KOMPAS.com - Berawal dari hobi, berujung hoki. Mungkin itu kalimat paling pas ditujukan bagi Ike Hadiani Kasman (53), perajin sekaligus pemilik PD Kria, di Jalan Purbamanik, Guruminda Kota Bandung yang bergerak di bidang industri kerajinan.
Meski lulus dengan predikat sarjana muda dari Akademi Tekstil Berdikari Bandung di tahun 1980, kecintaan Ike terhadap dunia kerajinan tak bisa dibendung. "Sejak SMA, saya sering membuat aksesoris dari kancing baju. Usaha sulam pita pun pernah saya terjuni, hingga akhirnya saya memutuskan untuk menekuni kerajinan tas dan sepatu sandal kulit dengan variasi batu-batuan," tuturnya.
Ide awal membuat tas dan sepatu kulit berhiaskan batu-batuan tercetus medio 2004. Saat itu, Ike melihat belum ada desain yang memadukan aksesoris batu-batuan seperti mutiara, payet, mote, atau batuan alam lain dengan produk fesyen.
Dengan gigih, dia mencari bahan baku hingga ke seluruh Jawa Barat. Tidak mudah mencari bahan baku nomor satu. "Setelah berulang kali gagal, akhirnya saya temukan pemasok kulit dari Garut dan batu-batuan dari Sukabumi yang kualitasnya tidak diragukan," ujar Ike.
Bagi Ike, menjaga kepercayaan pelanggan adalah kunci utama pengembangan usaha. Untuk itulah dia berupaya mendesain hingga tas dan sepatunya nyaman dipakai.
Tentang pemasaran awal, Ike menempuh metode MLM atau marketing lewat mulut. Dia mengandalkan aktivitas luar rumahnya mulai dari kegiatan tenis hingga pengajian.
Akhirnya, setelah mengikuti pameran Kriya Pesona I di Bandung tahun 2006, produknya diburu pengunjung. Ratusan tas dan sepatu diborong pembeli. Bahkan, dia kewalahan memenuhi permintaan yang terus membanjiri stand-nya.
Pameran pun menjadi agenda rutin bagi Ike. Bahkan, dia mengakui bahwa nama PD Kria dibesarkan lewat pameran. Setelah keliling pameran di seantero nusantara, produk Ike akhirnya diapresiasi pemerintah dan dimasukkan menjadi salah satu produk unggulan nasional sehingga otomatis mendapat kesempatan berpameran ke luar negeri.
Lintas Benua
Lima benua telah dikunjungi Ike dalam rangkaian pameran. Di antaranya, Australia, Afrika Selatan, Belanda, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, China dan India. Hebatnya, hampir di setiap pameran internasional, produk yang dibawanya selalu habis.
Kini, setelah puluhan tahun menjadi wirausaha, Ike mulai menikmati buahnya. Setiap bulan, produksi tas dan sepatu bisa mencapai 150 setel dengan omzet produksi setidaknya Rp 100 juta.
"Saya dibantu 19 pekerja perempuan yang khusus bertugas menghias produk dengan batu-batuan. Ada lagi pekerja yang membuat tas dan sepatu yang biasanya memanfaatkan warga sekitar," ujarnya.
Meski produk kerajinan rawan penjiplakan, Ike tidak segan berbagi ilmu ke sejumlah rekannya sesama perajin. "Itung-itung nambah amal ibadah," kata perempuan yang telah menunaikan ibadah haji dari hasil jerih payahnya itu.
Membanjirnya produk China di bidang kerajinan, sama sekali tidak membuatnya gentar. Dia yakin, produknya yang dipasarkan dengan kisaran harga Rp 200.000-Rp 850.000 itu masih unggul di kualitas dan inovasi. Sebab, kebanyakan produk China merupakan produk massal dengan kualitas tidak terlalu bagus.
Bagi Ike, selama industri kerajinan dalam negeri terus berinovasi dan mencari keunikan masing-masing, produk sejenis dari China tidak akan mampu menggoyang produk lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/04/20572769/Inovasi.Jadi.Modal.Ike.Tantang.China.
No comments:
Post a Comment