KOMPAS.com — Manusia berhak mengubah nasib masing-masing. Jalan menyulam dipilih Marni Nazarudin (39) pada 2005 dan mengantarkan dirinya menjadi perajin sulaman usus, kerajinan kain khas Lampung, yang terbilang sukses.
Perkenalan Marni dengan sulaman usus dalam bentuk kebaya terjadi tahun 1998. Saat itu ia bekerja di bagian desain kain tapis atau kain khas Lampung dan bordir di galeri dan butik milik Aan Ibrahim, desainer asal Lampung. ”Waktu itu saya hanya tahu soal sulaman usus, belum bersentuhan langsung,” ujar Marni.
Keterlibatan Marni yang sesungguhnya terjadi pada akhir tahun 2005. Sejak tahun 2003 suaminya tidak lagi bekerja di sebuah bank swasta. Ia sendiri sudah berhenti bekerja sejak akhir tahun 1998. Marni lantas mencari tambahan penghasilan dengan membuka warung makanan. Namun, usaha itu tidak menghasilkan. Kondisi keuangan keluarga kian terpuruk.
Pilihan membuat sulaman usus diambil ketika perempuan berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, itu menyadari, ia punya keterampilan membuat rancangan baju atau gaun berbahan sulaman usus. Dengan modal Rp 50.000, ia membeli 2 meter kain dan menjadikannya bolero atau baju atasan berbentuk rompi. ”Kain yang saya beli itu saya potong, jahit, dan saya jadikan sulaman usus, yang pada akhirnya saya bentuk menjadi bolero,” ujar Marni, ibu dari Dinni Citra N (16) dan Nabilla Zahara (11).
Baju kreasinya itu laku Rp 300.000. Marni pun giat membuat rancangan baju lain dari sulaman usus dan menjualnya.
Pada akhir tahun 2005 rancangan baju Marni memenangi juara pertama lomba desain baju kasual berbahan sulaman usus yang diselenggarakan Dewan Kerajinan Nasional Lampung. Marni pun berpartisipasi pada International Handicraft Trade Fair atau Inacraft di Jakarta tahun 2006.
Kepada pengunjung stannya, Marni menjelaskan, sulaman usus merupakan sulaman khas Lampung. Awalnya, sulaman usus hanya sebagai bebe atau kain penutup dada pada baju pengantin perempuan adat Lampung. Sulaman usus kemudian dikreasikan sebagai baju, kebaya, atau gaun.
Sulaman usus dibuat dari kain, biasanya kain satin atau sutra. Kain dibentuk segitiga dan dengan mesin dipotong memanjang seperti lembaran pita. Lembaran pita itu dijahit sisi kanan kirinya dan dibalik dengan menggunakan lidi.
Setelah dirapikan, lembaran pita berubah bentuk menjadi seperti pipa-pipa pipih panjang menyerupai usus ayam. Muncullah istilah sulaman usus. Untuk membuat kebaya, gaun, atau baju, perajin akan menempelkan pita-pita usus ke pola baju, kebaya, atau gaun yang sudah dibuat dengan cara menjahit.
Di pola tersebut perajin lantas merajut pita-pita usus dengan benang nilon dan menyulam aneka motif. Bahan kain yang lembut dan jatuh memungkinkan pembentukan motif-motif tersebut.
Berkat produk yang rapi dan menarik, kreativitas Marni di Inacraft 2006 dilirik Gobin Dram Ghurbani, pemilik toko tekstil dan butik Apique Silk Route di Jalan Mayestik, Kebayoran, Jakarta. Mr Gobin pun menjadi bapak angkat bagi Marni yang menamakan produksi gaun, kebaya, dan baju sulaman ususnya Nabilla. ”Mr Gobin menyediakan kain sutra yang saya butuhkan. Terkadang Mr Gobin mengirim desain baju atau gaun dan saya yang membuatnya dari bahan sulaman usus,” ujar Marni.
Mr Gobin pula yang menyemangati Marni untuk maju. ”Bayangkan, beliau datang ke rumah saya tahun 2006 yang saat itu masih gedek. Melihat kondisi saya, beliau menyemangati, saya harus bisa maju dalam dua tahun,” ujar Marni.
Lewat Mr Gobin, rancangan Marni mulai dikenal pasar luar negeri, seperti Singapura dan India. Peluang ini membuat Marni terpacu berkarya. Jumlah pemesan terus meningkat.
Marni pun mulai memberdayakan warga kampung tetangganya yang umumnya berpenghasilan rendah. Apalagi, produk Marni banyak dikerjakan secara nonmesin sehingga waktu produksi yang lama diatasi dengan memperbanyak tenaga kerja.
Untuk membuat satu kebaya dibutuhkan waktu satu sampai satu setengah bulan. Sementara baju-baju kasual membutuhkan waktu pembuatan satu minggu.
Oleh karena itu, Marni dan suaminya, Nazarudin (42), pun melatih ibu-ibu di kampungnya di Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Satu kelompok di setiap desa khusus membuat pita-pita usus, kelompok lain khusus menempel pita-pita usus, ada kelompok lain desa lain yang khusus menyulam.
Saat ini ada 87 ibu rumah tangga yang ikut bekerja dalam usaha sulaman usus Marni. Aktivitas ini bisa membantu menambah penghasilan keluarga di satu sisi dan mempercepat proses produksinya di sisi lain.
Usaha Marni tidak lepas dari bantuan permodalan dari PT Pos Indonesia sebesar Rp 40 juta tahun 2007. Modal tersebut dengan cepat dia lunasi. Marni selanjutnya menjadi mitra binaan PT Perkebunan Nusantara VII melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Ia mendapat pinjaman lunak sebesar Rp 15 juta dan Rp 40 juta selama tahun 2007-2008. ”Saya lunasi tepat waktu,” ujar Marni.
Sejak tahun 2005 hingga kini Marni menghasilkan 200-an rancangan desain. Sulaman ususnya juga tidak hanya kebaya, gaun malam, ataupun baju kasual. Karya Marni muncul juga dalam bentuk tank top atau baju atasan seperti singlet bertali tipis, peci, hingga taplak meja dan sarung bantal.
Kisah pengembangan rancangan produk, menurut Marni, cukup unik. Setelah kenal Mr Gobin, artis Vicky Burki dan Ria Irawan datang ke outlet milik Marni, meminta dibuatkan tank top dari bahan sulaman usus.
Rancangan produk tank top tersebut kini sangat disukai di Bali dan Singapura. Sementara rancangan kebaya atau gaun malam disukai di Kalimantan. Tahun 2010 Marni berencana membuka dua outlet baru, di Bali dan Kalimantan.
Marni sudah punya outlet di Lampung. Dia juga bekerja sama dengan butik Mr Gobin di Jakarta dan Pands’ Collection di Semarang, Jawa Tengah. Apabila konsumen Jakarta menyukai rancangan kebaya, gaun, dan baju kasual, konsumen di Semarang menyukai peci dan terkadang kebaya sulaman usus.
Sebagai produk buatan tangan dan dirancang satu desain untuk satu pembeli, Marni mematok harga sesuai dengan upaya produksi. Ia mematok harga satu juta hingga dua juta rupiah untuk kebaya, gaun malam, ataupun baju kasual. Peci sulaman usus per satuan dijual Rp 75.000-Rp 80.000. Produk tank top Rp 400.000 per potong.
Marni pun kini terus mengucap syukur. Omzet Marni yang semula Rp 17 juta kini mencapai Rp 100 juta per bulan. Rumah Marni sudah megah.
Marni kini tertantang agar bisa menghasilkan baju atau gaun dengan sulaman usus tidak hanya terbuat dari satin atau sutra polos, tetapi juga dari bahan lain. Marni tetap optimistis karya barunya itu bisa ia hadirkan pada ajang Inacraft 2010.
Omzet Marni yang semula Rp 17 juta kini mencapai Rp 100 juta per bulan.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/14/1050383/Marni.Menyulam.Modal.Rp.50.000.jadi.Ratusan.Juta
No comments:
Post a Comment