape terbanyak yang diproduksi
masyarakat. Di sejumlah daerah di Sumatera
penganan ini dikenal dengan nama tape pulut.
Dengan rasa manis keasaman, lembek, berair,
dan memiliki tekstur yang lengket, tape ketan
merupakan makanan yang mengandung alkohol.
Dilihat bahan dasarnya, ada dua jenis tape
ketan, yakni tape ketan putih dan tape ketan hitam.
Di Kuningan, Jawa Barat—khususnya di Desa
Tarikolot dan Cibereum— tape ketan tampil sedikit
berbeda. Jika di daerah lain dibungkus
atau dikemas dengan daun pisang, maka
tape ketan yang dihasilkan oleh kedua desa
tersebut dikemas dengan daun jambu air. Di
samping bahan tambahan seperti daun katuk,
penggunaan jambu air sebagai bungkus inilah
yang membuat tape ketan Kuningan tampil berbeda.
Biasanya setiap menjelang atau pasca lebaran,
banyak orang dari luar Kuningan menyempatkan diri
datang ke Tarikolot dan Cibeureum untuk membeli
tape ketan. Pada umumnya mereka adalah penduduk Bandung
dan Jakarta yang sedang melakukan perjalanan
ke Cirebon, Kuningan, atau Majalengka. Hal ini
memang didukung oleh letak geografis Kuningan
yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Barat
dan Jawa Tengah.
Di Tarikolot dan Cibereum, orang-orang
dari berbagai kota itu rela mengantre panjang
untuk mendapatkan tape ketan yang
akan dibawa sebagai oleh-oleh. Sementara
penduduk Kuningan sangat membanggakan
tape ketan sebagai oleh-oleh kebanggaan
ketika bepergian ke daerah lain. Salah satu
pembuat tape ketan di Tarikolot yang banyak
didatangi orang ialah Tape Ketan “Sari Asih”
milik Danasih.
METAMORFOSA LELAKI PERENUNG
Meskipun “tradisi” membuat tape ketan di Tarikolot
dan Cibeureum sudah berlangsung lama,
para pembuatnya belum memandang penganan
ini sebagai komoditas yang menguntungkan.
Sejumlah pembuat tape ketan memperkirakan
usaha pembuatan tape ketan di Tarikolot dan
Cibeureum untuk kepentingan komersial baru
dimulai pada dekade 1980-an. Demikian pula
dengan Danasih. Justru tetangganya, Carsim
Cahyadi —seorang pedagang keliling perkakas
rumah tangga yang sempat berganti pekerjaan
menjadi karyawan perusahaan kontraktor di
Jakarta— yang memperhatikan fenomena ini.
Setiap pulang mudik, terutama menjelang
Lebaran, Carsim selalu menyaksikan pemandangan
yang menarik di kampungnya. Orang-
orang dari berbagai kota rela mengantre panjang
di depan rumah Danasih untuk membawa pulang
buah tangan berupa tape ketan. Carsim kerap
diminta membantu Danasih yang kewalahan
menghadapi permintaan konsumen. Tetapi setelah
Lebaran pikirannya selalu diganggu oleh
pertanyaan, apakah tape ketan ini juga bisa laku
di luar waktu Lebaran sehingga bisa menjadi
usaha yang menguntungkan.
Carsim mulai berpikir untuk mengembangkan
pembuatan tape ketan ini. Pikirnya saat itu,
tape ketan akan sulit berkembang jika hanya
menunggu datangnya ‘musim’ Lebaran. Hidung
bisnisnya yang terlatih saat menjadi pedagang
keliling pun kemudian mengendus peluang.
“Deretan mobil yang antre di depan rumah
Bu Danasih menginspirasi saya untuk
melakukan pemasaran tape ketan secara aktif.
Saat itu muncul pikiran untuk menjemput bola,”
kata Carsim. Carsim yang merasa tak betah
hidup di Jakarta akhirnya membuat keputusan
bulat: Pulang kembali ke Tarikolot. Ia bertekad
ingin menjadikan pembuatan tape ketan sebagai
usaha yang lebih maju.
Kembali ke Tarikolot tahun 1996, setahun
menjelang terjadinya krisis keuangan yang
berkembang menjadi multikrisis di Indonesia,
Carsim langsung membuka usaha rumahan tape
ketan. Modalnya hanya uang Rp 600 ribu yang
digunakan untuk membeli bahan dasar dan
peralatan seadanya.
Carsim pun melakukan survei ke kota
Kuningan lalu Cirebon. Ia langsung memutuskan
untuk memasarkan tape ketan produk
Tarikolot di salah satu sudut kota Kuningan.
Bundaran Cijoho, Jalan Siliwangi, Kuningan,
dipilih sebagai lokasinya. Tetapi kenyataan
yang dihadapi lelaki bersahaja ini jauh dari
impiannya. Usaha perdananya kandas. Saat
itu masyarakat belum memandang tape ketan
sebagai penganan harian. Mereka lebih
memperlakukannya sebagai oleh-oleh. Itu pun,
mereka tetap memilih datang langsung ke Tarikolot
atau Cibeureum.
Kondisi yang buruk itu berlangsung selama
empat tahun. Pada tahun keempat Carsim
mulai digerogoti perasaan putus asa. Padahal
ayah dua anak itu sudah berusaha memberikan
kemudahan bagi siapa pun yang ingin menjalani
usaha ini, yakni dengan sistem konsinyasi.
“Terus terang, empat tahun membabat hutan
sendirian seperti itu membuat saya lebih banyak
menangis daripada tertawa. Barang enggak laku.
Mau dibawa pulang malu. Alšhirnya hanya saya
bagi-bagikan saja ke tukang becak,” kenang Carsim.
“Waktu itu saya sudah putus asa. Inginnya lari
meninggalkan usaha ini,” tuturnya menambahkan.
Meski putus asa dan sempat berpikir menghentikan
usaha, Carsim masih memiliki pikiran
positif. Boleh jadi empat tahun ini ia mengalami
kegagalan. Tetapi, mungkin akan datang sesuatu
yang berbeda pada tahun kelima usahanya.
Suatu hari Carsim bertemu kenalannya yang
bekerja sebagai pegawai negeri di Kuningan. Setelah
menceritakan pengalaman dan impiannya,
kenalan tersebut menawarkan tempat di sekitar
Bundaran Cijoho untuk dipinjamkan. Carsim tak
mau membuang waktu. Tawaran tersebut langsung
disambar dan keesokannya dia langsung
melakukan pemasaran lagi. Peristiwa yang
tak terlupakan itu terjadi pada tahun kelima
usahanya.
Ternyata benar, tahun 2000 itu merupakan
langkah awal terlihatnya tanda-tanda keberhasilan.
Di lokasi yang baru itu tape ketannya
mulai laku. Dia mengakui bahwa faktor tempatlah
yang membuat tape ketannya mulai laku.
Setelah berjualan di tempat yang dipinjamkan
kenalannya, sebagian orang mulai tertarik untuk
datang dan membeli. Mulai banyak orang yang
mendengar mengenai usaha Carsim dan tertarik
untuk datang. Setelah mencicipi enaknya tape
ketan Carsim, banyak orang menjadi pelanggan.
Sejak saat itu promosi dari mulut ke mulut pun
berlangsung dengan sendirinya.
“Tempat baru itu membuat saya punya sarana
promosi gratis. Saya mulai dengan menata dagangan
secara menarik. Kalau dagang di pinggir
jalan kan susah menata dagangan jadi menarik.
Papan nama usaha Tape Ketan ‘Pamela’ yang
saya pajang di luar juga gampang dibaca orang
dan membuat orang tertarik untuk datang,” urai
Carsim.
U5AHA YANG MULAI BERKEMBANG
Dari segi volume, produksi tape ketannya terus
meningkat dan habis diserap pasar. Ketika
usahanya sudah mulai lancar, setiap harinya
dia membutuhkan 20 kg heras ketan. Dalam
hitungan bulan naik menjadi 50 kg dan kemudian
menjadi loo kg per hari. “Kalau menjelang Lebaran
biasanya meningkat antara empat sampai
enam kuintal per hari. Berapa persen ya?” tuturnya lugu.
Pada tahun 2000-an Carsim menjual tape ketan
buatannya dengan harga Rp 15 ribu per 100 bungkus.
Saat itu Carsim mengemas produknya
dalam ember plastik warna hitam dan dilabeli merek
Pamela. Kini Carsim menjual dengan harga Rp 45 ribu per
ember berisi 100 bungkus. Sebagai catatan, nama Pamela
adalah hasil penggabungan nama panggilan kedua anak
nya, Fajar (ii tahun)—yang sehari-hari dipanggil Pajar—
dan Mela (17 tahun). Kedua anaknya ini merupakan buah
perkawinannya dengan Rusti Cahyadi (41 tahun) yang ber
profesi sebagai guru SD. Keberhasilan Carsim langsung
menjadi buah bibir warga Tarikolot. Hal inilah yang
akhirnya membuat Carsim mendapatkan tawaran kerja
sama oleh Danasih. Ketika itu Danasih sedang mendapatkan
banyak pesanan, tetapi ia tidak mampu
meningkatkan produksi tape ketannya. Agar
dapat memenuhi permintaan tersebut, Danasih
menawarkan kerja sama pada Carsim dalam
bidang produksi. Demi mengembangkan usahanya,
Carsim pun menerima tawaran tersebut.
Kerja sama keduanya memberikan hasil yang
baik. Carsim mampu memenuhi kekurangan
produksi usaha Danasih, sehingga permintaan
pasar yang meningkat menjelang Lebaran dapat
terpenuhi. Keberhasilan mereka mendorong
para tetangga melakukan hal yang sama. Satu
per satu warga desa Tarikolot mengikuti jejak
Carsim dan Danasih: serius menekuni usaha
pembuatan tape ketan.
Keberhasilan Carsim juga terendus oleh
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional) setempat. Lembaga yang terkenal
pada zaman Orde Baru sebagai pengendali
populasi penduduk melalui berbagai program
pendampingan ini memiliki UPPKS (Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera).
BKKBN Kuningan berusaha merangkul warga
Tarikolot dengan memasukkan mereka keprogram
UPPKS dan memberikan bantuan
modal serta berbagai pelatihan, termasuk pada
usaha yang digeluti Carsim.
Uniknya, setelah berhasil dipasarkan secara
intensif di Kuningan, tape ketan yang dikemas
dengan daun jambu air ini kemudian lebih
dikenal sebagai oleh-oleh khas dari Kuningan,
bukan dari Tarikolot dan Cibeureum. Maka,
berlakulah peribahasa ‘kerbau punya susu, (te
tapi) sapi (yang) punya nama’. Tarikolot yang
mengembangkan, Kuningan yang dapat nama.
PELOPOR DAN WIRAUSAHAWAN DESA
Menurut sejumlah tetangganya, Carsim bukan
sekadar pembuat tape yang gigih. Pada dirinya
tumbuh dan berkembang jiwa wirausaha. Semangat
untuk maju pun tinggi. Ketika produksi
tape ketannya meningkat, lelaki yang memiliki
hobi menyendiri dan merenung di alam bebas
ini langsung menyadari sejumlah kelemahan
yang melekat pada usahanya, yakni pada proses
pembuatan.
“Terutama menyangkut urusan cuci beras.
Untuk jumlah yang sudah mencapai ratusan
kilogram, kami tak sanggup lagi melakukannya
secara manual,” tutur Carsim. Lalu, pucuk
dicinta ulam tiba. Suatu hari kawan Carsim
menawari mesin pengaduk bahan snack yang
tak lagi digunakan karena sudah berganti usaha.
Tanpa pikir panjang Carsim pun langsung
menyambarnya.
Setelah mencoba mengotak-atik, Carsim
menemukan ide untuk “menyulap” alat tersebut menjadi
mesin pencuci beras. Meski digunakan bukan untuk
fungsi yang semestinya, mesin tersebut dapat
dioperasikan dengan mudah, sehingga tidak
diperlukan waktu lama untuk membuat karyawannya
memahami cara menggunakannya.
Tak lama kemudian langkah tersebut segera diikuti
para tetangganya. Hingga kini para pembuat tape
di Tarikolot dan Cibeureum hanya menggunakan
mesin untuk mencuci beras ketan. Sedangkan proses
produksi tape ketan secara umum masih dilakukan
secara manual, demi menjaga rasa
khas dan kualitas makanan. Selain berkembang
menjadi sosok yang senang melakukan
inovasi, Carsim juga menjadi
model dalam hal mengelola usaha. Hal itu terlihat
ketika Carsim dan Danasih memasarkan produknya dengan
sistem keagenan. Tak berapa lama, agen-agen tape ketan
Tarikolot dan Cibeureum pun
tersebar di Kuningan dan Cirebon. “Bagaimanapun kultur
warga desa ini adalah kultur petani. Mengajak petani
untuk berubah itu mudah kalau tahu
caranya. Beri mereka contoh melalui keberhasilan.
Tak perlu disuruh-suruh atau diajari mereka pasti akan
ikut,” tutur Carsim.
Kepeloporan Carsim dalam menjalani industri rumahan
tape ketan berskala kecil dan menengah ini berlanjut.
Kini ia melakukan inovasi terhadap rasa dan kualitas.
Menurut Carsim, inovasi rasa sangat penting bagi
masyarakat perkotaan yang akan menjadi sasaran
pemasaran mereka.
Carsim yang pernah tinggal di Jakarta memahami bahwa
selera orang kota terhadap rasa telah dibentuk oleh pasar.
Dan, pasar kuliner perkotaan terutama di kalangan orang muda,
telah mengalami kemajuan yang pesat dalam
hal variasi rasa. Carsim kini berusaha menciptakan variasi
pada rasa ketan yang selama ini dikenal memiliki rasa
manis keasaman.
“Sekarang kan semua makanan dan minuman
orang kota dibikin banyak rasa. Tape ketan pun
punya peluang untuk tampil dalam banyak rasa.
Misalnya stroberi, cokelat, vanila, dan lain-lain,”
kata Carsim.
Setelah berhasil menemukan cara pemasaran
dan mencuci heras yang efektif, Carsim kini
tengah melakukan inovasi dalam hal kemasan.
Lelaki ini tengah berusaha keras memperoleh
pengganti daun jambu air. Pasalnya, para
pembuat tape ketan semakin kesulitan memperoleh daun
jambu air, terutama saat musim kemarau.
“Mungkin ada dua langkah yang bisa di
tempuh dan mudah-mudahan sama-sama menguntungkan.
Saya ingin mengajak masyarakat
Lebih banyak lagi membudidayakan pohon jambu
air. Cara lain mungkin mencari pengganti daun
jambu air,” ujarnya menyampaikan pikirannya.
BERSAING SEKALIGUS BERTETANGGA
Dari sisi kualitas Carsim menyadari bahwa mutu
penganan asal Tarikolot ini masih bisa di
tingkatkan lebih jauh, terutama menyangkut
keawetan alami, kebersihan, sanitasi, dan tampilannya.
“Masyarakat kota adalah masyarakat
yang sadar akan kebersihan, kesehatan, juga
kemasan. Saya sering melihat soal kemasan ini
menjadi hal yang sangat penting di dunia usaha
makanan jadi,” katanya.
Selain bahan dasar berupa beras ketan, produk tape
ketan Tarikolot dan Cibereum menggunakan bahan
tambahan yang serba alami.
Misalnya, daun katuk yang digunakan sebagai
pewarna dan daun jambu sebagai pembungkus
sekaligus pencipta aroma. Bahan-bahan tersebut
membuat tape ketan Tarikolot tak gampang berair, selain
tampilannya yang hiiau muda dengan aroma alami.
Sebagai salah satu pelopor usaha pembuatan dan
pemasaran tape ketan, Carsim juga tampil di barisan
depan dalam menghadapi persaingan. Dia selalu berusaha
membangun ikiim usaha yang sehat. Lelaki ini mengaku
sampai saat ini dia belum pernah mengalami konflik
dengan produsen tape lainnya. “Meskipun bersaing, kami ini
kan hidup sekampung, saling bertetangga. Tak ada
manfaatnya membawa pulang persaingan ke kampung. Kami
masih tetap selalu menjaga silaturahmi,” kata Carsim.
Carsim mengaku tidak segan membuka rahasia dalam
menjaga kualitas produknya. Ia tak pernah khawatir kalau
para pembuat tape mengikuti langkahnya. Sebab, Carsim
sadar bahwa dirinya tak pernah berhenti melakukan inovasi,
sementara para pembuat tape lainnya lebih banyak menunggu
hasil inovasi orang lain lalu mengikutinya.
Jiwa kepeloporan Carsim juga tampak dalam memperlakukan
karyawannya. Sebagai warga Kuningan yang sangat memahami
kultur sosial Sunda yang halus, Carsim berusaha memperlakukan
karyawan dan semua pihak yang menjalin hubungan kerja
dengannya secara manusiawi. Bahkan hubungan tersebut telah
dia lakukan sejak Pamela baru memiliki dua orang karyawan.
Semua karyawannya berasal dari satu desa yang sama
dengan Carsim. Dalam melakukan penerimaan
karyawan baru, Carsim tidak mensyaratkan
seleksi khusus. “Syaratnya cuma satu, mau
bekerja membuat tape,” Carsim menjelaskan
sambil tertawa.
Kini, ketika Pamela telah memiliki 35 karyawan pun
Carsim menyatakan belum pernah
sekalipun menghadapi konflik. “Kalaupun ada
yang keluar, lebih karena ada urusan lain seperti
ganti pekerjaan atau karena akan merintis usaha
sendiri,” jelasnya.
Lelaki yang ramah ini mengaku bahwa hal
yang paling membanggakan sebagai pelaku
usaha ialah ketika melihat karyawannya berhasil
membangun usaha pembuatan tape ketan
sendiri. “Saya merasa bahagia kalau ada bekas
karyawan Pamela berhasil membangun usaha
sendiri dan sukses,” katanya.
Masih terkait perkara karyawan, Carsim juga
dikenal sebagai pemberi upah yang baik. Upah
yang diterima karyawan Pamela berada di atas
UMR resmi setempat, yaitu Rp 30 ribu per hari,
ditambah makan, bonus bulanan, dan THR.
Pada hari-hari tertentu Pamela juga mengajak
karyawan dan keluarganya melakukan wisata
bersama.
INGIN MENGUASAI PASAR NDONESIA
Pada tahun 2004, setelah Pamela berkembang
semakin stabil, Carsim mengajukan permohonan
pinjaman modal ke bank bjb. Saat itu
bank bjb belum memiliki produk kredit mikro
sehingga yang ditawarkan adalah pinjaman
modal melalui melalui Program Peduli Jabar.
Jumlah modal yang pertama kali dipinjam
Carsim sebesar Rp lo juta dan lunas dalam
waktu singkat. Pelunasan pinjaman tersebut
dilakukan dengan cara membayarkan bunga
pinjaman sekaligus pokoknya setiap bulan.
Setelah lunas, pinjaman Carsim meningkat jadi
Rp 20 juta.
Selanjutnya melalui Program Pinjaman Umum,
Carsim meningkatkan lagi pinjamannya menjadi
dua kali lipat lebih, yakni Rp 50 juta, lalu Rp
200 juta. “Bagi saya, program pinjaman modal dari
bank bjb seperti itu adalah cara yang
bagus untuk membina UKM,” tuturnya. Namun, sejak 2011
ini Pamela tidak mengajukan pinjaman modal ke bank lagi
karena sudah memiliki modal sendiri dari hasil usahanya
selama ini. Sikap yang diambil Carsim
sangat masuk akal. Carsim telah
‘naik kelas’ dan mandiri. Saat ini omzet penjualan
yang diperoleh Pamela telah
mencapai Rp 240 juta per bulan atau Rp 2,88 miliar per tahun.
Dari omzet sebesar itu Pamela mampu meraih keuntungan
bersih antara Rp 280 juta hingga Rp 300 juta per tahun.
Hingga tahun 2011, Carsim terhitung telah bergelut dengan
usaha pembuatan tape ketan selama 15 tahun. Omzet dan
keuntungan yang diperolehnya jelas terhitung besar untuk
ukuran UKM yang berlokasi di desa. Namun, Carsim mengaku
tak ingin bersantai-santai. Dia bertekad akan terus melakukan
upaya agar makanan tape ketan bisa tampil sesuai tuntutan
zaman. “Saya ingin tape ketan tampil seperti makanan modern
tapi tetap dengan cita rasa daerah yang eksotis,” katanya.
Untuk itulah Carsim membangun Pamela menjadi usaha yang
lebih modern. Sebagai mantan karyawan perusahaan kontraktor
di Jakarta, dia ingin usahanya menjadi lebih baik di bidang
kebersihan, inovasi rasa, kemasan, serta kualitas. “Saya merasa
bersyukur memiliki istri yang bekerja sebagai guru. Dukungannya
untuk mendorong karyawan meningkatkan kebersihan dan menjaga
kualitas besar sekali. Juga dalam hal tertib administrasi,”
kata Carsim menyinggung peran istrinya.
Kini, ditambah pelajaran yang dia peroleh selama menjadi
debitur bank bjb, Carsim terus mengembangkan Pamela
menjadi usaha yang maju dari segi manajemen. Namun dia
mengaku belum berani mengambil tenaga profesional. “Sebagai usaha
rumahan di desa kayaknya belum terlalu perlu mengambil tenaga
profesional. Kami belum kuat bayarnya, lagian kami masih bisa
menangani sendiri,” ujarnya bersahaja.
Demikian pula dalam hal pemasaran. Sistem keagenan
yang dirintis Carsim dianggap masih sesuai untuk Pamela.
Pada awalnya Carsim memang mencari rekanan yang mau
menjadi agen Pamela. Namun, seiring dengan perkembangan usaha,
banyak orang yang justru datang menawarkan
kerja sama menjadi agen.
Sistem keagenan dilakukannya dengan sistem
retail sederhana: Carsim memberikan harga
retail yang lebih murah bagi para agen. Kemudian
masing-masing agen akan menjual dengan harga
yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan.
Sampai saat ini tidak ada kendala yang berarti
dari sistem keagenan tersebut. “Para agenlah
yang bergerak melakukan promosi. Kami lebih
banyak mengurusi produksi,” kata Carsim seraya
mengatakan bahwa di pasar tape ketan, para agen
telah melakukan berbagai cara pemasaran mulai
dari cara konvensional hingga modern, termasuk
memanfaatkan teknologi internet.
“Saat ini saya akan berkonsentrasi di sisi
hulu karena masih banyak yang perlu kami
benahi,” katanya. Kalau sisi hulu sudah bagus,
tambahnya, dia baru akan bergerak di sisi hilir.
Carsim juga masih mempunyai satu mimpi
besar sebagai wirausahawan. Dia ingin
mengajak masyarakat Kuningan membuat tape
ketan tersedia di berbagai kota di Indonesia.
Namun ada kendala besar yang menghadang,
yaitu jarak dan waktu. Tape ketan merupakan
penganan yang tidak tahan lama. “Paling lama
hanya mampu bertahan selama satu minggu,”
ujarnya. Karenanya daerah tujuan pemasaran
Carsim saat ini masih menyasar seputar
Bandung dan Jakarta. Jika Carsim berhasil
menaklukkan Bandung dan Jakarta, maka kota
sasaran Carsim selanjutnya adalah kota-kota di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kelemahan tape ketan yang tidak tahan lama
tersebut memang bukan penghalang bagi Carsim
untuk mewujudkan impiannya memasarkan
tape ketan ke seluruh Indonesia. Saat ini Carsim
sedang memikirkan cara untuk memodifikasi
tape ketan agar bisa menjadi penganan yang
lebih tahan lama. Salah satu cara yang sedang
dipikirkan Carsim adalah kemungkinan
membuat tape ketan menjadi bahan tambahan
kue atau penganan lain. Tetapi, Carsim ingin
penganan modifikasi tersebut tetap memiliki
unsur ciri khas daerah Kuningan, sehingga pada
akhirnya Kuningan dapat memproduksi tape
ketan yang bisa dinikmati sampai ke pelosok
Indonesia.
“Kalau 15 tahun yang lalu kami warga
Tarikolot berhasil membuat tape ketan menjadi
makanan oleh-oleh dari Kuningan. Kami yakin
ke depan, Kuningan bisa menjadi pemasok
tape ketan untuk kebutuhan tape di seluruh
Indonesia,” tutur Carsim.
Catatan Rhenald Kasali
SALAH SATU ciri khas usaba kecil di Jawa Barat adalah kerumunan. Tukang
Tape singkong (tape gantung) di Purwakarta, mainan berbentük buah-buahan di
Cianjur, gerabah di plered, colenak di Pasar Lembang, sepatu di
Cibaduyut, usaba bordir di Tasik, dodol di Garut, tahu di Sumedang. genteng
di Jatiwangi dan seterusnya.
Satu orang berhasil, yang lain mengíkuti. Mereka saling meiengkapi dan
berbagi. Seperti sebuah keluarga besar, mereka tidak hanya bersaing
melainkan menjadi magnet besar ýang menarik pembeli dan wisatawan. Pasar
oleh-olah tetab menjadi ciri yang penting dalam UMKM di Jawa Sarat.
Mehjadí magnet berti menciptakan kumpulan. Anda pun bisa melakukannya
dengan menjadikan produk sebagai milik bersama. Tentu, butuh beberapa
waktu untuk menarik kerumunan. Tetapi setiap keberhasilan
selalu mengundang kebersamaan. Dalam kebersamaan itu, mereka bisa sama-sama
memperbesar pasar karena konsumen senang hadir dalam kerumunan. Dalam
kerumunan itu ada variasi, warna dan selera. Dan itu tidak
selalu berarti kompetisi yang buruk karena pelanggan senang berada dalam
variasi itu.
Maka pilihkanlah apa yang akan dilakukan bila Anda harus berada dalam
suatu kerumunan. Pertama, bersikap bijak dalam diri dengan menyadari
bahwa setiap keberhasilan selalu mengundang kerumunan. Dalam sekejap
usaba Anda akan drtiru oleh tetangga-tetangga Anda. Kedua selalu ciptakan
keunggulan yaitu apa yang menjadi kelebihan Anda dibandingkan para
Pangekor. Hanya menjadi yang pertama, yang “asli’ atau “original’ saja
Tidak menjadikan Anda unggul dan diminati. Unggul berarti “lebih”,
seperti lebih bersih, lebih enak, lebib melayani, lebih
bervariasi lebih cepat, lebih bagus leblh harum, lebih kreatif,
lebih unik dan seterusnya.
Ketiga; ambil manfaat dari suatu kerumunan, Suatu kerumunan adalah magnet
untuk mendapatkan segala macam sumberdaya dan pengetahuan. Di sanalah
berkumpul SDM dengan keterampilan tertentu yang diwariskan
secara alamiah dari satu generasi kegenerasi berikutnya yang tinggal Anda
poles dan buat lebih kreatif. Di sana juga berkumpul informasi bahan
baku pengetahuan, dan pemasok-pemasok penting. Anda tinggal mengambil atau
memanggil mereka maka semua akan datang. Untuk menciptakan keunggulan,
dapatkan kombinasi-kombinasi sumberdaya yang unik.
Keempat, berikanlah sesuatu kembali kepada komunitas Anda, agar komunitas
dapat meneruskan keberlangsungannya dalam jangka panjang. Ingatlah Anda
meminjam semuanya dari generasi penerus Anda. Jadi Anda
pun wajib mengembalikannya.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
1 comment:
memotivasi banget nih ceritanya gan
Post a Comment