KOMPAS.com — Bisnis bakso yang telah padat pemain tidak menyurutkan langkah Trisetyo Budiman menjajal peruntungan di bisnis ini. Tak sekadar mengekor, Tri menjalankan bisnis baksonya dengan konsep restoran modern. Strategi ini berhasil menjaring pelanggan. Kini, dia telah memiliki 20 gerai restoran bakso di berbagai kota di Indonesia.
Jangan anggap enteng usaha bakso. Dengan pengelolaan yang baik dan sistem manajemen yang tepat, bisnis bola daging ini mampu mengantar Trisetyo Budiman menuju gerbang kesuksesan seperti saat ini.
Pria yang akrab disapa Tri ini adalah pengusaha bakso dengan merek dagang Bakso Ino. Sementara itu, bendera usahanya adalah PT Perdana Putra Utama. Di perusahaan ini, Tri menjabat sebagai Direktur Utama.
Layaknya perusahaan modern, Tri menyusun struktur organisasi dengan rapi. Di bawahnya ada general manager, manager, bagian SDM, bagian quality control, sampai bagian marketing.
Kini, jaringan usaha Bakso Ino telah menyebar ke sejumlah kota besar di Tanah Air, seperti Jakarta, Bandung, Malang, Batam, dan Manado. Total gerai Bakso Ino mencapai 20 buah.
Salah satu kunci sukses Tri dalam meluaskan jaringan bisnisnya adalah kejeliannya memilih lokasi berdagang di tempat-tempat strategis. Di antaranya, di rest area jalan tol, bandara, pusat jajan kuliner, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Namun, menurut Tri, dari sejumlah lokasi berdagang yang menjadi pilihannya itu, rest area di jalan tol menjadi tempat yang mendatangkan omzet paling moncer.
Saat ini, Tri memiliki enam restoran bakso yang berlokasi di rest area. Empat di antaranya terdapat di rest area jalan tol Cipularang Km 16, 19, 39, dan 62. Dua gerai lainnya masing-masing berada di rest area tol BSD dan tol Tangerang.
Adapun restoran terbesarnya berada di rest area Tol Cipularang Km 19 dengan luas gerai mencapai 200 meter persegi.
Sejatinya, strategi ekspansi usaha yang dilakukan Tri bukan hal baru. Untuk memperluas jaringan usahanya, ia juga menggandeng pemodal lain yang berminat menanamkan investasi di usahanya ini. Dari total 20 gerai Bakso Ino, 60 persen di antaranya milik Tri pribadi, sedangkan sisanya dikelola bersama mitra usahanya.
Dari 20 gerai Bakso Ino tersebut, hampir semuanya berkonsep restoran modern. Coba sesekali Anda mampir ke salah satu gerai Bakso Ino yang ada di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, yang ditata dengan konsep minimalis.
Kursi dan meja sengaja ditata tak sekadar untuk makan, tapi dibuat nyaman untuk bersantai para pengunjung bersama keluarga, kolega, dan teman sejawat.
Tri mengatakan, desain interior menjadi pertimbangan penting baginya dalam mengemas gerai. "Saya ingin mengangkat derajat jajanan bakso dari kelas gerobak dorong menjadi lebih bergengsi," kata pria yang kini berusia 49 tahun itu.
Namun, sukses tidaknya bisnis makanan bagaimanapun sangat tergantung pada kelezatan dan kualitas hidangannya. Untuk urusan ini, Tri menjamin kualitas baksonya terjaga karena tidak mengandung bahan kimia, baik untuk pengenyal maupun untuk mengawetkan bakso. "Sejak membuka usaha bakso pada 1998, saya membuat resep sendiri bersama istri," ujar Tri.
Untuk memenuhi pasokan bahan baku bakso di semua gerainya, ia butuh daging sapi 100 kilogram per hari. Daging sebanyak itu dia olah menjadi 12.000 butir.
Untuk belanja bahan baku daging, Tri rata-rata mengeluarkan Rp 6 juta per hari. Ini di luar belanja kebutuhan rutin, baik harian maupun mingguan, seperti bumbu dapur, sayuran, dan buah untuk aneka minuman. Belum lagi untuk bahan pelengkap lainnya, seperti kecap, saus, teh botol, dan sumpit yang dipasok oleh 15 distributor tetap yang digandeng Tri.
Tri menyajikan sekitar 45 menu di gerai Bakso Ino. Untuk bakso, Tri membanderol Rp 11.000-Rp 20.000 per porsi. Adapun aneka minumannya rata-rata dijual di bawah Rp 10.000 per porsi. "Segmentasi pasar saya menengah ke atas," kata ayah tiga anak ini.
Sayang, Tri enggan membeberkan omzetnya dari bisnis ini. Yang jelas, kata dia, jumlah pembeli pada akhir pekan bisa meningkat sampai 30 persen dibanding hari biasa.
Rugi ratusan juta
Meski telah sukses menggawangi 20 gerai bakso, bukan berarti perjalanan bisnis Trisetyo Budiman selalu mulus. Dia pernah gagal juga. Bahkan, berulang kali ratusan juta rupiah duitnya harus melayang. Namun kegagalannya ini justru melecutnya untuk memperbaiki manajemen usaha yang dia terapkan sebelumnya.
Sejak memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta, Trisetyo Budiman banting setir menjadi wirausahawan. Dia memilih bidang usaha bakso.
Tri, sapaan akrabnya, kala itu optimistis usaha baksonya bakal sukses. Sebab, bakso adalah makanan universal yang menjadi kesukaan banyak orang.
Prediksi Tri memang benar. Dia menuai kesuksesan dari bisnisnya tersebut. Namun layaknya pengusaha lain, Tris memiliki pengalaman pahit yang menguras koceknya sangat besar.
Tri berkisah, penyebab kerugiannya adalah ketidakjeliannya dalam memilih lokasi bisnis. Tahun 2001, dia membuka gerai Baso Ino di Rumah Sakit Kramat, Jakarta Pusat. Di lokasi tersebut, Tri merugi lantaran gerai baksonya tak sering ada pengunjung. Tri mengaku rugi Rp 150 juta.
Pada tahun yang sama, Tri kembali gigit jari setelah gerainya di sebuah kawasan industri di Gunung Putri, Bogor, harus gulung tikar. Kali ini, bukan faktor minimnya pembeli yang menjadi sebab, melainkan banyaknya pabrik yang tak lagi beroperasi di sana. "Kerugian saya sampai Rp 350 juta," kata pria berusia 49 tahun ini.
Sejak itu, Tri tak lagi memilih rumah sakit dan kawasan industri sebagai lokasi membuka gerai bakso. Dia pun memindahkan dua gerai itu ke tempat lain.
Penyebab lainnya, Tri tak cermat dalam membuat perjanjian bisnis dengan mitra. Pada 2003, misalnya, dia menjalin kerja sama dengan seorang mitra. Sayangnya, kerja sama tersebut tidak tercatat alias tak ada kontrak hitam di atas putihnya. "Hanya gentlemen agreement berdasar kepercayaan saja," kata bapak tiga anak ini.
Perjanjian yang lemah membuat si mitra bisa dengan mudah memutuskan kontrak kerja sama. Sang mitra memilih jalan sendiri setelah dua tahun kerja sama berlangsung. Padahal, kesepakatan awal perjanjian ini berjalan sampai lima tahun. Tri hanya bisa menelan ludah kala perjanjian bagi hasil 50:50 itu terhenti. Dia pun menderita kerugian Rp 200 juta.
Masih ada lagi kisah kerugian usaha Tri. Kali ini, ketidakcermatan menghitung biaya operasional membuatnya gagal meraih pendapatan yang sesuai estimasi. Kasus kerugian ini terjadi di gerai-gerainya yang ada di pusat perbelanjaan.
Ceritanya, Tri membuka tiga gerai di mal yang ada di Jakarta. Perkiraan awal ongkos sewa tempat dengan fakta di lapangan ternyata berselisih jauh. Rupanya, "Manajemen mal juga mempermainkan harga karena ternyata ongkos sewanya naik," ujar Tri.
Tak tanggung-tanggung, biaya sewa yang membengkak yang dia hitung sebagai kerugian dari tiga gerai mencapai Rp 750 juta.
Sejak itu, Tri mengaku lebih hati-hati dalam melakukan perhitungan. Biaya sewa tempat bahkan menjadi faktor yang paling krusial baginya dalam melakukan perhitungan pengeluaran.
Dia juga tak menjadikan berbagai kegagalan berbisnis ini sebagai sesuatu yang memotong langkahnya untuk maju. Tri paham betul berbisnis itu selalu mengandung risiko. Bahkan, Tri mengaku belajar banyak dari pengalaman ini.
Buktinya, sejak lima tahun terakhir, Tri membenahi manajemen perusahaannya, PT Perdana Putra Utama, pengelola merek Baso Ino. Agar perusahaannya profesional, Tri menyusun dan membagi sejumlah jabatan dan peran di dalam perusahaan tersebut. Dia membentuk bagian building and location yang bertugas meriset lokasi yang strategis dan memiliki potensi pasar yang bagus.
Ada juga bagian bussiness development yang berfungsi membuat terobosan-terobosan baru agar Baso Ino bisa lebih maju dan inovatif. Jika suatu saat usaha Tri tersandung masalah hukum, Tri bahkan sudah siap dengan divisi legal.
Meski mengaku usahanya belum benar-benar besar dan menggurita, Tri yakin, dengan manajemen yang baik, usahanya bisa bertahan lebih lama. "Saya belajar dari perusahaan-perusahaan makanan internasional yang bisa sukses di mana-mana," kata Tri.
Target enam gerai baru saban tahun
Setelah berhasil memasarkan bakso sekelas restoran dan diterima pasar dengan baik, kini fokus usaha Trisetyo Budiman adalah mengembangkan jaringan bisnis. Ia merasa, jumlah 20 gerai Baso Ino masih bisa ditambah lagi. Tak mau tanggung-tanggung, Trisetyo Budiman menargetkan menambah enam gerai bakso per tahun.
Dari sebuah gerobak bakso di kawasan Kalibata, Jakarta, hasil kerja keras Trisetyo Budiman kini berbuah 20 gerai bakso sekelas restoran. Keadaan nan mapan ini tak membuat Tri lupa daratan.
Ia tetap mengevaluasi usaha yang ia beri nama Bakso Ino tersebut. Agar makin berkembang, ia pun menerapkan target bagi usaha yang telah mengangkat penghidupan ekonomi dan namanya tersebut.
Dalam setahun, Tri menargetkan gerainya mampu bertambah enam unit. Usut punya usut, kegigihan Tri dalam membangun jiwa wirausaha tak lepas dari peran kedua orangtuanya, terutama dari sang ayah.
Ayah Tri adalah seorang mantri kesehatan. Namun, ia menuai sukses bukan dari profesinya tersebut. "Tapi, ia malah sukses bertani dan beternak," kata Tri.
Bapak tiga anak ini bercerita, ayahnya terpaksa harus berwirausaha lantaran ia punya sembilan anak, termasuk Tri, yang harus dinafkahi.
Sejak kecil, Tri berkisah, kedua orangtuanya juga membiasakan dia dan saudara-saudara selalu bangun pagi. Tri bersaudara pun melakukan pekerjaan rumah dahulu sesuai tugas yang dibagikan sebelum mereka berangkat sekolah. "Semakin pagi bangunnya, rezeki makin mudah dicari," kata Tri menirukan wejangan ayahnya.
Cerita sukses ayahnya berwiraswasta ternyata menjadi inspirasi buatnya. Dengan enteng, Tri meninggalkan jabatan di sebuah kantor perusahaan asing yang telah dijalaninya selama 10 tahun.
Tri pun tak malu banting stir penjadi pengusaha bola daging. "Kalau menjadi karyawan di perusahaan, risiko kita ada di tangan pemilik perusahaan," ujar pria kelahiran Batu, Malang ini.
Di samping sukses menggawangi bisnis bakso, Tri pun aktif dalam berbagai kegiatan, antara lain dalam Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso (Apmiso).
Di Apmiso, ia sudah tiga tahun menjabat sebagai Ketua Umum. "Melalui Apmiso, saya sadar betul bahwa bisnis yang saya jalani banyak menciptakan lapangan kerja," tuturnya.
Saat ini saja, jumlah anggota yang tercatat di Apmiso mencapai lima juta orang di seluruh Indonesia. Jutaan pelaku usaha mi dan bakso tersebut, lanjut Tri, bisa mengerek pelaku usaha yang lain, seperti produsen kecap, saus, mi, dan perajin sumpit.
Tri memprediksi, pelaku usaha mi dan bakso yang sebagian besar termasuk usaha kecil dan mikro (UKM) tersebut bisa membukukan omzet keseluruhan sampai Rp 1 triliun per hari. Plus, mencatatkan belanja daging sampai 2 juta kilogram per harinya.
Sebagai Ketua Umum Apmiso, Tri memiliki ambisi untuk memajukan pelaku usaha mi dan bakso. Ia yakin, usaha ini bisa jadi identitas bangsa.
Tak heran jika Tri mendesak pemerintah agar bersedia memasukkan bakso sebagai salah satu menu yang bakalan disajikan kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama jika jadi datang ke Tanah Air. "Apa pun yang dilakukan Obama pasti disorot dunia dan kalau dia sampai mencicipi bakso Indonesia maka ini bisa menjadi publikasi yang bagus untuk bakso," kata Tri bersemangat.
Tri membayangkan bakso bakal naik daun, seperti mi vietnam, yang disebut pho ga. Pho ga mendadak go international setelah suatu kali Presiden AS Bill Clinton mencicipi mi tersebut dalam kunjungannya ke Vietnam.
Sayang, niatan Tri belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Padahal Tri mengaku sudah mencoba menghubungi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik baik lewat telepon, maupun pesan singkat.
Tri juga mengaku, ia sangat siap jika bakso yang bakal disajikan ke Obama nanti mesti diaudit pihak yang berwenang dari pemerintahan. Pasalnya, Apmiso siap untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. "Kami mengurusi makanan jutaan orang saja bisa, apalagi cuma satu orang," ujar Tri. (Kontan)
sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/30/1336298/Trisetyo.Angkat.Bakso.ke.Kelas.Resto
No comments:
Post a Comment