KOMPAS.com - Triyono tergolong orang yang susah diam. Di sela-sela kesibukan sebagai guru sekolah dasar, ia mendirikan usaha pembuatan alat permainan edukatif. Tidak sekadar membangun usaha beromzet puluhan juta rupiah sebulan, tetapi ia juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Ini belum termasuk 10 kelompok usaha serupa yang dilatihnya dan kini beranjak mandiri.
Setiap bulan Triyono bisa memproduksi sekitar 120 paket alat permainan edukatif untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak. Omzetnya rata-rata setiap bulan Rp 75 juta. Kualitas barang yang memadai dan jenis yang beragam membuat produk milik Triyono merambah berbagai kabupaten dan kota sampai ke Kalimantan dan Sumatera.
Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Semarang Ade Kusmiadi mengakui jaminan kualitas produk Triyono. Dia yakin bahwa alat permainan edukatif tersebut mampu bersaing apabila dipasarkan ke luar negeri.
Bahan baku dan cat yang digunakan Triyono, menurut Ade, aman bagi anak-anak. Sayang, upaya ekspor ini masih terkendala minimnya jejaring usaha yang dimiliki perajin setempat. ”Selama ini kami turut membantu memasarkan produk itu ke berbagai daerah. Kami juga sudah meneliti alat permainan yang dihasilkan Triyono itu memiliki makna apa saja, semisal ada yang merangsang emosi atau motorik anak, dan berbagai aspek tumbuh kembang anak,” tutur Ade.
Ia menyebut puzzle sebagai contoh. Puzzle angka yang terbuat dari papan keras berfungsi mengenalkan angka atau huruf, sekaligus melatih motorik halus anak-anak. Balok umum dari kayu mahoni untuk anak usia 4-6 tahun bermanfaat mengembangkan kreativitas, melatih motorik halus, daya cipta, serta mengenalkan bentuk dan ukuran untuk mereka.
Triyono sudah menciptakan dan memproduksi sekitar 180 jenis alat permainan edukatif. ”Syukurlah, hasilnya selama ini cukup baik. Dari usaha ini, saya bisa membeli mobil, sawah, dan kebun. Saya juga masih bisa menabung dan punya cadangan uang untuk pendidikan anak-anak serta biaya naik haji,” tutur Triyono.
Untuk memenuhi bertambahnya jumlah pesanan alat permainan edukatif, Triyono dibantu 18 pekerja. Mereka bisa dibilang bekerja terus-menerus karena pesanan yang diterima Triyono relatif bertambah.
Tengok pula nilai aset produksinya yang sudah mencapai lebih dari Rp 150 juta. Dari usahanya itu, Triyono juga bisa mempunyai ruang pamer berukuran 6 meter x 12 meter di samping rumahnya, di Desa Ujung-ujung, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Modal berani
Padahal, saat memulai usaha alat permainan edukatif ini, tahun 2001, Triyono hanya dibantu seorang pekerja. Modal awalnya pun hanya sekitar Rp 300.000. Uang itu dia gunakan untuk membeli bahan baku dan sejumlah alat pertukangan manual, seperti gergaji, ampelas, dan alat penghalus kayu. Namun, modal seadanya itu lalu dia olah dengan tambahan ”bumbu” keberanian, ketekunan, keuletan, dan pantang menyerah.
Triyono mengaku masa awal usahanya itu relatif penuh tantangan. Dia belum banyak tahu soal alat permainan edukatif. Namun, dia yakin produk itu bakal laku di pasaran karena semakin banyak orangtua yang memberi perhatian lebih baik terhadap pendidikan anak usia dini.
Dia kemudian mencari-cari bentuk alat permainan edukatif itu, dengan belajar dari berbagai buku dan mencoba membuatnya sendiri. ”Ketika mencoba membuat alat permainan edukatif ini, saya tidak langsung jadi. Ya, bisa dibilang saya pun mengalami proses trial and error,” ceritanya.
Berkali-kali ia gagal. Dari kegagalan produk itu pula, Triyono lalu belajar memperbaikinya. Misalnya, saat produk kayunya banyak terbuang akibat jamur. Dia kemudian berusaha mengatasi jamur dengan lebih dulu memasukkan kayu ke dalam oven agar benar-benar kering.
Dia juga pernah tertipu sekitar Rp 14 juta hanya gara-gara kurang teliti. Ketika pesanan datang, Triyono tak meminta uang muka produksi. Oleh karena itu, belakangan ini ia mewajibkan para pemesan memberikan uang muka setengah dari harga barang.
Semangatnya yang tinggi juga dipicu kenyataan bahwa ia tak bisa sekadar mengandalkan gajinya sebagai guru sekolah dasar untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan pendidikan kedua anaknya. ”Saya sampai mencari-cari peluang dengan mendatangi rumah pengelola P2PNFI, yang dulu bernama BPPNFI (Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal). Saya sempat takut ditolak, tetapi terus berusaha memberanikan diri,” kenang Triyono.
Gayung pun bersambut. Barang yang dihasilkan Triyono ternyata cukup memuaskan sehingga BPPNFI ketika itu memesan sejumlah alat permainan edukatif. Instansi itu pula yang awalnya menyebarluaskan produk alat permainan edukatif tersebut ke berbagi daerah hingga pesanan terus berlanjut hingga kini.
Melatih penganggur
Sejak tahun 2006 Triyono juga disibukkan dengan pekerjaan tambahan sebagai instruktur bagi 10 kelompok, yang setiap kelompok terdiri dari 3 orang. Mereka dilatih cara membuat alat permainan edukatif. Anggota kelompok itu sebagian besar penganggur atau siswa yang baru lulus sekolah di Desa Ujung-ujung dan Jembrak, Kecamatan Pabelan.
”Saya mau melatih dan berbagi ilmu dengan anak-anak itu. Buat saya, mereka bukan saingan, tetapi justru mitra usaha. Saat ini enam kelompok di antaranya sudah sangat aktif. Selain memasok produk lewat koperasi yang saya pimpin, mereka juga sudah bisa memasarkan sendiri produknya,” katanya.
Mengelola usaha tak lantas membuat Triyono menganaktirikan tugas utamanya sebagai guru. Ia tetap berusaha membagi waktu dengan baik. Caranya, dengan berbagi tugas dengan sang istri, Siti Munjaemah.
Oleh karena itu, tak heran kalau atas prestasi mengajarnya selama ini, mulai Juli 2009 dia dipercaya menjadi Kepala Sekolah SDN 3 Kopeng di Kecamatan Getasan. ”Saya ingin pembuatan alat permainan edukatif ini lebih berkembang, agar semakin banyak orang muda pengangguran di desa kami yang bisa bekerja,” kata Triyono. (Antony Lee)
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/05/11073094/Triyono.Guru.yang.Pengusaha.Mainan.Edukatif
No comments:
Post a Comment