Saturday, April 13, 2013

Carsim Cahyadi, Bermodal Awal 600 Ribu Kini Sukses Raup Omzet Miliaran dari Bisnis Kuliner Tape Ketan

Carsim Cahyadi, Tarikolot Punya Ketan, Kuningan Punya Nama

Meskipun Kabupaten Kuningan, Jawa

Barat dikenai sebagai penyedia oleh-o1eh

Tape ketan, namun produksi penganan

itu sendiri berasal dari jerih payah para

pembuat tape ketan di Desa Tarikolot

dan Cibeureum. Carsim Cahyadi adaläh

salah satunya. Mimpinya sangat besar

suatu hari kelak Kuningan akan menjadi

gudang tape ketan untuk Indonesia.

Siapa tak kenal tape ketan? Penganan ini

sangat dikenal di Indonesia bahkan di kawasan Asia Tenggara.

Masyarakat di kawasan ini sudah lama mengonsumsi makanan khas

berbahan beras ketan atau beras pulut. Dibuat

melalui proses fermentasi atau peragian, tape

ketan dihidangkan pada hari besar keagamaan

atau hajatan.

Dan segi volume dan pasar, tape ketan merupakan

jenis tape terbanyak yang diproduksi

masyarakat. Di sejumlah daerah di Sumatera

penganan ini dikenal dengan nama tape pulut.

Dengan rasa manis keasaman, lembek, berair,

dan memiliki tekstur yang lengket, tape ketan

merupakan makanan yang mengandung alkohol.

Dilihat bahan dasarnya, ada dua jenis tape

ketan, yakni tape ketan putih dan tape ketan hitam.

Di Kuningan, Jawa Barat—khususnya di Desa

Tarikolot dan Cibereum— tape ketan tampil sedikit

berbeda. Jika di daerah lain dibungkus

atau dikemas dengan daun pisang, maka

tape ketan yang dihasilkan oleh kedua desa

tersebut dikemas dengan daun jambu air. Di

samping bahan tambahan seperti daun katuk,

penggunaan jambu air sebagai bungkus inilah

yang membuat tape ketan Kuningan tampil berbeda.

Biasanya setiap menjelang atau pasca lebaran,

banyak orang dari luar Kuningan menyempatkan diri

datang ke Tarikolot dan Cibeureum untuk membeli

tape ketan. Pada umumnya mereka adalah penduduk Bandung

dan Jakarta yang sedang melakukan perjalanan

ke Cirebon, Kuningan, atau Majalengka. Hal ini

memang didukung oleh letak geografis Kuningan

yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Barat

dan Jawa Tengah.

Di Tarikolot dan Cibereum, orang-orang

dari berbagai kota itu rela mengantre panjang

untuk mendapatkan tape ketan yang

akan dibawa sebagai oleh-oleh. Sementara

penduduk Kuningan sangat membanggakan

tape ketan sebagai oleh-oleh kebanggaan

ketika bepergian ke daerah lain. Salah satu

pembuat tape ketan di Tarikolot yang banyak

didatangi orang ialah Tape Ketan “Sari Asih”

milik Danasih.

METAMORFOSA LELAKI PERENUNG

Meskipun “tradisi” membuat tape ketan di Tarikolot

dan Cibeureum sudah berlangsung lama,

para pembuatnya belum memandang penganan

ini sebagai komoditas yang menguntungkan.

Sejumlah pembuat tape ketan memperkirakan

usaha pembuatan tape ketan di Tarikolot dan

Cibeureum untuk kepentingan komersial baru

dimulai pada dekade 1980-an. Demikian pula

dengan Danasih. Justru tetangganya, Carsim

Cahyadi —seorang pedagang keliling perkakas

rumah tangga yang sempat berganti pekerjaan

menjadi karyawan perusahaan kontraktor di

Jakarta— yang memperhatikan fenomena ini.

Setiap pulang mudik, terutama menjelang

Lebaran, Carsim selalu menyaksikan pemandangan

yang menarik di kampungnya. Orang-

orang dari berbagai kota rela mengantre panjang

di depan rumah Danasih untuk membawa pulang

buah tangan berupa tape ketan. Carsim kerap

diminta membantu Danasih yang kewalahan

menghadapi permintaan konsumen. Tetapi setelah

Lebaran pikirannya selalu diganggu oleh

pertanyaan, apakah tape ketan ini juga bisa laku

di luar waktu Lebaran sehingga bisa menjadi

usaha yang menguntungkan.

Carsim mulai berpikir untuk mengembangkan

pembuatan tape ketan ini. Pikirnya saat itu,

tape ketan akan sulit berkembang jika hanya

menunggu datangnya ‘musim’ Lebaran. Hidung

bisnisnya yang terlatih saat menjadi pedagang

keliling pun kemudian mengendus peluang.

“Deretan mobil yang antre di depan rumah

Bu Danasih menginspirasi saya untuk

melakukan pemasaran tape ketan secara aktif.

Saat itu muncul pikiran untuk menjemput bola,”

kata Carsim. Carsim yang merasa tak betah

hidup di Jakarta akhirnya membuat keputusan

bulat: Pulang kembali ke Tarikolot. Ia bertekad

ingin menjadikan pembuatan tape ketan sebagai

usaha yang lebih maju.

Kembali ke Tarikolot tahun 1996, setahun

menjelang terjadinya krisis keuangan yang

berkembang menjadi multikrisis di Indonesia,

Carsim langsung membuka usaha rumahan tape

ketan. Modalnya hanya uang Rp 600 ribu yang

digunakan untuk membeli bahan dasar dan

peralatan seadanya.

Carsim pun melakukan survei ke kota

Kuningan lalu Cirebon. Ia langsung memutuskan

untuk memasarkan tape ketan produk

Tarikolot di salah satu sudut kota Kuningan.

Bundaran Cijoho, Jalan Siliwangi, Kuningan,

dipilih sebagai lokasinya. Tetapi kenyataan

yang dihadapi lelaki bersahaja ini jauh dari

impiannya. Usaha perdananya kandas. Saat

itu masyarakat belum memandang tape ketan

sebagai penganan harian. Mereka lebih

memperlakukannya sebagai oleh-oleh. Itu pun,

mereka tetap memilih datang langsung ke Tarikolot

atau Cibeureum.

Kondisi yang buruk itu berlangsung selama

empat tahun. Pada tahun keempat Carsim

mulai digerogoti perasaan putus asa. Padahal

ayah dua anak itu sudah berusaha memberikan

kemudahan bagi siapa pun yang ingin menjalani

usaha ini, yakni dengan sistem konsinyasi.

“Terus terang, empat tahun membabat hutan

sendirian seperti itu membuat saya lebih banyak

menangis daripada tertawa. Barang enggak laku.

Mau dibawa pulang malu. Alšhirnya hanya saya

bagi-bagikan saja ke tukang becak,” kenang Carsim.

“Waktu itu saya sudah putus asa. Inginnya lari

meninggalkan usaha ini,” tuturnya menambahkan.

Meski putus asa dan sempat berpikir menghentikan

usaha, Carsim masih memiliki pikiran

positif. Boleh jadi empat tahun ini ia mengalami

kegagalan. Tetapi, mungkin akan datang sesuatu

yang berbeda pada tahun kelima usahanya.

Suatu hari Carsim bertemu kenalannya yang

bekerja sebagai pegawai negeri di Kuningan. Setelah

menceritakan pengalaman dan impiannya,

kenalan tersebut menawarkan tempat di sekitar

Bundaran Cijoho untuk dipinjamkan. Carsim tak

mau membuang waktu. Tawaran tersebut langsung

disambar dan keesokannya dia langsung

melakukan pemasaran lagi. Peristiwa yang

tak terlupakan itu terjadi pada tahun kelima

usahanya.

Ternyata benar, tahun 2000 itu merupakan

langkah awal terlihatnya tanda-tanda keberhasilan.

Di lokasi yang baru itu tape ketannya

mulai laku. Dia mengakui bahwa faktor tempatlah

yang membuat tape ketannya mulai laku.

Setelah berjualan di tempat yang dipinjamkan

kenalannya, sebagian orang mulai tertarik untuk

datang dan membeli. Mulai banyak orang yang

mendengar mengenai usaha Carsim dan tertarik

untuk datang. Setelah mencicipi enaknya tape

ketan Carsim, banyak orang menjadi pelanggan.

Sejak saat itu promosi dari mulut ke mulut pun

berlangsung dengan sendirinya.

“Tempat baru itu membuat saya punya sarana

promosi gratis. Saya mulai dengan menata dagangan

secara menarik. Kalau dagang di pinggir

jalan kan susah menata dagangan jadi menarik.

Papan nama usaha Tape Ketan ‘Pamela’ yang

saya pajang di luar juga gampang dibaca orang

dan membuat orang tertarik untuk datang,” urai

Carsim.

U5AHA YANG MULAI BERKEMBANG

Dari segi volume, produksi tape ketannya terus

meningkat dan habis diserap pasar. Ketika

usahanya sudah mulai lancar, setiap harinya

dia membutuhkan 20 kg heras ketan. Dalam

hitungan bulan naik menjadi 50 kg dan kemudian

menjadi loo kg per hari. “Kalau menjelang Lebaran

biasanya meningkat antara empat sampai

enam kuintal per hari. Berapa persen ya?” tuturnya lugu.

Pada tahun 2000-an Carsim menjual tape ketan

buatannya dengan harga Rp 15 ribu per 100 bungkus.

Saat itu Carsim mengemas produknya

dalam ember plastik warna hitam dan dilabeli merek

Pamela. Kini Carsim menjual dengan harga Rp 45 ribu per

ember berisi 100 bungkus. Sebagai catatan, nama Pamela

adalah hasil penggabungan nama panggilan kedua anak

nya, Fajar (ii tahun)—yang sehari-hari dipanggil Pajar—

dan Mela (17 tahun). Kedua anaknya ini merupakan buah

perkawinannya dengan Rusti Cahyadi (41 tahun) yang ber

profesi sebagai guru SD. Keberhasilan Carsim langsung

menjadi buah bibir warga Tarikolot. Hal inilah yang

akhirnya membuat Carsim mendapatkan tawaran kerja

sama oleh Danasih. Ketika itu Danasih sedang mendapatkan

banyak pesanan, tetapi ia tidak mampu

meningkatkan produksi tape ketannya. Agar

dapat memenuhi permintaan tersebut, Danasih

menawarkan kerja sama pada Carsim dalam

bidang produksi. Demi mengembangkan usahanya,

Carsim pun menerima tawaran tersebut.

Kerja sama keduanya memberikan hasil yang

baik. Carsim mampu memenuhi kekurangan

produksi usaha Danasih, sehingga permintaan

pasar yang meningkat menjelang Lebaran dapat

terpenuhi. Keberhasilan mereka mendorong

para tetangga melakukan hal yang sama. Satu

per satu warga desa Tarikolot mengikuti jejak

Carsim dan Danasih: serius menekuni usaha

pembuatan tape ketan.

Keberhasilan Carsim juga terendus oleh

BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional) setempat. Lembaga yang terkenal

pada zaman Orde Baru sebagai pengendali

populasi penduduk melalui berbagai program

pendampingan ini memiliki UPPKS (Usaha

Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera).

BKKBN Kuningan berusaha merangkul warga

Tarikolot dengan memasukkan mereka keprogram

UPPKS dan memberikan bantuan

modal serta berbagai pelatihan, termasuk pada

usaha yang digeluti Carsim.

Uniknya, setelah berhasil dipasarkan secara

intensif di Kuningan, tape ketan yang dikemas

dengan daun jambu air ini kemudian lebih

dikenal sebagai oleh-oleh khas dari Kuningan,

bukan dari Tarikolot dan Cibeureum. Maka,

berlakulah peribahasa ‘kerbau punya susu, (te

tapi) sapi (yang) punya nama’. Tarikolot yang

mengembangkan, Kuningan yang dapat nama.

PELOPOR DAN WIRAUSAHAWAN DESA

Menurut sejumlah tetangganya, Carsim bukan

sekadar pembuat tape yang gigih. Pada dirinya

tumbuh dan berkembang jiwa wirausaha. Semangat

untuk maju pun tinggi. Ketika produksi

tape ketannya meningkat, lelaki yang memiliki

hobi menyendiri dan merenung di alam bebas

ini langsung menyadari sejumlah kelemahan

yang melekat pada usahanya, yakni pada proses

pembuatan.

“Terutama menyangkut urusan cuci beras.

Untuk jumlah yang sudah mencapai ratusan

kilogram, kami tak sanggup lagi melakukannya

secara manual,” tutur Carsim. Lalu, pucuk

dicinta ulam tiba. Suatu hari kawan Carsim

menawari mesin pengaduk bahan snack yang

tak lagi digunakan karena sudah berganti usaha.

Tanpa pikir panjang Carsim pun langsung

menyambarnya.

Setelah mencoba mengotak-atik, Carsim

menemukan ide untuk “menyulap” alat tersebut menjadi

mesin pencuci beras. Meski digunakan bukan untuk

fungsi yang semestinya, mesin tersebut dapat

dioperasikan dengan mudah, sehingga tidak

diperlukan waktu lama untuk membuat karyawannya

memahami cara menggunakannya.

Tak lama kemudian langkah tersebut segera diikuti

para tetangganya. Hingga kini para pembuat tape

di Tarikolot dan Cibeureum hanya menggunakan

mesin untuk mencuci beras ketan. Sedangkan proses

produksi tape ketan secara umum masih dilakukan

secara manual, demi menjaga rasa

khas dan kualitas makanan. Selain berkembang

menjadi sosok yang senang melakukan

inovasi, Carsim juga menjadi

model dalam hal mengelola usaha. Hal itu terlihat

ketika Carsim dan Danasih memasarkan produknya dengan

sistem keagenan. Tak berapa lama, agen-agen tape ketan

Tarikolot dan Cibeureum pun

tersebar di Kuningan dan Cirebon. “Bagaimanapun kultur

warga desa ini adalah kultur petani. Mengajak petani

untuk berubah itu mudah kalau tahu

caranya. Beri mereka contoh melalui keberhasilan.

Tak perlu disuruh-suruh atau diajari mereka pasti akan

ikut,” tutur Carsim.

Kepeloporan Carsim dalam menjalani industri rumahan

tape ketan berskala kecil dan menengah ini berlanjut.

Kini ia melakukan inovasi terhadap rasa dan kualitas.

Menurut Carsim, inovasi rasa sangat penting bagi

masyarakat perkotaan yang akan menjadi sasaran

pemasaran mereka.

Carsim yang pernah tinggal di Jakarta memahami bahwa

selera orang kota terhadap rasa telah dibentuk oleh pasar.

Dan, pasar kuliner perkotaan terutama di kalangan orang muda,

telah mengalami kemajuan yang pesat dalam

hal variasi rasa. Carsim kini berusaha menciptakan variasi

pada rasa ketan yang selama ini dikenal memiliki rasa

manis keasaman.

“Sekarang kan semua makanan dan minuman

orang kota dibikin banyak rasa. Tape ketan pun

punya peluang untuk tampil dalam banyak rasa.

Misalnya stroberi, cokelat, vanila, dan lain-lain,”

kata Carsim.

Setelah berhasil menemukan cara pemasaran

dan mencuci heras yang efektif, Carsim kini

tengah melakukan inovasi dalam hal kemasan.

Lelaki ini tengah berusaha keras memperoleh

pengganti daun jambu air. Pasalnya, para

pembuat tape ketan semakin kesulitan memperoleh daun

jambu air, terutama saat musim kemarau.

“Mungkin ada dua langkah yang bisa di

tempuh dan mudah-mudahan sama-sama menguntungkan.

Saya ingin mengajak masyarakat

Lebih banyak lagi membudidayakan pohon jambu

air. Cara lain mungkin mencari pengganti daun

jambu air,” ujarnya menyampaikan pikirannya.

BERSAING SEKALIGUS BERTETANGGA

Dari sisi kualitas Carsim menyadari bahwa mutu

penganan asal Tarikolot ini masih bisa di

tingkatkan lebih jauh, terutama menyangkut

keawetan alami, kebersihan, sanitasi, dan tampilannya.

“Masyarakat kota adalah masyarakat

yang sadar akan kebersihan, kesehatan, juga

kemasan. Saya sering melihat soal kemasan ini

menjadi hal yang sangat penting di dunia usaha

makanan jadi,” katanya.

Selain bahan dasar berupa beras ketan, produk tape

ketan Tarikolot dan Cibereum menggunakan bahan

tambahan yang serba alami.

Misalnya, daun katuk yang digunakan sebagai

pewarna dan daun jambu sebagai pembungkus

sekaligus pencipta aroma. Bahan-bahan tersebut

membuat tape ketan Tarikolot tak gampang berair, selain

tampilannya yang hiiau muda dengan aroma alami.

Sebagai salah satu pelopor usaha pembuatan dan

pemasaran tape ketan, Carsim juga tampil di barisan

depan dalam menghadapi persaingan. Dia selalu berusaha

membangun ikiim usaha yang sehat. Lelaki ini mengaku

sampai saat ini dia belum pernah mengalami konflik

dengan produsen tape lainnya. “Meskipun bersaing, kami ini

kan hidup sekampung, saling bertetangga. Tak ada

manfaatnya membawa pulang persaingan ke kampung. Kami

masih tetap selalu menjaga silaturahmi,” kata Carsim.

Carsim mengaku tidak segan membuka rahasia dalam

menjaga kualitas produknya. Ia tak pernah khawatir kalau

para pembuat tape mengikuti langkahnya. Sebab, Carsim

sadar bahwa dirinya tak pernah berhenti melakukan inovasi,

sementara para pembuat tape lainnya lebih banyak menunggu

hasil inovasi orang lain lalu mengikutinya.

Jiwa kepeloporan Carsim juga tampak dalam memperlakukan

karyawannya. Sebagai warga Kuningan yang sangat memahami

kultur sosial Sunda yang halus, Carsim berusaha memperlakukan

karyawan dan semua pihak yang menjalin hubungan kerja

dengannya secara manusiawi. Bahkan hubungan tersebut telah

dia lakukan sejak Pamela baru memiliki dua orang karyawan.

Semua karyawannya berasal dari satu desa yang sama

dengan Carsim. Dalam melakukan penerimaan

karyawan baru, Carsim tidak mensyaratkan

seleksi khusus. “Syaratnya cuma satu, mau

bekerja membuat tape,” Carsim menjelaskan

sambil tertawa.

Kini, ketika Pamela telah memiliki 35 karyawan pun

Carsim menyatakan belum pernah

sekalipun menghadapi konflik. “Kalaupun ada

yang keluar, lebih karena ada urusan lain seperti

ganti pekerjaan atau karena akan merintis usaha

sendiri,” jelasnya.

Lelaki yang ramah ini mengaku bahwa hal

yang paling membanggakan sebagai pelaku

usaha ialah ketika melihat karyawannya berhasil

membangun usaha pembuatan tape ketan

sendiri. “Saya merasa bahagia kalau ada bekas

karyawan Pamela berhasil membangun usaha

sendiri dan sukses,” katanya.

Masih terkait perkara karyawan, Carsim juga

dikenal sebagai pemberi upah yang baik. Upah

yang diterima karyawan Pamela berada di atas

UMR resmi setempat, yaitu Rp 30 ribu per hari,

ditambah makan, bonus bulanan, dan THR.

Pada hari-hari tertentu Pamela juga mengajak

karyawan dan keluarganya melakukan wisata

bersama.

INGIN MENGUASAI PASAR NDONESIA

Pada tahun 2004, setelah Pamela berkembang

semakin stabil, Carsim mengajukan permohonan

pinjaman modal ke bank bjb. Saat itu

bank bjb belum memiliki produk kredit mikro

sehingga yang ditawarkan adalah pinjaman

modal melalui melalui Program Peduli Jabar.

Jumlah modal yang pertama kali dipinjam

Carsim sebesar Rp lo juta dan lunas dalam

waktu singkat. Pelunasan pinjaman tersebut

dilakukan dengan cara membayarkan bunga

pinjaman sekaligus pokoknya setiap bulan.

Setelah lunas, pinjaman Carsim meningkat jadi

Rp 20 juta.

Selanjutnya melalui Program Pinjaman Umum,

Carsim meningkatkan lagi pinjamannya menjadi

dua kali lipat lebih, yakni Rp 50 juta, lalu Rp

200 juta. “Bagi saya, program pinjaman modal dari

bank bjb seperti itu adalah cara yang

bagus untuk membina UKM,” tuturnya. Namun, sejak 2011

ini Pamela tidak mengajukan pinjaman modal ke bank lagi

karena sudah memiliki modal sendiri dari hasil usahanya

selama ini. Sikap yang diambil Carsim

sangat masuk akal. Carsim telah

‘naik kelas’ dan mandiri. Saat ini omzet penjualan

yang diperoleh Pamela telah

mencapai Rp 240 juta per bulan atau Rp 2,88 miliar per tahun.

Dari omzet sebesar itu Pamela mampu meraih keuntungan

bersih antara Rp 280 juta hingga Rp 300 juta per tahun.

Hingga tahun 2011, Carsim terhitung telah bergelut dengan

usaha pembuatan tape ketan selama 15 tahun. Omzet dan

keuntungan yang diperolehnya jelas terhitung besar untuk

ukuran UKM yang berlokasi di desa. Namun, Carsim mengaku

tak ingin bersantai-santai. Dia bertekad akan terus melakukan

upaya agar makanan tape ketan bisa tampil sesuai tuntutan

zaman. “Saya ingin tape ketan tampil seperti makanan modern

tapi tetap dengan cita rasa daerah yang eksotis,” katanya.

Untuk itulah Carsim membangun Pamela menjadi usaha yang

lebih modern. Sebagai mantan karyawan perusahaan kontraktor

di Jakarta, dia ingin usahanya menjadi lebih baik di bidang

kebersihan, inovasi rasa, kemasan, serta kualitas. “Saya merasa

bersyukur memiliki istri yang bekerja sebagai guru. Dukungannya

untuk mendorong karyawan meningkatkan kebersihan dan menjaga

kualitas besar sekali. Juga dalam hal tertib administrasi,”

kata Carsim menyinggung peran istrinya.

Kini, ditambah pelajaran yang dia peroleh selama menjadi

debitur bank bjb, Carsim terus mengembangkan Pamela

menjadi usaha yang maju dari segi manajemen. Namun dia

mengaku belum berani mengambil tenaga profesional. “Sebagai usaha

rumahan di desa kayaknya belum terlalu perlu mengambil tenaga

profesional. Kami belum kuat bayarnya, lagian kami masih bisa

menangani sendiri,” ujarnya bersahaja.

Demikian pula dalam hal pemasaran. Sistem keagenan

yang dirintis Carsim dianggap masih sesuai untuk Pamela.

Pada awalnya Carsim memang mencari rekanan yang mau

menjadi agen Pamela. Namun, seiring dengan perkembangan usaha,

banyak orang yang justru datang menawarkan

kerja sama menjadi agen.

Sistem keagenan dilakukannya dengan sistem

retail sederhana: Carsim memberikan harga

retail yang lebih murah bagi para agen. Kemudian

masing-masing agen akan menjual dengan harga

yang berbeda untuk mendapatkan keuntungan.

Sampai saat ini tidak ada kendala yang berarti

dari sistem keagenan tersebut. “Para agenlah

yang bergerak melakukan promosi. Kami lebih

banyak mengurusi produksi,” kata Carsim seraya

mengatakan bahwa di pasar tape ketan, para agen

telah melakukan berbagai cara pemasaran mulai

dari cara konvensional hingga modern, termasuk

memanfaatkan teknologi internet.

“Saat ini saya akan berkonsentrasi di sisi

hulu karena masih banyak yang perlu kami

benahi,” katanya. Kalau sisi hulu sudah bagus,

tambahnya, dia baru akan bergerak di sisi hilir.

Carsim juga masih mempunyai satu mimpi

besar sebagai wirausahawan. Dia ingin

mengajak masyarakat Kuningan membuat tape

ketan tersedia di berbagai kota di Indonesia.

Namun ada kendala besar yang menghadang,

yaitu jarak dan waktu. Tape ketan merupakan

penganan yang tidak tahan lama. “Paling lama

hanya mampu bertahan selama satu minggu,”

ujarnya. Karenanya daerah tujuan pemasaran

Carsim saat ini masih menyasar seputar

Bandung dan Jakarta. Jika Carsim berhasil

menaklukkan Bandung dan Jakarta, maka kota

sasaran Carsim selanjutnya adalah kota-kota di

daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kelemahan tape ketan yang tidak tahan lama

tersebut memang bukan penghalang bagi Carsim

untuk mewujudkan impiannya memasarkan

tape ketan ke seluruh Indonesia. Saat ini Carsim

sedang memikirkan cara untuk memodifikasi

tape ketan agar bisa menjadi penganan yang

lebih tahan lama. Salah satu cara yang sedang

dipikirkan Carsim adalah kemungkinan

membuat tape ketan menjadi bahan tambahan

kue atau penganan lain. Tetapi, Carsim ingin

penganan modifikasi tersebut tetap memiliki

unsur ciri khas daerah Kuningan, sehingga pada

akhirnya Kuningan dapat memproduksi tape

ketan yang bisa dinikmati sampai ke pelosok

Indonesia.

“Kalau 15 tahun yang lalu kami warga

Tarikolot berhasil membuat tape ketan menjadi

makanan oleh-oleh dari Kuningan. Kami yakin

ke depan, Kuningan bisa menjadi pemasok

tape ketan untuk kebutuhan tape di seluruh

Indonesia,” tutur Carsim.

 

Catatan Rhenald Kasali

SALAH SATU ciri khas usaba kecil di Jawa Barat adalah kerumunan. Tukang

Tape singkong (tape gantung) di Purwakarta, mainan berbentük buah-buahan di

Cianjur, gerabah di plered, colenak di  Pasar Lembang, sepatu di

Cibaduyut, usaba bordir di Tasik, dodol di Garut, tahu di Sumedang. genteng

di Jatiwangi dan seterusnya.

Satu orang berhasil, yang lain mengíkuti. Mereka saling meiengkapi dan

berbagi. Seperti sebuah keluarga besar, mereka tidak hanya bersaing

melainkan menjadi magnet besar ýang menarik pembeli dan wisatawan. Pasar

oleh-olah tetab menjadi ciri yang penting dalam UMKM di Jawa Sarat.

Mehjadí magnet berti menciptakan kumpulan. Anda pun bisa melakukannya

dengan menjadikan produk sebagai milik bersama. Tentu, butuh beberapa

waktu untuk menarik kerumunan. Tetapi setiap keberhasilan

selalu mengundang kebersamaan. Dalam kebersamaan itu, mereka bisa sama-sama

memperbesar pasar karena konsumen senang hadir dalam kerumunan. Dalam

kerumunan itu ada variasi, warna dan selera. Dan itu tidak

selalu berarti kompetisi yang buruk karena pelanggan senang berada dalam

variasi itu.

Maka pilihkanlah apa yang akan dilakukan bila Anda harus berada dalam

suatu kerumunan. Pertama, bersikap bijak dalam diri dengan menyadari

bahwa setiap keberhasilan selalu mengundang kerumunan. Dalam sekejap

usaba Anda akan drtiru oleh tetangga-tetangga Anda. Kedua selalu ciptakan

keunggulan yaitu apa yang menjadi kelebihan Anda dibandingkan para

Pangekor. Hanya menjadi yang pertama, yang “asli’ atau “original’ saja

Tidak menjadikan Anda unggul dan diminati. Unggul berarti “lebih”,

seperti lebih bersih, lebih enak, lebib melayani, lebih

bervariasi lebih cepat, lebih bagus leblh harum, lebih kreatif,

lebih unik dan seterusnya.

Ketiga; ambil manfaat dari suatu kerumunan, Suatu kerumunan adalah magnet

untuk mendapatkan segala macam sumberdaya dan pengetahuan. Di sanalah

berkumpul SDM dengan keterampilan tertentu yang diwariskan

secara alamiah dari satu generasi kegenerasi berikutnya yang tinggal Anda

poles dan buat lebih kreatif. Di sana juga berkumpul informasi bahan

baku pengetahuan, dan pemasok-pemasok penting. Anda tinggal mengambil atau

memanggil mereka maka semua akan datang. Untuk menciptakan keunggulan,

dapatkan kombinasi-kombinasi sumberdaya yang unik.

Keempat, berikanlah sesuatu kembali kepada komunitas Anda, agar komunitas

dapat meneruskan keberlangsungannya dalam jangka panjang. Ingatlah Anda

meminjam semuanya dari generasi penerus Anda. Jadi Anda

pun wajib mengembalikannya.

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

1 comment:

resep tape ketan said...

memotivasi banget nih ceritanya gan