Sarini, Jepang & Thailand Pelanggan Batik Sarini
Popularitas yang menanjak
karena nyaris diklaim sebagai warisan
budaya negeri tetangga justru
membawa berkah bagi para perajin
batik di sini. Begitulah yang dialami
pengusaha batik asal Cirebon ini.
BUKAN hal yang aneh jika melihat ada
pejabat penting negara yang berkunjung
ke usaha batik Sarini. Sejak tahun 2005,
batik Sarini memang kerap dikunjungi orang-
orang penting, termasuk Wakil Gubernur Jawa
Barat, Dede Yusuf beserta istri, ibu Negara Ani
Yudhoyono, bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sendiri. Mereka mendatangi show
room-nya di Weru, Cirebon. Semua itu berkat
kreativitas dalam kegigihannya melestarikan
kain batik.
Usaha Batik Sarini yang dijalani wanita
berusia 57 tahun ini sudah berdiri jauh sebelum
UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya
tak benda dari Indonesia. Berawal dari
usaha kedua orangtuanya, Sarini rela berhenti
bersekolah di kelas lima SD demi membantu
usaha orangtuanya.
Saat itu, orangtua Sarini masih berpikiran
bahwa sekolah tidak terlalu penting. Mereka
berpendapat tugas utama seorang anak perempuan
adalah membantu orangtua. Maka, Sarini pun
tidak punya pilihan lain. Meski begitu, Sarini
mendapat kesempatan belajar menjalankan
usaha batik, hingga memiliki kelihaian dalam
memilih dan mewarnai bahan, lalu menulis dan
mengecap bahan tersebut menjadi kain batik
yang cantik. Keahlian tersebut mendorongnya
berkreasi membuat motif baru yang berbeda
dari perajin batik lain di sekitarnya.
Berbekal pengalamannya itulah Sarini kemudian
mulai berpikir untuk memisahkan diri dari
usaha orangtuanya dan membuka usaha batik
sendiri. Pada tahun 1976 keinginannya itu terwujud.
Ia mendirikan Usaha Batik Sarini yang
diambil dari namanya sendiri. Modal awal yang
ia miliki ketika itu hanyalah enam lembar kain
dan uang sebesar Rp 500 ribu. Dengan tangannya
sendiri, Sarini mengubah keenam lembar kain
tersebut menjadi kain dan sarung batik tulis
serta cap yang kemudian dipasarkannya melalui
koperasi.
PEMILIK SHOWROOM PERTAMA
Ya, bersama suaminya, Sarini membesarkan
usaha batik, awalnya melalui koperasi di
sekitar Cirebon. Selain ke koperasi, ia
juga menjualnya ke seorang saudagar batik
keturunan Tionghoa. Pesanan demi pesanan ia penuhi,
sampai akhirnya Sarini memberanikan diri memasarkan
batiknya ke luar kota seperti
Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.
Di Jakarta, Sarini menetapkan titik penjualannya
ke Pasar Tanah Abang, karena menurutnya
permintaan kain batik di sana cukup tinggi. Benar
saja, tak butuh waktu lama, Sarini mendapatkan
kerja sama dengan enam toko batik di pasar Tanah
Abang. Sarini pun mengirimkan batiknya ke Pasar
Grosir Tanah Abang sekali setiap seminggu.
Akibatnya, penjualan ke Jakarta meledak bila
dibandingkan dengan penjualan ke Bandung atau
Yogyakarta.
Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun
Terus meningkat. Sarini tidak hanya mengirimkan
bahan per potong, melainkan per kodi (20 potong kain).
Seiring berjalannya waktu Sarini mulai dapat memutar
keuntungan yang ia peroleh dan membuka showroom Usaha
Batik Sarini di Cirebon tahun 1985.
“Dulu, di Cirebon belum ada banyak showroom, yang ada
hanya koperasi. Sementara saya yang sudah mengenal
batik sejak tahun ‘70-an, merasa bahwa batik bisa jadi
usaha yang cocok di sini. Akhirnya, sayalah yang
pertama kali membuka showroom di daerah sini,”
kenang Sarini tentang awal membangun usaha
batiknya.
Kala itu, ikiim usaha batik sedang membaik. Dengan bahan
baku yang terbilang cukup murah, yakni bahan katun seharga Rp
6o ribu per lembar, seorang pengusaha batik mampu menjualnya
dengan harga beberapa kali lipat. Jika seoräng pengusaha batik
memiliki modal sebesar Rp 125 ribu, setelah menjadi kain batik
ia dapat menjualnya dengan harga Rp 350 ribu. Selain masih
sedikitnya perajin batik di daerah Cirebon, showroom yang ia
bangun menjadi daya tarik yang penting.
Ternyata membuat showroom adalah keputusan yang tepat.
Showroom-nya tidak hanya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga
diminati importir dari Jepang. Pada awal usahanya, dia mengirim
batik ke Jepang dengan omzet Rp 15 juta per tahun. Hingga saat
ini, hubungan Sarini dengan importir Jepang
tersebut masih berlanjut.
Selain sebagai tempat untuk memproduksi
dan memasarkan produknya, showroom tersebut juga
digunakan untuk menampung hasil
batik dari para perajin kecil di sekitar showroom.
Sarini membeli produk mereka, kemudian
memasarkan ke langganannya di Jakarta, Bandung,
Makassar, dan Lampung.
PAMERAN? AYO SAJA!
Sebagai pengusaha batik, salah satu cara jitu
memasarkan produknya adalah dengan mengikuti
pameran. “Saya ikut berbagai pameran.
Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran
dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak
konsumen bertanya kapan ada pameran
lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran
yang sempat diikutinya di Jakarta Convention
Center. Terlebih lagi, Sarini mendapatkan bantuan
sebesar Rp 1,5 juta. “Saat pameran di JCC
ada pembeli dari Singapura yang memborong
dagangan saya sejumlah Rp 26 juta. Sedangkan
pelanggan terjauh saya berasal dari Jepang,”
tutur Sarini.
Namun, pada tahun 2005 kehidupan Sarini
dilanda musibah keluarga. Ia memutuskan berpisah
dari suaminya dan hal ini mengakibatkan
pecahnya kongsi bisnis mereka. Akibatnya Sarini
harus memulai usaha batik yang sudah
dirintisnya sejak usia 22 tahun itu dari awal lagi.
Sarini pun mengontrak sebuah rumah, tidak
jauh dari bekas showroom-nya dahulu.
Pada saat itulah Sarini bertemu dengan bank
bjb yang menaruh perhatian pada usahanya
dan memberi suntikan modal sebesar Rp 5 juta.
Dengan modal tersebut, Sarini bangkit dari
permasalahannya dan usahanya kembali melesat.
Peminatnya kini bukan lagi dari seputar
Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, namun juga
dari Surabaya, Lampung, Palembang, dan
Jambi, bahkan Thailand.
Perkembangan usaha Batik Sarini membuat
bank bjb semakin percaya pada kemampuan
usaha Sarini. Pinjaman yang diberikan pun
bertambah, menjadi Rp lo juta, Rp 70 juta, lalu
Rp 200 juta di tahun 2011. Pinjaman itu
Dimanfaatkan dengan cermat oleh Sarini
untuk membangun showroom sendiri, sehingga
ia tidak perlu lagi mengontrak. Dia juga
membuka dua cabang, yaitu di Trusmi, Plered,
Cirebon dan pusat perbelanjaan batik di
Thamrin City, Jakarta.
Sejak menjadi debitur bank bjb, Sarini pun
‘keranjingan’ mengikuti pameran. Bahkan
bisa sebulan sekali. Kocek yang berani ia
rogoh pun tidak sedikit. Sekali mengikuti
pameran di JCC, misalnya, dia harus
mengeluarkan uang minimal Rp 10 juta. Belum
lagi biaya transportasi dan penginapan.
Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp
15 juta untuk setiap pameran.
Meski demikian, tujuan utama Sarini mengikuti
pameran bukanlah mencari keuntungan sesaat.
Sebab, biasanya hasil penjualan di
pameran hanya bisa menutup biaya yang
dikeluarkan. Justru pesanan jangka panjang
lah yang menjadi targetnya.
Selama beberapa kali mengikuti pameran,
Sarini menyimpulkan bahwa kegiatan ini
terbukti manjur untuk mendapatkan order
jangka panjang dan meningkatkan omzet
penjualan batiknya. Pesanan yang datang dari
pameran kadang membuatnya kewalahan. Selain
tenaga kerja, modal yang terbatas juga
bisa menjadi masalah. Misalnya dengan total
order Rp 70 juta, pemesan biasanya hanya
memberikan uang muka Rp 10 juta. Karena itu
Sarini kerap meminta bantuan ke bank bjb
sebagai modal kerja untuk menutupi kekurangan
biaya membeli bahan baku, seperti kain,
alat membatik, cap, dan pewarna. Setelah
produksi selesai dan pesanan dikirim, baru
lah pemesan membayarkan sisa pembayarannya
dan Sarini membayar angsuran pinjamannya
ke bank dengan penuh disiplin.
MEMBUAT MOTIF SENDIRI
Dalam mengelola usaha, Sarini langsung turun
tangan mengatur penyediaan bahan baku dan
proses produksi. Ia mendapatkan bahan bakunya
dari 3 toko di kawasan Pekalongan. Walau
kadang terdapat perbedaan harga, Sarini
menganggapnya masih dalam kondisi wajar.
Ia hanya tinggal memilih harga yang paling murah dari
ketiga tawaran tersebut. Sarini pun kini tidak
perlu repot datang ke toko tersebut karena sudah
mengenal kualitas bahan yang disediakan.
Tinggal telepon dan transfer, barang pun di
kirim. Bahan yang biasa digunakan adalah
katun dan sutra, namun saat ini bahan katunlah
yang lebih banyak diminati.
Dari kain polos Sarini menjadikannya aneka
produk pakaian batik. Ia mengembangkan
beberapa model baju yang dapat diproduksi
secara massal. Sementara untuk pesanan khusus,
Sarini menyediakan penjahit tersendiri.
Untuk memenuhi pesanan seperti ini biasanya
dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, dan para
penjahit dibayar antara Rp 40 ribu hingga Rp
125 ribu per baju, tergantung tingkat kesulitan.
Batik Sarini memiliki ciri khas pada motifnya
yang unik. Bayangkan saja, ia menciptakan motif
yang tidak biasa untuk kain batik, misalnya,
kupu-kupu, capung, sepeda, payung, kotak,
kelereng, dan parang. Bahkan Sarini kini sedang
membuat motif bola basket dan renang. Hal ini
memberi nuansa berbeda dibandingkan batik
Cirebon lainnya. Meski begitu, motif khas mega
mendung (atau motif Garutan) tidak pernah ia
lupakan karena motif ini paling dikenal orang
dan otomatis paling laris.
Sarini biasanya merancang motif batiknya
di atas secarik kertas, kemudian dua orang
pekerjanya yang ahli merancang motif
menggambarnya pada selembar kain. Salah satunya
adalah adik kandungnya sendiri. Setelah di
gambar, dilakukan proses mengecap atan menulis.
Dari segi waktu pengerjaan, batik cap
memang lebih singkat—hanya dua hari—ketimbang
batik tulis yang bisa memakan waktu l-2 bulan.
SELUK BELUK BISNIS KELUARGA
“Ada dua adik saya yang bertugas menggambar,
tapi ada juga yang bertugas mengecap dan lainnya.
Total ada sekitar 10 orang keluarga yang
ikut mengembangkan usaha,” papar Sarini.
Mempekerjakan keluarga dalam usaha memang
ciri khas usaha kecil dan menengah Indonesia,
namun tentu saja bukan perkara mudah. Sarini
pun mengakui, terkadang timbul perselisihan di
antara mereka. Namun demikian, perselisihan
itu masih dalam batas wajar dan semua bisa
diselesaikan.
Ketika merekrut keluarga sendiri, Sarini
bukannya tidak mempertimbangkan segala hal.
Namun, Sarini merasa tidak dapat mengerjakan
semuanya sendiri. Ia membutuhkan bakat dan
keahlian yang turun-temurun telah dimiliki
keluarganya, sehingga menjadikan mereka sangat
terampil dan ahli dalam memproduksi kain batik.
Selain itu, beberapa di antara anggota keluarganya
memang membutuhkan pekerjaan.
Selain anggota keluarga, Sarini juga merekrut
Sekitar 30 orang pekerja yang berasal dari
warga sekitar. Setiap orang dilatih agar
mampu membatik, mengecap, mewarnai, dan mencelup.
Setelah dilatih, Sarini mengelompokkan mereka
sesuai dengan spesialisasi masing-masing.
Misalnya, untuk pekerjaan mengecap diperlukan
dua orang, mencelup dibutuhkan tiga orang,
sedangkan tim membatik sebanyak 20-an orang.
Untuk upah, Sarini membayar secara borongan
Berdasarkan pekerjaan yang dihasilkan. Kisarannya
untuk pekerja wanita bisa mendapatkan Rp 15-20
ribu per hari, sementara pekerja laki-laki Rp 6o
ribu per hari.
Meski demikian, hambatan tetap saja ada.
Pernah ada karyawannya yang dibajak atau
pindah ke tempat lain, “Tetapi ujung-ujungnya
juga ada yang balik lagi karena lebih merasa
nyaman bekerja di tempat saya,” ujarnya sambil
tersenyum. Untuk menyiasati agar karyawannya
betah, Sarini memberikan mereka bonus dari
batik yang berhasil dijual saat pameran.
Walau usahanya banyak melibatkan keluarga,
Sarini mengaku bakal mengalami kesulitan
mendapatkan penerus. Pasalnya, dari
ketiga anaknya ia belum melihat ada yang
berminat meneruskan bisnis batiknya. Dua anaknya
telah menikah dan tinggal di Surabaya.
Anak pertamanya menikah dengan seorang pria
yang memiliki usaha toko emas, anak keduanya
adalah seorang sarjana kehutanan dan bekerja
sebagai pegawai, sementara anaknya ketiga
cenderung tidak berminat bisnis.
Padahal, Sarini beranggapan bahwa menjadi
pengusaha jauh lebih nyaman dibandingkan
menjadi pegawai. “Kalau usaha kita maju,
pendapatan yang dihasilkan akan lebih besar dari
gaji bulanan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa
naik gaji paling hanya setahun sekali. Menurut
saya, berdagang merupakan pekerjaan yang
memerlukan kreativitas tinggi,” kata Sarini
yang berharap sang Adik akan menjadi penerus
usahanya kelak.
PERSAINGAN SHOWROOM BATIK
Dalam persaingan bisnis batik Cirebon, selain
motif, Sarini juga menganggap faktor harga
sebagai hal yang penting. Terutama untuk para
pembeli grosiran. Jika harga satuan kainnya
mencapai Rp 50 ribu, harga grosirannya sebesar
Rp 40 ribu.
Meskipun potongan harga yang diberikan
tidak terlalu banyak, pasti bisa membuat
pesaingnya merasa terancam. “Pernah ada
yang iri, kalau saya ikut pameran mereka suka
membicarakan saya di belakang. Tapi biar
bagaimanapun, namanya juga usaha, kita harus
tetap maju. Hal itu tidak memengaruhi saya,”
ujar Sarini mantap.
Kini, dengan menjamurnya showroom batik di
Cirebon, Sarini merasakan sengitnya
persaingan. Karena itu ia melakukan ekspansi
dengan membuka kios dan lapak di Thamrin
City, Jakarta. Awalnya, Sarini mendapat kios
tersebut secara cuma-cuma, mengingat pusat
batik di Jakarta itu masih terbilang baru. Namun,
sejak lokasinya ramai, ia harus mengeluarkan
Rp1.050.000 per bulan untuk sewa kios. Tarif
sewa itu menurutnya masih terbilang murah jika
dibandingkan dengan biaya sewa kios di tempat
lain. Di Bandung, misalnya, tarif sewanya bisa
mencapai belasan juta rupiah per bulan.
Dua bulan pertama berada di Thamrin
City, kios Batik Sarini sepi pengunjung. Tiga
pekerjanya bahkan sampai tak betah karenanya.
Sarini pun tidak tinggal diam. Ia mengirimkan
sms kepada para pelanggannya yang berada di
Jakarta untuk mengabari bahwa Batik Sarini
juga tersedia di Jakarta. Sarini berharap para
pelanggannya lebih senang karena tidak perlu
jauh-jauh datang ke Cirebon lagi. Voila! Sejak
itu kiosnya ramai pengunjung. Meski baru enam
bulan berjalan, Sarini mampu meraih omzet
hingga Rp 40 juta per bulan.
“Sebagai orang bisnis, kita harus punya tanggung
jawab kepada karyawan. Jangan sampai karyawan
kita telantar. Itu yang harus kita
perjuangkan untuk bersama-sama mengembangkan
usaha,” ujarnya optimis. Karenanya,
Sarini tidak pernah hanya pasif menunggu
pesanan. Jika dari pelanggannya tidak ada kabar,
dia aktif menelepon menanyakan apakah
mereka memerlukan bahan batik baru. Dengan
cara ini, pesanan pun rutin datang mengalir.
Menurut perhitungan Sarini, kini total
omzetnya bisa mencapai Rp 50 juta-70 juta per
bulan. Dengan keuntungan dari penjualan batik
per potong berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp
125 ribu, setiap bulannya Sarini mampu meraih
keuntungan bersih sebesar Rp 8 juta.
MANAJEMEN USAHA
Berjualan batik ternyata juga ada musimnya.
Sama seperti usaha tekstil lainnya, sebulan
sebelum Ramadhan biasanya pesanan bisa
melonjak hingga tiga kali lipat, mencapai ratusan
kodi. Terkadang Sarini merasa kewalahan dengan
banjirnya pesanan, mengingat semua
pemesannya meminta cepat, sementara tenaga
pekerjanya tetap. Pesanan biasanya membanjir
dari Jakarta dan Bandung.
Belum lagi jika ada jadwal pameran di waktu
yang sama. Hal tersebut sering kali membuatnya
semakin kewalahan. “Setiap kali mengikuti
pameran kita harus sudah mempersiapkan
barangnya. Jadi produksi harus lebih cepat.
Sementara bagian produksi masih kewalahan
menepati janji pesanan sebelumnya,” tutur
wanita yang dari usaha batiknya ini sudah
menunaikan ibadah haji di tahun 2001 lalu.
Dalam kondisi normal, produksi batik Sarini
mencapai 5-6 kodi pakaian jadi per hari. Jumlah
tersebut terdiri dari batik cap, tulis, serta
kombinasi kedua metode tersebut. Produk yang
dihasilkan berupa rok, kemeja pria, baju pesta,
blus wanita, gamis, dan kerudung. Meskipun
menghasilkan banyak inovasi produk, Sarini
paham henar bahwa yang paling digemari
adalah kain batik sepanjang 2 meter dan 2,5
meter, karena konsumen lebih bebas berkreasi
membuat pakaian yang sesuai dengan keinginan
serta kebutuhan mereka. “Saya selalu mengarahkan
para sales untuk lebih dulu menjual
produk jadi, agar barang tidak menumpuk,”
papar Sarini.
Selain menyiasati target penjualan, Sarini
juga mengelompokkan harga sesuai produknya.
Kemeja pria dihargai mulai dari Rp 35 ribu
untuk pembelian kodian dan Rp 50 ribu untuk
pembelian satuan. Sementara bahan batik
dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.
Untuk mempermudah pembayaran, Sarini
membuat beberapa sistem pembayaran, seperti
tunai, transfer, atau diangsur. Bagi pembeli yang
mengambil dalam jumlah banyak, ia memberi
keringanan tempo pembayaran selama dua
minggu hingga sebulan. Untuk pembeli dari luar
daerah, Sarini memberikan keringanan ongkos
kirim agar konsumen tetap setia padanya.
Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui
inovasi produk secara kontinyu. Sarini
berupa menciptakan model-model baru yang
lebih variatif dengan menggunakan warna yang
banyak digemari, seperti merah dan cokelat.
Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan
tertinggi yang datang ke showroom maupun
cabangnya. Hasilnya, pelanggan menyukai
inovasi tersebut dan membuntuti setiap pameran
yang diikutinya. Hal ini memacu Sarini untuk
terus berinovasi dan berjuang mengembangkan
usahanya.
Mengenai teknologi, Sarini merasa tidak begitu
memerlukannya. Segalanya dilakukan secara
manual, termasuk pencatatan keuangan.
Kalaupun menggunakan teknologi paling-paling
sebatas memiliki akun Facebook Batik Sarini
sebagai sarana promosi. Akun tersebut dikelola
oleh karyawannya karena Sarini tidak begitu
mengerti social network. “Saya lebih mahir
mengatur masalah pameran dibandingkan jika
harus mengurus teknologi,” ungkapnya jujur.
Namun demikian pameran tidak selalu
berbuah manis. Ada masanya pameran yang
diikuti Sarini malah membuatnya rugi karena
sepi pengunjung. Kalau sudah begini, Sarini
harus mencari pinjaman lain untuk menutupi
biaya operasional pameran. Menurut Sarini,
bank bjb sangat kooperatif dan berperan besar
dalam membantu mengembangkan usahanya,
baik ketika mengalami masa sulit maupun masa
jaya. Jika pameran yang diikutinya berhasil,
pembayaran pinjamannya ke bank bjb juga
lancar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan ketika mengalami kerugian, Sarini
diberi kemudahan dengan cara diperbolehkan
hanya membayar bunganya saja.
Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya
terpuruk. Dia memilih untuk segera bangkit.
Saat ini, Sarini memusatkan perhatian pada
rencana untuk menambah showroom di Bandung.
Sebab, dari pengalamannya mengikuti pameran,
banyak pelanggannya yang menanyakan cabang
Batik Sarini di Bandung. Pembelinya di Cirebon
pun banyak orang Bandung. Selama ini, rencana
tersebut masih terbentur harga sewa kios yang
cukup tinggi di Bandung.
“Pendapatannya masih bagus di showroom
yang di sini. Sesekali masih mengikuti pameran di
luar kota. Tapi keinginan saya untuk buka show
room lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada
rezekinya,” ujarnya optimis.
Catatan Rhenald Kasali
SELAIN JELI MELIHAT peluang, keuletan dan tahan banting adalah ciri lain
seorang wirausaha. Siapakah yang tidak pernah jatuh atau mengalami ujian?
Perhatikanlah yang dialami ibu tiga anak dari Cirebon ini. Bercerai dari
Suami dan memulainya kembali dari nol, anak-anak tidak ada yang mau
meneruskan usaha, cemoohan dari para pesaing saat ía ikut pameran, lokasi
usaha yang sepi saat membuka di Tharnnin City, dan seterusnya.
Semua itu dilalui Sarini dari hari ke hari. Namun, yang terpenting bagi
setiap usahawan adalah ia bukan telur yang mudah pecah bila jatuh,
melainkan membal bak bola tenis. Usaha keluarga memang penuh ujian. Kalau
keluarga berpisah, modal pun berpisah, Kalau di rumah ribut, di warung pun
ribut. Sebaliknya juga demikian. Rapat kantor ya rapat keluarga. Semua ikut
mempengaruhi.
Tetapí kalau bukan keluarga siapa lagi yang membantu? Modal tidak besar,
tenaga profesional belum bisa dibiayai, produksi belum lancar ya seluruh
anggota keluarga harus ikut menopang. Minimal suami atau istri memegang
keuangan karena uang butuh kepercayaan. Tetapi juga tak ada jaminan bahwa
anggota keluarga tidak berkhianat. Namun, manusia lebih ikhlas bila
kepercayaan dipegang keluarga.
Kepercayaan tidak hanya diperlukan kepada anggota keluarga melainkan juga
dari pasar. Itu sebabnya Anda tak bisa bermalas-malasan. Setiap saat Anda
harus terus memutar otak, berinovasi dan menjembatani produk dengan
pelanggan. Maka diperlukan hubungan baik dengan bank. Sebab bank yang
percaya akan membantu mereka yang bersungguh-sungguh untuk menjembatani
Anda dengan pasar. Usaha keluarga juga memerlukan ‘jendela’, ÿaitu bingkai
untuk melihat keluar. Usaha keluarga tak berjendela akan membuat Anda diam
di tempat bak dinosaurus, besar namun mudah punah. Itu sebabnya pameran-
pameran sangat diperlukan sama halnya dengan showroom. Sebab betapa pun
bagusnya karya Anda ‘tanpa jendela’ tak ada interaksi, tak ada kemajuan.
Make bukalah jendela, bangun hubungan dengan pelanggan-pelanggan Anda
dan jangan mudah pecah seperti telur.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
No comments:
Post a Comment