Memulai kembali bisnisnya dari nol, setelah pabriknya hampir bangkrut karena terbakar, merupakan bagian dari perjalanan Integra menjadi eksportir mebel terbesar di negeri ini. Kini, Integra berhasil mengekspor mebel 300-400 kontainer setiap bulan.
Sepintas, kondisi pabrik PT Integra Indocabinet tampak biasa saja. Sama seperti kondisi pabrik-pabrik lainnya di sepanjang Jalan Raya Betro, Desa Betro, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pabrik Integra terlihat sibuk dan ramai dengan lalu-lalang pegawai dan kendaraan. Tidak ada yang istimewa, termasuk ruang kantornya yang terkesan sangat sederhana. Yang tampak di ruangan itu hanyalah pajangan produk-produk mebel, bisnis yang digeluti Integra.
Jangan anggap enteng penampilan sederhana ini. Ketika semakin masuk ke dalam pabrik, Anda akan dibuat tercengang melihat luasnya area pabrik mebel ini. Betapa tidak? Integra menempati area seluas 25 hektare lebih. “Bentuk pabrik kami kebetulan ngantong. Jadi, bagian belakang lebih luas dibandingkan bagian depan,” kata Halim Rusli, pemilik Integra menjelaskan.
Ketika SWA menyusuri pabrik Integra menggunakan kendaraan khusus, pabrik tersebut tertata rapi dan bersih, termasuk toiletnya. Umumnya pabrik kayu terlihat centang perenang, tetapi Integra tidak. Balok-balok ukuran tertentu disusun berjajar rapi berdasarkan jenis kayu dan tingkat kekeringannya. “Kami memiliki stok bahan baku, minimal untuk produksi tiga bulan ke depan. Itu untuk raw material maupun barang dalam proses,” Halim menjelaskan. ”Jadinya, sebagian besar modal kerja banyak terserap pada stok bahan baku.”
Di bagian penggergajian kayu, yang biasanya sarat debu (serbuk gergajian kayu) dan desing suara tidak terkendali, seperti musnah entah ke mana. Debu beterbangan dan desing memang ada, tetapi kuantitasnya tidak sebesar di pabrik-pabrik lain pada umumnya. “Debu akibat pemotongan kayu dan suara bising yang keluar akibat penggergajian memang kami kendalikan. Kalau tidak, customer akan lari,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Integra ternyata juga memanfaatkan limbah debu hasil gergajian kayu itu. Debu itu dikumpulkan menjadi satu dan digunakan sebagai pemanas dengan tujuan untuk mengurangi kadar air pada kayu. Selain itu, Integra juga memiliki unit tersendiri untuk mengubah serbuk kayu menjadi briket-briket tanpa disentuh oleh tangan manusia sedikit pun karena menggunakan mesin yang bekerja otomatis. “Ke depan, kami ingin pengolahan ini menjadi unit yang berdiri sendiri dan mengubah diri dari cost center menjadi profit center,” kata Halim.
Keinginan serupa juga disematkan Halim pada unit peralatan. Unit yang dipimpin oleh orang asing ini bertugas melayani berbagai macam peralatan yang dibutuhkan pabriknya seperti mata bor dan mata gergaji. Dengan kompletnya alat yang dimiliki, selain unggul dalam hal kustomisasi bentuk dan ukuran, pengerjaan pun bisa tepat waktu sehingga tidak mengganggu perencanaan proses produksi.
Selain memiliki pabrik di Betro — pabrik terbesar di kawasan tersebut — Integra juga memiliki dua pabrik pendukung di daerah berbeda, juga di Sidoarjo. Luas masing-masing kedua pabrik pendukung itu sekitar 15 ha. “Jadinya, total luas pabrik kami mencapai 50 ha. Setiap bulan kami mampu mengekspor mebel pada kisaran 300-400 kontainer,” tuturnya bangga.
Jika merunut ke belakang, sejatinya pencapaian Integra hingga seperti sekarang tidak diraih dengan mudah. Perusahaan ini dibangun dengan merangkak dari bawah. Bahkan, hampir bangkrut karena pabriknya pada 1994 terbakar. Semuanya musnah menjadi abu. “Ini di luar perkiraan kami saat awal didirikan. Dan saya yakin ada tangan Tuhan yang berperan,” ucap Halim bersyukur.
Memang, pada 1994 pabrik ini dilalap api. “Waktu itu, saya merasa semuanya selesai dan tutup buku serta berpikiran untuk ganti haluan,” ia mengenang pengalaman pahitnya. Namun, nasib berkata lain karena para mitra, pemasok dan pelanggannya malah memberikan dukungan agar Integra bisa tetap berjalan meskipun modalnya sudah ludes dilahap api. Akhirnya, Integra pun bisa bangkit lagi hingga sebesar sekarang. “Inilah jalan terjal yang harus dilalui Integra. Sekarang kami menjadi pabrikan mebel terbesar di Indonesia.”
Halim tidaklah dilahirkan dari keluarga yang memiliki dasar entrepreunership. Ayahnya seorang bankir. Selepas lulus dari universitas di Amerika Serikat, ia pun balik ke Surabaya. Kemudian, bergabung dengan Ria Star, pabrikan alat-alat rumah tangga yang terkemuka hingga sekarang. Perusahaan ini milik saudaranya.
Namun, dalam perjalanannya Halim merasa terinspirasi kegiatan yang dilakukan salah satu pabrik di Surabaya. Pabrik itu membuat rak kaset dan kemudian diekspor. Bisnis pabrik ini terlihat moncer karena setiap hari bisa mengekspor lebih dari empat kontainer. “Saya lantas ingin melakukan hal serupa. Untungnya, ada salah seorang karyawan di pabrik itu yang bersedia gabung.”
Maka, pada 1989, mulailah ia dan dua karyawannya itu membuat rak kaset dari bahan mdf (medium density board). Ternyata, memang tidak rumit. Ia bahkan mampu memproduksi dalam jumlah banyak. Dalam sehari bisa memproduksi sampai dua kontainer. Namun, justru dari sinilah timbul permasalahan. Halim mengalami kesulitan menjual produk. Tidak segampang bayangan di awal. Apalagi saat itu, Indonesia belum terlalu dikenal seperti sekarang. Belum lagi harus menghadapi mafia-mafia importir di berbagai negara.
Terlebih lagi, teknologi dulu tidak secanggih sekarang. Untuk komunikasi, dulu masih memakai telex. Makanya, Halim sering menyambangi langsung dan presentasi ke importir seperti di Taiwan dan AS serta mengikuti berbagai pameran mebel di kedua negara itu. Namun, tetap saja mereka seperti tidak tertarik.
Namun, suatu waktu ada satu importir Taiwan tertarik. Ini menjadi titik terang bagi bisnis Halim. Meski demikian, perjalanan tidak semulus yang dibayangkan. Tidak semua importir memiliki rekam jejak yang baik. Ini terlihat dari respons mereka saat barang sudah sampai di negaranya. Mereka mengancam menolak karena produknya dinilai tidak memenuhi kualitas. Ternyata, ujung-ujungnya satu: mereka meminta diskon. “Memang menebus pasar luar negeri tidaklah mudah,” ungkapnya mengingat masa-masa sulit dulu. Akhirnya, setelah berjalan beberapa bulan, Halim bisa menentukan siapa saja importir yang memiliki itikad baik. Sementara yang tidak baik akan tergelincir secara otomatis.
Waktu itu pada 1992, ada permintaan pasar rak kaset. Halim pun memproduksinya dari bahan baku kayu, tidak lagi dari mdf. “Mdf perlahan-lahan kami tinggalkan karena perubahan perilaku pasar,” ucapnya. Pada tahun sama, ia juga memperoleh informasi bahwa IKEA membutuhkan baki (tray) dari kayu.
Maka, ia pun mengajukan permohonan menjadi salah satu pemasok. Setelah diberi contoh profil, ia lantas membuatnya dan memberikan beberapa modifikasi. “Setelah kami tawarkan kembali hasil kreasi kami, ternyata IKEA tertarik dan bersedia mengambil produk kami. Kebetulan, baki kami laris manis,” kata Halim. Ia bahagia bisa memasok produk ke peritel mebel terbesar di dunia yang memiliki 326 gerai di 38 negara itu.
Dari sinilah, jalan seakan terbentang lebar dan bisnis makin lancar. IKEA banyak membantunya dalam hal desain, penataan, bahkan manajemen. Sayangnya, pada 1994 itu Integra terkena musibah. Pabriknya terbakar. “Tapi, peristiwa itu blessing juga. Bayangkan saja, karena dulu mengejar target capaian ekspor, kondisi pabrik morat-marit. Usulan tata ulang lay out pabrik nggak pernah terlaksana. Bagaimana mau ditata, wong tiap hari digunakan,” katanya. Maka dengan adanya kebakaran itu, ia dibantu mitra, pemasok dan pelanggannya mulai menata ulang sehingga kondisi tata ruang pabriknya menjadi lebih baik.
Menurutnya, produknya dipercaya pelanggan karena pihaknya menekankan pada kualitas, efisiensi dan produktivitas. “Kami di sini bekerja di dalam tim dan model produksi kami adalah by order. Kalau customer datang, order akan diserahkan ke bagian R&D (riset dan pengembangan).”
Tim R&D kemudian membuat analisis dan gambar secara detail. Termasuk, aneka penghitungan biaya dikaitkan dengan bahan baku. Dari R&D, kemudian dilakukan rapat tim untuk menentukan langkah operasional di lapangan. Bagian mana yang bisa diefisienkan dan mana pula bagian yang sejatinya tidak bisa dikerjakan. Semuanya diurai dengan detail sehingga tidak menimbulkan persoalan di tingkat operasional nantinya. Selesai itu, baru diajukan kembali ke pelanggan. Ia pun memberikan kebebasan kepada pelanggan untuk memutuskan memilih model dan jenis mana yang mereka inginkan.
Begitulah Integra bekerja, sehingga produknya digemari pelanggan. Apalagi, Integra memiliki produk mebel dalam bentuk ready to assembly (RTA) yang merupakan produk yang bisa dirakit di tempat tujuan. Misalnya, case goods seperti ranjang atau house component seperti kusen dan daun pintu. Sistem kerja dan produk seperti itu membuat pesanan IKEA pun terus bertambah, baik dari sisi kuantitas maupun jenis produk. Termasuk, pelanggan dari negara lain seperti Jepang.
Khusus untuk pengerjaan rotan, karena membutuhkan banyak tenaga, Halim mendayagunakan model inti plasma. “Kami memiliki tiga ribu plasma yang tersebar di Desa Menganti. Mereka siap mengerjakan order yang kami berikan,” katanya. Mereka bisa seperti itu karena Integra melakukan pelatihan dulu. Sekarang tinggal menjalankan dengan beberapa koordinator dan pengawas kontrol-kualitas daerah.
Untuk bahan baku, Integra sudah menjalin kerja sama dengan banyak pemasok agar produksi tetap lancar. Agar pasokan lebih aman, sejak dua tahun lalu Integra memperoleh hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 200 ribu ha di Kalimantan Timur. Lahan tersebut ditanami sengon sehingga dalam jangka waktu delapan tahun bisa panen. “Kamilah satu-satunya HPH yang berhasil memperoleh sertifikat Forest Management Chain of Custody,” ujar Halim. Pihaknya harus tetap berjaga-jaga karena bahan baku semakin lama semakin menjadi primadona dan jadi rebutan banyak orang.
Bahan baku Integra ini juga dipasok oleh perusahaan perkebunan nasioal. Endang Sulaiman, Manajer Wilayah I PT Perkebunan Nasional (PTPN) 12, salah satu pemasok Integra, mengatakan, kayu sengon dalam bentuk log memang tengah menjadi primadona. Sebagian hasil produksi PTPN 12 memang dipasok ke Integra, salah satu mitranya di antara 11 mitra lainnya dalam urusan kayu sengon. Kiriman terbesarnya memang tidak ke Integra, tetapi ke Karunia. Kiriman untuk Integra sama dengan mitra lain.
Mengapa disebut primadona? Karena sebelum melakukan penebangan, PTPN 12 membuat penawaran terlebih dulu kepada 11 perusahaan itu. Misalnya, bila Integra setuju untuk membeli 5 ribu kubik, dibuatlah kontrak. Salah satu klausul kontraknya berbunyi agar Integra melunasi pembayaran. Misalnya, tujuh hari setelah tanggal kontrak ditetapkan.
Bila pelunasan dilakukan, turunlah perintah untuk melakukan penebangan. Jadi, dalam kasus pembelian kayu sengon dalam bentuk log, pembayarannya selalu di depan. Nah, Integra selama ini tidak punya masalah dengan PTPN 12, karena kalau bermasalah, tentu akan dicoret dari daftar pelanggan perusahaan perkebunan tersebut. “Jadi, selama ini hubungan kami dengan Integra berlangsung dengan aman dan sama-sama menguntungkan. Nilainya positif, karena Integra tidak pernah ingkat janji,” ujar Endang.
Selanjutnya, dalam hal pemasaran, Integra perlahan-lahan akan mengarahkan produknya untuk diserap peritel. Bukan lagi memfokuskan diri menggarap para importir di berbagai balahan negara. Ini merupakan salah satu langkah strategis karena Integra berusaha memotong salah satu mata rantai distribusi sehingga harga yang jatuh ke tangan konsumen akan menjadi sangat terjangkau. “Saat ini, kami masih bekerja sama dengan 10-15 importir besar dan 50 peritel besar di berbagai negara,” ungkapnya menginformasikan.
Selain itu, Integra juga berencana memasok mebel untuk hotel-hotel di dalam dan luar negeri. Syaratnya, mereka harus memenuhi minimal order, yaitu 300 pieces per model di mana satu produk adalah satu model.
“Perjalanan Integra di bawah kendali Halim Rusli patut diacungi jempol. Lebih-lebih bisa merangkul IKEA yang notabene kelas dunia,” ucap Bambang Irawan, konsultan dari ICM Surabaya, mengomentari kinerja Integra. Namun saat ini, tantangan yang harus dihadapi Integra adalah masalah krisis Eropa dan AS. Menurutnya, IKEA memang berjaya di bidangnya. Namun, jika daya beli konsumen Eropa menurun, bisa menurun pula pasar IKEA. Dampaknya juga nantinya akan terasa oleh Integra.
Bambang menyoroti soal krisis ini karena beberapa waktu lalu banyak pemain industri mebel nasional pergi ke Eropa untuk mengunjungi buyer-buyer besar, termasuk bertandang ke IKEA. Mereka bercerita bahwa saat ini IKEA menyadari dampak krisis Eropa. IKEA sedang berusaha mencari terobosan untuk mengatasi dampak krisis tersebut.
“Ini sebaiknya juga diantisipasi Integra. Kemungkinan penurunan order, yang terjadinya entah sampai kapan. Juga, tidak ada informasi yang pasti kapan pula Eropa bangkit dari krisis. Maka, selayaknya Integra segera melakukan inovasi-inovasi baru,” Bambang memberi masukan.
Selain itu, sudah saatnya Intergra berperan sebagai pemain langsung dalam medan industri mebel ini. “Bukankah Integra sudah banyak belajar dari IKEA sewaktu berposisi sebagai ‘tukang jahit’ untuk brand-nya? Bukankah sudah punya pengalaman dipetik?” katanya. Bambang juga melihat, bagian R&D Integra sudah tergolong maju sehingga bisa mengarah ke sana.
Sudah saatnya pula Indonesia mulai jadi pemain. Bukan sekadar menjadi ”tukang membuat” atau ”tukang jahit” untuk merek-merek pihak lain. Sasaran pasarnya pun bukan hanya Eropa atau AS, tetapi mulailah merambah pasar Asia Tenggara terlebih dulu, dan kemudian merambah pasar Australia. “Dengan kekuatan dan gaya leadership Halim Rusli sekarang, saya percaya Integra mampu melakukannya,” Bambang meyakini.
Terlepas dari semua itu, yang pasti, sekarang Halim tinggal memetik hasil dari kerja kerasnya selama ini setelah menembus jalan terjal yang berliku. “Kondisi saya saat ini memang tidak sesibuk dulu karena semua proses sudah ditangani tim. Tapi saya masih tetap ngantor tiap hari,” ucapnya.
Kehadirannya di Integra masih diperlukan, terutama untuk menjembatani perbedaan pendapat yang memerlukan keputusannya. Ia pun selalu mengatakan kepada karyawannya yang saat ini berjumlah 6 ribu orang, “Nggak apa-apa kita ini hidup neng ndeso. Tapi ojo lali, kualitase kudu tetep internasional.”
Dede Suryadi dan Suhariyanto; Riset: Siti Sumariyati
sumber: http://swa.co.id/2012/01/jalan-terjal-integra-menjadi-eksportir-mebel-kelas-dunia/
No comments:
Post a Comment