Sunday, April 14, 2013

Sarini, Srikandi Batik dari Cirebon yang Produknya Sudah Menembus Mancanegara

Sarini, Jepang & Thailand Pelanggan Batik Sarini

 

Popularitas yang menanjak

karena nyaris diklaim sebagai warisan

budaya negeri tetangga justru

membawa berkah bagi para perajin

batik di sini. Begitulah yang dialami

pengusaha batik asal Cirebon ini.

 

BUKAN hal yang aneh jika melihat ada

pejabat penting negara yang berkunjung

ke usaha batik Sarini. Sejak tahun 2005,

batik Sarini memang kerap dikunjungi orang-

orang penting, termasuk Wakil Gubernur Jawa

Barat, Dede Yusuf beserta istri, ibu Negara Ani

Yudhoyono, bahkan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono sendiri. Mereka mendatangi show

room-nya di Weru, Cirebon. Semua itu berkat

kreativitas dalam kegigihannya melestarikan

kain batik.

Usaha Batik Sarini yang dijalani wanita

berusia 57 tahun ini sudah berdiri jauh sebelum

UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya

 

tak benda dari Indonesia. Berawal dari

usaha kedua orangtuanya, Sarini rela berhenti

bersekolah di kelas lima SD demi membantu

usaha orangtuanya.

Saat itu, orangtua Sarini masih berpikiran

bahwa sekolah tidak terlalu penting. Mereka

 

berpendapat tugas utama seorang anak perempuan

adalah membantu orangtua. Maka, Sarini pun

tidak punya pilihan lain. Meski begitu, Sarini

 

mendapat kesempatan belajar menjalankan

usaha batik, hingga memiliki kelihaian dalam

memilih dan mewarnai bahan, lalu menulis dan

mengecap bahan tersebut menjadi kain batik

yang cantik. Keahlian tersebut mendorongnya

berkreasi membuat motif baru yang berbeda

dari perajin batik lain di sekitarnya.

Berbekal pengalamannya itulah Sarini kemudian

 

mulai berpikir untuk memisahkan diri dari

usaha orangtuanya dan membuka usaha batik

sendiri. Pada tahun 1976 keinginannya itu terwujud.

 

Ia mendirikan Usaha Batik Sarini yang

diambil dari namanya sendiri. Modal awal yang

ia miliki ketika itu hanyalah enam lembar kain

dan uang sebesar Rp 500 ribu. Dengan tangannya

sendiri, Sarini mengubah keenam lembar kain

tersebut menjadi kain dan sarung batik tulis

serta cap yang kemudian dipasarkannya melalui

koperasi.

PEMILIK SHOWROOM PERTAMA

Ya, bersama suaminya, Sarini membesarkan

 

usaha batik, awalnya melalui koperasi di

 

sekitar Cirebon. Selain ke koperasi, ia

 

juga menjualnya ke seorang saudagar batik

 

keturunan Tionghoa. Pesanan demi pesanan ia penuhi,

sampai akhirnya Sarini memberanikan diri memasarkan

batiknya ke luar kota seperti

Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.

Di Jakarta, Sarini menetapkan titik penjualannya

 

ke Pasar Tanah Abang, karena menurutnya

 

permintaan kain batik di sana cukup tinggi. Benar

 

saja, tak butuh waktu lama, Sarini mendapatkan

 

kerja sama dengan enam toko batik di pasar Tanah

 

Abang. Sarini pun mengirimkan batiknya ke Pasar

 

Grosir Tanah Abang sekali setiap seminggu.

 

Akibatnya, penjualan ke Jakarta meledak bila

 

dibandingkan dengan penjualan ke Bandung atau

Yogyakarta.

Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun

 

Terus meningkat. Sarini tidak hanya mengirimkan

 

bahan per potong, melainkan per kodi (20 potong kain).

 

Seiring berjalannya waktu Sarini mulai dapat memutar

 

keuntungan yang ia peroleh dan membuka showroom Usaha

 

Batik Sarini di Cirebon tahun 1985.

“Dulu, di Cirebon belum ada banyak showroom, yang ada

hanya koperasi. Sementara saya yang sudah mengenal

 

batik sejak tahun ‘70-an, merasa bahwa batik bisa jadi

 

usaha yang cocok di sini. Akhirnya, sayalah yang

 

pertama kali membuka showroom di daerah sini,”

 

kenang Sarini tentang awal membangun usaha

batiknya.

Kala itu, ikiim usaha batik sedang membaik. Dengan bahan

baku yang terbilang cukup murah, yakni bahan katun seharga Rp

6o ribu per lembar, seorang pengusaha batik mampu menjualnya

dengan harga beberapa kali lipat. Jika seoräng pengusaha batik

memiliki modal sebesar Rp 125 ribu, setelah menjadi kain batik

ia dapat menjualnya dengan harga Rp 350 ribu. Selain masih

sedikitnya perajin batik di daerah Cirebon, showroom yang ia

bangun menjadi daya tarik yang penting.

Ternyata membuat showroom adalah keputusan yang tepat.

Showroom-nya tidak hanya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga

diminati importir dari Jepang. Pada awal usahanya, dia mengirim

batik ke Jepang dengan omzet Rp 15 juta per tahun. Hingga saat

 

ini, hubungan Sarini dengan importir Jepang

tersebut masih berlanjut.

Selain sebagai tempat untuk memproduksi

dan memasarkan produknya, showroom tersebut juga

 

digunakan untuk menampung hasil

batik dari para perajin kecil di sekitar showroom.

 

Sarini membeli produk mereka, kemudian

memasarkan ke langganannya di Jakarta, Bandung,

 

Makassar, dan Lampung.

PAMERAN? AYO SAJA!

Sebagai pengusaha batik, salah satu cara jitu

memasarkan produknya adalah dengan mengikuti

 

pameran. “Saya ikut berbagai pameran.

 

Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran

 

dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak

 

konsumen bertanya kapan ada pameran

lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran

yang sempat diikutinya di Jakarta Convention

Center. Terlebih lagi, Sarini mendapatkan bantuan

 

sebesar Rp 1,5 juta. “Saat pameran di JCC

ada pembeli dari Singapura yang memborong

dagangan saya sejumlah Rp 26 juta. Sedangkan

pelanggan terjauh saya berasal dari Jepang,”

tutur Sarini.

Namun, pada tahun 2005 kehidupan Sarini

dilanda musibah keluarga. Ia memutuskan berpisah

 

dari suaminya dan hal ini mengakibatkan

 

pecahnya kongsi bisnis mereka. Akibatnya Sarini

 

harus memulai usaha batik yang sudah

dirintisnya sejak usia 22 tahun itu dari awal lagi.

Sarini pun mengontrak sebuah rumah, tidak

jauh dari bekas showroom-nya dahulu.

Pada saat itulah Sarini bertemu dengan bank

bjb yang menaruh perhatian pada usahanya

dan memberi suntikan modal sebesar Rp 5 juta.

Dengan modal tersebut, Sarini bangkit dari

 

permasalahannya dan usahanya kembali melesat.

 

Peminatnya kini bukan lagi dari seputar

Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, namun juga

 

dari Surabaya, Lampung, Palembang, dan

Jambi, bahkan Thailand.

Perkembangan usaha Batik Sarini membuat

bank bjb semakin percaya pada kemampuan

usaha Sarini. Pinjaman yang diberikan pun

bertambah, menjadi Rp lo juta, Rp 70 juta, lalu

 

Rp 200 juta di tahun 2011. Pinjaman itu

 

Dimanfaatkan dengan cermat oleh Sarini

 

untuk membangun showroom sendiri, sehingga

 

ia tidak perlu lagi mengontrak. Dia juga

membuka dua cabang, yaitu di Trusmi, Plered,

 

Cirebon dan pusat perbelanjaan batik di

Thamrin City, Jakarta.

Sejak menjadi debitur bank bjb, Sarini pun

 

‘keranjingan’ mengikuti pameran. Bahkan

bisa sebulan sekali. Kocek yang berani ia

 

rogoh pun tidak sedikit. Sekali mengikuti

pameran di JCC, misalnya, dia harus

 

mengeluarkan uang minimal Rp 10 juta. Belum

lagi biaya transportasi dan penginapan.

 

Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp

15 juta untuk setiap pameran.

Meski demikian, tujuan utama Sarini mengikuti

 

pameran bukanlah mencari keuntungan sesaat.

 

Sebab, biasanya hasil penjualan di

 

pameran hanya bisa menutup biaya yang

 

dikeluarkan. Justru pesanan jangka panjang

lah yang menjadi targetnya.

Selama beberapa kali mengikuti pameran,

 

Sarini menyimpulkan bahwa kegiatan ini

terbukti manjur untuk mendapatkan order

 

jangka panjang dan meningkatkan omzet

 

penjualan batiknya. Pesanan yang datang dari

pameran kadang membuatnya kewalahan. Selain

 

tenaga kerja, modal yang terbatas juga

bisa menjadi masalah. Misalnya dengan total

 

order Rp 70 juta, pemesan biasanya hanya

memberikan uang muka Rp 10 juta. Karena itu

 

Sarini kerap meminta bantuan ke bank bjb

sebagai modal kerja untuk menutupi kekurangan

 

biaya membeli bahan baku, seperti kain,

alat membatik, cap, dan pewarna. Setelah

 

produksi selesai dan pesanan dikirim, baru

lah pemesan membayarkan sisa pembayarannya

 

dan Sarini membayar angsuran pinjamannya

 

ke bank dengan penuh disiplin.

MEMBUAT MOTIF SENDIRI

Dalam mengelola usaha, Sarini langsung turun

tangan mengatur penyediaan bahan baku dan

proses produksi. Ia mendapatkan bahan bakunya

 

dari 3 toko di kawasan Pekalongan. Walau

kadang terdapat perbedaan harga, Sarini

 

menganggapnya masih dalam kondisi wajar.

 

Ia hanya tinggal memilih harga yang paling murah dari

ketiga tawaran tersebut. Sarini pun kini tidak

perlu repot datang ke toko tersebut karena sudah

mengenal kualitas bahan yang disediakan.

Tinggal telepon dan transfer, barang pun di

kirim. Bahan yang biasa digunakan adalah

katun dan sutra, namun saat ini bahan katunlah

yang lebih banyak diminati.

Dari kain polos Sarini menjadikannya aneka

produk pakaian batik. Ia mengembangkan

 

beberapa model baju yang dapat diproduksi

 

secara massal. Sementara untuk pesanan khusus,

Sarini menyediakan penjahit tersendiri.

 

Untuk memenuhi pesanan seperti ini biasanya

dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, dan para

penjahit dibayar antara Rp 40 ribu hingga Rp

125 ribu per baju, tergantung tingkat kesulitan.

 

Batik Sarini memiliki ciri khas pada motifnya

yang unik. Bayangkan saja, ia menciptakan motif

yang tidak biasa untuk kain batik, misalnya,

kupu-kupu, capung, sepeda, payung, kotak,

 

kelereng, dan parang. Bahkan Sarini kini sedang

membuat motif bola basket dan renang. Hal ini

memberi nuansa berbeda dibandingkan batik

Cirebon lainnya. Meski begitu, motif khas mega

mendung (atau motif Garutan) tidak pernah ia

lupakan karena motif ini paling dikenal orang

dan otomatis paling laris.

Sarini biasanya merancang motif batiknya

di atas secarik kertas, kemudian dua orang

pekerjanya yang ahli merancang motif

 

menggambarnya pada selembar kain. Salah satunya

adalah adik kandungnya sendiri. Setelah di

gambar, dilakukan proses mengecap atan menulis.

 

Dari segi waktu pengerjaan, batik cap

memang lebih singkat—hanya dua hari—ketimbang

 

batik tulis yang bisa memakan waktu l-2 bulan.

SELUK BELUK BISNIS KELUARGA

“Ada dua adik saya yang bertugas menggambar,

tapi ada juga yang bertugas mengecap dan lainnya.

 

Total ada sekitar 10 orang keluarga yang

ikut mengembangkan usaha,” papar Sarini.

Mempekerjakan keluarga dalam usaha memang

 

ciri khas usaha kecil dan menengah Indonesia,

namun tentu saja bukan perkara mudah. Sarini

pun mengakui, terkadang timbul perselisihan di

antara mereka. Namun demikian, perselisihan

itu masih dalam batas wajar dan semua bisa

diselesaikan.

Ketika merekrut keluarga sendiri, Sarini

 

bukannya tidak mempertimbangkan segala hal.

Namun, Sarini merasa tidak dapat mengerjakan

semuanya sendiri. Ia membutuhkan bakat dan

keahlian yang turun-temurun telah dimiliki

 

keluarganya, sehingga menjadikan mereka sangat

terampil dan ahli dalam memproduksi kain batik.

Selain itu, beberapa di antara anggota keluarganya

memang membutuhkan pekerjaan.

Selain anggota keluarga, Sarini juga merekrut

Sekitar 30 orang pekerja yang berasal dari

 

warga sekitar. Setiap orang dilatih agar

 

mampu membatik, mengecap, mewarnai, dan mencelup.

 

Setelah dilatih, Sarini mengelompokkan mereka

 

sesuai dengan spesialisasi masing-masing.

 

Misalnya, untuk pekerjaan mengecap diperlukan

 

dua orang, mencelup dibutuhkan tiga orang,

 

sedangkan tim membatik sebanyak 20-an orang.

 

Untuk upah, Sarini membayar secara borongan

 

Berdasarkan pekerjaan yang dihasilkan. Kisarannya

 

untuk pekerja wanita bisa mendapatkan Rp 15-20

 

ribu per hari, sementara pekerja laki-laki Rp 6o

 

ribu per hari.

 

Meski demikian, hambatan tetap saja ada.

Pernah ada karyawannya yang dibajak atau

pindah ke tempat lain, “Tetapi ujung-ujungnya

juga ada yang balik lagi karena lebih merasa

nyaman bekerja di tempat saya,” ujarnya sambil

tersenyum. Untuk menyiasati agar karyawannya

betah, Sarini memberikan mereka bonus dari

batik yang berhasil dijual saat pameran.

Walau usahanya banyak melibatkan keluarga,

 

Sarini mengaku bakal mengalami kesulitan

 

mendapatkan penerus. Pasalnya, dari

ketiga anaknya ia belum melihat ada yang

 

berminat meneruskan bisnis batiknya. Dua anaknya

 

telah menikah dan tinggal di Surabaya.

Anak pertamanya menikah dengan seorang pria

yang memiliki usaha toko emas, anak keduanya

adalah seorang sarjana kehutanan dan bekerja

sebagai pegawai, sementara anaknya ketiga

cenderung tidak berminat bisnis.

Padahal, Sarini beranggapan bahwa menjadi

pengusaha jauh lebih nyaman dibandingkan

menjadi pegawai. “Kalau usaha kita maju,

 

pendapatan yang dihasilkan akan lebih besar dari

gaji bulanan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa

naik gaji paling hanya setahun sekali. Menurut

saya, berdagang merupakan pekerjaan yang

memerlukan kreativitas tinggi,” kata Sarini

yang berharap sang Adik akan menjadi penerus

usahanya kelak.

 

PERSAINGAN SHOWROOM BATIK

Dalam persaingan bisnis batik Cirebon, selain

motif, Sarini juga menganggap faktor harga

sebagai hal yang penting. Terutama untuk para

pembeli grosiran. Jika harga satuan kainnya

mencapai Rp 50 ribu, harga grosirannya sebesar

Rp 40 ribu.

Meskipun potongan harga yang diberikan

tidak terlalu banyak, pasti bisa membuat

pesaingnya merasa terancam. “Pernah ada

yang iri, kalau saya ikut pameran mereka suka

membicarakan saya di belakang. Tapi biar

bagaimanapun, namanya juga usaha, kita harus

tetap maju. Hal itu tidak memengaruhi saya,”

ujar Sarini mantap.

 

Kini, dengan menjamurnya showroom batik di

 

Cirebon, Sarini merasakan sengitnya

persaingan. Karena itu ia melakukan ekspansi

dengan membuka kios dan lapak di Thamrin

City, Jakarta. Awalnya, Sarini mendapat kios

tersebut secara cuma-cuma, mengingat pusat

batik di Jakarta itu masih terbilang baru. Namun,

sejak lokasinya ramai, ia harus mengeluarkan

Rp1.050.000 per bulan untuk sewa kios. Tarif

sewa itu menurutnya masih terbilang murah jika

dibandingkan dengan biaya sewa kios di tempat

lain. Di Bandung, misalnya, tarif sewanya bisa

mencapai belasan juta rupiah per bulan.

Dua bulan pertama berada di Thamrin

City, kios Batik Sarini sepi pengunjung. Tiga

 

pekerjanya bahkan sampai tak betah karenanya.

Sarini pun tidak tinggal diam. Ia mengirimkan

sms kepada para pelanggannya yang berada di

Jakarta untuk mengabari bahwa Batik Sarini

juga tersedia di Jakarta. Sarini berharap para

pelanggannya lebih senang karena tidak perlu

jauh-jauh datang ke Cirebon lagi. Voila! Sejak

itu kiosnya ramai pengunjung. Meski baru enam

bulan berjalan, Sarini mampu meraih omzet

hingga Rp 40 juta per bulan.

“Sebagai orang bisnis, kita harus punya tanggung

 

jawab kepada karyawan. Jangan sampai karyawan

 

kita telantar. Itu yang harus kita

perjuangkan untuk bersama-sama mengembangkan

 

usaha,” ujarnya optimis. Karenanya,

Sarini tidak pernah hanya pasif menunggu

pesanan. Jika dari pelanggannya tidak ada kabar,

 

dia aktif menelepon menanyakan apakah

mereka memerlukan bahan batik baru. Dengan

cara ini, pesanan pun rutin datang mengalir.

Menurut perhitungan Sarini, kini total

 

omzetnya bisa mencapai Rp 50 juta-70 juta per

bulan. Dengan keuntungan dari penjualan batik

per potong berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp

125 ribu, setiap bulannya Sarini mampu meraih

keuntungan bersih sebesar Rp 8 juta.

 

MANAJEMEN USAHA

Berjualan batik ternyata juga ada musimnya.

Sama seperti usaha tekstil lainnya, sebulan

sebelum Ramadhan biasanya pesanan bisa

melonjak hingga tiga kali lipat, mencapai ratusan

kodi. Terkadang Sarini merasa kewalahan dengan

 

banjirnya pesanan, mengingat semua

pemesannya meminta cepat, sementara tenaga

pekerjanya tetap. Pesanan biasanya membanjir

dari Jakarta dan Bandung.

Belum lagi jika ada jadwal pameran di waktu

yang sama. Hal tersebut sering kali membuatnya

semakin kewalahan. “Setiap kali mengikuti

pameran kita harus sudah mempersiapkan

barangnya. Jadi produksi harus lebih cepat.

Sementara bagian produksi masih kewalahan

menepati janji pesanan sebelumnya,” tutur

wanita yang dari usaha batiknya ini sudah

menunaikan ibadah haji di tahun 2001 lalu.

Dalam kondisi normal, produksi batik Sarini

mencapai 5-6 kodi pakaian jadi per hari. Jumlah

tersebut terdiri dari batik cap, tulis, serta

kombinasi kedua metode tersebut. Produk yang

dihasilkan berupa rok, kemeja pria, baju pesta,

blus wanita, gamis, dan kerudung. Meskipun

menghasilkan banyak inovasi produk, Sarini

 

paham henar bahwa yang paling digemari

adalah kain batik sepanjang 2 meter dan 2,5

meter, karena konsumen lebih bebas berkreasi

membuat pakaian yang sesuai dengan keinginan

serta kebutuhan mereka. “Saya selalu mengarahkan

 

para sales untuk lebih dulu menjual

produk jadi, agar barang tidak menumpuk,”

papar Sarini.

Selain menyiasati target penjualan, Sarini

juga mengelompokkan harga sesuai produknya.

Kemeja pria dihargai mulai dari Rp 35 ribu

untuk pembelian kodian dan Rp 50 ribu untuk

pembelian satuan. Sementara bahan batik

dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.

Untuk mempermudah pembayaran, Sarini

 

membuat beberapa sistem pembayaran, seperti

tunai, transfer, atau diangsur. Bagi pembeli yang

mengambil dalam jumlah banyak, ia memberi

keringanan tempo pembayaran selama dua

minggu hingga sebulan. Untuk pembeli dari luar

daerah, Sarini memberikan keringanan ongkos

kirim agar konsumen tetap setia padanya.

Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui

 

inovasi produk secara kontinyu. Sarini

berupa menciptakan model-model baru yang

lebih variatif dengan menggunakan warna yang

banyak digemari, seperti merah dan cokelat.

Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan

tertinggi yang datang ke showroom maupun

cabangnya. Hasilnya, pelanggan menyukai

 

inovasi tersebut dan membuntuti setiap pameran

yang diikutinya. Hal ini memacu Sarini untuk

terus berinovasi dan berjuang mengembangkan

usahanya.

Mengenai teknologi, Sarini merasa tidak begitu

 

memerlukannya. Segalanya dilakukan secara

 

manual, termasuk pencatatan keuangan.

Kalaupun menggunakan teknologi paling-paling

sebatas memiliki akun Facebook Batik Sarini

sebagai sarana promosi. Akun tersebut dikelola

oleh karyawannya karena Sarini tidak begitu

mengerti social network. “Saya lebih mahir

mengatur masalah pameran dibandingkan jika

harus mengurus teknologi,” ungkapnya jujur.

Namun demikian pameran tidak selalu

berbuah manis. Ada masanya pameran yang

diikuti Sarini malah membuatnya rugi karena

sepi pengunjung. Kalau sudah begini, Sarini

harus mencari pinjaman lain untuk menutupi

biaya operasional pameran. Menurut Sarini,

bank bjb sangat kooperatif dan berperan besar

dalam membantu mengembangkan usahanya,

 

baik ketika mengalami masa sulit maupun masa

jaya. Jika pameran yang diikutinya berhasil,

pembayaran pinjamannya ke bank bjb juga

lancar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.

Sedangkan ketika mengalami kerugian, Sarini

diberi kemudahan dengan cara diperbolehkan

hanya membayar bunganya saja.

Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya

 

terpuruk. Dia memilih untuk segera bangkit.

Saat ini, Sarini memusatkan perhatian pada

 

rencana untuk menambah showroom di Bandung.

Sebab, dari pengalamannya mengikuti pameran,

banyak pelanggannya yang menanyakan cabang

Batik Sarini di Bandung. Pembelinya di Cirebon

pun banyak orang Bandung. Selama ini, rencana

tersebut masih terbentur harga sewa kios yang

 

cukup tinggi di Bandung.

“Pendapatannya masih bagus di showroom

yang di sini. Sesekali masih mengikuti pameran di

luar kota. Tapi keinginan saya untuk buka show

room lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada

rezekinya,” ujarnya optimis.

 

Catatan Rhenald Kasali

SELAIN JELI MELIHAT peluang, keuletan dan tahan banting adalah ciri lain

 

seorang wirausaha. Siapakah yang tidak pernah jatuh atau mengalami ujian?

 

Perhatikanlah yang dialami ibu tiga anak dari Cirebon ini. Bercerai dari

 

Suami dan memulainya kembali dari nol, anak-anak tidak ada yang mau

 

meneruskan usaha, cemoohan dari para pesaing saat ía ikut pameran, lokasi

 

usaha yang sepi saat membuka di Tharnnin City, dan seterusnya.

Semua itu dilalui Sarini dari hari ke hari. Namun, yang terpenting bagi

 

setiap usahawan adalah ia bukan telur yang mudah pecah bila jatuh,

 

melainkan membal bak bola tenis. Usaha keluarga memang penuh ujian. Kalau

keluarga berpisah, modal pun berpisah, Kalau di rumah ribut, di warung pun

 

ribut. Sebaliknya juga demikian. Rapat kantor ya rapat keluarga. Semua ikut

mempengaruhi.

Tetapí kalau bukan keluarga siapa lagi yang membantu? Modal tidak besar,

 

tenaga profesional belum bisa dibiayai, produksi belum lancar ya seluruh

 

anggota keluarga harus ikut menopang. Minimal suami atau istri memegang

 

keuangan karena uang butuh kepercayaan. Tetapi juga tak ada jaminan bahwa

 

anggota keluarga tidak berkhianat. Namun, manusia lebih ikhlas bila

 

kepercayaan dipegang keluarga.

Kepercayaan tidak hanya diperlukan kepada anggota keluarga melainkan juga

 

dari pasar. Itu sebabnya Anda tak bisa bermalas-malasan. Setiap saat Anda

 

harus terus memutar otak, berinovasi dan menjembatani produk dengan

 

pelanggan. Maka diperlukan hubungan baik dengan bank. Sebab bank yang

 

percaya akan membantu mereka yang bersungguh-sungguh untuk menjembatani

 

Anda dengan pasar. Usaha keluarga juga memerlukan ‘jendela’, ÿaitu bingkai

 

untuk melihat keluar. Usaha keluarga tak berjendela akan membuat Anda diam

 

di tempat bak dinosaurus, besar namun mudah punah. Itu sebabnya pameran-

 

pameran sangat diperlukan sama halnya dengan showroom. Sebab betapa pun

 

bagusnya karya Anda ‘tanpa jendela’ tak ada interaksi, tak ada kemajuan.

 

Make bukalah jendela, bangun hubungan dengan pelanggan-pelanggan Anda

dan jangan mudah pecah seperti telur.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

No comments: