Yoga Putra
KOMPAS.com - Berkah pohon pisang tidak hanya buah atau daunnya. Tukimin (49) membuktikan bahwa dengan sentuhan kreativitas, gedebok pisang juga bisa menghasilkan sejumlah pemasukan dalam rupiah dengan menjadikannya kerajinan tangan yang digandrungi masyarakat internasional. Tinggal di lingkungan pedesaan membuat Tukimin akrab dengan alam sejak kanak-kanak. Ia yakin, alam menyediakan segala macam kebutuhan manusia untuk menyambung hidup.
Ia pun berang dengan manusia yang menyia-nyiakan berkah alam. ”Di sekitar rumah saya banyak orang membuang gedebok (batang) pisang setelah memanen buahnya. Menurut saya, limbah batang itu pasti bisa dimanfaatkan,” katanya, Senin, 5 Oktober 2009.
Kendati sudah menekuni profesi sebagai penganyam serat alam sejak tahun 1996, Tukimin yang menetap di Dusun Tanggulangin, Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo, itu belum dapat mewujudkan pikirannya. Pemilik CV Indo Seagrass itu sibuk menangani pesanan kerajinan anyaman serat pandan dan agel (gebang) yang sedang booming pascakrisis ekonomi.
Tukimin menjadi lebih sibuk setelah terpilih sebagai Kepala Desa Tanjungharjo sejak 2003. Akhirnya baru pada tahun 2008 pria lulusan SMA itu baru bisa mengolah limbah gedebok pisang karena sebagian program kerjanya sebagai lurah sudah terlaksana. ”Saya beralih ke bahan gedebok pisang agar beda dari perajin lain. Kalau saya tetap menganyam agel dan pandan, usaha saya tak akan berjalan karena banyak saingan,” ungkap Tukimin.
Selain itu, serat batang pisang juga memiliki tekstur yang berbeda dibanding serat alam lain. Serat gedebok lebih kuat, tetapi tetap halus dan empuk. Semakin muda usia batang pisang yang digunakan, semakin halus tekstur anyaman. Mengolah gedebok pisang sesungguhnya tak sulit. Bilah-bilah batang tersebut hanya perlu dikeringkan dengan cara dijemur 10 hari. Dalam proses pengeringan, Tukimin tidak menggunakan oven karena akan merapuhkan serat, yang membuat mudah patah saat dipilin.
Hasil pilinan serat gedebok pisang kemudian dianyam atau dijalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk kerajinan, seperti tas, keranjang, dan furnitur rumah tangga. Agar kuat, anyaman serat dilem dan diikat dengan benang kasur. ”Tampilan serat gedebok pisang umumnya kusam sehingga untuk mencerahkannya saya menggunakan cat pernis berbahan dasar air dan sudah memenuhi standar keamanan internasional,” katanya.
Melalui distributor yang kerap memasok kerajinan anyaman di Nanggulan, Tukimin mempromosikan produknya. Tidak disangka, animo pembeli, khususnya luar negeri, begitu besar. Kerajinan buatan Tukimin laku keras di Spanyol, Hongkong, dan Jepang. Jumlah pesanan pun terus naik. Jika tahun-tahun sebelumnya Tukimin hanya membuat 10.000 hingga 20.000 produk anyaman setiap bulan, kini ia sanggup menghasilkan 100.000 produk, khusus dari bahan serat batang pisang.
Jumlah pegawai yang awalnya hanya 20 orang dirasa tidak lagi mencukupi. Kini, Tukimin mempekerjakan 50 pegawai. Itu belum termasuk jumlah pekerja tidak tetap sehingga totalnya bisa mencapai 100-an orang. Selain mempekerjakan pemuda-pemuda lokal, Tukimin juga menampung tenaga kerja dari kabupaten lain, seperti Bantul dan Gunung Kidul. Tukimin mengatakan, gaji pegawainya hampir setara dengan upah minimum regional DIY, yakni Rp 500.000 per bulan.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Tukimin tidak bisa lagi mengandalkan suplai gedebok pisang lokal, tetapi didatangkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai lima ton. Satu kilogram gedebok pisang kering dibelinya dengan harga Rp 6.000 hingga Rp 12.000. Harga kerajinan beragam, mulai ribuan hingga jutaan rupiah, bergantung pada desain dan ukuran produk. Ia sengaja memasang harga dalam rupiah karena lebih tahan terhadap dampak krisis ekonomi. Terbukti pada krisis keuangan global pada akhir tahun lalu usaha kerajinan Tukimin tetap langgeng.
Untuk mempermudah transaksi dan komunikasi dengan pembeli, kini Tukimin juga sudah memanfaatkan sarana internet dengan berkirim surat elektronik (e-mail). Ia merasa belum siap untuk membuat situs internet sendiri karena masih gagap teknologi.
Rata-rata omzet CV Indo Seagrass di atas Rp 100 juta per bulan dengan batas keuntungan 20 persen. Tukimin tidak menikmati keuntungan itu sendiri, melainkan ia membagi kepada para perajin lain dalam wujud pelatihan usaha. ”Saya tidak mau pelit berbagi ilmu. Penjiplakan desain atau peniruan ide adalah hal biasa dalam usaha. Hal itu justru terus memicu saya agar tetap kreatif dan tampil beda,” ujarnya.
Kepala Tukimin memang dipenuhi banyak cita-cita mulia. Selain mengurangi jumlah limbah alam, ia juga ingin membangkitkan usaha kecil Kulon Progo yang saat ini seolah jalan di tempat. Banyak pengusaha kecil tidak memiliki tekad dan kemauan sebesar Tukimin sehingga mereka setengah hati menjalankan usaha.
Tukimin optimistis, kerajinan serat gedebok pisang memiliki prospek cerah hingga beberapa tahun ke depan. Terlebih tren penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan terus menggema dari waktu ke waktu. Selain untuk ekspor, Tukimin juga mulai membidik pasar lokal. Menurut dia, konsumen dalam negeri sudah semakin jeli membedakan produk bagus dan berkualitas, serta tidak mempersoalkan merek.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/07/10023833/Dengan.Gedebok.Pisang.Punya.100.Karyawan
No comments:
Post a Comment