KOMPAS.com — Mendulang rupiah dengan menjadi wirausaha tak melulu harus mengorbankan idealisme ke tangan logika bisnis. Keduanya bisa seiring sejalan. Tine Mulyatini (40) membuktikan hal itu. Usaha kerajinan Waditra Craft menjadi pengejawantahan segumpal misi untuk mengenalkan alat musik tradisional Sunda.
"Saya risau, tidak banyak orang yang mengetahui khazanah alat musik tradisonal Sunda. Padahal, bentuknya unik dan menarik. Dari situ saya melihat ada peluang usaha untuk membuat miniaturnya," tutur Tine, Rabu (7/4/2010) di lokasi sanggar Waditra Craft, Jalan Sadang Serang Raya Nomor 8, Kelurahan Sekeloa, Kecamatan Cobong, Bandung.
Waditra Craft dirintis Tine sejak 2005 dengan modal Rp 30 juta. Dia dibantu kedua adiknya, Dadang (32) dan Ari (27), yang mahir membuat barang kerajinan dari kayu. Meski kemudian mendirikan usaha kerajinan berbendera CV Waditra Indojaya, bisnisnya tak kunjung maju. Maklum, kala itu Tine tidak fokus menangani bisnis karena masih bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan tekstil di Bandung.
Baru pada 2008, saat Tine mundur dari posisinya sebagai sekretaris, usahanya perlahan berkembang. Pilihannya untuk total menjadi wirausaha berbuah manis. Jaringan pemasaran Waditra Craft semakin luas.
"Saat itu saya baru sadar, menjadi wirausaha tidak bisa setengah-setengah. Harus fokus. Contoh kecil, karena kala itu saya masih kerja kantoran, saya jadi tidak bisa fleksibel menemui calon pembeli. Padahal, calon pembeli biasanya meminta waktu ketemu saat jam kerja. Akhirnya, banyak order gagal," Tine menceritakan pengalamannya.
Cendera mata Sunda
Kata waditra dalam bahasa Sunda berarti alat musik. Kini, Waditra Craft setidaknya telah memiliki 10 produk miniatur gamelan Sunda, di antaranya angklung, kecapi, rebab, saron, gong, bonang, gambang, dan kendang. Lewat tangan-tangan terampil perajin asuhan Tine, gamelan tradisional dibuat dalam skala mini untuk dijadikan cendera mata.
Bahan baku yang digunakan ialah bambu, kulit, kayu, logam, dan serat kaca. Saat ini, Tine sudah memiliki delapan perajin. Untuk pesanan yang tidak bisa ditangani sendiri, Waditra Craft memiliki tiga rekanan perajin yang mampu memproduksi barang dengan kualitas sama di bawah supervisi Tine langsung.
Seiring dengan semakin dikenalnya kerajinan Waditra Craft di masyarakat, usaha Tine yang pernah menjadi duta seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat pada acara Tong-tong Fair di Den Haag, Belanda, pada 2006 ini semakin besar. Jika saat dimulainya usaha ini pesanan hanya 10 unit per jenis, kini jumlahnya berlipat sepuluh kali menjadi 100 unit. Bahkan ia pernah mengerjakan pesanan cendera mata dari instansi bank yang mencapai 2.000 unit.
Omzet usahanya pun terus meningkat. Kini Tine memperkirakan omzet Waditra Craft mencapai Rp 20 juta per bulan. Dari pendapatan tersebut, laba bersih yang bisa diperoleh sekitar 40 persen atau Rp 8 juta per bulan. Pesanan miniatur gamelan terus mengalir, mulai dari institusi pemerintah, perbankan, hingga kalangan perhotelan. "Karena menyimbolkan budaya Sunda, biasanya produk kami dijadikan cendera mata khas institusi mereka," ujarnya. (Gregorius Magnus Finesso)
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/08/17192115/Tine.Mendulang.Rupiah.Berbekal.Idealisme
No comments:
Post a Comment