Wednesday, June 6, 2012

Elang Gumilang, Pemilik Rumah Sehat Sederhana: Ketika Elang MengepakkanSayap

Burung elang yang bermata tajam memiliki naluri survival tinggi dan perkasa. Sekali ia mengepakkan sayap, maka sebagai predator ia tak akan gagal memangsa. Elang Gumilang yang namanya diambil dari keperkasaan sang burung raja, juga memiliki naluri dan intuisi tajam pada bisnis properti yang ditekuninya. Pada usia belum genap seperempat abad berlandaskan kepedulian terhadap orang miskin, sayap bisnisnya membuahkan miliaran rupiah setiap tahun.

PAGI YANG MENGGELIAT di kota Bogor terasa sejuk. Dunia mulai bangun, senada dengan berputarnya roda kegiatan hari itu. Hanya 15 menit bermobil dari Kampus IPB - Der­maga Bogor, terbentang sebuah perumahan sederhana ber­tipe 22/60. Mungil, tapi fungsional. Inilah tempat untuk pulang - bagi mereka yang terbilang miskin. Inilah hasil cipta seorang muda yang tak hanya peduli pada dirinya sendiri, tapi juga peduli pada kaum yang tak seberuntung dirinya. Kepedulian yang mengantarnya pada sebuah hidup yang bermakna - sebuah hidup yang berlandaskan keseimbangan.

Adalah Elang Gumilang (24), wirausaha muda yang berada di ba­lik pembangunan perumahan amat sederhana itu. Tangan dinginnya menelurkan apa yang selama ini sangat jarang dilakukan pengembang kawakan - bermodal besar atau kecil - untuk mencipta perumahan khusus orang miskin.

Selama ini, bisnis properti sepertinya hanya ditujukan bagi kaum berpunya, demikian Elang berpikir. Mereka yang papa dan mem­butuhkan tempat bernaung justru hanya punya mimpi untuk memiliki rumah sendiri. "Ada 75 juta penduduk negeri ini yang membutuhkan rumah. Ini peluang bisnis, tapi kita sekalian ibadah membantu orang juga," katanya.



TARGET 2000 RUMAH

Berayahkan seorang kontraktor, buat Elang bukan hal mustahil mencoba segala jenis usaha. Ditambah sejumlah pertimbangan men­dalam, awal 2005 - tatkala ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) - ia mulai membeli sepetak tanah dan membangun rumah pertamanya. Modal diper­oleh dari patungan bersama teman-temannya semasa SMA maupun kuliah. Rumah sederhana berukuran 22 meter persegi dengan lugs tanah 60 meter persegi itu langsung pindah tangan ke­tika selesai dibangun. Terbukti, orang haus akan rumah murah seharga 25-37 juta rupiah - harga yang bagi sebagian kalangan menengah sangat atas tidak cukup untuk membeli mobil, bahkan tas bermerek - karena mengidamkan tempat berlindung yang pasti.

Saat itu, jumlah pekerja Elang baru sekitar tujuh orang untuk mengurusi administrasi hingga pemasaran. Namun lambat laun, bisnisnya ini berakar, menggeliat, dan bertumbuh. Dari satu unit, Bertambah terus menjadi tiga unit. Bertambah terus, sampai sudah sekitar lebih dari 200-an rumah dibangunnya. Target yang dicanangkannya tak tanggung-tanggung. Perusahaan Semesta Guna Grup miliknya, ingin membangun 2.000 unit rumah sederhana. Dalam waktu setahun, investasi yang ditanamkan naik berlipat. Nilai jual objek pajak (NJOP) tanah yang tadinya hanya Rp 50 ribu misalnya, melejit hingga lima kali lipat dalam dua semester.

Omzet per tahunnya pasti bikin pengusaha mana pun berdecak kagum - mengingat awal mula sepak terjangnya - karena tak kurang dari Rp 20 miliar per tahun dapat ia bukukan. Belum lagi dari kontrak preperiodik terbarunya menambah Rp 80 miliar hingga Rp 100 miliar ke bisnisnya.

BIODATA

ELANG GUMILANG

Bogor, 6 April 1985

Email: ksatria_paningit2@yahoo.com

PENDIDIKAN:

2003 —Sekarang Mahasiswa Manajemen FEM Institut Pertanian Bogor

NAMA USAHA:

Developer Griya Salak Endah I & Griya Salak Endah II

Alamat: JI. Kyai Haji Abdullah No. 194, Ringroad Taman Jasmin, Bogor

Telp: 0251 215567, Fax: 0251 2263870

PENGHARGAAN:

2008 Indonesia's Top Young Entrepreneur

2007 Pemenang I Wirausaha Muda Mandid Kategori Mahasiswa Program Diploma dan Sarjana

LAIN LAIN:

2008 — Sekarang Developer Griya Salak Endah I, Griya Salak Endah II, Bumi Warnasari Endah, Pertambangan Pasir Kuarsa, Griya Ciampea Endah

Elang Gumilang, mahasiswa sederhana dari IPB - kampusnya petani - anak H. Enceh dan Hj. Prianti, kini mempekerjakan ratus­an karyawan pada setiap proyeknya. Sekitar 30 tenaga adminitrasi dan 100 pekerja di setiap proyek siap membantunya. Elang - lajang kelahiran Bogor, 6 April 1985 - telah mengepakkan sayap bisnis se­jauh yang ia bisa, dan terbang setinggi yang dapat ia capai.


'OTOT' DAN 'OTAK' BISNIS

Elang terlahir dari keluarga yang lumayan berada, namun ber­gaya hidup bersahaja. Pendidikan moral dari orangtuanya tertanam baik.

Ajaran itu terus berurat akar dalam dirinya. Sebagai pelajar sekolah, ia termasuk siswa yang gemilang. Jiwa wirausaha Elang mu­lai terasah saat ia duduk di bangku kelas 3 SMU. Ia mempunyai target setelah lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta untuk modal kuliah. Tanpa sepengetahuan orangtua, ia berjualan donat keliling ke sekolah-sekolah dasar di Bogor. Namun, akhirnya orangtuanya tahu juga. Elang disuruh berhenti berjualan karena UAN (Ujian Akhir Na­sional) telah menjelang.

Dilarang berjualan donat, pemenang lomba bahasa Sunda tahun 2000 se-Bogor ini tertantang mencari uang dengan cara lain. Pada 2003, ketika Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengadakan lomba Java Economic Competition se-Jawa, Elang mengikutinya dan berhasil memenanginya. Begitu pula saat Fakultas Ekonomi Univer­sitas Indonesia menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang sukses menjadi juara ketiga. Hadiah uang yang diperolehnya, ia kumpulkan untuk modal kuliah.

Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan kuliah di Fakultas Ekono­mi IPB tanpa tes. Saat itulah, bermodalkan uang sejuta rupiah, ia kem­bali berniat untuk memiliki sebuah usaha.

Awalnya, uang itu ia belanjakan sepatu, yang lantas dijual di Asrama Mahasiswa IPB. Hanya perlu waktu sebulan, ia sudah bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Sayang, setelah berjalan beberapa ta­hun, supplier yang digunakannya menurunkan kualitas sepatu. Bisnis sepatu pun sirna. Ia melihat, lampu-lampu redup di kampus 1PB se­bagai peluang bisnis pengadaan lampu. Elang mencoba menerapkan strategi bisnis tanpa modal.



                                Kepak Sayap Keseimbangan

TERBIASA MENDAPATKAN SESUATU dengan usaha menumbuhkan ide kreatif Elang Gumilang untuk berwirausaha. Sejak kecil, ia diajari bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat diperoleh cuma-cuma. Jiwa wirausahanya mulai tumbuh A duduk di bangku kelas 3 SMU, saat ia bertekad memiliki uang sepuluh juta rupiah sebagai modal kuliahnya. la mulai dengan berjualan donat keliling, sepatu hingga ayam potong. Prinsip hidupnya yang mengutamakan keseimbanganpunmenjadi dasar untuk mendirikan rumah sehat sederhana yang difokuskan untuk kalangan berpenghasilan rendah.

Q: Sejak kapan Elang mulai berbisnis?

A: Saya sudah memulainya Sejak masih di bangku SD, tapi benar-benar serius menjadi entrepreneur saat duduk di bangku SMA tahun 2002. Saat itu, saya menargetkan diri sendiri untuk punya uang sepuluh juts rupiah supaya bisa kuliah. Saya mulai dengan berjualan donat diam-diam. Namun akhirnya, alhamdulillah ketahuan orangtua. Disuruh berhenti dulu sebab ujian akhir telah menjelang. Kemudian saya mengubah taktik. Kalau tadinya berbisnis dengan cara berjualan donat, lalu saya mulai hunting perlornbaan-perlom­baan. Itu yang menyebabkan saya bisa menjadi pemenang di beberapa perlornbaan di tingkat nasional. Dan mendapatkan hadiah lumayan.

Q: Setelah mencoba berbagai bisnis pads akhirnya terdampar di satu hisnis, apa itu?

A: Sejak mengikuti lomba, saya mulai punya kebiasaan untuk berpikir tentang masa depan. Saya pikir, mungkin saya kurang bersyukur. Saya sering menyesali keterbatasan diri. Setelah menyadari apa kekurangan saya, Saya sholat istigarah. Setelah sholat istiqarah, di dalam mimpi, saya lihat bangunan-bangunan seperti di Manhattan City. Wow, bangunannya keren-keren. Setelah bertanya kepada orang di dalam mimpi: Itu siapa yang membangun? Kata orang di dalam mimpi itu: Itu kan Anda sendiri. Ya sudah.

Q: Manhattan City di New York?

A: Betul

Q : Pernah ke Manhattan ?

A : belum. (tertawa)

Q : Belum pernah. Jadi angan-angan yang keluar dalam bentuk mimpi. Lantas bagaimana membangun usaha perumahan ?

A : Yang jelas kita harus bisa membaca pasar. Sekarang ini pemerintah sedang peduli terhadpa masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan di Indonesia masih ada sekitar 70 juta rakyat yang belum memiliki rumah. Itu merupakan pasar yang sangat besar. Apalagi sekarang ada subsidi dari Menteri Perumahan Rakyat untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.

Q : Itu artinya anda memasuki segmen Rumah sederhana ?

A :  Betul

Q : Siapa yang memberitahu anda harus begini ?

A: Ada beberap pengusaha, baik itu kontributor yang mengerti konstruksi, developer, dan juga orang hukum. Jadi itu semua diambil secara kebetulan, sebagian-sebagian.

Q : Apa yangmendorong anda berbisnis ?

A : ada empat hal. Pertama, ingin membahagiakan orangtua. Kedua, manusia itu akan dikenang dengan karyanya, nama baiknya. Yang ketiga, ingin membuktikan sukses tidak harus dimulai dengna memiliki gelar lebih dulu, atau mesti tua dulu. Kesuksesan bisa dimulai sejak kita muda. Dan yang keempat, globalisasi. Ketika saya berada di tingkat dua, saya belajar. teori keuangan sedangkan teman-teman di luar negeri sudah lebih dina­mis. Mereka sudah bisa membuat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Saya tidak mau kalah. Usia saya sama dengan mereka, yang membedakan hanya bagaimana cara kita membuat dunia kita lebih baik dari hari ini.

Ia mengisahkan hikayat seorang pemuda miskin di Amerika Latin. Setiap hari si pemuda melambaikan tangan pada seorang pengusaha tembakau kaya raya dari Amerika yang se­dang bertandang. Pada awalnya, lambaian tangan itu tidak dipeduli­kan. Namun, karena selalu berulang, pengusaha tembakau itu pena­saran dan menanyakan maksud sang pemuda. Jawab si miskin adalah: "Saya punya tembakau kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar dulu, yang penting saya dapat PO dulu dari Bapak." Setelah men­dengar jawaban tersebut, si pengusaha kaya lalu membuatkan tanda tangan dan stempel kepada pemuda tersebut. Dengan modal itu, sang pemuda mengumpulkan hasil tembakau di kampungnya untuk dijual ke Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka, jadilah pemuda itu orang kaya raya tanpa modal.

Strategi inilah yang ditiru Elang. Bermodal surat dari kampus, ia melobi perusahaan lampu Philips pusat untuk menyetok lampu di kampusnya. "Alhamdulillah proposal saya gol, dan setiap penjualan saya mendapat keuntungan Rp15 juta," ucapnya bangga. Namun, ka­rena bisnis lampu ini musiman dan perputaran uangnya lambat, ter­pikir oleh Elang untuk mencari bisnis yang lain. Setelah melihat celah di bisnis minyak goreng, Elang mulai menekuni jualan minyak goreng ke warung-warung. Tapi, karena bisnis minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga meng­ganggu kuliah, ia memutuskan untuk berhenti berjualan.

Menyimak perjalanannya, Elang mengaku bahwa bisnis demi bisnis yang dilakukannya le­bih banyak menggunakan otot dari pada otak. Ia lalu berkonsultasi ke beberapa pengusaha dan dosennya untuk memperoleh wawasan lain. En­lightment lalu ditemukannya. Berbisnis tidak harus selalu memakai otot, dan banyak peluang bisnis yang tidak menggunakan otot.

Setelah mendapat berbagai masukan, merintis bisnis Lembaga Bahasa Inggris di kampusnya. Karena lembaga kursus itu ditangani secara profesional dengan tenaga pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas Ekonomi memercayakan lembaga­nya itu menjadi mitra. Karena dalam bisnis ini ia tidak terlibat lang­sung, ia manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai marketer perumahan.

UNTUK ORANG LAIN

Sebenarnya, tanpa beralih ke bisnis properti, untuk dirinya sen­diri, Elang tidak bisa dibilang kurang mapan. Pemuda antirokok ini sudah mempunyai rumah dan mobil sendiri. Namun di balik keber­hasilannya itu, Elang merasa ada sesuatu yang kurang. "Kenapa kon­disi saya begini, padahal saya di IPB hanya tinggal satu setengah ta­hun lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi yang saya cari di dunia ini?" ia berdialog dengan nuraninya.

Ilham dari Atas diperolehnya. Bisnis propertilah yang ditunjuk­kan Tuhan kepadanya. Namun, bisnis properti yang ditujukan untuk orang miskin lebih karena hatinya ikut tersentuh. "Banyak orang di Indonesia terutama yang tinggal di kota belum punya rumah, padahal mereka sudah berumur 60 tahun. Biasanya kendala mereka karena DP yang kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai sekarang me­reka belum berani untuk memiliki rumah," ungkapnya pada sebuah kesempatan.

Karena modalnya pas-pasan, untuk media promosinya sendiri, Elang hanya mengiklankan di koran lokal. Karena harganya yang relatif murah, pada tahap awal pembangunan langsung terjual habis. Meski harganya murah, tapi fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplet, seperti Klinik 24 jam, angkot 24 jam, rumah ibadah, seko­lah, lapangan olah raga, dan juga dekat dengan pasar. Karena rumah itu diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah, kebanyakan profesi konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha (TU) IPB, bahkan ada juga para pemulung.

Sukses yang sudah di tangan tidak membuat Elang lupa diri. Justru, ia semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam setiap proyek ia selalu me­nyisihkan 10 persen untuk kegiatan aural. "Uang yang 10 persen itu saya masukkan ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan) pribadi, dan saya alokasikan untuk membantu orang-orang miskin dan orang yang kurang modal," bebernya. Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki mengandung hak orang miskin yang wajib dibagi. Selain menyisih­kan 10 persen dari hasil proyeknya, Elang juga memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan kepada fakir miskin. Pendi­riannya; sedekah tidak perlu banyak tapi yang paling penting adalah kontinuitas dari sedekah tersebut.

Masih banyak sebenarnya yang ingin Elang lakukan. Di antara­nya, ia bercita-cita ingin mendirikan perusahaan yang dapat mem­pekerjakan 100 ribu orang. Elang Gumilang, masih akan terus mengepakkan sayap.

Seorang Elang Gumilang yang hanya seorang anak kampung, dan kampungan, tiba-tiba oleh Bank Mandiri diajari ilmu manajemen yang sesungguhnya supaya bisa bergaul. Bank Mandiri juga memberikan segala fasilitas, dan yang paling utama dari itu semua adalah kredi­bilitas dan reputasi. Jadi yang tadinya orang bilang hanya punya satu perumah­an, sekarang Saya sudah memiliki tiga perumahan.

Hukum Wirausaha #1

Kenali dan Guntinglah Belenggu Yang Mengikat Kaki dan Pikiran-Pikiranmu



Kita semua adalah tahanan pada sebuah penjara. Yang ineinbedakan satu dengan yang lain adalah beberapa orang menernpati sel berjendela, sedangkan lainnya menempati sel tanpa jendela.

- Kahlil Gibran



ADA DI ANTARA kita yang mempunyai sayap dan memi­liki kebebasan untuk terbang kemanapun kita henclak pergi. Namun tak seclikit di antara anak-anak muda yang tidak memilikinya sama sekali. "Kalau tak punya sayap, bagaimana bisa terbang?" tanya penerima hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus.

Yang lebih menyedihkan sebenarnya terjadi pada mereka yang sesungguhnya memiliki sayap, namun mem­biarkan kaki dan tangannya terbelenggu. lbarat burung dara yang tak boleh terbang jauh, bulu-bulu pada sayapnya di­potong menjadi pendek oleh pemiliknya. Yang lebih berun­tung nasibnya, bulu-bulu itu disulam menjadi satu oleh pemiliknya. la hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya saja di darat, tak bisa terbang tinggi seperti yang lain.

Demikian pulalah dengan manusia. Banyak orang yang berkenalan dengan cara berbisnis berkali-kali, namun tak semuanya clapat mengerakkan sayapnya tinggi ke angkasa. Ada semacam belenggu. Ya di tangan, ya di kaki. Di dalam pikiran atau di dalam hati. la menghalangi, menghambat, menurunkan nyali, menyurutkan tindakannya.

Saya ingin menegaskan, sebelum kalian terbang, bukalah, guntinglah, cabik cabiklah belenggu-belenggu yang mengikat diri dengan penuh keberanian atau tum­buhkan kembali bulu-bulu yang sudah dipotong pendek agar punya kekuatan baru. Tanpa keberanian, tak akan pernah kalian terbang tinggi melihat indahnya cakrawala. Berikut adalah saran-saran yang clapat saga berikan untuk menggunting belenggu:

  • Kenali belenggu-belenggu diri dengan memerik­sa inventory dari daftar belenggu ini: keluarga (yang terlalu banyak aturan atau membuat Anda terlalu nyaman), sikap­-sikap negatif (pencemburu, pemarah, fanatisme/dogma­tisme, reaktif, gengsi, pemalu, pencemooh, racist, serakah, tak bisa mengontrol diri, dan seterusnya), kecerdasan (terla­lu tergantung pada diri sendiri), tak ada tantangan, lingkup terlalu sempit, pergaulan, dan sebagainya.

  • Setelah mengenali belenggu-belenggu diri, cobalah keluar dengan memeriksa apakah semua itu memberi hasil yang Anda inginkan? Kalau Anda tidak suka dengan hasil yang Anda cari keluarlah dari sana dan lepaskan selimut rasa nyaman Anda. Carilah lingkungan baru. Ingatlah, manusia-manusia unggul akan merekrut manusia-manusia unggul. Sedangkan manusia kelas dua hanya akan mengambil manusia-manusia kelas tiga atau kelas empat yang kwalitasnya lebih rendah.

  • Latihlah otot otot tangan dan kaki yang jarang di­pakai dengan bergerak setahap demi setahap. Jangan me­nyerah dan kembali pulang sebelum Anda berhasil berjalan dengan kepala tegak membawa hasil yang Anda inginkan.

  • Hidup Anda bukan ditentukan oleh "sejarah hidup Anda," melainkan respons apa yang Anda ambil terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Anda. Orang­-orang yang gagal tak berani menggunting belenggu. Mereka malahan membuat belenggu yang lebih kuat dengan menyalahkan masa lalu.

  • Anda sendirilah yang harus membebaskan belenggu-belenggu pada diri Anda. Setelah itu carilah orang-orang yang bersedia menjadi guru bagi hidup Anda. Guru-guru itu harus Anda bayar dengan kerja keras, disiplin, sikap-sikap positif, karya-karya spektakuler dan kebaikan hati. Mereka akan mengajarkan bagaimana cara nya terbang dengan terbang bersama.

  • Setelah semua belenggu terlepas, janganlah berfokus pada hat-hat yang tidak bisa Anda kerjakan. Berfokuslah pada apa yang bisa Anda kerjakan. Jangan mencemburui keberhasilan orang lain, karena setiap orang memiliki keunikan dan caranya masing-masing. Kembangkanlah kebisaan baru yang Anda kembangkan sendiri.

Dari Buku: Wirausaha Muda Mandiri Part 1: Kisah Inspiratif Anak Muda Mengalahkan Rasa Takut dan Bersahabat dengan Ketidakpastian, Menjadi Wirausaha Tangguh. Oleh: Rhenald Kasali Penerbit: Gramedia.

No comments: