Thursday, January 19, 2012

Septi Sukses Jadikan Rumah sebagai Kantor

KOMPAS.com — Ibu rumah tangga tak melulu hanya berurusan dengan dapur. Lihat saja Septi Peni Wulandari. Pencetus metode belajar matematika dengan memanfaatkan jari atau jarimatika ini mampu menjadikan rumahnya sebagai kantor. Dengan 450 mitra aktif, Peni memiliki jam kantor yang padat dengan tetap mengawasi kebutuhan tiga anaknya.

Nama Septi Peni Wulandari sudah identik dengan jarimatika. Perempuan asli Salatiga ini memang yang memperkenalkan metode belajar berhitung matematika dengan menggunakan jari-jari tangan. Dari metode itu pula Peni memiliki 450 mitra dan mengantongi omzet lebih dari Rp 100 juta sebulan.

Kesuksesan Peni tak datang begitu saja. Banyak kendala bagi ibu tiga anak ini saat mengembangkan metode belajar matematika dengan menggunakan jari. Selain metode ini belum dikenal orang, banyak orang yang "takut" belajar berhitung lantaran dianggap sebagai salah satu pelajaran yang sulit. "Ini menjadi tantangan yang enggak gampang ditaklukkan," ujarnya.

Menghabiskan waktu hingga sekolah menengah atas di Salatiga, Peni hijrah ke Semarang dan berkuliah di Universitas Diponegoro, mengambil Jurusan Ilmu Gizi.

Lantaran diterima lewat jalur kedinasan, peluang Peni menjadi pegawai negeri sipil (PNS) terbentang luas. Namun, setelah menikah, rencana itu buyar. Sang suami memintanya berkonsentrasi mengurus keluarga dan anak-anaknya. "Suami saya bilang, anak itu harus mendapat pendidikan langsung dari orangtuanya, bukan dari orang lain," tandas Peni.

Keputusan Peni untuk mengikuti keinginan suaminya sempat membuat orangtua Peni berat hati. "Orangtua saya sempat menyesalkan keputusan saya," ujarnya mengenang. Maklumlah, kala itu menjadi PNS dianggap sebagai pekerjaan yang menjamin masa depan. Tahun 1995, Peni pun diboyong suaminya yang bekerja di bank ke Jakarta. Mereka menetap di Depok, Jawa Barat.

Meski harus mengurus rumah tangga, hasrat Peni untuk bekerja masih menyala. Ia mengaku iri dengan kesibukan wanita karier yang ada di sekitarnya. "Setahun setelah menikah, saya masih tetap ingin bekerja," ujar Peni. Keinginan untuk menjadi wanita karier juga tak padam meski di rahimnya sudah ada jabang bayi pertamanya.

Lagi-lagi, Dodik Maryanto, sang suami, menenangkan hasratnya. Lewat diskusi panjang, ia terngiang dengan perkataan suaminya. "Kesuksesan perempuan dimulai dari dalam rumah dan akan tampak hasilnya dari luar," ujar Peni menirukan petuah suaminya. Mengelola keluarga dengan sungguh-sungguh adalah kesuksesan, yang hasilnya bisa dirasakan keluarga dan berguna bagi banyak orang.

Baru ketika anak pertamanya, Nurul Syahid Kusuma, lahir, hasrat Peni untuk bekerja meredup. Ia mulai menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Ia menjadi paham bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tak bisa disepelekan. "Ibu rumah tangga bukan golongan second class yang identik dengan pakaian daster dan bau bawang," tandasnya.

Menjadi ibu rumah tangga tidak perlu menjadikan perempuan malu atau bahkan minder. Justru para perempuan harus bangga karena ibu rumah tangga adalah profesi mulia. "Bayangkan kita harus mengelola semua urusan rumah," ujarnya. Termasuk menjadi teladan bagi anak-anaknya. Itulah sebabnya Peni menjadikan kehadiran sang anak sebagai laboratorium pertamanya. Ia harus menjadi teladan sekaligus guru bagi Enes, panggilan akrab anak pertamanya itu.

Sebelum menemukan metode berhitung dengan menggunakan jari, Peni memulai dengan membuat kurikulum bagi anaknya. Karena belum berpengalaman, Peni membaca buku-buku dan ikut kuliah umum untuk memperkaya wawasannya tentang pendidikan. Bekal ini jelas berguna bagi penyusunan kurikulum yang pas buat pendidikan anaknya.

Lantas, ia pun menjadikan rumahnya sebagai kantor. Ia menyusun jadwal bekerja untuk dirinya sendiri, yakni mulai dari pukul delapan pagi hingga empat sore. Bahkan, ia juga selalu berpakaian rapi dan bersepatu.

Saat itu, ia juga menolak bila ada tetangga yang datang untuk mengobrol. "Saya menjadikan rumah sebagai kantor saya, hingga sekarang," ujarnya. Pada jam-jam bekerja, Peni juga mengaku berkonsentrasi mengajari berbagai keterampilan untuk anaknya

Septi Wulandari menciptakan metode jarimatika ketika buah hatinya mulai suka menggunakan jari untuk berhitung. Guna mendukung ekonomi keluarga lantaran sang suami kena pemutusan hubungan kerja, ia pun aktif mempromosikan metode ini. Tak segan, dia mengenalkan metodenya itu naik turun bus atau keluar masuk sekolah.

Hal pertama yang diajarkan Septi Wulandari kepada sang anak adalah memperkenalkan dunia membaca. Dari eksperimennya itu, ia menemukan metode yang disebut Abaca Baca.

Septi atau akrab disapa Peni mengklaim, melalui metode ini, anak sudah mulai bisa membaca pada usia sembilan bulan. Selanjutnya, pada usia dua hingga tiga tahun, anak sudah fasih membaca koran.

Ia menerapkan proses yang menyenangkan. "Anak tak hanya diajarkan untuk membaca saja, kemudian duduk, lanjut dengan membaca lagi," kata Peni. Makanya, metode abaca baca pun berhasil diaplikasikan pada anak pertamanya.

Setelah berhasil dengan metode membaca, Peni mengajarkan anaknya berhitung. Ia pun mencoba banyak metode dari luar. Namun ternyata, tak cocok dan gagal karena gaya belajar anak cenderung aktif. Peni lalu mengganti metode belajarnya. Kali ini, ia menggunakan alat peraga. Tapi, ketika alat peraga rusak, si anak enggan memakainya lagi.

Beberapa waktu berselang, Enes, anak pertama Peni, mulai menggerakkan jarinya untuk berhitung. Bersama suami, dia pun berpikir untuk mengoptimalkan kemampuan jemari sang anak sebagai alat bantu hitung.

Akhirnya, mereka menciptakan rumus-rumus matematika dengan menggunakan jemari. "Setiap ada ide baru, kami tulis di atas kertas dan ditempel, jadi di rumah itu penuh dengan tempelan flip chart," ungkap Peni.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 juga berpengaruh pada kelangsungan hidup keluarga Peni. Saat itu, banyak perbankan bermasalah dan harus gulung tikar. Suami Peni pun terkena pemutusan hubungan kerja lantaran bank yang menjadi tempat kerjanya ditutup.

Untuk membantu perekonomian keluarga, Peni memutuskan untuk berjualan baju. "Karena passion saya di busana muslim, saya berjualan baju muslim," katanya. Bersama anak-anaknya, Peni berjualan door to door alias dari pintu ke pintu dengan memakai sepeda motor.

Peni mendapat pasokan baju dari rekannya yang memiliki toko baju di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Modalnya berasal dari sisa tabungan sang suami. "Sampai kami pernah merasakan rekening yang ada di bank sampai zero," beber dia.

Sambil berdagang, Peni mengembangkan metode belajarnya tersebut. "Selama tiga tahun terjadi trial error, tapi kami tak patah semangat," ungkapnya. Setelah jarimatika ini berhasil dikembangkan pada tahun 2000, banyak orang tua, khususnya para ibu tertarik untuk mempelajari.

Untuk memperkenalkan metode jarimatika, Peni harus berpindah dari satu bus ke bus yang lain. "Saat promosi, kami menggunakan atribut lengkap jarimatika," papar Peni.

Di rumah, Peni menerapkan metode belajar home schooling untuk anak-anaknya. Menurutnya, di rumah adalah metode yang tepat untuk membangun karakter si anak. Ia berpendapat, hingga anak berumur 12 tahun merupakan saat yang tepat untuk membangun karakternya. Selanjutnya, dari usia 13 tahun sampai 15 tahun, anak boleh merasakan dunia luar. Mulai umur 15 tahun itu pula, anak sudah bisa hidup mandiri.

Peni berprinsip anak harus ditangani ahlinya. Karena itu, ia rajin mengikuti kuliah-kuliah umum dan terus belajar tentang pendidikan anak. Ia mengaku, menggunakan kartu nama yang unik sebagai jalan masuk untuk mengikuti kuliah umum ataupun seminar-seminar dan berdiskusi dengan para dosen. Di kartu namanya, Peni menulis status dirinya sebagai ibu rumahtangga profesional.

Awalnya, banyak yang meragukan metode belajar yang diterapkan Peni. Khususnya dalam soal sosialisasi. Namun, menurut dia, belajar di sekolah dasar (SD) selama enam tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam dengan teman yang sama, bukan sebuah sosialisasi yang sebenarnya.

Keberhasilan sosialisasi, Peni melanjutkan, adalah ketika anak bisa menyesuaikan diri serta tidak minder ketika berada dalam sebuah komunitas dan lingkungan yang berbeda. Mulai dari masyarakat desa sampai pada kelas elite.

Upaya Septi Peni Wulandari membukukan metode jarimatika dalam sebuah buku berbuah manis. Masyarakat merespons baik bukunya. Banyaknya masyarakat yang ingin mempelajari jarimatika membuat Peni akhirnya mewaralabakan metode belajar ini. Namun, usahanya sempat terganjal masalah modal dan utang.

Tahun 2003, harapan Septi untuk lebih mengembangkan jarimatika ke tingkat yang lebih luas terbuka lebar. Peristiwa itu terjadi ketika ia bertemu dengan seorang perempuan yang tertarik dengan metode yang dia kembangkan. Orang tersebut pun menyarankan Peni membukukan metode belajar jarimatika.

"Kita enggak kepikiran sampai sejauh itu," tutur Peni yang kala itu tidak memiliki komputer. Lalu Peni mengumpulkan flip chart dari hasil pengembangan metodenya ini untuk dibukukan.

Ternyata, masyarakat merespons positif penerbitan buku jarimatika tersebut. "Saat ini, buku sudah cetakan ke-13. Kalau diperkirakan, totalnya ada sekitar 130.000 eksemplar di pasar," jelas Peni.

Tak lama setelah buku jarimatika terbit tahun 2003, banyak pihak yang kemudian menghubungi Peni untuk mengisi pelatihan di berbagai wilayah, khususnya Jabodetabek. Peni pun akhirnya mematenkan jarimatika pada tahun 2005 untuk melindungi karyanya tersebut.

Ketika jarimatika sudah dikenal luas di wilayah Jabodetabek, tahun 2006 Peni sekeluarga mendapat kabar bahwa mertuanya sakit dan dirawat di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Karena keluarga Peni memiliki waktu yang lebih fleksibel dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ia memutuskan kembali ke Salatiga dan merawat ayah mertuanya selama satu bulan.

Setelah sembuh, ayah mertua Peni dibawa ke Salatiga. Di kota ini pulalah anak-anak Peni merasa nyaman dan betah. Mereka tidak ingin kembali ke Jakarta. Dan, "Saat itu, saya berpikir jarimatika di Jakarta sudah mulai berkembang," kata Peni.

Setelah menetap di Salatiga, Peni harus memulai dari nol lagi. Tabungannya pun sudah habis untuk biaya pengobatan ayah mertuanya. Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya suami Peni mengatakan kepadanya: "Bersungguh-sungguhlah kamu pada Allah, Rasulullah, bapak dan ibu. Ketika kamu bersungguh-sungguh, maka masalah dunia, Allah yang mengatur," papar Peni menirukan nasihat suaminya.

Kekhawatiran Peni akhirnya pudar ketika banyak media yang meliput metode jarimatikanya ini. Usahanya pun berkembang tak hanya di seputar Jabodetabek, tetapi juga melebar ke pantura, mulai dari Solo sampai Bali dan Nusa Tenggara. Metodenya ini juga mulai diterima di wilayah luar Jawa. "Paling tidak sudah tersebar sampai ke 33 kota," jelasnya.

Awalnya Peni memang tidak ada niat mewaralabakan usahanya. Ia pun memungut biaya tipis saja. Namun, ia menyadari sesuatu yang digratiskan pasti pada akhirnya akan hancur karena tidak ada komitmen untuk investasi.

Peni menilai biaya investasi yang hanya Rp 3 juta kurang mempan menumbuhkan komitmen mitra usahanya. Pada tahun 2007, ia menaikkan biaya kemitraan menjadi Rp 9,5 juta. "Efeknya sangat baik, banyak mitra yang sungguh-sungguh menjadikan usaha ini sebagai sebuah bentuk investasi," tuturnya.

Peni juga sempat kewalahan menutup utang bank yang pernah ia ajukan guna membangun kantor dan mencetak berbagai perlengkapan pendukung untuk metode jarimatikanya. "Saya tidak menyangka bunga utang bank sangat memberatkan," imbuhnya.

Ia pun memberanikan diri mempresentasikan usahanya ini ke bank-bank guna mendapatkan dana pinjaman untuk bisa menutup sisa utangnya. Dari tiga bank yang didatangi Peni, dua di antaranya menolak konsep Peni. Apalagi, Peni juga tidak punya agunan untuk menjamin utangnya.

Peni harus bolak-balik Salatiga-Semarang untuk mengajukan proposal usahanya tersebut. Satu-satunya modal yang ia bawa untuk mengajukan utang kepada bank adalah kliping hasil tulisan berbagai media.

Setelah beberapa kali ditolak, Peni menemukan satu bank yang mau memberikan utang tanpa agunan. Selain mendapatkan modal usaha, Peni juga mendapat dana untuk menutup bunga bank yang melilitnya saat itu.

Jarimatika merupakan celah bagi Peni menjadi seorang pengajar sekaligus pengusaha. Dari jarimatika, banyak ibu rumah tangga yang menjadi penulis buku bertema jarimatika. (Handoyo/Kontan)

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/05/12/0808566/Septi.dengan.Jarimatika.Lunasi.Utang

No comments: