Deden Narayanto, Mengincar Tukang Siomay dengan Kecap
Dalam bisnis kecap, namanya cukup
dikenal sebagai pemilik perusahaan
Kecap Segi Tiga yang ternama di
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Usahanya memang bergerak perlahan
Namun pasti dan tengah merambah
ke Jakarta, Bekasi, dan Bandung.
Harapannya tidak mu1uk-mu1uk, ia hanya
ingin bersentuhan langsung dengan
tukang siomay, tukang sate, dan tukang
bakso yang jumlahnya ribuan.
Nama Kecap Segi Tiga mungkin belum
terlalu dikenal jika dibandingkan
dengan kecap-kecap nasional lainnya.
Namun, ini adalah salah satu perusahaan kecap
di Majalengka yang masih bertahan sejak tahun
1958. Kecap Segi Tiga didirikan oleh almarhum
Haji Lukman, kakek Deden, bersama 2 mitranya,
yaitu Aman dan Endek. Haji Lukman
tidak memberikan pengelolaan perusahaannya
kepada anaknya, tetapi ke Deden, yang notabene
adalah cucunya.
Hal itu terjadi tahun 2000, setahun setelah
Deden menyelesaikan kuliahnya. Deden tidak
bisa mengelak ketika kakeknya menanyakan
gaji yang dikehendakinya saat hendak melamar
pekerjaan. “Emang mau digaji berapa, gitu? Di
sini ada pekerjaan yang harus dikerjakan, kok
malah mau cari ke luar?’ Ini yang menyentak,
bukan karena berapa nilai gajinya. Tapi makna
pertanyaan itu yang menyentak. Sehingga saya
pun tidak jadi mencari kerja. Jadi, sampai
sekarang saya belum pernah melamar pekerjaan
sama sekali. Melamar ke istri doang,” kenang
Deden saat memutuskan untuk melanjutkan usaha
kakeknya.
MELANJUTKAN TONGKAT ESTAFET
Saat berpindah tangan, aset perusahaan tersebut
baru bernilai Rp 1 Miliar. Berbekal pengalaman
membantu kakeknya sejak duduk di bangku SMP
hingga kuliah, Deden melanjutkan usaha itu
dengan memperbaiki manajemen, dari tradisional
menjadi lebih modern. Deden ingat betul betapa
sibuk kakeknya mengurus segala sesuatu
untuk mempertahankan usahanya. Berbagai
urusan dipikirkan dan dikerjakan sendiri.
Manajemen seperti inilah yang menurutnya
sulit membuat perusahaan berkembang. Deden
memperbaikinya dengan merekrut orang untuk
mengurus administrasi, produksi, keuangan,
hingga pemasaran. “Jadi bukan hanya pimpinan
saja yang harus memikirkan. Tapi ada yang
memikirkan bagian-bagiannya. Ini alhamdulillah
sudah berjalan,” ucapnya bersyukur.
Pabrik yang awalnya berlokasi di rumah,
kemudian pindah ke lahan yang kecil pada
tahun 1980. Kini, lahan tersebut sudah
diperluas. Pertumbuhan penduduk Majalengka
yang cepat membuat Deden pun cepat
bertindak dengan membeli lahan kosong di
belakang pabrik tahun 2002. Tujuannya, untuk
melakukan perluasan sehingga kapasitas
produksi bisa ditingkatkan. Total karyawan
pun diperbesar menjadi 38 orang, kebanyakan
diambil dari masyarakat sekitar. Para pemula
biasanya hanya ditempatkan di bagian pengisian
kecap. Jika sudah menguasai kemampuan ini,
mereka bisa diajarkan keahlian baru, seperti
pemasakan. Syarat menjadi pegawainya pun
cuma satu, bisa membedakan rasa, mana yang
Kecap Segi Tiga dan mana yang bukan.
Khusus urusan produksi, Deden tidak mau
meninggalkan kekhasan Kecap Segi Tiga
yang kental dengan rasa kedelainya. Awalnya
Kecap Segi Tiga hanya memproduksi kecap
rasa asin dan manis sedang, sebab hanya 2 rasa
itulah yang disukai masyarakat Majalengka.
Selain itu, masyarakat Majalengka amat
menyukai kecap dengan rasa kedelai yang kental.
Deden memang tidak main-main untuk
urusan rasa. Kecapnya berbahan baku 50 persen
kedelai dan gula merah atau gula aren
yang berkualitas. Dan wanginya pun, menurut Deden,
masyarakat Majalengka sudah bisa membedakan
mana kecap Segi Tiga dan yang bukan.
Deden juga menanggung beban moral untuk
mempertahankan tradisi kecap Majalengka yang
kian tergusur.
Di tahun 1980-an ada 50-an pengusaha kecap. Namun,
kini tinggal 10 yang bertahan. “Ini sangat
mengkhawatirkan, karena kecap adalah produk
unggulan Majalengka juga. Harus benar-benar dijaga.
Bayangkan kalau anak cucu kita nanti tidak
tahu produk kecap Majalengka,” ujar bapak 2 anak ini.
Belajar dari rontoknya banyak perusahaan kecap yang
dulu tumbuh bersama, Deden menyadari bahwa jika tidak
mengikuti perkembangan pasar, dia akan tergerus oleh
perusahaan-perusahaan kecap besar. Selagi memperbaiki
manajemen, Deden pun mulai memikirkan inovasi untuk
ekspansi keluar Majalengka. Deden mulai dengan
mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan,
meraih SNI, sertifikasi halai, bahkan mendaftarkan
hak cipta mereknya. Menurutnya, meskipun UKM,
perusahaannya harus mengikuti apa yang menjadi
perhatian masyarakat, termasuk packaging.
Selama ini, Kecap Segi Tiga hanya mengandalkan
botol bekas pakai yang dicuci dan diisi ulang.
Namun seiring waktu, banyak botol yang tidak
kembali karena hilang atau pecah.
Maka, mulai pertengahan tahun 2011, dibuat
kemasan standing pouch dari bahan plastik
dengan volume 225 ml. “Masyarakat
sekarang kan sudah berbeda, walaupun masih
ada orang yang pikirannya masih di sana, tapi
kan sekarang masyarakat memikirkan kesehatan.
Itu harus kita ikuti,” imbuh pria berusia 36
tahun ini. Ketika ditanyakan tentang sampah plastik,
Deden mengatakan bahwa plastik bekas tetap
bisa didaur ulang untuk dijadikan barang lain,
sehingga tidak mengotori lingkungan.
DIVERSIFIKASI USAHA
Untuk merambah pasar di luar Majalengka,
Kecap Segi Tiga mulai memproduksi kecap
manis. Pengalaman mereka menunjukkan ketika
menjual kecap asin dan manis sedang ke
daerah Bandung, produk tersebut ternyata tidak
dilirik sama sekali. Deden pun memperhatikan,
rupanya masyarakat kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Bekasi, tidak senang dengan kecap
asin, manis sedang, dan encer. Mereka lebih
suka rasa manis dan kental. Dia pun meminta
kokinya untuk meracik kecap manis khas Kecap
Segi Tiga.
Dengan pengalaman meracik kecap sejak
tahun 1958, kokinya mampu membuat kecap
manis. Kelihaian sang koki sangat teruji. Terbukti
setiap ada kecap terbaru muncul di pasaran
selalu dicicipi, lalu dicoba meracik hingga
mendapatkan rasa yang sama, dan berhasil.
“Alhamdulillah kita bisa mendekati rasa begitu.
Jadi, walaupun tidak didukung keilmuan,
karena pengalaman, dia sudah paham; kurang
ini, kurang itu,” tutur lulusan manajemen teknik
industri Universitas Pasundan Bandung ini.
Selain memproduksi kecap, Deden sempat
melakukan diversifikasi usaha dengan membuat
minuman kemasan. Bahan bakunya dari jambu
merah yang berlimpah di Majalengka. Untuk
meraciknya, dia bekerja sama dengan pihak
ketiga. Sayangnya, ketika pihak ketiga itu jatuh,
perusahaan minumannya pun bangkrut karena
Deden tidak mengetahui bahan-bahan yang
perlu diracik. Namun, karena usaha ini dimulai
dari nol, Deden tidak merasa terbebani.
Setelah itu, Deden fokus mengembangkan
usaha kecapnya. Dia menargetkan pada 2013
kecapnya sudah menguasai pasar Jawa Barat.
Mulai dari rasa hingga ukuran akan disesuaikan
dengan produk yang beredar di Jawa Barat. Sejak
awal, produknya memang langsung ditujukan
ke pemakai—yakni langsung ke rumah tangga—
bukan ke toko-toko.
Sementara, pengguna kecap bukan hanya
rumah tangga. Bisnis makanan pun membutuhkan
kecap. Misalnya saja tukang siomay,
bakso, dan sate. Pangsa pasar ini belum
tersentuh oleh Kecap Segi Tiga yang berada
pada kisaran harga cukup mahal. Oleh karena
itu, kini Kecap Segi Tiga juga memproduksi
second line yang diberi nama Samara. Di sinilah
suntikan modal dibutuhkan. Sejak tahun 2009,
perusahaannya mendapat pinjaman secara
bertahap mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1,5
miliar dari bank bjb.
Namun, ternyata inovasi tak selalu mulus.
Pernah ada kejadian Deden kekurangan bahan
baku. Ia pun mengganti kedelai hitam yang
kurang itu dengan kedelai kuning. Hasilnya
cukup mengejutkan. Para pelanggan setianya
komplain karena mereka tahu rasa kecapnya
berubah. Untung saja perputarannya cepat,
sehingga setelah barang habis, Deden langsung
kembali menggunakan bahan-bahan racikan
seperti biasa.
Kejadian lain adalah saat Deden meng-update
label. Karena konsumen setia sudah hafal di
luar kepala label lamanya, maka ketika beredar
label baru, mereka malah mengira itu produk
palsu. Lagi-lagi Deden belajar arti penting
sosialisasi. Dia kemudian menyebar pamfiet dan
mengembalikan label ke model lamanya lagi.
“Namun saya berani berinovasi dan
mendiferensiasikan produk. Karena Kecap Segi
Tiga memiliki harga cukup tinggi, saya
membuat label Kecap Samara untuk segmen
di bawahnya. Saat ekonomi terganggu, saya
ciptakan merek Samara untuk mengatasi
masalah harga jual. Konsumen Segi Tiga tidak
terganggu, dan saya mendapat pelanggan
baru, termasuk pelanggan Segi Tiga yang
merasa harganya terlalu tinggi,” urai Deden.
Cara ini ternyata berhasil. Dengan menyasar
Pedagang-pedagang kecil, dalam waktu 2 tahun,
omzet Samara sudah menyamai Segi Tiga.
Pendekatan dijajaki ke para penjual siomay, bakso,
dan sate di Bandung dan Bekasi, bahkan saat
ini sedang menjajaki Jakarta dan Tangerang.
Di Bandung, Kecap Samara bekerja sama
dengan asosiasi tukang sate. Menurut Deden,
seorang tukang sate bisa menghabiskan 20 krat
kecap dalam sebulan. Sementara di Jakarta,
Deden sedang menjajaki kerja sama dengan
perkumpulan tukang siomay, yang kebanyakan
memang berasal dari Majalengka.
“Itu sampai ribuan orang. Di satu desa
saja sampai seribu orang yang pergi ke
Jakarta untuk jualan siomay. Sebotol habis
dalam 2 hari. Kemarin kita sudah ngobrol,
ternyata mereka tertarik. Selama ini mereka
menggunakan kecap merek terkenal, tapi
jatuhnya mahal. Kita tawarin kecap kita.
Kualitas sama, tetapi harganya lebih murah,”
terang Deden.
PRODUKSI & PROMOSI TRADISIONAL
Selain itu, Kecap Segi Tiga juga menggandeng
pengusaha yang memasok ke toko-toko atau ke
warung-warung kecil. Deden berhasil menggaet
seorang pengusaha yang memiliki jaringan toko
dan warung se-Jawa Barat. “Dia punya jaringan
500 outlet di satu kabupaten saja. Jadi kalau di
Jawa Barat ada 26 kabupaten atau kota berarti
kan lumayan,” hitungnya.
Menurut Deden, langkah tersebut dilakukan
mengingat biaya promosi yang sangat minim,
yakni 2 persen saja dari jumlah biaya-biaya
lainnya. Deden menyadari henar bahwa
perusahaan kecapnya lemah dari segi promosi.
Mereka hanya promosi di daerah lokal, melalui
radio dan koran. Kalaupun televisi, mereka
masih mencari yang gratis, misalnya dari
liputan media. Kecap Segi Tiga sudah pernah
diliput TVOne dan TPI (Sekarang MNC TV).
Menurutnya, ketimbang beriklan lebih efektif
mengikuti pameran. Misalnya saja pameran
Agro dari Dinas Industri dan Perdagangan.
Deden juga pernah mengikuti 2 kali pameran di
Singapura dan mendapat sambutan bagus dari
perusahaan negeri singa itu, sebab kecap di sana
terasa hambar. Namun untuk memasarkan ke
sana, penyalurnya belum didapat.
Pengalaman pahit pun pernah dialami Deden
dalam usahanya ini. Saat mengikuti pameran,
dia pernah mendapat pembeli dari Jakarta yang
memesan langsung 1 truk, dengan pembayaran
giro. Namun setelah kecap dikirim, giro tidak
bisa dicairkan. Selama sebulan menunggu,
hasilnya tetap sama. Ketika didatangi kembali,
kantor tersebut sudah kosong. Deden pun harus
menelan pu pahit, rugi Rp 20 juta.
Selain itu, Kecap Segi Tiga pernah bekerja
sama dengan sebuah pesantren terkenal
binaan dai kondang di Bandung yang banyak
memberikan pelatihan pada tahun 2000.
Deden berani berinvestasi karena pesantren
itu tumbuh pesat sekali. Kecapnya pun banyak
yang memesan, hingga mencapai 100 ribu botol.
Namun sayang, manajemen di dalam pesantren
itu rupanya belum bagus. Infrastruktur di
bawahnya belum siap, yang pada akhirnya malah
menimbulkan kekacauan dan harus dihentikan.
Hal itu pun berimbas pada perusahaan Deden.
“Tapi itu tidak membuat kita putus asa,” ucapnya.
Kelemahan bukan hanya dari promosi saja,
melainkan juga dari bagian produksi. Misalnya,
alat produksi yang digunakan masih sangat
tradisional. Untuk pengisian pun belum semi
otomatis. Walaupun sadar bahwa ada proses yang
memang tidak bisa dilakukan oleh mesin, seperti
fermentasi, Deden tidak ingin menggunakan
bakteri sintesis. Dia tetap menggunakan jamur
yang biangnya disimpan dalam lemari sejak
tahun 198o—meski prosesnya membutuhkan
waktu sebulan. Menurutnya, penggunaan bahan
sintesis akan mengubah kekhasan rasa kecap
Segi Tiga.
“Untuk fermentasi di tong pun bisa saja
kita pakai wadah stainless, tapi rasanya akan
berbeda. Makanya kita tetap pakai tong dari
kayu jati. Pokoknya untuk proses produksi
sebelum digodok itu tetap dipertahankan. Kalau
tidak ada jamur itu, kita tidak bisa produksi.
Karena bahan utamanya di situ,” paparnya.
Untuk bahan baku, Deden mengambil kedelai
hitam dari Jawa Tengah karena kualitasnya
lebih baik ketimbang kedelai impor dari Cina.
Apalagi bahan kedelai yang memakai bahan
pengawet sangat berpengaruh pada kualitas
kecap. Namun, proses mendapatkan bahan baku
ini tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, ketika
petani yang menyuplai kedelai mengalami gagal
panen. Untuk itulah, Deden berencana bermitra
dengan petani Majalengka.
Deden memprediksi bahwa bermitra dengan
petani Majalengka untuk menanam kedelai
hitam di daerah tersebut akan memecahkan
permasalahan. Ongkos produksi otomatis
banyak terpangkas. Berdasarkan uji coba,
hasilnya memuaskan. Bahkan lebih baik dari kedelai
hitam Jawa Tengah. “Kotoran tanahnya itu
enggak ada karena proses panennya juga beda.
Kalau di sana dirabut sehingga tanahnya ikut.
Kalau di Majalengka diarit,”jelasnya. Sementara
untuk gula, Deden mengambil dari beberapa
daerah seperti Bandung, Purwokerto, dan
Ciamis, karena ketiganya merupakan penghasil
gula aren berkualitas.
Dalam sebulan, pabrik kecap Deden menghasilkan
30 ribu botol berbagai ukuran, yakni
140 ml, 250 ml, dan 500 ml. Sementara untuk
standing pouch dibuat ukuran 350 ml dan 600
ml. Ukuran lama, yakni 250 ml dan 500 ml
juga tetap diproduksi. Omzetnya berkisar Rp
300-400 juta sebulan. Deden juga memasok
produknya ke koperasi bersama yang berada
di dekat pabriknya, selain menjual ke agen di
Subang, Jakarta, Bandung, dan Bekasi. Untuk
pasar di luar Majalengka itu, pengiriman
dilakukan secara langsung.
MANAJEMEN PERSAINGAN
Di Majalengka sendiri peta persaingan kecap
lokal tidak terlalu ketat, mengingat pelakunya
tinggal 10 perusahaan. Selain itu, tidak ada
pengusaha lokal yang memasuki segmen yang
dibidik oleh Kecap Segi Tiga. Persaingan baru
terlihat pada segmen yang didiami Kecap
Samara. Di sanalah ke-10 produsen yang masih
bertahan memperebutkan segmen yang diambil
Kecap Samara.
Namun, persaingan tentu saja muncul
dari merek-merek kecap nasional. Dan, yang
membuat Deden tersanjung, dia sempat diajak
bekerja sama menyuplai produksi untuk
memenuhi permintaan pasar mereka. Namun,
tawaran tersebut ditolaknya secara halus, melihat
pengalaman beberapa UKM di sekitarnya yang
berakhir hanya sebagai penyedia produk semata
atau diambil alih.
Menipisnya persaingan membuat Deden
senang bercampur sedih. Senang, karena
tidak banyak pesaing. Sedih, karena hal ini
menunjukkan tidak adanya persatuan di antara
pengusaha lokal. Pernah Deden menggagas
asosiasi pengusaha kecap di tahun 2000, namun
yang terjadi hanya penolakan. Dia malah dicap
sebagai pesaing yang akan mengambil lahan
pasar mereka. “Ternyata mereka takut karena
hanya melihat kita sebagai pesaing, takut
lahannya diambil. Itu masih ada yang kayak
gitu. Kalau saya mah, walaupun pesaing masih
teman juga,” sesalnya.
Padahal, misi yang diusung Deden adalah
membuat koperasi pemasaran kecap bersama.
Dengan adanya koperasi, masalah tersebut
bisa diatasi lebih mudah. Sesama pengusaha
kecap bisa bahu-membahu mempertahankan
usahanya sehingga tidak mudah gulung tikar.
Apalagi, ada kalanya datang masa-masa suram
musiman untuk pengusaha kecap. Misalnya,
ketika kedelai hitam sulit didapat.
Sejak diterpa badai krisis tahun 2007
hingga kini, kedelai cenderung lebih sulit
dicari. Kalaupun ada, harganya naik hingga
20 persen, sementara harga kecapnya hanya
naik 5 persen setahun sekali, yakni menjelang
Lebaran. Padahal, bahan baku memakan 50
persen ongkos produksi. Jika saat krisis moneter
1997 tetap laris manis dengan keuntungan bisa
mencapai 50 persen, pada krisis global ini
mendapatkan keuntungan 10-20 persen sudah
sangat bagus.
Tak ingin usahanya hanya bermanfaat
untuk keluarga pribadi, Deden menaati ajaran
kakeknya agar perusahaan Kecap Segi Tiga
juga banyak memberi manfaat bagi masyarakat
melalui Yayasan Al Lukman. Laba perusahaan
dipakai untuk membangun gedung sekolah (TK
dan Madrasah Diniyah).
Agar semakin menyentuh masyarakat, Kecap
Segi Tiga harus terus mengikuti perkembangan
masyarakat. Seperti kisah terciptanya jenis
kecap rasa manis, ke depannya pun Deden
siap membentuk varian apa saja, jika memang
diinginkan pasar. “Kita mau bikin rasa stroberi.
Enggak ada, kan? Misalkan masyarakat suka,
kenapa kita enggak buat?” cetusnya sambil
tersenyum lebar.
Deden juga sudah mulai membiasakan
kedua anaknya berwirausaha, agar jangan
hanya mencari pekerjaan saja. Apalagi
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). “Saya
sering dipanggil sharing, sama teman-teman
perguruan tinggi. Kita mencoba membuka
mindset, jangan sampai para kaum terpelajar
hanya terpaku menjadi PNS saja. Dari 10 pintu
rezeki, 9 di antaranya berasal dari usaha. PNS
hanya ada di 1 pintu itu. Jadi, kita harus buka
kemandirian,” demikian tutup pelaku usaha
mikro ini.
Catatan Rhenald Kasali
DI SELURUH WILAYAH Nusantara selalu ditemui dua tipe pengusaha. Pengusaha
nasional yang berambisi menjadi market leader dengan modal besar dan serbe
massal, dan pengusaha lokal yang hanya berambisi mengisi ceruk-ceruk kecil
di wilayahnya. Yang partama dibangun dengan kekuatan merek dan televisi,
sedangkan yang kedua dibangun dengan kekuatan rasa (produk) dan radio (atau
kekerabatan pedagang).
Pengusaha-pengusaha mikro yang bekerja dengan dua hingga tiga orang
pekerja, dengan perabotan produksi seadanya, akan punah dengan sendirinya
kalau merek tidak mengikuti irama evolusi. Selera pasar akan berubah,
kendati jaringan distribusi tetap diam di tempat dan loyal memasarkan
produk-produk buatan mereka. Demikian pula alam semesta ini ikut berubah
membuat peta perjalanan dan pasokan bahan baku dan metode pembayaran
berubah. Ini berarti pengusaha-pengusaha mikro dan kecil harus ikut
berubah, beradaptasi, dan tentu saja harus naik kelas.
Demikian pulalah dengan produk kecap. Setiap daerah memiliki lidah yang
tidak sama karena mereka mengonsumsi makanan-makanan lokal yang berbeda-
beda. Di satu daerah seleranya manis, di daerah lain tidak suka yang
manis, melainkan pedas, dan daerah lainnya senang yang ada rasa cuka dan
seterusnya. Namun, masing-masing mereka bisa mengalami masalah yang sama
yaitu serbuan makanan nasional yang dipasarkan melalui jaringan waralaba
dan beralihnya kedelai ka tangan produsen-produsen besar.
Dari perjalanan Kecap Segi Tiga kita belajar bahwa usaha mikro memang
tangguh dan tahan banting, namun juga ringkih dan mudah gugur kalau
fondasinya dibangun di atas pasar yang rapuh. Di masa depan, UMKM (Usaha
Mikro Kecil dan Menengah) memerlukan lebih dari sekadar semangat dan kerja
keras, melainkan visi besar, ambisi untuk maju, dan pengetahuan yang
memadai untuk memperbaiki produk, melakukan adaptasi, memperbaiki
manajemen, dan seterusnya.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Sunday, April 14, 2013
Uwoh Saepulloh, Anak dari Keluarga Petani yang Sukses Berwirausaha Pembuatan Perangkat dari Logam Beromzet Miliaran
Uwoh Saepulloh, Dari Piala Citra Hingga Rangka Baja
Dua piagam penghargaan dari
Menteri Pariwisata dan Gubernur
Jawa Barat menghiasì ruang kerja
H. Uwoh Saepulloh. Piala Citra,
Panasonic Award, dan Ka1pataru juga
menjadi bukti nyata sentuhan tangan
Uwoh menyulap logam. Inovasi demi
inovasi terus dilakukan Uwoh, tak bisa
berhenti, tak ada pedal rem.
GIGIH dan pantang menyerah, itulah
Uwoh Saepulloh, pemilik CV Sumirah
Teknik dan CV Rhodas di Cibatu, Cisaat,
Sukabumi, Jawa Barat. Sejak menjadi karyawan
di sebuah bengkel logam, Uwoh tidak pernah
menyerah atas suatu pesanan pelanggan. Sesulit
apa pun desainnya, tidak ada yang ditolak.
Justru pekerjaan sulit dijadikan tantangan
untuk menemukan cara yang lebih hebat.
Dengan bermodalkan kemampuan menguasai
3 jenis mesin—yakni press, scrub, dan bubut—
semua pekerjaan logam dilakukan tanpa kenal
lelah. Kepuasan pelanggan atas hasil kerjanya
menjadi tujuannya. Tak heran jika, selain
pelanggan bertambah banyak, kebanyakan dari
mereka juga secara khusus meminta pesanan
mereka dikerjakan oleh Uwoh, bukan yang lain.
Order yang semakin meningkat membuat Uwoh
kewalahan dan banyak pekerjaan yang tidak
dapat ditangani.
Uwoh pun memutar akal. Ia menyiasati
kendala ini dengan mengerjakannya di rumah
sepulang kerja. Tentu saja, ia harus membeli
mesin yang kemudian diletakkan di kamarnya.
Uwoh juga membina anak sekolah yang
membutuhkan tambahan uang sekolah. Namun,
finishing tetap ditangani Uwoh sendiri.
“Alhamdulillah pekerjaan-pekerjaan itu bisa
diatasi. Tapi karena semakin hari pekerjaan
itu semakin banyak dan tidak bisa diatasi
perusahaan, saya memutuskan untuk berwiraswasta,”
tutur Uwoh yang menjadi karyawan di
bengkel tersebut selama kurang lebih 4 tahun,
sejak 1995. Uwoh kemudian membuka usaha
sendiri, hingga pada tahun 2007 mendirikan CV
Sumirah Teknik dan CV Rhodas dengan modal
Rp 20 juta yang didapatnya dari gaji selama
menjadi karyawan.
GIGIH DAN SUKA TANTANGAN
Meski keluarganya berlatar belakang petani
dan orangtuanya tidak memberi inspirasi
tentang wiraswasta kepadanya, namun hal itu
tidak menghambat Uwoh dalam berkarya.
Sikap gigih Uwoh ini jugalah yang di kemudian
hari membuatnya meraih penghargaan sebagai
pemimpin koperasi usaha menengah berprestasi
se-Jawa Barat (2007) untuk jenis usaha logam.
Sejak kecil Uwoh memang suka tantangan.
Bila ada hal-hal yang dianggap sulit dalam bidang
apa pun, ia semakin ingin memecahkannya. Jika
orang lain tidak bisa, Uwoh bersemangat agar
bisa. Tapi jika orang lain yang bisa, Uwoh malah
tidak semangat. Hasratnya selalu ingin berbeda
dari yang lain. Suatu saat pernah ada konsumen
yang meminta dibuatkan meja antik dengan
memberikan contoh dari Belanda. Baginya,
menjiplak suatu benda itu justru susah dan tidak
menantang.
“Saya bilang ke orang itu, ‘Kalau saya
menjiplak ini nanti barangnya enggak laku,
pamornya juga kurang bagus, karena orang tahu
ini cuma tiruan, ada barang aslinya. Nah, saya
ubah motifnya menjadi model baru. Jadi nanti
promosinya jelas, yang itu model lama, yang ini
model baru.’ Setelah barang tersebut booming,
dia mendapat acungan jempol. Katanya, saya
kreatif. Sejak itu setiap ada pekerjaan, saya
diundang. Sampai sekarang pun, setiap ada
pekerjaan dia konsultasi. Padahal dia itu
insinyur, punya latar belakang pendidikan bagus,
tapi merealisasikannya belum tentu bisa,” kata
Uwoh sambil tersenyum.
Awalnya Uwoh membuat logam untuk peralatan
elektronik seperti tape dan televisi.
Namun, usaha ini tidak berkembang sehingga
Uwoh mulai membuat produk mekanik berbahan
baja ringan. Produk yang dihasilkan mulai dari
mesin hingga rangka baja, juga panel pintu
yang digemari para pengembang kontrakan dan
perumahan, seperti Wasa Mitra Engineering,
Indocement, dan United Tractors.
Seluruh mesin yang digunakan, termasuk
mesin cetakan, dibuat dan dirangkai sendiri oleh
Uwoh. Tangan terampilnya tak kaku mengikuti
perkembangan teknologi permesinan. “Saya dulu
membuat mesin untuk baja sedang, lalu ada
rekan datang ke tempat saya. Terus dia mau beli
mesin itu karena dikiranya buatan Jepang,” ujar
Uwoh sambil tergelak, “Padahal saya membuat
mesin itu sesuai dengan kebutuhan produksi
saya saja, tanpa pernah melihat mesin yang dia
maksudkan itu.” Inovasi pun dilakukan Uwoh
dengan membuat kusen logam serta genteng
metal berpasir dan berwarna.
MENGEKSPLORASI GENTENG METAL
Pada awalnya Uwoh fokus pada permintaan
genteng metal yang menantang. Meskipun
harga jual genteng metal tidak terlalu mahal,
yakni Rp 55 ribu per meter persegi, permintaan
justru banyak datang dari luar Pulau Jawa.
Di Jawa sendiri baru Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon,
Tasik, Ciamis, Serang, Banten, Bekasi, dan Tangerang
yang perlahan beralih menggunakan genteng metal.
“Untuk pintu panel, kalau tidak salah baru di sini yang
menciptakan, belum ada tempat lain yang menciptakan dari
logam. Produk ini sudah masuk ke Balikpapan dan Papua,
800 unit untuk pintu panel, kusen, rangka atap, plafon,
sama genteng rumah. Nilainya Rp 23 miliar,” urai pria yang
memiliki bengkel kerja seluas 5.000 meter persegi ini.
Selain harganya yang lebih murah dari alumunium—pintu
dari kayu kamper bisa mencapai Rp 1,4 juta, pintu
dari logam hanya Rp 1 juta sudah termasuk kusen dan
pengecatan-keunggulan produk logam adalah awet dan
antirayap. Selain itu juga sifatnya stabil sehingga
bentuknya selalu simetris dan tidak mengalami penciutan.
Uwoh pun bisa memberi garansi hingga 20 tahun.
Kalaupun tidak dipakai lagi, menurut Uwoh, pintu logam ini
bisa dijual kembali maupun didaur ulang sehingga tidak
menambah sampah. Ya, siapa mengira bahwa inspirasi menciptakan
komponen bangunan dari logam ini berawal dari keprihatinan
Uwoh terhadap lingkungan. “Saya teringat waktu saya melihat
banyaknya illegal logging di televisi yang menyebabkan
terjadinya bencana di mana-mana, seperti banjir. Dari
situ saya berpikir untuk mencari cara mengatasinya, yaitu
dengan membuat bahan bangunan dari logam, bukan dari
kayu,” paparnya bijak.
Mengingat bahan baku kayu semakin sulit diperoleh,
Uwoh pun menganjurkan masyarakat beralih ke logam.
“Berapa pohon yang harus ditebang untuk
membuat panel pintu dan kusen dari kayu?
Mungkin untuk mebel belum bisa dialihkan ke
logam. Tapi kalau panel pintu dan kusen sudah
bisa hingga 50-70 persen,” paparnya yakin.
Pengalaman unik lainnya adalah ketika ia
diminta membuat Piala Citra dengan desain
baru pada tahun 2008, dan mendapatkan
penghargaan Festival Film Indonesia dari Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata atas sumbangsih
dan dedikasi dalam pembuatan Piala Citra baru.
Uniknya, saat mengerjakan piala tersebut Uwoh
hanya mendapat gambar tanpa keterangan
ukuran apa pun.
“Dia itu mungkin sudah keliling ke sana
sini tapi enggak mewujudkan suatu barang.
Akhirnya ada yang ngasih tahu bahwa yang
gini mah mungkin ke saya. Dari gambar itu
saya realisasikan dengan kemampuan saya.
Alhamdulillah terwujud suatu barang dan dapat
penghargaan dari menteri,” ucap Uwoh
bangga. Apalagi kemudian order berlanjut untuk
pembuatan handicraft lainnya, seperti Piala
Kalpataru dan Panasonic Award.
INOVASI TANPA HENTI
Saat pintu panel rancangan Uwoh yang
baru hanya memiliki satu macam motif saja,
sudah banyak permintaan datang. Menurut
Uwoh, pembeli menyukai rancangannya karena
tampilannya mirip kayu. Sayangnya, Uwoh
mengaku tidak mematenkan rancangannya
karena ia masih ingin mengubah motif, warna,
dan ukuran. “Padahal untuk pintu panel saja
sudah ada 20 motif yang bervariasi, dan prediksi
saya permintaan akan terus meningkat,” ujarnya.
Uwoh kerap didatangi marketing developer
sebuah perumahan untuk dikontrak dan di
fasilitasi mulai dari tempat, mesin, dan material.
Uwoh tinggal mengerjakannya, sedangkan
sistem pemasaran dan penjualan dilakukan
oleh rekanan. Dengan demikian ia fokus pada
produksi. Marketing developer perumahan
biasanya ‘mengunci’ produk tertentu melalui
ikatan kontrak eksklusif, sehingga Uwoh tidak
boleh menjualnya ke pihak lain. “Mereka berani
memasarkan ke luar Jawa. Jadi, lebih banyak
lagi yang datang. Yang datang itu developer.
Konsumen melihatnya kualitas, bagusan dari
sini dengan yang lain katanya,” jelas Uwoh.
Berkat inovasinya, Uwoh mendapat undangan
untuk menggelar presentasinya di hadapan
Menteri Perindustrian pada awal Mei 2011. Ia
optimis tren penggunaan kayu akan beralih ke
logam. Apalagi pemerintah sudah menggiring
ke arah tersebut untuk menyelamatkan hutan
lindung. Dimulai dengan keharusan agar rangka
atap menggunakan baja ringan. Tidak tanggung
tanggung, sudah ada pesanan dari pemerintah
untuk 8 ribu rumah di Papua. Melihat ini, ia
bisa memastikan penggunaan kayu menurun,
digantikan dengan produk logam buatannya.
Menurut Uwoh, jika tidak bisa berinovasi,
seseorang hanya akan menjadi tamu di negeri
sendiri. Dengan berinovasi, sumber daya lokal
bisa bersaing. “Kalau kita ciptakan, orang lain
meniru, itu berarti sudah nilai positif,” ujar
Uwoh.
Pria yang enerjik ini bahkan tidak sabar
untuk segera menuangkan inovasi-inovasi logam
lainnya. Dia sudah merancang ventilasi
rumah dari logam yang berfungsi mengatur
aliran udara. Dengan tambahan filter, alat ini
berfungsi untuk mengeluarkan udara kotor dan
memasukkan udara bersih. “Semacam exhaust
fan, namun menggunakan sistem mekanik dengan
gerak udara, sehingga tidak perlu tenaga
listrik,” paparnya serius.
Ide membuat pintu panel geser dari logam
dengan sistem elektrik juga sudah menari-nari
dalam benak Uwoh. Dengan rancangannya ini, si
pemilik rumah tinggal menekan remote control,
maka ruangan akan terbuka dan tertutup
sendiri. Komponen bangunan ini akan sangat
berguna untuk ruangan multifungsi, seperti
tempat praktik dokter.
Uwoh juga telah merancang pintu panel
logam yang menggunakan programmable logic
control (PLC) dan memiliki personal
identification number (PIN). Jadi, pemilik rumah bisa
membuka dan menutup pintu dari mana saja.
Pintu ini diperkirakan bernilai Rp 100-200 juta.
Untuk inovasinya ini, Uwoh membidik kelas
menengah ke atas. Ia yakin pemilik rumah
seharga miliaran rupiah akan membutuhkan
pintu PIN untuk menyelamatkan aset, bukan
hanya sekadar mengandalkan satpam. “Saya
sudah ciptakan ke sana, mudah—mudahan bisa
terwujud. Alhamdulillah jika bisa mewujudkan
suatu barang dan bermanfaat bagi banyak
orang,” kata Uwoh yang memiliki omzet Rp 12
miliar per tahun untuk masing-masing perusahaan
yang dikelolanya. Kekuatan inovasi jugalah yang
membuat Uwoh tangguh dalam menghadapi persaingan.
Kompetisi bukan hanya pada kualitas, tetapi
juga harga. Tahun 2000 Uwoh menciptakan
batako yang cara kerjanya seperti mainan lego,
dengan fungsi yang jauh lebih bagus dari bata
merah. Ini dilakukannya setelah melihat lamanya
proses pengerjaan bata merah. Produk batako ini
sudah ada permintaan, namun karena
kewalahan, ia mengalihkan ke rekanan lain. Ia
cukup membuatkan mesin untuk menghasilkan
10 jenis batako tersebut.
Inovasi di luar logam juga ada di dalam benak
Uwoh, yakni memanfaatkan pohon kelapa
untuk dijadikan lantai. Daun dan rumput juga
bisa dijadikan material dan bahan baku, seperti
halnya serbuk kayu gergaji menjadi partikel
board untuk lemari. Demikian juga dengan pohon
pisang yang jumlahnya berlimpah ruah,
mudah ditanam, dan cepat tumbuh di Indonesia,
untuk bahan pembuat dinding. Ampas
pohon pisang dijadikan bahan material dinding,
sedangkan airnya dijadikan lem. Kelebihan dinding
jenis ini adalah bisa dipasang
knockdown dan kedua sisinya bisa diberi motif
berbeda dengan wallpaper berbahan vinyl. Dengan
dinding seperti ini, rumah bisa dibuat loose
saja. Jika pemilik rumah merasa bosan, dinding
bisa diubah-ubah posisinya maupun motifnya.
“Pohon pisang memang lembek dan basah
kalau belum diolah. Tetapi setelah di-press
bahan ini akan menjadi padat. Setelah dipanasi
dengan suhu 300 derajat akan menjadi keras.
Bahan yang tadinya setebal 10 sentimeter di
padatkan hingga 1 sentimeter kan menjadi keras,”
urai Uwoh.
Uwoh meyakini produk ini bisa menjadi alternatif
dinding beton yang cukup kuat. Namun
bahan material dari pepohonan tidak bisa
dijadikan pintu karena sifat pintu yang dibuka
tutup, sedangkan dinding tidak. Uwoh berharap
dinding berbahan material pohon tidak keburu
diolah orang lain.
Dengan inovasi, hidup menjadi lebih hemat.
Caranya dengan menciptakan produk semudah mungkin,
sebagus mungkin, dan semurah mungkin, tanpa
mengesampingkan fungsi utamanya. Bahkan, ia
tidak pernah puas dengan inovasi yang sudah
dilakukan. Targetnya, setiap
tahun harus menciptakan inovasi produk, atau
minimal modifikasi. Menurutnya, setelah sesuatu
menjadi produk justru bisa meraih keuntungan besar.
MENGEMBANGKAN USAHA
Menyadari bahwa usahanya maju pesat, Uwoh
pun meminjam uang Rp 2 miliar dari bank bjb
untuk CV Sumirah Teknik pada tahun 2008.
Berkat pinjaman tersebut, Uwoh sekarang sanggup
membuat 300 pintu panel hanya dalam
sehari, yang dikerjakan oleh 40 orang pegawai.
Ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan
pengerjaan sebuah pintu kayu, yaitu 2-3 hari
oleh 1 orang.
Dalam usahanya ini, Uwoh yang hanya berlatar
belakang pendidikan setara SMA melibatkan
istrinya untuk mengurus bagian administrasi
dan keuangan. Ia juga mengarahkan
anak sulungnya yang sudah kuliah untuk
menangani manajemen, sebagai jembatan untuk
melanjutkan usahanya kelak. Meski melibatkan
keluarga, hingga saat ini ia tidak melihat kendala,
perselisihan, apalagi kecemburuan dalam
mengembangkan usahanya.
Uwoh juga mempekerjakan orang-orang sekitar.
Kriteria utamanya adalah baik, jujur, dan
mau bekerja. “Lebih baik tetangga daripada
orang lain, karena saya sudah kenal. Saya, sih,
lihat kepribadiannya. Yang penting baik dan
mau bekerja itu sudah cukup,” ujarnya.
Meskipun persaingan dengan bisnis yang
sama di daerahnya tidak terlalu keras, tak
urung pembajakan karyawan terjadi juga. Total
jumlah karyawan yang dibajak saingan-saingan
usahanya hingga saat ini bisa mencapai l00
orang. Tentu saja karyawan Uwoh merupakan
sasaran empuk pembajakan karena Uwoh konsisten
meningkatkan keterampilan mereka. Selain turun
tangan mengajari sendiri, Uwoh juga
bekerja sama dengan institusi pemerintah agar
karyawannya mendapatkan pelatihan teknis.
Kini, Uwoh memiliki 30 orang karyawan
tetap dan 10 orang pegawai honorer. Untuk
memudahkan alur pekerjaan, Uwoh menspesifikkan
pengerjaan produksi. CV Sumirah
Teknik yang namanya diambil dari nama istrinya,
Sumirah, mendapat jatah mengerjakan
panel pintu, kusen, dan genteng. Sedangkan CV
Rhodas menangani permesinan, rangka atap
dan baja ringan, dan kompor. Semua pengerjaan
menggunakan bahan baku logam yang diperoleh
dari distributor perusahaan baja besar di
Indonesia secara inden selama 1 bulan.
Dengan bantuan mesin, produk yang dihasilkan
tetap simetris dan memiliki presisi yang stabil.
Jadi, untuk membuat 1 unit bahkan 1.000 unit pun
hasilnya akan sama karena menggunakan cetakan.
Produk logam pun bisa memiliki bermacam warna
tergantung selera, bahkan 1 produk bisa dibuat 10
warna. Inilah keunggulan lainnya dibandingkan
panel pintu dan kayu.
MANAJEMEN USAHA
Meski perjalanan usahanya terhitung lancar,
Uwoh juga pernah mengalami masa surut pada
2010 yang—menurutnya dipicu ketidakstabilan
pemerintah, daya beli pasar, dan persaingan
yang sengit. Tapi, hal ini juga dialami oleh semua
pesaingnya. Untungnya, Uwoh tidak sampai
gulung tikar karena memiliki inovasi yang bisa
diterima pasar dan sulit ditiru.
Selain itu, ia juga pernah menjadi unit
sebuah perusahaan besar. Dengan metode bisnis
ini, ia baru menerima pembayaran setelah 3
bulan. Selanjutnya masih diberikan giro selama
1 bulan, jadi totalnya membutuhkan waktu 4
bulan untuk menerima pembayaran. Menurut
perhitungan Uwoh, keuntungan sebesar 10 persen
bisa lenyap kalau dihitung dengan bunga.
“Keuntungan 5 persen dengan pembayaran 4
bulan itu sudah minus. Bisnis tidak mungkin
bisa berkembang,” ujarnya. Itu sebabnya Uwoh
tidak ingin lagi menjadi sub perusahaan besar.
Menurut pengalamannya, bukan perusahaan
besar yang membantu perusahaan kecil, tapi
malah sebaliknya.
Tentu saja, Uwoh memiliki mimpi agar usahanya
menjadi besar. Untuk mewujudkan impiannya itu,
Uwoh melakukan berbagai persiapan. “Setelah
Lebaran 2011 ini saya bergabung dengan beberapa
teman yang ingin menjadi distributor produk saya
di beberapa daerah. Untuk produksinya tetap di
saya, mereka hanya marketing atau distributor
saja,” tutur Uwoh.
Perluasan pasar juga dilakukan Uwoh dengan
membuka kantor cabang di beberapa
daerah. Targetnya adalah Bandung, Tangerang,
Jambi, Jakarta. Dalam angannya, 5-10 tahun
ke depan ia telah memiliki kantor cabang atau
distributor di setiap daerah. Selain itu, ia juga
ingin memiliki lebih dari satu pabrik.
Saat ini Uwoh masih menjalankan perusahaannya
mengikuti intuisinya semata dan belum
membangun sistem, baik dalam manajemen
keuangan, rekrutmen, sumber daya manusia,
produksi, maupun pemasaran. “Ada mungkin
pada saat produksi naik karena kantor cabang
banyak, pasti saya akan membuat sistem, termasuk
manajemen keuangan, merekrut karyawan, atau
dalam bidang marketing,” kata Uwoh.
Di masa depan Uwoh ingin memiliki cabang
yang asetnya 30% dimiliki oleh keluarga dan
70% dimiliki oleh orang lain. “Usaha ini muncul
dari keinginan sendiri, dari kemauan dengan
tekad. Saya ini cuma ingin maju atas nama
daerah. Mudah-mudahan bisa berkembang
untuk orang banyak. Insya Allah usaha ini
membuat tempat yang gelap bisa jadi terang, di
tempat yang terang bisa menjadikan cahaya,”
demikian Uwoh mengakhiri pembicaraan.
Catatan Rhenald Kasali
SALAH SATU KELEMAHAN UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan
kewirausahaan Indonesia adalah selalu dimulai pada inovasi produk dan
berhenti pada produksi. Tanpa inovasi usaha dan membangun sistem, usaha
akan berakhir di tangan inovator atau satu generasi di bawahnya. Oleh
karena itu inovasi produk harus diikuti dengan sistem dan manajemën usäha
yang modern.
Meski demikian, tidak dengan serta merta suatu usaba langsung diawali
dengan manajemen modern. Bahkan tidak jarang saya menemukan sebuah usaha
yang tidak memiliki visi—misi tertulis meski sudah hidup lebih dari 20
tahun, Namun perusahaan ini memiliki sistem rutin yang balk dan profesional
setelah melewati sekitar 4-6 tahun perjalanan usaha.
Dalam 4 tahun pertama seorang wirausahawan akan sibuk membuat mimpinya
menjadi kenyataan. Fokusnya adalah pada survival yaitu membuat usahanya
hidup ia harus merawat ‘bayi’ basil kandungannya dengan memberi susu
memandikan, mengajaknya berbicara, mengajarkan makan, dan berjalan serta
membawa ke dokter bila ia demam dan memberikan imunisasi.
Jadi empat tahun pertama adalah masa yang vital, karena usaha baru itu
rentan kematian. Usaha harus dijaga siang-malam agar tetap hidup. Usaha
memerlukan kepastian pendapatan dan kelancaran arus cash. Setelah urusan
cash lancar dan menjadi rutin, ibarat seorang anak, ia pun harus
disekolahkan. Itulah saatnya Anda memberikan sìstem dengan manajemen yang
tertata baik.
Akan halnya inovasi yäng dijalannya Uwoh, tentu saja tetap sama.
Ia membutuhkan inovasi dan sistem. Tanpa sistem, usahanya akan berakhìr di
tangannya atau satu generasi di bawahnya. Itu sebabnya ia membutuhkan
manajemen yang balk saat ini.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Dua piagam penghargaan dari
Menteri Pariwisata dan Gubernur
Jawa Barat menghiasì ruang kerja
H. Uwoh Saepulloh. Piala Citra,
Panasonic Award, dan Ka1pataru juga
menjadi bukti nyata sentuhan tangan
Uwoh menyulap logam. Inovasi demi
inovasi terus dilakukan Uwoh, tak bisa
berhenti, tak ada pedal rem.
GIGIH dan pantang menyerah, itulah
Uwoh Saepulloh, pemilik CV Sumirah
Teknik dan CV Rhodas di Cibatu, Cisaat,
Sukabumi, Jawa Barat. Sejak menjadi karyawan
di sebuah bengkel logam, Uwoh tidak pernah
menyerah atas suatu pesanan pelanggan. Sesulit
apa pun desainnya, tidak ada yang ditolak.
Justru pekerjaan sulit dijadikan tantangan
untuk menemukan cara yang lebih hebat.
Dengan bermodalkan kemampuan menguasai
3 jenis mesin—yakni press, scrub, dan bubut—
semua pekerjaan logam dilakukan tanpa kenal
lelah. Kepuasan pelanggan atas hasil kerjanya
menjadi tujuannya. Tak heran jika, selain
pelanggan bertambah banyak, kebanyakan dari
mereka juga secara khusus meminta pesanan
mereka dikerjakan oleh Uwoh, bukan yang lain.
Order yang semakin meningkat membuat Uwoh
kewalahan dan banyak pekerjaan yang tidak
dapat ditangani.
Uwoh pun memutar akal. Ia menyiasati
kendala ini dengan mengerjakannya di rumah
sepulang kerja. Tentu saja, ia harus membeli
mesin yang kemudian diletakkan di kamarnya.
Uwoh juga membina anak sekolah yang
membutuhkan tambahan uang sekolah. Namun,
finishing tetap ditangani Uwoh sendiri.
“Alhamdulillah pekerjaan-pekerjaan itu bisa
diatasi. Tapi karena semakin hari pekerjaan
itu semakin banyak dan tidak bisa diatasi
perusahaan, saya memutuskan untuk berwiraswasta,”
tutur Uwoh yang menjadi karyawan di
bengkel tersebut selama kurang lebih 4 tahun,
sejak 1995. Uwoh kemudian membuka usaha
sendiri, hingga pada tahun 2007 mendirikan CV
Sumirah Teknik dan CV Rhodas dengan modal
Rp 20 juta yang didapatnya dari gaji selama
menjadi karyawan.
GIGIH DAN SUKA TANTANGAN
Meski keluarganya berlatar belakang petani
dan orangtuanya tidak memberi inspirasi
tentang wiraswasta kepadanya, namun hal itu
tidak menghambat Uwoh dalam berkarya.
Sikap gigih Uwoh ini jugalah yang di kemudian
hari membuatnya meraih penghargaan sebagai
pemimpin koperasi usaha menengah berprestasi
se-Jawa Barat (2007) untuk jenis usaha logam.
Sejak kecil Uwoh memang suka tantangan.
Bila ada hal-hal yang dianggap sulit dalam bidang
apa pun, ia semakin ingin memecahkannya. Jika
orang lain tidak bisa, Uwoh bersemangat agar
bisa. Tapi jika orang lain yang bisa, Uwoh malah
tidak semangat. Hasratnya selalu ingin berbeda
dari yang lain. Suatu saat pernah ada konsumen
yang meminta dibuatkan meja antik dengan
memberikan contoh dari Belanda. Baginya,
menjiplak suatu benda itu justru susah dan tidak
menantang.
“Saya bilang ke orang itu, ‘Kalau saya
menjiplak ini nanti barangnya enggak laku,
pamornya juga kurang bagus, karena orang tahu
ini cuma tiruan, ada barang aslinya. Nah, saya
ubah motifnya menjadi model baru. Jadi nanti
promosinya jelas, yang itu model lama, yang ini
model baru.’ Setelah barang tersebut booming,
dia mendapat acungan jempol. Katanya, saya
kreatif. Sejak itu setiap ada pekerjaan, saya
diundang. Sampai sekarang pun, setiap ada
pekerjaan dia konsultasi. Padahal dia itu
insinyur, punya latar belakang pendidikan bagus,
tapi merealisasikannya belum tentu bisa,” kata
Uwoh sambil tersenyum.
Awalnya Uwoh membuat logam untuk peralatan
elektronik seperti tape dan televisi.
Namun, usaha ini tidak berkembang sehingga
Uwoh mulai membuat produk mekanik berbahan
baja ringan. Produk yang dihasilkan mulai dari
mesin hingga rangka baja, juga panel pintu
yang digemari para pengembang kontrakan dan
perumahan, seperti Wasa Mitra Engineering,
Indocement, dan United Tractors.
Seluruh mesin yang digunakan, termasuk
mesin cetakan, dibuat dan dirangkai sendiri oleh
Uwoh. Tangan terampilnya tak kaku mengikuti
perkembangan teknologi permesinan. “Saya dulu
membuat mesin untuk baja sedang, lalu ada
rekan datang ke tempat saya. Terus dia mau beli
mesin itu karena dikiranya buatan Jepang,” ujar
Uwoh sambil tergelak, “Padahal saya membuat
mesin itu sesuai dengan kebutuhan produksi
saya saja, tanpa pernah melihat mesin yang dia
maksudkan itu.” Inovasi pun dilakukan Uwoh
dengan membuat kusen logam serta genteng
metal berpasir dan berwarna.
MENGEKSPLORASI GENTENG METAL
Pada awalnya Uwoh fokus pada permintaan
genteng metal yang menantang. Meskipun
harga jual genteng metal tidak terlalu mahal,
yakni Rp 55 ribu per meter persegi, permintaan
justru banyak datang dari luar Pulau Jawa.
Di Jawa sendiri baru Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon,
Tasik, Ciamis, Serang, Banten, Bekasi, dan Tangerang
yang perlahan beralih menggunakan genteng metal.
“Untuk pintu panel, kalau tidak salah baru di sini yang
menciptakan, belum ada tempat lain yang menciptakan dari
logam. Produk ini sudah masuk ke Balikpapan dan Papua,
800 unit untuk pintu panel, kusen, rangka atap, plafon,
sama genteng rumah. Nilainya Rp 23 miliar,” urai pria yang
memiliki bengkel kerja seluas 5.000 meter persegi ini.
Selain harganya yang lebih murah dari alumunium—pintu
dari kayu kamper bisa mencapai Rp 1,4 juta, pintu
dari logam hanya Rp 1 juta sudah termasuk kusen dan
pengecatan-keunggulan produk logam adalah awet dan
antirayap. Selain itu juga sifatnya stabil sehingga
bentuknya selalu simetris dan tidak mengalami penciutan.
Uwoh pun bisa memberi garansi hingga 20 tahun.
Kalaupun tidak dipakai lagi, menurut Uwoh, pintu logam ini
bisa dijual kembali maupun didaur ulang sehingga tidak
menambah sampah. Ya, siapa mengira bahwa inspirasi menciptakan
komponen bangunan dari logam ini berawal dari keprihatinan
Uwoh terhadap lingkungan. “Saya teringat waktu saya melihat
banyaknya illegal logging di televisi yang menyebabkan
terjadinya bencana di mana-mana, seperti banjir. Dari
situ saya berpikir untuk mencari cara mengatasinya, yaitu
dengan membuat bahan bangunan dari logam, bukan dari
kayu,” paparnya bijak.
Mengingat bahan baku kayu semakin sulit diperoleh,
Uwoh pun menganjurkan masyarakat beralih ke logam.
“Berapa pohon yang harus ditebang untuk
membuat panel pintu dan kusen dari kayu?
Mungkin untuk mebel belum bisa dialihkan ke
logam. Tapi kalau panel pintu dan kusen sudah
bisa hingga 50-70 persen,” paparnya yakin.
Pengalaman unik lainnya adalah ketika ia
diminta membuat Piala Citra dengan desain
baru pada tahun 2008, dan mendapatkan
penghargaan Festival Film Indonesia dari Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata atas sumbangsih
dan dedikasi dalam pembuatan Piala Citra baru.
Uniknya, saat mengerjakan piala tersebut Uwoh
hanya mendapat gambar tanpa keterangan
ukuran apa pun.
“Dia itu mungkin sudah keliling ke sana
sini tapi enggak mewujudkan suatu barang.
Akhirnya ada yang ngasih tahu bahwa yang
gini mah mungkin ke saya. Dari gambar itu
saya realisasikan dengan kemampuan saya.
Alhamdulillah terwujud suatu barang dan dapat
penghargaan dari menteri,” ucap Uwoh
bangga. Apalagi kemudian order berlanjut untuk
pembuatan handicraft lainnya, seperti Piala
Kalpataru dan Panasonic Award.
INOVASI TANPA HENTI
Saat pintu panel rancangan Uwoh yang
baru hanya memiliki satu macam motif saja,
sudah banyak permintaan datang. Menurut
Uwoh, pembeli menyukai rancangannya karena
tampilannya mirip kayu. Sayangnya, Uwoh
mengaku tidak mematenkan rancangannya
karena ia masih ingin mengubah motif, warna,
dan ukuran. “Padahal untuk pintu panel saja
sudah ada 20 motif yang bervariasi, dan prediksi
saya permintaan akan terus meningkat,” ujarnya.
Uwoh kerap didatangi marketing developer
sebuah perumahan untuk dikontrak dan di
fasilitasi mulai dari tempat, mesin, dan material.
Uwoh tinggal mengerjakannya, sedangkan
sistem pemasaran dan penjualan dilakukan
oleh rekanan. Dengan demikian ia fokus pada
produksi. Marketing developer perumahan
biasanya ‘mengunci’ produk tertentu melalui
ikatan kontrak eksklusif, sehingga Uwoh tidak
boleh menjualnya ke pihak lain. “Mereka berani
memasarkan ke luar Jawa. Jadi, lebih banyak
lagi yang datang. Yang datang itu developer.
Konsumen melihatnya kualitas, bagusan dari
sini dengan yang lain katanya,” jelas Uwoh.
Berkat inovasinya, Uwoh mendapat undangan
untuk menggelar presentasinya di hadapan
Menteri Perindustrian pada awal Mei 2011. Ia
optimis tren penggunaan kayu akan beralih ke
logam. Apalagi pemerintah sudah menggiring
ke arah tersebut untuk menyelamatkan hutan
lindung. Dimulai dengan keharusan agar rangka
atap menggunakan baja ringan. Tidak tanggung
tanggung, sudah ada pesanan dari pemerintah
untuk 8 ribu rumah di Papua. Melihat ini, ia
bisa memastikan penggunaan kayu menurun,
digantikan dengan produk logam buatannya.
Menurut Uwoh, jika tidak bisa berinovasi,
seseorang hanya akan menjadi tamu di negeri
sendiri. Dengan berinovasi, sumber daya lokal
bisa bersaing. “Kalau kita ciptakan, orang lain
meniru, itu berarti sudah nilai positif,” ujar
Uwoh.
Pria yang enerjik ini bahkan tidak sabar
untuk segera menuangkan inovasi-inovasi logam
lainnya. Dia sudah merancang ventilasi
rumah dari logam yang berfungsi mengatur
aliran udara. Dengan tambahan filter, alat ini
berfungsi untuk mengeluarkan udara kotor dan
memasukkan udara bersih. “Semacam exhaust
fan, namun menggunakan sistem mekanik dengan
gerak udara, sehingga tidak perlu tenaga
listrik,” paparnya serius.
Ide membuat pintu panel geser dari logam
dengan sistem elektrik juga sudah menari-nari
dalam benak Uwoh. Dengan rancangannya ini, si
pemilik rumah tinggal menekan remote control,
maka ruangan akan terbuka dan tertutup
sendiri. Komponen bangunan ini akan sangat
berguna untuk ruangan multifungsi, seperti
tempat praktik dokter.
Uwoh juga telah merancang pintu panel
logam yang menggunakan programmable logic
control (PLC) dan memiliki personal
identification number (PIN). Jadi, pemilik rumah bisa
membuka dan menutup pintu dari mana saja.
Pintu ini diperkirakan bernilai Rp 100-200 juta.
Untuk inovasinya ini, Uwoh membidik kelas
menengah ke atas. Ia yakin pemilik rumah
seharga miliaran rupiah akan membutuhkan
pintu PIN untuk menyelamatkan aset, bukan
hanya sekadar mengandalkan satpam. “Saya
sudah ciptakan ke sana, mudah—mudahan bisa
terwujud. Alhamdulillah jika bisa mewujudkan
suatu barang dan bermanfaat bagi banyak
orang,” kata Uwoh yang memiliki omzet Rp 12
miliar per tahun untuk masing-masing perusahaan
yang dikelolanya. Kekuatan inovasi jugalah yang
membuat Uwoh tangguh dalam menghadapi persaingan.
Kompetisi bukan hanya pada kualitas, tetapi
juga harga. Tahun 2000 Uwoh menciptakan
batako yang cara kerjanya seperti mainan lego,
dengan fungsi yang jauh lebih bagus dari bata
merah. Ini dilakukannya setelah melihat lamanya
proses pengerjaan bata merah. Produk batako ini
sudah ada permintaan, namun karena
kewalahan, ia mengalihkan ke rekanan lain. Ia
cukup membuatkan mesin untuk menghasilkan
10 jenis batako tersebut.
Inovasi di luar logam juga ada di dalam benak
Uwoh, yakni memanfaatkan pohon kelapa
untuk dijadikan lantai. Daun dan rumput juga
bisa dijadikan material dan bahan baku, seperti
halnya serbuk kayu gergaji menjadi partikel
board untuk lemari. Demikian juga dengan pohon
pisang yang jumlahnya berlimpah ruah,
mudah ditanam, dan cepat tumbuh di Indonesia,
untuk bahan pembuat dinding. Ampas
pohon pisang dijadikan bahan material dinding,
sedangkan airnya dijadikan lem. Kelebihan dinding
jenis ini adalah bisa dipasang
knockdown dan kedua sisinya bisa diberi motif
berbeda dengan wallpaper berbahan vinyl. Dengan
dinding seperti ini, rumah bisa dibuat loose
saja. Jika pemilik rumah merasa bosan, dinding
bisa diubah-ubah posisinya maupun motifnya.
“Pohon pisang memang lembek dan basah
kalau belum diolah. Tetapi setelah di-press
bahan ini akan menjadi padat. Setelah dipanasi
dengan suhu 300 derajat akan menjadi keras.
Bahan yang tadinya setebal 10 sentimeter di
padatkan hingga 1 sentimeter kan menjadi keras,”
urai Uwoh.
Uwoh meyakini produk ini bisa menjadi alternatif
dinding beton yang cukup kuat. Namun
bahan material dari pepohonan tidak bisa
dijadikan pintu karena sifat pintu yang dibuka
tutup, sedangkan dinding tidak. Uwoh berharap
dinding berbahan material pohon tidak keburu
diolah orang lain.
Dengan inovasi, hidup menjadi lebih hemat.
Caranya dengan menciptakan produk semudah mungkin,
sebagus mungkin, dan semurah mungkin, tanpa
mengesampingkan fungsi utamanya. Bahkan, ia
tidak pernah puas dengan inovasi yang sudah
dilakukan. Targetnya, setiap
tahun harus menciptakan inovasi produk, atau
minimal modifikasi. Menurutnya, setelah sesuatu
menjadi produk justru bisa meraih keuntungan besar.
MENGEMBANGKAN USAHA
Menyadari bahwa usahanya maju pesat, Uwoh
pun meminjam uang Rp 2 miliar dari bank bjb
untuk CV Sumirah Teknik pada tahun 2008.
Berkat pinjaman tersebut, Uwoh sekarang sanggup
membuat 300 pintu panel hanya dalam
sehari, yang dikerjakan oleh 40 orang pegawai.
Ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan
pengerjaan sebuah pintu kayu, yaitu 2-3 hari
oleh 1 orang.
Dalam usahanya ini, Uwoh yang hanya berlatar
belakang pendidikan setara SMA melibatkan
istrinya untuk mengurus bagian administrasi
dan keuangan. Ia juga mengarahkan
anak sulungnya yang sudah kuliah untuk
menangani manajemen, sebagai jembatan untuk
melanjutkan usahanya kelak. Meski melibatkan
keluarga, hingga saat ini ia tidak melihat kendala,
perselisihan, apalagi kecemburuan dalam
mengembangkan usahanya.
Uwoh juga mempekerjakan orang-orang sekitar.
Kriteria utamanya adalah baik, jujur, dan
mau bekerja. “Lebih baik tetangga daripada
orang lain, karena saya sudah kenal. Saya, sih,
lihat kepribadiannya. Yang penting baik dan
mau bekerja itu sudah cukup,” ujarnya.
Meskipun persaingan dengan bisnis yang
sama di daerahnya tidak terlalu keras, tak
urung pembajakan karyawan terjadi juga. Total
jumlah karyawan yang dibajak saingan-saingan
usahanya hingga saat ini bisa mencapai l00
orang. Tentu saja karyawan Uwoh merupakan
sasaran empuk pembajakan karena Uwoh konsisten
meningkatkan keterampilan mereka. Selain turun
tangan mengajari sendiri, Uwoh juga
bekerja sama dengan institusi pemerintah agar
karyawannya mendapatkan pelatihan teknis.
Kini, Uwoh memiliki 30 orang karyawan
tetap dan 10 orang pegawai honorer. Untuk
memudahkan alur pekerjaan, Uwoh menspesifikkan
pengerjaan produksi. CV Sumirah
Teknik yang namanya diambil dari nama istrinya,
Sumirah, mendapat jatah mengerjakan
panel pintu, kusen, dan genteng. Sedangkan CV
Rhodas menangani permesinan, rangka atap
dan baja ringan, dan kompor. Semua pengerjaan
menggunakan bahan baku logam yang diperoleh
dari distributor perusahaan baja besar di
Indonesia secara inden selama 1 bulan.
Dengan bantuan mesin, produk yang dihasilkan
tetap simetris dan memiliki presisi yang stabil.
Jadi, untuk membuat 1 unit bahkan 1.000 unit pun
hasilnya akan sama karena menggunakan cetakan.
Produk logam pun bisa memiliki bermacam warna
tergantung selera, bahkan 1 produk bisa dibuat 10
warna. Inilah keunggulan lainnya dibandingkan
panel pintu dan kayu.
MANAJEMEN USAHA
Meski perjalanan usahanya terhitung lancar,
Uwoh juga pernah mengalami masa surut pada
2010 yang—menurutnya dipicu ketidakstabilan
pemerintah, daya beli pasar, dan persaingan
yang sengit. Tapi, hal ini juga dialami oleh semua
pesaingnya. Untungnya, Uwoh tidak sampai
gulung tikar karena memiliki inovasi yang bisa
diterima pasar dan sulit ditiru.
Selain itu, ia juga pernah menjadi unit
sebuah perusahaan besar. Dengan metode bisnis
ini, ia baru menerima pembayaran setelah 3
bulan. Selanjutnya masih diberikan giro selama
1 bulan, jadi totalnya membutuhkan waktu 4
bulan untuk menerima pembayaran. Menurut
perhitungan Uwoh, keuntungan sebesar 10 persen
bisa lenyap kalau dihitung dengan bunga.
“Keuntungan 5 persen dengan pembayaran 4
bulan itu sudah minus. Bisnis tidak mungkin
bisa berkembang,” ujarnya. Itu sebabnya Uwoh
tidak ingin lagi menjadi sub perusahaan besar.
Menurut pengalamannya, bukan perusahaan
besar yang membantu perusahaan kecil, tapi
malah sebaliknya.
Tentu saja, Uwoh memiliki mimpi agar usahanya
menjadi besar. Untuk mewujudkan impiannya itu,
Uwoh melakukan berbagai persiapan. “Setelah
Lebaran 2011 ini saya bergabung dengan beberapa
teman yang ingin menjadi distributor produk saya
di beberapa daerah. Untuk produksinya tetap di
saya, mereka hanya marketing atau distributor
saja,” tutur Uwoh.
Perluasan pasar juga dilakukan Uwoh dengan
membuka kantor cabang di beberapa
daerah. Targetnya adalah Bandung, Tangerang,
Jambi, Jakarta. Dalam angannya, 5-10 tahun
ke depan ia telah memiliki kantor cabang atau
distributor di setiap daerah. Selain itu, ia juga
ingin memiliki lebih dari satu pabrik.
Saat ini Uwoh masih menjalankan perusahaannya
mengikuti intuisinya semata dan belum
membangun sistem, baik dalam manajemen
keuangan, rekrutmen, sumber daya manusia,
produksi, maupun pemasaran. “Ada mungkin
pada saat produksi naik karena kantor cabang
banyak, pasti saya akan membuat sistem, termasuk
manajemen keuangan, merekrut karyawan, atau
dalam bidang marketing,” kata Uwoh.
Di masa depan Uwoh ingin memiliki cabang
yang asetnya 30% dimiliki oleh keluarga dan
70% dimiliki oleh orang lain. “Usaha ini muncul
dari keinginan sendiri, dari kemauan dengan
tekad. Saya ini cuma ingin maju atas nama
daerah. Mudah-mudahan bisa berkembang
untuk orang banyak. Insya Allah usaha ini
membuat tempat yang gelap bisa jadi terang, di
tempat yang terang bisa menjadikan cahaya,”
demikian Uwoh mengakhiri pembicaraan.
Catatan Rhenald Kasali
SALAH SATU KELEMAHAN UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan
kewirausahaan Indonesia adalah selalu dimulai pada inovasi produk dan
berhenti pada produksi. Tanpa inovasi usaha dan membangun sistem, usaha
akan berakhir di tangan inovator atau satu generasi di bawahnya. Oleh
karena itu inovasi produk harus diikuti dengan sistem dan manajemën usäha
yang modern.
Meski demikian, tidak dengan serta merta suatu usaba langsung diawali
dengan manajemen modern. Bahkan tidak jarang saya menemukan sebuah usaha
yang tidak memiliki visi—misi tertulis meski sudah hidup lebih dari 20
tahun, Namun perusahaan ini memiliki sistem rutin yang balk dan profesional
setelah melewati sekitar 4-6 tahun perjalanan usaha.
Dalam 4 tahun pertama seorang wirausahawan akan sibuk membuat mimpinya
menjadi kenyataan. Fokusnya adalah pada survival yaitu membuat usahanya
hidup ia harus merawat ‘bayi’ basil kandungannya dengan memberi susu
memandikan, mengajaknya berbicara, mengajarkan makan, dan berjalan serta
membawa ke dokter bila ia demam dan memberikan imunisasi.
Jadi empat tahun pertama adalah masa yang vital, karena usaha baru itu
rentan kematian. Usaha harus dijaga siang-malam agar tetap hidup. Usaha
memerlukan kepastian pendapatan dan kelancaran arus cash. Setelah urusan
cash lancar dan menjadi rutin, ibarat seorang anak, ia pun harus
disekolahkan. Itulah saatnya Anda memberikan sìstem dengan manajemen yang
tertata baik.
Akan halnya inovasi yäng dijalannya Uwoh, tentu saja tetap sama.
Ia membutuhkan inovasi dan sistem. Tanpa sistem, usahanya akan berakhìr di
tangannya atau satu generasi di bawahnya. Itu sebabnya ia membutuhkan
manajemen yang balk saat ini.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Ujang Sasmita, Tamatan STM yang Kini Sukses Bisnis Timah dengan Omzet Hingga Rp 300 juta per Minggu
Ujang Sasmita, Bisnis Timah Tanpa Kredit Macet
Membeli dan menjual dengan tunai,
itulah rahasia keberhasilan bisnis
timahnya hingga bero1eh omzet hingga
Rp 300 juta per minggu. Padahal,
di awal ia justru harus bergulat
membayar utang yang ditinggalkan
usaha ayahnya.
EMPAT buah mobil pribadi dan sebuah truk
di garasi rumahnya menjadi salah satu bukti
keberhasilannya menjalani bisnis ini.
Di masa kecilnya, Ujang Sasmita ikut
mengerjakan pesanan timah dari bisnis
ayahnya hingga mengantar barang dari
desanya di Cisaat, Sukabumi ke Jakarta.
Setelah menyelesaikan Sekolah Teknik
Menengah (STM, sekarang namanya menjadi
SMK-Sekolah Menengah Kejuruan) tahun 1979,
ia hanya sempat menjalani kuliah selama
satu tahun. Sebagai anak tertua, Ujang
mengalah demi adik-adiknya yang berjumlah
10 orang. Mundur dari bangku kuliah, Ujang
langsung terjun membantu usaha ayahnya.
“Toh, kuliah nanti ujung-ujungnya cari duit
juga,” cetus Ujang yang tak pernah terpikir ingin
menjadi pegawai seperti kebanyakan orang.
Usaha timah keluarganya belum juga terbilang
sukses. Malah pada tahun 2000, usaha
itu terlilit utang yang cukup besar. Ujang pula
yang harus menanggungnya. Dalam waktu
4 bulan, dia berhasil melunasi utang usaha
ayahnya. Namun, kejadian ini membuat Ujang
mulai berpikir untuk membuat usaha sendiri,
memisahkan diri dari bisnis keluarga. Apalagi
dia pun sudah memiliki keluarga sendiri.
Penghasilan Rp 10 ribu per hari dari menjalani
usaha timah dengan ayahnya dirasa tidak cukup
untuk menghidupi keluarga.
Kesulitan yang sering dialami ayahnya
hingga terlilit utang menjadi pelajaran yang
amat berharga. Dia tidak menerapkan cara
yang pernah dilakukan ayahnya dulu. Uang
pemasukan yang seharusnya diputar kembali
untuk usaha, malah dipakai untuk kebutuhan
keluarga, sehingga yang terjadi adalah besar
pengeluaran ketimbang pemasukan. Namun dia
mengerti, saat itu ayahnya tidak bisa berbuat
banyak, mengingat anaknya cukup banyak.
Dengan pinjaman dari bank bjb, Ujang
memutar uangnya untuk membayar utang,
menambah modal, juga membiayai kebutuhan
keluarganya. Dengan kegigihannya, Ujang
berhasil memiliki rumah yang layak tahun 2008,
yang ditinggali bersama istri dan 3 putranya.
Bahkan tahun 2010, Ujang bersama sang istri
bisa beribadah haji ke Tanah Suci.
MEMBUAT BISNIS SENDRI
Kegigihan Ujang menyelesaikan utang ayahnya
Itulah yang menarik minat bank bjb memberikan
pinjaman awal Rp 17 juta pada tahun 2002 untuk
membuka usahanya sendiri. Ujang mendapat
waktu setahun untuk melunasi utang berikut
bunganya. Dengan modal pengalaman bekerja
dengan ayahnya dan pinjaman dari bank bjb,
mulailah Ujang membuka usaha timah yang
diberi nama Agung Sejahtera.
Awal tahun 2002, Ujang menerima order
bandul pemberat alat pancing dari seorang
distributor di Pasar Ikan, Jakarta. Distributor
ini pun menjadi tempat pemasaran utama
batu alat pancing Ujang. Distributor tersebut
meminta Ujang eksklusif menjual hanya kepadanya,
dan selanjutnya distributor tersebut yang
mengedarkan ke agen atau toko, baik di Jakarta,
Pulau Jawa, hingga ke daerah-daerah di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Setiap minggu Ujang mengirim 10 ton timah
untuk menyuplai distributor itu. Namun selain ke
Pasar Ikan, Ujang juga menyuplai pesanan dari
Glodok dan beberapa pusat pertokoan. “Cuma
yang paling continue adalah timah bandulan
buat kebutuhan nelayan ke laut, yang nerimanya
itu grosir,” kisahnya. Tapi Ujang sudah membuat
patokan, melayani 3 tempat saja sudah cukup.
“Segitu juga saya sudah kenyang,” cetusnÿa.
Dalam seminggu dia minimal mengantongi Rp
150 juta untuk penjualan batu alat pancing.
Pada tahun pertamanya, Ujang mendulang
sukses. Order untuk membuat bandul timah alat
pancing sangat banyak. Dalam seminggu, ia bisa
membeli 15 ton timah, yang kemudian diolahnya
menjadi barang sesuai keinginan pemesan.
Utangnya pun bisa dilunasi tepat waktu, hingga
pinjaman terus dikucurkan oleh bank bjb.
Pinjamannya meningkat menjadi Rp 35 juta,
kemudian naik menjadi Rp 75 juta, dan tahun 2011
Ujang beroleh pinjaman hingga Rp 300 juta.
Ujang memulai usahanya dengan bekerja
sendiri. Mulai dari menerima order, melakukan
pencetakan, hingga memasarkannya. Pengalaman
bekerja dengan bapaknya menjadi modal
penting, sehingga dia tahu semua ‘jeroan’ bisnis
timah ini.
THE STOCK IS READY!
Namun, bandul pemberat alat pancing bukan
satu-satunya produk yang dihasilkan dari usaha
timah Ujang. Dia juga menerima order apa pun,
sesuai yang diinginkan pemesan. Misalnya
saja, dia pernah menerima pesanan timah segel
listrik dari PLN ketika terjadi gempa Padang
yang menghancurkan instalasi listrik di sana.
Dan, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi
dengan cepat dari Ujang.
Rupanya Ujang memiliki kelebihan dari
perajin timah lainnya, yakni selalu menyediakan
stok timah. Ketika order datang, Ujang tidak
perlu lagi mencari-cari bahan. Dan dalam waktu
2 bulan, order tersebut segera dikirim ke PLN di
Sunter. Dari situ, Ujang mendapat omzet Rp 700
juta. “Waktu itu saya punya 25 ton timah keluar
semua. Uang pun langsung dapat,” ujar pria
berusia 53 tahun ini dengan senang.
Untuk mendapatkan bahan baku timah, Ujang
tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya,
Ujang tidak hanya memegang satu supplier
saja. Ada 3 penyuplai timah yang menjadi
supplier-nya, yakni dari daerah Cinangeng
Bogor, Tangerang, dan Buah Batu-Bandung.
Ketiga supplier ini didapatnya berdasarkan
pengalaman sewaktu bekerja dengan ayahnya,
juga informasi dari sesama perajin timah.
Harga yang didapatnya dari ketiga supplier
ini pun cukup kompetitif. Jika harga pasar Rp 22
ribu, Ujang bisa mendapatkannya dengan harga
Rp19.500. Paling tinggi seharga Rp19.750. Namun
untuk mendapatkan harga yang ‘manis’ itu, sistem
pembayaran yang dilakukan Ujang juga harus
‘manis’: ia tidak pernah berutang. Bahkan, Ujang
berusaha untuk selalu membayar di muka.
“Saya main di uang, bukannya sombong,
ya. Tapi saya lebih suka sistem cash untuk
bayar, bukan sistem bon. Jadi dia punya
barang, saya punya uang. Kalau main timah
kita secara bon harganya bisa beda, walaupun
jeda pembayarannya cuma seminggu. Makanya
saya selalu bayar tunai. Ada perbedaan Rp300—
Rp400 saja, kalau saya bayarnya cash, harga bisa
ditekan,” terang Ujang yang bisa mendapatkan
keuntungan dari selisih harga bahan baku Rp
1 juta untuk setiap 4 ton baku timah. Dia juga
menyebut hal ini sebagai salah satu rahasia
usahanya, dibandingkan dengan perajin timah
lainnya.
Khusus untuk bandul pemberat alat pancing,
Ujang bisa memproduksi hingga berbagai bentuk
dan ukuran. Menurut catatannya, ada sekitar
l00 jenis bandul, mulai dari bandul sebesar
pentol korek api hingga seberat 1 kilogram.
Setiap jenis harus memiliki matres atau cetakan
masing-masing.
Untuk mendapatkan cetakan ini, Ujang harus
merogoh kocek yang tidak sedikit. Dia harus
membayar setidaknya Rp 1 juta untuk satu cetakan.
Sementara untuk 1 ukuran bandul saja, Ujang
harus memiliki antara 7 hingga 10 cetakan. Bisa
dibayangkan, berapa dana tunai yang harus
dikeluarkan untuk itu. Cetakan tersebut memang
wajib dimiliki karena akan mempermudah,
mempercepat pembuatan, juga menghasilkan ukuran
barang yang tepat sesuai pesanan.
“Tapi, saya membelinya secara bertahap.
Begitu ada uang, beli matres. Enggak langsung
semua, saya bisa babak belur,” kelakarnya.
Investasi Ujang di matres memang tidak main-
main. Menurut catatannya, ada yang dibeli
dengan harga Rp 1 miliar. Setelah empat tahun,
barulah ia memiliki seluruh matres yang di
perlukan.
Meskipun sederhana, matres adalah salah satu
bentuk teknologi yang mempermudah usahanya.
Karena itu Ujang tak segan mengeluarkan uang.
Demikian pula ia terus menambah teknologi
untuk mendukung produksinya, salah satunya
dengan membeli mesin injection baru. Ia pun
merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti
dengan teknologi yang semakin canggih.
SIMBIOSIS MUTUALISME
Bisnis pada dasarnya merupakan pertukaran
yang sama-sama menguntungkan. Ujang
mengikuti hal ini. Ia hanya akan membuat barang
berdasarkan pesanan pelanggan. “Dalam hal produk,
sih, saya bukannya sombong. Selama ini setiap
ada pesanan, apa pun bentuk dan modelnya, saya
bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa
pun,” ujar Ujang. Yang penting baginya adalah
mengikuti keinginan pasar.
Ujang juga amat pintar menyenangkan para
langganannya. Apa pun pesanan distributor,
dia bisa membuat dengan hasil bagus dan
memuaskan. Selain itu dia tidak pernah ingkar
janji soal waktu. Jika dijanjikan barangnya
selesai dalam 3 hari, maka dalam 3 hari itu pun
barang sudah dikirim. Baginya, permintaan
pelanggan, baik berupa bentuk maupun waktu,
merupakan tantangan yang harus diatasinya.
Dan untungnya, dia tidak pernah mendapatkan
kendala yang berarti. “Kalau sampai membuat
pelanggan kecewa, saya bakalan enggak jualan
timah lagi, jualan pisang saja,” ujarnya serius.
Karena itu, soal ketepatan waktu dan janji amat
dipegangnya.
Hal itu juga berlaku pada janjinya kepada
distributor di Pasar Ikan bahwa Ujang tidak
menyuplai ke agen-agen atau toko-toko kecil.
Ujang sudah merasa sangat cukup hanya dengan
mendapat order dari distributor tersebut.
Namun, ada pula imbal balik yang dimintanya
dari distributor tersebut: Pembayaran dilakukan
secara tunai, tidak utang. Dengan cara demikian
uang yang diputar kembali untuk bisnisnya
berjalan dengan lancar dan risikonya dimitigasi
menjadi nol. “Saya membeli timah dari supplier
secara tunai, menjual pun harus dibayar tunai,”
tandasnya.
Untuk sistem pembayaran, Ujang lebih memilih
mentransfer dana. “Jarang saya kasihkan
uang, misalnya l00 juta, ya main transfer aja.
Paling cuma kasih Rp 20 juta sampai Rp 30
juta tunainya,” terang Ujang, yang menilai
pembayaran dengan cash amat memperlancar
usahanya, sehingga tidak ada ‘kredit macet’.
Ujang berkeyakinan, usahanya tidak akan
mati. Apalagi suplai timah diyakininya akan
terus ada. Selain itu, banyak pula produk
yang membutuhkan timah, seperti aki mobil.
Jadi, selama mobil terus diproduksi, maka
kebutuhan akan timah pun terus ada. Apalagi,
dari pengalamannya selama ini, dalam bisnis
timah tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan
ampas atau abu timah buangan produksi pun
bisa laku dijual. Dalam sebulan, hasil penjualan
abu timah ini saja mencapai Rp 15 juta hingga
Rp 16 juta.
Akan halnya keberadaan perajin timah lain,
bagi Ujang hal itu dapat menyehatkan usahanya.
Pasalnya, ia jadi bisa mempelajari perbedaan
pengelolaan usaha timah. Misalnya, salah satu
perajin timah di Jakarta yang bahan bakunya
menggunakan timah bekas atau timah rongsok.
Sementara, Ujang cenderung memanfaatkan timah
batangan atau timah bekas aki yang bobotnya
berkisar 22-35 kilogram per batang.
“Saya memutuskan untuk berani berspekulasi
di bahan baku. Mahal sedikit, enggak masalah.
Makanya saya punya stok timah dari aki
batangan cukup banyak,” terang Ujang, “Orang
lain mah ngandalin timah-timah yang bekas,
rongsok. Kan, itu terbatas. Kalau timah dari
aki ngecor banyak yang punya, asal kita berani
bayar harga, ikutin pasar, banyak barangnya.”
Ketidakterbatasan bahan baku itu membuat
usaha Ujang terus maju. Dia tidak pernah sepi
order karena bahan baku pun selalu ada, ready
stock, tanpa bingung mencari terlebih dulu jika
ada order.
Untuk memenuhi pesanan, saat ini Ujang
mempekerjakan 16 orang, plus seorang mandor.
Ujang berupaya memberdayakan tenaga kerja
yang tinggal di wilayah sekitarnya, yakni para
tetangga. “Biasanya sih keluarga saya yang
merekomendasikan. Kalau orangnya jujur dan baik,
biasanya saya terima,” ujarnya. Bagi Ujang, cara
ini akan membantu menyejahterakan tetangga-
tetangganya. Selain itu, banyak keuntungan
yang didapatnya. Misalnya saja, jika mendapat
pesanan mendadak, para karyawannya bisa
segera datang.
Jika ada tetangga yang berminat bekerja di
tempatnya, Ujang akan langsung menyuruh
mereka praktik. Jika hasilnya bagus, mereka akan
langsung direkrut dan selanjutnya mendapatkan
bimbingan langsung darinya. Setelah mahir akan
langsung diterjunkan untuk produksi. Ujang
tetap memberikan pelatihan langsung, hingga
semua karyawannya mahir mengerjakan
semua tahap produksi. Ia tidak mau proses
produksi terganggu karena ketergantungan pada
karyawan-karyawan tertentu saja.
Mengingat mereka memiliki keahlian sama
dan harus bisa melakukan semua tahapan
produksi, Ujang menggaji karyawannya dengan
nilai yang sama rata. Pembayaran biasanya
dilakukan setiap minggu, tapi bagi yang sudah
berkeluarga, “Mereka dibayar per bulan, supaya
uangnya enggak langsung habis,” kelakarnya.
Urusan karyawan yang dibajak juga pernah
dialami Ujang. Namun dia tidak terlalu khawatir
dengan persoalan itu, sebab biasanya mereka
kembali ke tempatnya lagi karena merasa tidak
cocok dengan si pembajak. Bagi Ujang, semua itu
ada hikmahnya. Demikian pula dengan usaha
ayahnya yang kini dipegang oleh sang Adik.
Ujang tidak menganggapnya sebagai pesaing,
justru masih sering memberikan bantuan stok
kepada adiknya.
Demi mendapatkan barang sesuai dengan yang
diinginkan pemesan, Ujang selalu mengawasi
pekerjaan anak buahnya. Untuk hal ini dia di
bantu salah satu kerabatnya yang dikenal jujur.
Dengan pengalamannya mengerjakan pesanan
sendiri, Ujang tahu mana barang yang tidak layak
atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Kalau
sudah begitu, tak ayal lagi Ujang lebih memilih
untuk membuat ulang pesanan itu.
BERSIAP UNTUK ESTAFET
Ujang sudah mulai menurunkan ilmu bisnisnya
kepada anak tertuanya yang kini sudah berusia
26 tahun. Dia melihat potensi besar putra
sulungnya itu, terutama ketika Ujang berangkat
haji dan menyerahkan cek Rp l00 juta, uang
tunai Rp 150 juta, dan stok timah 40 ton. Selama
40 han Ujang beribadah, si sulung berhasil
mengolah ‘modal’ tersebut hingga mendapatkan
omzet Rp 1 miliar dan untung sekitar Rp 300
juta.
“Saya audit lagi, stok timah malah nambah.
Saya pikir, anak ini jujur. Yang saya kagum, selain
tenang beribadah, ternyata pembukuannya juga
beres,” ujarnya bangga. Belum lagi dari penjualan
abu timah, putra sulungnya itu mendapatkan Rp
12,8juta. Ujang berencana menurunkan usahanya
ini kepada putra-putranya. Dia menggembleng
langsung Dede dan Heri untuk terjun ke bisnis ini,
juga mendukung anaknya yang sedang menjajaki
perluasan usaha di Kebumen, Jawa Tengah.
Nantinya, Ujang berharap anak-anaknya dapat
mengelola usahanya secara lebih profesional,
sebab hingga saat ini Ujang menjalankannya
hanya bermodalkan intuisi semata. Urusan
manajemennya pun masih ditanganinya sendiri.
Jika putra-putranya sudah mumpuni, Ujang berniat
melebarkan sayap membuka cabang di Pulau
Sumatera karena cukup banyak bisnis timah di
daerah tersebut yang menginduk ke tempat Ujang.
Selain perluasan bisnis, Ujang berencana
memproduksi timah plat yang saat ini sedang
dibuat cetakannya. Timah plat yang berbentuk
seperti kertas timah di bungkus rokok ini juga
ditujukan untuk mempermudah para nelayan
sehingga tidak perlu menggunakan bandul
pemberat alat pancing lagi. Timah plat cukup
dilipat-lipat saja untuk kemudian dipasangkan
di mata pancing sebagai pemberat.
Menurut perhitungannya, dari satu kilogram
timah akan didapatkan sekitar 12 lembar timah
plat berukuran 20 x 20 cm. Harganya sekitar
Rp 40 ribu, jauh lebih mahal ketimbang bandul
pemberat yang dijualnya di kisaran Rp 26 ribu
hingga Rp 27 ribu. “Hanya saja saat ini saya
sedang proses bikin matresnya dulu untuk nipisin
timahnya,” ujarnya, yang berharap tahun ini
mesin tersebut sudah siap digunakan.
Pasalnya, timah plat ini sudah banyak yang
memesan, sehingga lambatnya pembuatan mesin
membuat Ujang agak kelabakan. Padahal,
Ujang amat enggan membuat pelanggannya
kecewa karena terlalu lama menunggu. Itu
bertentangan dengan kunci sukses usahanya.
“Kalau janji mesti tepat, itu termasuk kunci
sukses,” tegasnya di akhir pertemuan.
Catatan Rhenald Kasali
KESULITAN YANG DIALAMI orangtua tidak selalu diturunkan kepada anak-anaknya
dalam bentuk kesulitan-kesulitan baru. Anak-anak yang menyaksikan kesedihan
dapat berontak, dan satu di antara mereka akan memberikan ‘perlawanan
positif’. Dendam. Anak itu tidak mengambil sisi yang negatif melainkan
berikrar. “Jlka aku sudah dewasa akan kubuat anak-anakku tersenyum.
Aku pedih merasakannya, melihat orang bolak-balik menagih utang dengan
penuh ancaman. Melihat Ayah tak bisa berkata apa-apa. Pedih merasa putus
asa, tidak ada makanan di meja makan. Pedih melihat ibu menangis melindungi
anak-anaknya.”
Anak itu bergerak dan mempelajari apa yang harus dihindarkan kalau ingin
lebih berhasil dari ayahnya. Ilmu itu adalah sebuah refleksi yang
menghasilkan ilmu mitigasi risiko, yaitu mengurangi segala resiko yang akan
berujung pada kebangkrutan. Saya bertemu beberapa usahawan muda yang
dulunya, kecÃlnya mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami Ujang.
Dari situlah mereka belajar mengambil celah, membayar tunai—mendapatkan
marjin lebih besar dengan menciptakan keunggulan-keunggulan, merekrut
pegawai bukan berdasarkan kecerdasan melainkan kejujuran, dan menuntut
pembayaran tunai. Bisnis, selain ada untung-rugi, selalu ada risiko-
risikonya. Maka hadapilah, atasilah, bertarunglah, dan buatlah mekanisme
untuk mengatasìnya.
Pertama, jangan mendiamkan. Bisnis menjadi rusak karena Anda diamkan. Kalau
sudah turun, bisnis akan turun terus kalau Anda diamkan. Maka carilah
langkah-langkah baru. Yang jelas jangan didiamkan. Kedua, cari cara-cara
baru. Hampir mustahil Anda mendapatkan hasil yang berbeda kalau cara yang
Anda tempuh sama dengan yang dilakukan generasi pendahulu Anda. Cara yang
ditempuh para pendahulu adalah cara yang oocok dilakukan kala tak ada
persaingan, dengan selera pasar yang masih sederhana. Oleh karena zaman
yang Anda hadapi berbada, maka gunakanlah cara berbeda.
Ketiga, latihlah diri Anda membaca hal-hal yang kasat mata namun tak
terlihat oleh banyak orang. Caranya, bangun kepedulian. Hanya orang-orang
yang peduli menjadi manusia yang sensitif terhadap suara-suara alam.
Dengarkanlah gejolak-gejolak suara alam yang keluar dari mulut dan gerakan
tubuh manusia. Niscaya dari situ Anda akan mengenali kebutuhan-kebutuhan
mereka dan mengenal perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya manusia yang
cepat menangkap gejolak-gejolak perubahan itulah yang adaptif dan mampu
membaca peluang.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Membeli dan menjual dengan tunai,
itulah rahasia keberhasilan bisnis
timahnya hingga bero1eh omzet hingga
Rp 300 juta per minggu. Padahal,
di awal ia justru harus bergulat
membayar utang yang ditinggalkan
usaha ayahnya.
EMPAT buah mobil pribadi dan sebuah truk
di garasi rumahnya menjadi salah satu bukti
keberhasilannya menjalani bisnis ini.
Di masa kecilnya, Ujang Sasmita ikut
mengerjakan pesanan timah dari bisnis
ayahnya hingga mengantar barang dari
desanya di Cisaat, Sukabumi ke Jakarta.
Setelah menyelesaikan Sekolah Teknik
Menengah (STM, sekarang namanya menjadi
SMK-Sekolah Menengah Kejuruan) tahun 1979,
ia hanya sempat menjalani kuliah selama
satu tahun. Sebagai anak tertua, Ujang
mengalah demi adik-adiknya yang berjumlah
10 orang. Mundur dari bangku kuliah, Ujang
langsung terjun membantu usaha ayahnya.
“Toh, kuliah nanti ujung-ujungnya cari duit
juga,” cetus Ujang yang tak pernah terpikir ingin
menjadi pegawai seperti kebanyakan orang.
Usaha timah keluarganya belum juga terbilang
sukses. Malah pada tahun 2000, usaha
itu terlilit utang yang cukup besar. Ujang pula
yang harus menanggungnya. Dalam waktu
4 bulan, dia berhasil melunasi utang usaha
ayahnya. Namun, kejadian ini membuat Ujang
mulai berpikir untuk membuat usaha sendiri,
memisahkan diri dari bisnis keluarga. Apalagi
dia pun sudah memiliki keluarga sendiri.
Penghasilan Rp 10 ribu per hari dari menjalani
usaha timah dengan ayahnya dirasa tidak cukup
untuk menghidupi keluarga.
Kesulitan yang sering dialami ayahnya
hingga terlilit utang menjadi pelajaran yang
amat berharga. Dia tidak menerapkan cara
yang pernah dilakukan ayahnya dulu. Uang
pemasukan yang seharusnya diputar kembali
untuk usaha, malah dipakai untuk kebutuhan
keluarga, sehingga yang terjadi adalah besar
pengeluaran ketimbang pemasukan. Namun dia
mengerti, saat itu ayahnya tidak bisa berbuat
banyak, mengingat anaknya cukup banyak.
Dengan pinjaman dari bank bjb, Ujang
memutar uangnya untuk membayar utang,
menambah modal, juga membiayai kebutuhan
keluarganya. Dengan kegigihannya, Ujang
berhasil memiliki rumah yang layak tahun 2008,
yang ditinggali bersama istri dan 3 putranya.
Bahkan tahun 2010, Ujang bersama sang istri
bisa beribadah haji ke Tanah Suci.
MEMBUAT BISNIS SENDRI
Kegigihan Ujang menyelesaikan utang ayahnya
Itulah yang menarik minat bank bjb memberikan
pinjaman awal Rp 17 juta pada tahun 2002 untuk
membuka usahanya sendiri. Ujang mendapat
waktu setahun untuk melunasi utang berikut
bunganya. Dengan modal pengalaman bekerja
dengan ayahnya dan pinjaman dari bank bjb,
mulailah Ujang membuka usaha timah yang
diberi nama Agung Sejahtera.
Awal tahun 2002, Ujang menerima order
bandul pemberat alat pancing dari seorang
distributor di Pasar Ikan, Jakarta. Distributor
ini pun menjadi tempat pemasaran utama
batu alat pancing Ujang. Distributor tersebut
meminta Ujang eksklusif menjual hanya kepadanya,
dan selanjutnya distributor tersebut yang
mengedarkan ke agen atau toko, baik di Jakarta,
Pulau Jawa, hingga ke daerah-daerah di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Setiap minggu Ujang mengirim 10 ton timah
untuk menyuplai distributor itu. Namun selain ke
Pasar Ikan, Ujang juga menyuplai pesanan dari
Glodok dan beberapa pusat pertokoan. “Cuma
yang paling continue adalah timah bandulan
buat kebutuhan nelayan ke laut, yang nerimanya
itu grosir,” kisahnya. Tapi Ujang sudah membuat
patokan, melayani 3 tempat saja sudah cukup.
“Segitu juga saya sudah kenyang,” cetusnÿa.
Dalam seminggu dia minimal mengantongi Rp
150 juta untuk penjualan batu alat pancing.
Pada tahun pertamanya, Ujang mendulang
sukses. Order untuk membuat bandul timah alat
pancing sangat banyak. Dalam seminggu, ia bisa
membeli 15 ton timah, yang kemudian diolahnya
menjadi barang sesuai keinginan pemesan.
Utangnya pun bisa dilunasi tepat waktu, hingga
pinjaman terus dikucurkan oleh bank bjb.
Pinjamannya meningkat menjadi Rp 35 juta,
kemudian naik menjadi Rp 75 juta, dan tahun 2011
Ujang beroleh pinjaman hingga Rp 300 juta.
Ujang memulai usahanya dengan bekerja
sendiri. Mulai dari menerima order, melakukan
pencetakan, hingga memasarkannya. Pengalaman
bekerja dengan bapaknya menjadi modal
penting, sehingga dia tahu semua ‘jeroan’ bisnis
timah ini.
THE STOCK IS READY!
Namun, bandul pemberat alat pancing bukan
satu-satunya produk yang dihasilkan dari usaha
timah Ujang. Dia juga menerima order apa pun,
sesuai yang diinginkan pemesan. Misalnya
saja, dia pernah menerima pesanan timah segel
listrik dari PLN ketika terjadi gempa Padang
yang menghancurkan instalasi listrik di sana.
Dan, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi
dengan cepat dari Ujang.
Rupanya Ujang memiliki kelebihan dari
perajin timah lainnya, yakni selalu menyediakan
stok timah. Ketika order datang, Ujang tidak
perlu lagi mencari-cari bahan. Dan dalam waktu
2 bulan, order tersebut segera dikirim ke PLN di
Sunter. Dari situ, Ujang mendapat omzet Rp 700
juta. “Waktu itu saya punya 25 ton timah keluar
semua. Uang pun langsung dapat,” ujar pria
berusia 53 tahun ini dengan senang.
Untuk mendapatkan bahan baku timah, Ujang
tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya,
Ujang tidak hanya memegang satu supplier
saja. Ada 3 penyuplai timah yang menjadi
supplier-nya, yakni dari daerah Cinangeng
Bogor, Tangerang, dan Buah Batu-Bandung.
Ketiga supplier ini didapatnya berdasarkan
pengalaman sewaktu bekerja dengan ayahnya,
juga informasi dari sesama perajin timah.
Harga yang didapatnya dari ketiga supplier
ini pun cukup kompetitif. Jika harga pasar Rp 22
ribu, Ujang bisa mendapatkannya dengan harga
Rp19.500. Paling tinggi seharga Rp19.750. Namun
untuk mendapatkan harga yang ‘manis’ itu, sistem
pembayaran yang dilakukan Ujang juga harus
‘manis’: ia tidak pernah berutang. Bahkan, Ujang
berusaha untuk selalu membayar di muka.
“Saya main di uang, bukannya sombong,
ya. Tapi saya lebih suka sistem cash untuk
bayar, bukan sistem bon. Jadi dia punya
barang, saya punya uang. Kalau main timah
kita secara bon harganya bisa beda, walaupun
jeda pembayarannya cuma seminggu. Makanya
saya selalu bayar tunai. Ada perbedaan Rp300—
Rp400 saja, kalau saya bayarnya cash, harga bisa
ditekan,” terang Ujang yang bisa mendapatkan
keuntungan dari selisih harga bahan baku Rp
1 juta untuk setiap 4 ton baku timah. Dia juga
menyebut hal ini sebagai salah satu rahasia
usahanya, dibandingkan dengan perajin timah
lainnya.
Khusus untuk bandul pemberat alat pancing,
Ujang bisa memproduksi hingga berbagai bentuk
dan ukuran. Menurut catatannya, ada sekitar
l00 jenis bandul, mulai dari bandul sebesar
pentol korek api hingga seberat 1 kilogram.
Setiap jenis harus memiliki matres atau cetakan
masing-masing.
Untuk mendapatkan cetakan ini, Ujang harus
merogoh kocek yang tidak sedikit. Dia harus
membayar setidaknya Rp 1 juta untuk satu cetakan.
Sementara untuk 1 ukuran bandul saja, Ujang
harus memiliki antara 7 hingga 10 cetakan. Bisa
dibayangkan, berapa dana tunai yang harus
dikeluarkan untuk itu. Cetakan tersebut memang
wajib dimiliki karena akan mempermudah,
mempercepat pembuatan, juga menghasilkan ukuran
barang yang tepat sesuai pesanan.
“Tapi, saya membelinya secara bertahap.
Begitu ada uang, beli matres. Enggak langsung
semua, saya bisa babak belur,” kelakarnya.
Investasi Ujang di matres memang tidak main-
main. Menurut catatannya, ada yang dibeli
dengan harga Rp 1 miliar. Setelah empat tahun,
barulah ia memiliki seluruh matres yang di
perlukan.
Meskipun sederhana, matres adalah salah satu
bentuk teknologi yang mempermudah usahanya.
Karena itu Ujang tak segan mengeluarkan uang.
Demikian pula ia terus menambah teknologi
untuk mendukung produksinya, salah satunya
dengan membeli mesin injection baru. Ia pun
merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti
dengan teknologi yang semakin canggih.
SIMBIOSIS MUTUALISME
Bisnis pada dasarnya merupakan pertukaran
yang sama-sama menguntungkan. Ujang
mengikuti hal ini. Ia hanya akan membuat barang
berdasarkan pesanan pelanggan. “Dalam hal produk,
sih, saya bukannya sombong. Selama ini setiap
ada pesanan, apa pun bentuk dan modelnya, saya
bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa
pun,” ujar Ujang. Yang penting baginya adalah
mengikuti keinginan pasar.
Ujang juga amat pintar menyenangkan para
langganannya. Apa pun pesanan distributor,
dia bisa membuat dengan hasil bagus dan
memuaskan. Selain itu dia tidak pernah ingkar
janji soal waktu. Jika dijanjikan barangnya
selesai dalam 3 hari, maka dalam 3 hari itu pun
barang sudah dikirim. Baginya, permintaan
pelanggan, baik berupa bentuk maupun waktu,
merupakan tantangan yang harus diatasinya.
Dan untungnya, dia tidak pernah mendapatkan
kendala yang berarti. “Kalau sampai membuat
pelanggan kecewa, saya bakalan enggak jualan
timah lagi, jualan pisang saja,” ujarnya serius.
Karena itu, soal ketepatan waktu dan janji amat
dipegangnya.
Hal itu juga berlaku pada janjinya kepada
distributor di Pasar Ikan bahwa Ujang tidak
menyuplai ke agen-agen atau toko-toko kecil.
Ujang sudah merasa sangat cukup hanya dengan
mendapat order dari distributor tersebut.
Namun, ada pula imbal balik yang dimintanya
dari distributor tersebut: Pembayaran dilakukan
secara tunai, tidak utang. Dengan cara demikian
uang yang diputar kembali untuk bisnisnya
berjalan dengan lancar dan risikonya dimitigasi
menjadi nol. “Saya membeli timah dari supplier
secara tunai, menjual pun harus dibayar tunai,”
tandasnya.
Untuk sistem pembayaran, Ujang lebih memilih
mentransfer dana. “Jarang saya kasihkan
uang, misalnya l00 juta, ya main transfer aja.
Paling cuma kasih Rp 20 juta sampai Rp 30
juta tunainya,” terang Ujang, yang menilai
pembayaran dengan cash amat memperlancar
usahanya, sehingga tidak ada ‘kredit macet’.
Ujang berkeyakinan, usahanya tidak akan
mati. Apalagi suplai timah diyakininya akan
terus ada. Selain itu, banyak pula produk
yang membutuhkan timah, seperti aki mobil.
Jadi, selama mobil terus diproduksi, maka
kebutuhan akan timah pun terus ada. Apalagi,
dari pengalamannya selama ini, dalam bisnis
timah tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan
ampas atau abu timah buangan produksi pun
bisa laku dijual. Dalam sebulan, hasil penjualan
abu timah ini saja mencapai Rp 15 juta hingga
Rp 16 juta.
Akan halnya keberadaan perajin timah lain,
bagi Ujang hal itu dapat menyehatkan usahanya.
Pasalnya, ia jadi bisa mempelajari perbedaan
pengelolaan usaha timah. Misalnya, salah satu
perajin timah di Jakarta yang bahan bakunya
menggunakan timah bekas atau timah rongsok.
Sementara, Ujang cenderung memanfaatkan timah
batangan atau timah bekas aki yang bobotnya
berkisar 22-35 kilogram per batang.
“Saya memutuskan untuk berani berspekulasi
di bahan baku. Mahal sedikit, enggak masalah.
Makanya saya punya stok timah dari aki
batangan cukup banyak,” terang Ujang, “Orang
lain mah ngandalin timah-timah yang bekas,
rongsok. Kan, itu terbatas. Kalau timah dari
aki ngecor banyak yang punya, asal kita berani
bayar harga, ikutin pasar, banyak barangnya.”
Ketidakterbatasan bahan baku itu membuat
usaha Ujang terus maju. Dia tidak pernah sepi
order karena bahan baku pun selalu ada, ready
stock, tanpa bingung mencari terlebih dulu jika
ada order.
Untuk memenuhi pesanan, saat ini Ujang
mempekerjakan 16 orang, plus seorang mandor.
Ujang berupaya memberdayakan tenaga kerja
yang tinggal di wilayah sekitarnya, yakni para
tetangga. “Biasanya sih keluarga saya yang
merekomendasikan. Kalau orangnya jujur dan baik,
biasanya saya terima,” ujarnya. Bagi Ujang, cara
ini akan membantu menyejahterakan tetangga-
tetangganya. Selain itu, banyak keuntungan
yang didapatnya. Misalnya saja, jika mendapat
pesanan mendadak, para karyawannya bisa
segera datang.
Jika ada tetangga yang berminat bekerja di
tempatnya, Ujang akan langsung menyuruh
mereka praktik. Jika hasilnya bagus, mereka akan
langsung direkrut dan selanjutnya mendapatkan
bimbingan langsung darinya. Setelah mahir akan
langsung diterjunkan untuk produksi. Ujang
tetap memberikan pelatihan langsung, hingga
semua karyawannya mahir mengerjakan
semua tahap produksi. Ia tidak mau proses
produksi terganggu karena ketergantungan pada
karyawan-karyawan tertentu saja.
Mengingat mereka memiliki keahlian sama
dan harus bisa melakukan semua tahapan
produksi, Ujang menggaji karyawannya dengan
nilai yang sama rata. Pembayaran biasanya
dilakukan setiap minggu, tapi bagi yang sudah
berkeluarga, “Mereka dibayar per bulan, supaya
uangnya enggak langsung habis,” kelakarnya.
Urusan karyawan yang dibajak juga pernah
dialami Ujang. Namun dia tidak terlalu khawatir
dengan persoalan itu, sebab biasanya mereka
kembali ke tempatnya lagi karena merasa tidak
cocok dengan si pembajak. Bagi Ujang, semua itu
ada hikmahnya. Demikian pula dengan usaha
ayahnya yang kini dipegang oleh sang Adik.
Ujang tidak menganggapnya sebagai pesaing,
justru masih sering memberikan bantuan stok
kepada adiknya.
Demi mendapatkan barang sesuai dengan yang
diinginkan pemesan, Ujang selalu mengawasi
pekerjaan anak buahnya. Untuk hal ini dia di
bantu salah satu kerabatnya yang dikenal jujur.
Dengan pengalamannya mengerjakan pesanan
sendiri, Ujang tahu mana barang yang tidak layak
atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Kalau
sudah begitu, tak ayal lagi Ujang lebih memilih
untuk membuat ulang pesanan itu.
BERSIAP UNTUK ESTAFET
Ujang sudah mulai menurunkan ilmu bisnisnya
kepada anak tertuanya yang kini sudah berusia
26 tahun. Dia melihat potensi besar putra
sulungnya itu, terutama ketika Ujang berangkat
haji dan menyerahkan cek Rp l00 juta, uang
tunai Rp 150 juta, dan stok timah 40 ton. Selama
40 han Ujang beribadah, si sulung berhasil
mengolah ‘modal’ tersebut hingga mendapatkan
omzet Rp 1 miliar dan untung sekitar Rp 300
juta.
“Saya audit lagi, stok timah malah nambah.
Saya pikir, anak ini jujur. Yang saya kagum, selain
tenang beribadah, ternyata pembukuannya juga
beres,” ujarnya bangga. Belum lagi dari penjualan
abu timah, putra sulungnya itu mendapatkan Rp
12,8juta. Ujang berencana menurunkan usahanya
ini kepada putra-putranya. Dia menggembleng
langsung Dede dan Heri untuk terjun ke bisnis ini,
juga mendukung anaknya yang sedang menjajaki
perluasan usaha di Kebumen, Jawa Tengah.
Nantinya, Ujang berharap anak-anaknya dapat
mengelola usahanya secara lebih profesional,
sebab hingga saat ini Ujang menjalankannya
hanya bermodalkan intuisi semata. Urusan
manajemennya pun masih ditanganinya sendiri.
Jika putra-putranya sudah mumpuni, Ujang berniat
melebarkan sayap membuka cabang di Pulau
Sumatera karena cukup banyak bisnis timah di
daerah tersebut yang menginduk ke tempat Ujang.
Selain perluasan bisnis, Ujang berencana
memproduksi timah plat yang saat ini sedang
dibuat cetakannya. Timah plat yang berbentuk
seperti kertas timah di bungkus rokok ini juga
ditujukan untuk mempermudah para nelayan
sehingga tidak perlu menggunakan bandul
pemberat alat pancing lagi. Timah plat cukup
dilipat-lipat saja untuk kemudian dipasangkan
di mata pancing sebagai pemberat.
Menurut perhitungannya, dari satu kilogram
timah akan didapatkan sekitar 12 lembar timah
plat berukuran 20 x 20 cm. Harganya sekitar
Rp 40 ribu, jauh lebih mahal ketimbang bandul
pemberat yang dijualnya di kisaran Rp 26 ribu
hingga Rp 27 ribu. “Hanya saja saat ini saya
sedang proses bikin matresnya dulu untuk nipisin
timahnya,” ujarnya, yang berharap tahun ini
mesin tersebut sudah siap digunakan.
Pasalnya, timah plat ini sudah banyak yang
memesan, sehingga lambatnya pembuatan mesin
membuat Ujang agak kelabakan. Padahal,
Ujang amat enggan membuat pelanggannya
kecewa karena terlalu lama menunggu. Itu
bertentangan dengan kunci sukses usahanya.
“Kalau janji mesti tepat, itu termasuk kunci
sukses,” tegasnya di akhir pertemuan.
Catatan Rhenald Kasali
KESULITAN YANG DIALAMI orangtua tidak selalu diturunkan kepada anak-anaknya
dalam bentuk kesulitan-kesulitan baru. Anak-anak yang menyaksikan kesedihan
dapat berontak, dan satu di antara mereka akan memberikan ‘perlawanan
positif’. Dendam. Anak itu tidak mengambil sisi yang negatif melainkan
berikrar. “Jlka aku sudah dewasa akan kubuat anak-anakku tersenyum.
Aku pedih merasakannya, melihat orang bolak-balik menagih utang dengan
penuh ancaman. Melihat Ayah tak bisa berkata apa-apa. Pedih merasa putus
asa, tidak ada makanan di meja makan. Pedih melihat ibu menangis melindungi
anak-anaknya.”
Anak itu bergerak dan mempelajari apa yang harus dihindarkan kalau ingin
lebih berhasil dari ayahnya. Ilmu itu adalah sebuah refleksi yang
menghasilkan ilmu mitigasi risiko, yaitu mengurangi segala resiko yang akan
berujung pada kebangkrutan. Saya bertemu beberapa usahawan muda yang
dulunya, kecÃlnya mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami Ujang.
Dari situlah mereka belajar mengambil celah, membayar tunai—mendapatkan
marjin lebih besar dengan menciptakan keunggulan-keunggulan, merekrut
pegawai bukan berdasarkan kecerdasan melainkan kejujuran, dan menuntut
pembayaran tunai. Bisnis, selain ada untung-rugi, selalu ada risiko-
risikonya. Maka hadapilah, atasilah, bertarunglah, dan buatlah mekanisme
untuk mengatasìnya.
Pertama, jangan mendiamkan. Bisnis menjadi rusak karena Anda diamkan. Kalau
sudah turun, bisnis akan turun terus kalau Anda diamkan. Maka carilah
langkah-langkah baru. Yang jelas jangan didiamkan. Kedua, cari cara-cara
baru. Hampir mustahil Anda mendapatkan hasil yang berbeda kalau cara yang
Anda tempuh sama dengan yang dilakukan generasi pendahulu Anda. Cara yang
ditempuh para pendahulu adalah cara yang oocok dilakukan kala tak ada
persaingan, dengan selera pasar yang masih sederhana. Oleh karena zaman
yang Anda hadapi berbada, maka gunakanlah cara berbeda.
Ketiga, latihlah diri Anda membaca hal-hal yang kasat mata namun tak
terlihat oleh banyak orang. Caranya, bangun kepedulian. Hanya orang-orang
yang peduli menjadi manusia yang sensitif terhadap suara-suara alam.
Dengarkanlah gejolak-gejolak suara alam yang keluar dari mulut dan gerakan
tubuh manusia. Niscaya dari situ Anda akan mengenali kebutuhan-kebutuhan
mereka dan mengenal perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya manusia yang
cepat menangkap gejolak-gejolak perubahan itulah yang adaptif dan mampu
membaca peluang.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Sarini, Srikandi Batik dari Cirebon yang Produknya Sudah Menembus Mancanegara
Sarini, Jepang & Thailand Pelanggan Batik Sarini
Popularitas yang menanjak
karena nyaris diklaim sebagai warisan
budaya negeri tetangga justru
membawa berkah bagi para perajin
batik di sini. Begitulah yang dialami
pengusaha batik asal Cirebon ini.
BUKAN hal yang aneh jika melihat ada
pejabat penting negara yang berkunjung
ke usaha batik Sarini. Sejak tahun 2005,
batik Sarini memang kerap dikunjungi orang-
orang penting, termasuk Wakil Gubernur Jawa
Barat, Dede Yusuf beserta istri, ibu Negara Ani
Yudhoyono, bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sendiri. Mereka mendatangi show
room-nya di Weru, Cirebon. Semua itu berkat
kreativitas dalam kegigihannya melestarikan
kain batik.
Usaha Batik Sarini yang dijalani wanita
berusia 57 tahun ini sudah berdiri jauh sebelum
UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya
tak benda dari Indonesia. Berawal dari
usaha kedua orangtuanya, Sarini rela berhenti
bersekolah di kelas lima SD demi membantu
usaha orangtuanya.
Saat itu, orangtua Sarini masih berpikiran
bahwa sekolah tidak terlalu penting. Mereka
berpendapat tugas utama seorang anak perempuan
adalah membantu orangtua. Maka, Sarini pun
tidak punya pilihan lain. Meski begitu, Sarini
mendapat kesempatan belajar menjalankan
usaha batik, hingga memiliki kelihaian dalam
memilih dan mewarnai bahan, lalu menulis dan
mengecap bahan tersebut menjadi kain batik
yang cantik. Keahlian tersebut mendorongnya
berkreasi membuat motif baru yang berbeda
dari perajin batik lain di sekitarnya.
Berbekal pengalamannya itulah Sarini kemudian
mulai berpikir untuk memisahkan diri dari
usaha orangtuanya dan membuka usaha batik
sendiri. Pada tahun 1976 keinginannya itu terwujud.
Ia mendirikan Usaha Batik Sarini yang
diambil dari namanya sendiri. Modal awal yang
ia miliki ketika itu hanyalah enam lembar kain
dan uang sebesar Rp 500 ribu. Dengan tangannya
sendiri, Sarini mengubah keenam lembar kain
tersebut menjadi kain dan sarung batik tulis
serta cap yang kemudian dipasarkannya melalui
koperasi.
PEMILIK SHOWROOM PERTAMA
Ya, bersama suaminya, Sarini membesarkan
usaha batik, awalnya melalui koperasi di
sekitar Cirebon. Selain ke koperasi, ia
juga menjualnya ke seorang saudagar batik
keturunan Tionghoa. Pesanan demi pesanan ia penuhi,
sampai akhirnya Sarini memberanikan diri memasarkan
batiknya ke luar kota seperti
Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.
Di Jakarta, Sarini menetapkan titik penjualannya
ke Pasar Tanah Abang, karena menurutnya
permintaan kain batik di sana cukup tinggi. Benar
saja, tak butuh waktu lama, Sarini mendapatkan
kerja sama dengan enam toko batik di pasar Tanah
Abang. Sarini pun mengirimkan batiknya ke Pasar
Grosir Tanah Abang sekali setiap seminggu.
Akibatnya, penjualan ke Jakarta meledak bila
dibandingkan dengan penjualan ke Bandung atau
Yogyakarta.
Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun
Terus meningkat. Sarini tidak hanya mengirimkan
bahan per potong, melainkan per kodi (20 potong kain).
Seiring berjalannya waktu Sarini mulai dapat memutar
keuntungan yang ia peroleh dan membuka showroom Usaha
Batik Sarini di Cirebon tahun 1985.
“Dulu, di Cirebon belum ada banyak showroom, yang ada
hanya koperasi. Sementara saya yang sudah mengenal
batik sejak tahun ‘70-an, merasa bahwa batik bisa jadi
usaha yang cocok di sini. Akhirnya, sayalah yang
pertama kali membuka showroom di daerah sini,”
kenang Sarini tentang awal membangun usaha
batiknya.
Kala itu, ikiim usaha batik sedang membaik. Dengan bahan
baku yang terbilang cukup murah, yakni bahan katun seharga Rp
6o ribu per lembar, seorang pengusaha batik mampu menjualnya
dengan harga beberapa kali lipat. Jika seoräng pengusaha batik
memiliki modal sebesar Rp 125 ribu, setelah menjadi kain batik
ia dapat menjualnya dengan harga Rp 350 ribu. Selain masih
sedikitnya perajin batik di daerah Cirebon, showroom yang ia
bangun menjadi daya tarik yang penting.
Ternyata membuat showroom adalah keputusan yang tepat.
Showroom-nya tidak hanya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga
diminati importir dari Jepang. Pada awal usahanya, dia mengirim
batik ke Jepang dengan omzet Rp 15 juta per tahun. Hingga saat
ini, hubungan Sarini dengan importir Jepang
tersebut masih berlanjut.
Selain sebagai tempat untuk memproduksi
dan memasarkan produknya, showroom tersebut juga
digunakan untuk menampung hasil
batik dari para perajin kecil di sekitar showroom.
Sarini membeli produk mereka, kemudian
memasarkan ke langganannya di Jakarta, Bandung,
Makassar, dan Lampung.
PAMERAN? AYO SAJA!
Sebagai pengusaha batik, salah satu cara jitu
memasarkan produknya adalah dengan mengikuti
pameran. “Saya ikut berbagai pameran.
Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran
dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak
konsumen bertanya kapan ada pameran
lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran
yang sempat diikutinya di Jakarta Convention
Center. Terlebih lagi, Sarini mendapatkan bantuan
sebesar Rp 1,5 juta. “Saat pameran di JCC
ada pembeli dari Singapura yang memborong
dagangan saya sejumlah Rp 26 juta. Sedangkan
pelanggan terjauh saya berasal dari Jepang,”
tutur Sarini.
Namun, pada tahun 2005 kehidupan Sarini
dilanda musibah keluarga. Ia memutuskan berpisah
dari suaminya dan hal ini mengakibatkan
pecahnya kongsi bisnis mereka. Akibatnya Sarini
harus memulai usaha batik yang sudah
dirintisnya sejak usia 22 tahun itu dari awal lagi.
Sarini pun mengontrak sebuah rumah, tidak
jauh dari bekas showroom-nya dahulu.
Pada saat itulah Sarini bertemu dengan bank
bjb yang menaruh perhatian pada usahanya
dan memberi suntikan modal sebesar Rp 5 juta.
Dengan modal tersebut, Sarini bangkit dari
permasalahannya dan usahanya kembali melesat.
Peminatnya kini bukan lagi dari seputar
Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, namun juga
dari Surabaya, Lampung, Palembang, dan
Jambi, bahkan Thailand.
Perkembangan usaha Batik Sarini membuat
bank bjb semakin percaya pada kemampuan
usaha Sarini. Pinjaman yang diberikan pun
bertambah, menjadi Rp lo juta, Rp 70 juta, lalu
Rp 200 juta di tahun 2011. Pinjaman itu
Dimanfaatkan dengan cermat oleh Sarini
untuk membangun showroom sendiri, sehingga
ia tidak perlu lagi mengontrak. Dia juga
membuka dua cabang, yaitu di Trusmi, Plered,
Cirebon dan pusat perbelanjaan batik di
Thamrin City, Jakarta.
Sejak menjadi debitur bank bjb, Sarini pun
‘keranjingan’ mengikuti pameran. Bahkan
bisa sebulan sekali. Kocek yang berani ia
rogoh pun tidak sedikit. Sekali mengikuti
pameran di JCC, misalnya, dia harus
mengeluarkan uang minimal Rp 10 juta. Belum
lagi biaya transportasi dan penginapan.
Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp
15 juta untuk setiap pameran.
Meski demikian, tujuan utama Sarini mengikuti
pameran bukanlah mencari keuntungan sesaat.
Sebab, biasanya hasil penjualan di
pameran hanya bisa menutup biaya yang
dikeluarkan. Justru pesanan jangka panjang
lah yang menjadi targetnya.
Selama beberapa kali mengikuti pameran,
Sarini menyimpulkan bahwa kegiatan ini
terbukti manjur untuk mendapatkan order
jangka panjang dan meningkatkan omzet
penjualan batiknya. Pesanan yang datang dari
pameran kadang membuatnya kewalahan. Selain
tenaga kerja, modal yang terbatas juga
bisa menjadi masalah. Misalnya dengan total
order Rp 70 juta, pemesan biasanya hanya
memberikan uang muka Rp 10 juta. Karena itu
Sarini kerap meminta bantuan ke bank bjb
sebagai modal kerja untuk menutupi kekurangan
biaya membeli bahan baku, seperti kain,
alat membatik, cap, dan pewarna. Setelah
produksi selesai dan pesanan dikirim, baru
lah pemesan membayarkan sisa pembayarannya
dan Sarini membayar angsuran pinjamannya
ke bank dengan penuh disiplin.
MEMBUAT MOTIF SENDIRI
Dalam mengelola usaha, Sarini langsung turun
tangan mengatur penyediaan bahan baku dan
proses produksi. Ia mendapatkan bahan bakunya
dari 3 toko di kawasan Pekalongan. Walau
kadang terdapat perbedaan harga, Sarini
menganggapnya masih dalam kondisi wajar.
Ia hanya tinggal memilih harga yang paling murah dari
ketiga tawaran tersebut. Sarini pun kini tidak
perlu repot datang ke toko tersebut karena sudah
mengenal kualitas bahan yang disediakan.
Tinggal telepon dan transfer, barang pun di
kirim. Bahan yang biasa digunakan adalah
katun dan sutra, namun saat ini bahan katunlah
yang lebih banyak diminati.
Dari kain polos Sarini menjadikannya aneka
produk pakaian batik. Ia mengembangkan
beberapa model baju yang dapat diproduksi
secara massal. Sementara untuk pesanan khusus,
Sarini menyediakan penjahit tersendiri.
Untuk memenuhi pesanan seperti ini biasanya
dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, dan para
penjahit dibayar antara Rp 40 ribu hingga Rp
125 ribu per baju, tergantung tingkat kesulitan.
Batik Sarini memiliki ciri khas pada motifnya
yang unik. Bayangkan saja, ia menciptakan motif
yang tidak biasa untuk kain batik, misalnya,
kupu-kupu, capung, sepeda, payung, kotak,
kelereng, dan parang. Bahkan Sarini kini sedang
membuat motif bola basket dan renang. Hal ini
memberi nuansa berbeda dibandingkan batik
Cirebon lainnya. Meski begitu, motif khas mega
mendung (atau motif Garutan) tidak pernah ia
lupakan karena motif ini paling dikenal orang
dan otomatis paling laris.
Sarini biasanya merancang motif batiknya
di atas secarik kertas, kemudian dua orang
pekerjanya yang ahli merancang motif
menggambarnya pada selembar kain. Salah satunya
adalah adik kandungnya sendiri. Setelah di
gambar, dilakukan proses mengecap atan menulis.
Dari segi waktu pengerjaan, batik cap
memang lebih singkat—hanya dua hari—ketimbang
batik tulis yang bisa memakan waktu l-2 bulan.
SELUK BELUK BISNIS KELUARGA
“Ada dua adik saya yang bertugas menggambar,
tapi ada juga yang bertugas mengecap dan lainnya.
Total ada sekitar 10 orang keluarga yang
ikut mengembangkan usaha,” papar Sarini.
Mempekerjakan keluarga dalam usaha memang
ciri khas usaha kecil dan menengah Indonesia,
namun tentu saja bukan perkara mudah. Sarini
pun mengakui, terkadang timbul perselisihan di
antara mereka. Namun demikian, perselisihan
itu masih dalam batas wajar dan semua bisa
diselesaikan.
Ketika merekrut keluarga sendiri, Sarini
bukannya tidak mempertimbangkan segala hal.
Namun, Sarini merasa tidak dapat mengerjakan
semuanya sendiri. Ia membutuhkan bakat dan
keahlian yang turun-temurun telah dimiliki
keluarganya, sehingga menjadikan mereka sangat
terampil dan ahli dalam memproduksi kain batik.
Selain itu, beberapa di antara anggota keluarganya
memang membutuhkan pekerjaan.
Selain anggota keluarga, Sarini juga merekrut
Sekitar 30 orang pekerja yang berasal dari
warga sekitar. Setiap orang dilatih agar
mampu membatik, mengecap, mewarnai, dan mencelup.
Setelah dilatih, Sarini mengelompokkan mereka
sesuai dengan spesialisasi masing-masing.
Misalnya, untuk pekerjaan mengecap diperlukan
dua orang, mencelup dibutuhkan tiga orang,
sedangkan tim membatik sebanyak 20-an orang.
Untuk upah, Sarini membayar secara borongan
Berdasarkan pekerjaan yang dihasilkan. Kisarannya
untuk pekerja wanita bisa mendapatkan Rp 15-20
ribu per hari, sementara pekerja laki-laki Rp 6o
ribu per hari.
Meski demikian, hambatan tetap saja ada.
Pernah ada karyawannya yang dibajak atau
pindah ke tempat lain, “Tetapi ujung-ujungnya
juga ada yang balik lagi karena lebih merasa
nyaman bekerja di tempat saya,” ujarnya sambil
tersenyum. Untuk menyiasati agar karyawannya
betah, Sarini memberikan mereka bonus dari
batik yang berhasil dijual saat pameran.
Walau usahanya banyak melibatkan keluarga,
Sarini mengaku bakal mengalami kesulitan
mendapatkan penerus. Pasalnya, dari
ketiga anaknya ia belum melihat ada yang
berminat meneruskan bisnis batiknya. Dua anaknya
telah menikah dan tinggal di Surabaya.
Anak pertamanya menikah dengan seorang pria
yang memiliki usaha toko emas, anak keduanya
adalah seorang sarjana kehutanan dan bekerja
sebagai pegawai, sementara anaknya ketiga
cenderung tidak berminat bisnis.
Padahal, Sarini beranggapan bahwa menjadi
pengusaha jauh lebih nyaman dibandingkan
menjadi pegawai. “Kalau usaha kita maju,
pendapatan yang dihasilkan akan lebih besar dari
gaji bulanan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa
naik gaji paling hanya setahun sekali. Menurut
saya, berdagang merupakan pekerjaan yang
memerlukan kreativitas tinggi,” kata Sarini
yang berharap sang Adik akan menjadi penerus
usahanya kelak.
PERSAINGAN SHOWROOM BATIK
Dalam persaingan bisnis batik Cirebon, selain
motif, Sarini juga menganggap faktor harga
sebagai hal yang penting. Terutama untuk para
pembeli grosiran. Jika harga satuan kainnya
mencapai Rp 50 ribu, harga grosirannya sebesar
Rp 40 ribu.
Meskipun potongan harga yang diberikan
tidak terlalu banyak, pasti bisa membuat
pesaingnya merasa terancam. “Pernah ada
yang iri, kalau saya ikut pameran mereka suka
membicarakan saya di belakang. Tapi biar
bagaimanapun, namanya juga usaha, kita harus
tetap maju. Hal itu tidak memengaruhi saya,”
ujar Sarini mantap.
Kini, dengan menjamurnya showroom batik di
Cirebon, Sarini merasakan sengitnya
persaingan. Karena itu ia melakukan ekspansi
dengan membuka kios dan lapak di Thamrin
City, Jakarta. Awalnya, Sarini mendapat kios
tersebut secara cuma-cuma, mengingat pusat
batik di Jakarta itu masih terbilang baru. Namun,
sejak lokasinya ramai, ia harus mengeluarkan
Rp1.050.000 per bulan untuk sewa kios. Tarif
sewa itu menurutnya masih terbilang murah jika
dibandingkan dengan biaya sewa kios di tempat
lain. Di Bandung, misalnya, tarif sewanya bisa
mencapai belasan juta rupiah per bulan.
Dua bulan pertama berada di Thamrin
City, kios Batik Sarini sepi pengunjung. Tiga
pekerjanya bahkan sampai tak betah karenanya.
Sarini pun tidak tinggal diam. Ia mengirimkan
sms kepada para pelanggannya yang berada di
Jakarta untuk mengabari bahwa Batik Sarini
juga tersedia di Jakarta. Sarini berharap para
pelanggannya lebih senang karena tidak perlu
jauh-jauh datang ke Cirebon lagi. Voila! Sejak
itu kiosnya ramai pengunjung. Meski baru enam
bulan berjalan, Sarini mampu meraih omzet
hingga Rp 40 juta per bulan.
“Sebagai orang bisnis, kita harus punya tanggung
jawab kepada karyawan. Jangan sampai karyawan
kita telantar. Itu yang harus kita
perjuangkan untuk bersama-sama mengembangkan
usaha,” ujarnya optimis. Karenanya,
Sarini tidak pernah hanya pasif menunggu
pesanan. Jika dari pelanggannya tidak ada kabar,
dia aktif menelepon menanyakan apakah
mereka memerlukan bahan batik baru. Dengan
cara ini, pesanan pun rutin datang mengalir.
Menurut perhitungan Sarini, kini total
omzetnya bisa mencapai Rp 50 juta-70 juta per
bulan. Dengan keuntungan dari penjualan batik
per potong berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp
125 ribu, setiap bulannya Sarini mampu meraih
keuntungan bersih sebesar Rp 8 juta.
MANAJEMEN USAHA
Berjualan batik ternyata juga ada musimnya.
Sama seperti usaha tekstil lainnya, sebulan
sebelum Ramadhan biasanya pesanan bisa
melonjak hingga tiga kali lipat, mencapai ratusan
kodi. Terkadang Sarini merasa kewalahan dengan
banjirnya pesanan, mengingat semua
pemesannya meminta cepat, sementara tenaga
pekerjanya tetap. Pesanan biasanya membanjir
dari Jakarta dan Bandung.
Belum lagi jika ada jadwal pameran di waktu
yang sama. Hal tersebut sering kali membuatnya
semakin kewalahan. “Setiap kali mengikuti
pameran kita harus sudah mempersiapkan
barangnya. Jadi produksi harus lebih cepat.
Sementara bagian produksi masih kewalahan
menepati janji pesanan sebelumnya,” tutur
wanita yang dari usaha batiknya ini sudah
menunaikan ibadah haji di tahun 2001 lalu.
Dalam kondisi normal, produksi batik Sarini
mencapai 5-6 kodi pakaian jadi per hari. Jumlah
tersebut terdiri dari batik cap, tulis, serta
kombinasi kedua metode tersebut. Produk yang
dihasilkan berupa rok, kemeja pria, baju pesta,
blus wanita, gamis, dan kerudung. Meskipun
menghasilkan banyak inovasi produk, Sarini
paham henar bahwa yang paling digemari
adalah kain batik sepanjang 2 meter dan 2,5
meter, karena konsumen lebih bebas berkreasi
membuat pakaian yang sesuai dengan keinginan
serta kebutuhan mereka. “Saya selalu mengarahkan
para sales untuk lebih dulu menjual
produk jadi, agar barang tidak menumpuk,”
papar Sarini.
Selain menyiasati target penjualan, Sarini
juga mengelompokkan harga sesuai produknya.
Kemeja pria dihargai mulai dari Rp 35 ribu
untuk pembelian kodian dan Rp 50 ribu untuk
pembelian satuan. Sementara bahan batik
dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.
Untuk mempermudah pembayaran, Sarini
membuat beberapa sistem pembayaran, seperti
tunai, transfer, atau diangsur. Bagi pembeli yang
mengambil dalam jumlah banyak, ia memberi
keringanan tempo pembayaran selama dua
minggu hingga sebulan. Untuk pembeli dari luar
daerah, Sarini memberikan keringanan ongkos
kirim agar konsumen tetap setia padanya.
Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui
inovasi produk secara kontinyu. Sarini
berupa menciptakan model-model baru yang
lebih variatif dengan menggunakan warna yang
banyak digemari, seperti merah dan cokelat.
Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan
tertinggi yang datang ke showroom maupun
cabangnya. Hasilnya, pelanggan menyukai
inovasi tersebut dan membuntuti setiap pameran
yang diikutinya. Hal ini memacu Sarini untuk
terus berinovasi dan berjuang mengembangkan
usahanya.
Mengenai teknologi, Sarini merasa tidak begitu
memerlukannya. Segalanya dilakukan secara
manual, termasuk pencatatan keuangan.
Kalaupun menggunakan teknologi paling-paling
sebatas memiliki akun Facebook Batik Sarini
sebagai sarana promosi. Akun tersebut dikelola
oleh karyawannya karena Sarini tidak begitu
mengerti social network. “Saya lebih mahir
mengatur masalah pameran dibandingkan jika
harus mengurus teknologi,” ungkapnya jujur.
Namun demikian pameran tidak selalu
berbuah manis. Ada masanya pameran yang
diikuti Sarini malah membuatnya rugi karena
sepi pengunjung. Kalau sudah begini, Sarini
harus mencari pinjaman lain untuk menutupi
biaya operasional pameran. Menurut Sarini,
bank bjb sangat kooperatif dan berperan besar
dalam membantu mengembangkan usahanya,
baik ketika mengalami masa sulit maupun masa
jaya. Jika pameran yang diikutinya berhasil,
pembayaran pinjamannya ke bank bjb juga
lancar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan ketika mengalami kerugian, Sarini
diberi kemudahan dengan cara diperbolehkan
hanya membayar bunganya saja.
Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya
terpuruk. Dia memilih untuk segera bangkit.
Saat ini, Sarini memusatkan perhatian pada
rencana untuk menambah showroom di Bandung.
Sebab, dari pengalamannya mengikuti pameran,
banyak pelanggannya yang menanyakan cabang
Batik Sarini di Bandung. Pembelinya di Cirebon
pun banyak orang Bandung. Selama ini, rencana
tersebut masih terbentur harga sewa kios yang
cukup tinggi di Bandung.
“Pendapatannya masih bagus di showroom
yang di sini. Sesekali masih mengikuti pameran di
luar kota. Tapi keinginan saya untuk buka show
room lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada
rezekinya,” ujarnya optimis.
Catatan Rhenald Kasali
SELAIN JELI MELIHAT peluang, keuletan dan tahan banting adalah ciri lain
seorang wirausaha. Siapakah yang tidak pernah jatuh atau mengalami ujian?
Perhatikanlah yang dialami ibu tiga anak dari Cirebon ini. Bercerai dari
Suami dan memulainya kembali dari nol, anak-anak tidak ada yang mau
meneruskan usaha, cemoohan dari para pesaing saat Ãa ikut pameran, lokasi
usaha yang sepi saat membuka di Tharnnin City, dan seterusnya.
Semua itu dilalui Sarini dari hari ke hari. Namun, yang terpenting bagi
setiap usahawan adalah ia bukan telur yang mudah pecah bila jatuh,
melainkan membal bak bola tenis. Usaha keluarga memang penuh ujian. Kalau
keluarga berpisah, modal pun berpisah, Kalau di rumah ribut, di warung pun
ribut. Sebaliknya juga demikian. Rapat kantor ya rapat keluarga. Semua ikut
mempengaruhi.
Tetapà kalau bukan keluarga siapa lagi yang membantu? Modal tidak besar,
tenaga profesional belum bisa dibiayai, produksi belum lancar ya seluruh
anggota keluarga harus ikut menopang. Minimal suami atau istri memegang
keuangan karena uang butuh kepercayaan. Tetapi juga tak ada jaminan bahwa
anggota keluarga tidak berkhianat. Namun, manusia lebih ikhlas bila
kepercayaan dipegang keluarga.
Kepercayaan tidak hanya diperlukan kepada anggota keluarga melainkan juga
dari pasar. Itu sebabnya Anda tak bisa bermalas-malasan. Setiap saat Anda
harus terus memutar otak, berinovasi dan menjembatani produk dengan
pelanggan. Maka diperlukan hubungan baik dengan bank. Sebab bank yang
percaya akan membantu mereka yang bersungguh-sungguh untuk menjembatani
Anda dengan pasar. Usaha keluarga juga memerlukan ‘jendela’, ÿaitu bingkai
untuk melihat keluar. Usaha keluarga tak berjendela akan membuat Anda diam
di tempat bak dinosaurus, besar namun mudah punah. Itu sebabnya pameran-
pameran sangat diperlukan sama halnya dengan showroom. Sebab betapa pun
bagusnya karya Anda ‘tanpa jendela’ tak ada interaksi, tak ada kemajuan.
Make bukalah jendela, bangun hubungan dengan pelanggan-pelanggan Anda
dan jangan mudah pecah seperti telur.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Popularitas yang menanjak
karena nyaris diklaim sebagai warisan
budaya negeri tetangga justru
membawa berkah bagi para perajin
batik di sini. Begitulah yang dialami
pengusaha batik asal Cirebon ini.
BUKAN hal yang aneh jika melihat ada
pejabat penting negara yang berkunjung
ke usaha batik Sarini. Sejak tahun 2005,
batik Sarini memang kerap dikunjungi orang-
orang penting, termasuk Wakil Gubernur Jawa
Barat, Dede Yusuf beserta istri, ibu Negara Ani
Yudhoyono, bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sendiri. Mereka mendatangi show
room-nya di Weru, Cirebon. Semua itu berkat
kreativitas dalam kegigihannya melestarikan
kain batik.
Usaha Batik Sarini yang dijalani wanita
berusia 57 tahun ini sudah berdiri jauh sebelum
UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya
tak benda dari Indonesia. Berawal dari
usaha kedua orangtuanya, Sarini rela berhenti
bersekolah di kelas lima SD demi membantu
usaha orangtuanya.
Saat itu, orangtua Sarini masih berpikiran
bahwa sekolah tidak terlalu penting. Mereka
berpendapat tugas utama seorang anak perempuan
adalah membantu orangtua. Maka, Sarini pun
tidak punya pilihan lain. Meski begitu, Sarini
mendapat kesempatan belajar menjalankan
usaha batik, hingga memiliki kelihaian dalam
memilih dan mewarnai bahan, lalu menulis dan
mengecap bahan tersebut menjadi kain batik
yang cantik. Keahlian tersebut mendorongnya
berkreasi membuat motif baru yang berbeda
dari perajin batik lain di sekitarnya.
Berbekal pengalamannya itulah Sarini kemudian
mulai berpikir untuk memisahkan diri dari
usaha orangtuanya dan membuka usaha batik
sendiri. Pada tahun 1976 keinginannya itu terwujud.
Ia mendirikan Usaha Batik Sarini yang
diambil dari namanya sendiri. Modal awal yang
ia miliki ketika itu hanyalah enam lembar kain
dan uang sebesar Rp 500 ribu. Dengan tangannya
sendiri, Sarini mengubah keenam lembar kain
tersebut menjadi kain dan sarung batik tulis
serta cap yang kemudian dipasarkannya melalui
koperasi.
PEMILIK SHOWROOM PERTAMA
Ya, bersama suaminya, Sarini membesarkan
usaha batik, awalnya melalui koperasi di
sekitar Cirebon. Selain ke koperasi, ia
juga menjualnya ke seorang saudagar batik
keturunan Tionghoa. Pesanan demi pesanan ia penuhi,
sampai akhirnya Sarini memberanikan diri memasarkan
batiknya ke luar kota seperti
Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.
Di Jakarta, Sarini menetapkan titik penjualannya
ke Pasar Tanah Abang, karena menurutnya
permintaan kain batik di sana cukup tinggi. Benar
saja, tak butuh waktu lama, Sarini mendapatkan
kerja sama dengan enam toko batik di pasar Tanah
Abang. Sarini pun mengirimkan batiknya ke Pasar
Grosir Tanah Abang sekali setiap seminggu.
Akibatnya, penjualan ke Jakarta meledak bila
dibandingkan dengan penjualan ke Bandung atau
Yogyakarta.
Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun
Terus meningkat. Sarini tidak hanya mengirimkan
bahan per potong, melainkan per kodi (20 potong kain).
Seiring berjalannya waktu Sarini mulai dapat memutar
keuntungan yang ia peroleh dan membuka showroom Usaha
Batik Sarini di Cirebon tahun 1985.
“Dulu, di Cirebon belum ada banyak showroom, yang ada
hanya koperasi. Sementara saya yang sudah mengenal
batik sejak tahun ‘70-an, merasa bahwa batik bisa jadi
usaha yang cocok di sini. Akhirnya, sayalah yang
pertama kali membuka showroom di daerah sini,”
kenang Sarini tentang awal membangun usaha
batiknya.
Kala itu, ikiim usaha batik sedang membaik. Dengan bahan
baku yang terbilang cukup murah, yakni bahan katun seharga Rp
6o ribu per lembar, seorang pengusaha batik mampu menjualnya
dengan harga beberapa kali lipat. Jika seoräng pengusaha batik
memiliki modal sebesar Rp 125 ribu, setelah menjadi kain batik
ia dapat menjualnya dengan harga Rp 350 ribu. Selain masih
sedikitnya perajin batik di daerah Cirebon, showroom yang ia
bangun menjadi daya tarik yang penting.
Ternyata membuat showroom adalah keputusan yang tepat.
Showroom-nya tidak hanya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga
diminati importir dari Jepang. Pada awal usahanya, dia mengirim
batik ke Jepang dengan omzet Rp 15 juta per tahun. Hingga saat
ini, hubungan Sarini dengan importir Jepang
tersebut masih berlanjut.
Selain sebagai tempat untuk memproduksi
dan memasarkan produknya, showroom tersebut juga
digunakan untuk menampung hasil
batik dari para perajin kecil di sekitar showroom.
Sarini membeli produk mereka, kemudian
memasarkan ke langganannya di Jakarta, Bandung,
Makassar, dan Lampung.
PAMERAN? AYO SAJA!
Sebagai pengusaha batik, salah satu cara jitu
memasarkan produknya adalah dengan mengikuti
pameran. “Saya ikut berbagai pameran.
Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran
dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak
konsumen bertanya kapan ada pameran
lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran
yang sempat diikutinya di Jakarta Convention
Center. Terlebih lagi, Sarini mendapatkan bantuan
sebesar Rp 1,5 juta. “Saat pameran di JCC
ada pembeli dari Singapura yang memborong
dagangan saya sejumlah Rp 26 juta. Sedangkan
pelanggan terjauh saya berasal dari Jepang,”
tutur Sarini.
Namun, pada tahun 2005 kehidupan Sarini
dilanda musibah keluarga. Ia memutuskan berpisah
dari suaminya dan hal ini mengakibatkan
pecahnya kongsi bisnis mereka. Akibatnya Sarini
harus memulai usaha batik yang sudah
dirintisnya sejak usia 22 tahun itu dari awal lagi.
Sarini pun mengontrak sebuah rumah, tidak
jauh dari bekas showroom-nya dahulu.
Pada saat itulah Sarini bertemu dengan bank
bjb yang menaruh perhatian pada usahanya
dan memberi suntikan modal sebesar Rp 5 juta.
Dengan modal tersebut, Sarini bangkit dari
permasalahannya dan usahanya kembali melesat.
Peminatnya kini bukan lagi dari seputar
Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, namun juga
dari Surabaya, Lampung, Palembang, dan
Jambi, bahkan Thailand.
Perkembangan usaha Batik Sarini membuat
bank bjb semakin percaya pada kemampuan
usaha Sarini. Pinjaman yang diberikan pun
bertambah, menjadi Rp lo juta, Rp 70 juta, lalu
Rp 200 juta di tahun 2011. Pinjaman itu
Dimanfaatkan dengan cermat oleh Sarini
untuk membangun showroom sendiri, sehingga
ia tidak perlu lagi mengontrak. Dia juga
membuka dua cabang, yaitu di Trusmi, Plered,
Cirebon dan pusat perbelanjaan batik di
Thamrin City, Jakarta.
Sejak menjadi debitur bank bjb, Sarini pun
‘keranjingan’ mengikuti pameran. Bahkan
bisa sebulan sekali. Kocek yang berani ia
rogoh pun tidak sedikit. Sekali mengikuti
pameran di JCC, misalnya, dia harus
mengeluarkan uang minimal Rp 10 juta. Belum
lagi biaya transportasi dan penginapan.
Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp
15 juta untuk setiap pameran.
Meski demikian, tujuan utama Sarini mengikuti
pameran bukanlah mencari keuntungan sesaat.
Sebab, biasanya hasil penjualan di
pameran hanya bisa menutup biaya yang
dikeluarkan. Justru pesanan jangka panjang
lah yang menjadi targetnya.
Selama beberapa kali mengikuti pameran,
Sarini menyimpulkan bahwa kegiatan ini
terbukti manjur untuk mendapatkan order
jangka panjang dan meningkatkan omzet
penjualan batiknya. Pesanan yang datang dari
pameran kadang membuatnya kewalahan. Selain
tenaga kerja, modal yang terbatas juga
bisa menjadi masalah. Misalnya dengan total
order Rp 70 juta, pemesan biasanya hanya
memberikan uang muka Rp 10 juta. Karena itu
Sarini kerap meminta bantuan ke bank bjb
sebagai modal kerja untuk menutupi kekurangan
biaya membeli bahan baku, seperti kain,
alat membatik, cap, dan pewarna. Setelah
produksi selesai dan pesanan dikirim, baru
lah pemesan membayarkan sisa pembayarannya
dan Sarini membayar angsuran pinjamannya
ke bank dengan penuh disiplin.
MEMBUAT MOTIF SENDIRI
Dalam mengelola usaha, Sarini langsung turun
tangan mengatur penyediaan bahan baku dan
proses produksi. Ia mendapatkan bahan bakunya
dari 3 toko di kawasan Pekalongan. Walau
kadang terdapat perbedaan harga, Sarini
menganggapnya masih dalam kondisi wajar.
Ia hanya tinggal memilih harga yang paling murah dari
ketiga tawaran tersebut. Sarini pun kini tidak
perlu repot datang ke toko tersebut karena sudah
mengenal kualitas bahan yang disediakan.
Tinggal telepon dan transfer, barang pun di
kirim. Bahan yang biasa digunakan adalah
katun dan sutra, namun saat ini bahan katunlah
yang lebih banyak diminati.
Dari kain polos Sarini menjadikannya aneka
produk pakaian batik. Ia mengembangkan
beberapa model baju yang dapat diproduksi
secara massal. Sementara untuk pesanan khusus,
Sarini menyediakan penjahit tersendiri.
Untuk memenuhi pesanan seperti ini biasanya
dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, dan para
penjahit dibayar antara Rp 40 ribu hingga Rp
125 ribu per baju, tergantung tingkat kesulitan.
Batik Sarini memiliki ciri khas pada motifnya
yang unik. Bayangkan saja, ia menciptakan motif
yang tidak biasa untuk kain batik, misalnya,
kupu-kupu, capung, sepeda, payung, kotak,
kelereng, dan parang. Bahkan Sarini kini sedang
membuat motif bola basket dan renang. Hal ini
memberi nuansa berbeda dibandingkan batik
Cirebon lainnya. Meski begitu, motif khas mega
mendung (atau motif Garutan) tidak pernah ia
lupakan karena motif ini paling dikenal orang
dan otomatis paling laris.
Sarini biasanya merancang motif batiknya
di atas secarik kertas, kemudian dua orang
pekerjanya yang ahli merancang motif
menggambarnya pada selembar kain. Salah satunya
adalah adik kandungnya sendiri. Setelah di
gambar, dilakukan proses mengecap atan menulis.
Dari segi waktu pengerjaan, batik cap
memang lebih singkat—hanya dua hari—ketimbang
batik tulis yang bisa memakan waktu l-2 bulan.
SELUK BELUK BISNIS KELUARGA
“Ada dua adik saya yang bertugas menggambar,
tapi ada juga yang bertugas mengecap dan lainnya.
Total ada sekitar 10 orang keluarga yang
ikut mengembangkan usaha,” papar Sarini.
Mempekerjakan keluarga dalam usaha memang
ciri khas usaha kecil dan menengah Indonesia,
namun tentu saja bukan perkara mudah. Sarini
pun mengakui, terkadang timbul perselisihan di
antara mereka. Namun demikian, perselisihan
itu masih dalam batas wajar dan semua bisa
diselesaikan.
Ketika merekrut keluarga sendiri, Sarini
bukannya tidak mempertimbangkan segala hal.
Namun, Sarini merasa tidak dapat mengerjakan
semuanya sendiri. Ia membutuhkan bakat dan
keahlian yang turun-temurun telah dimiliki
keluarganya, sehingga menjadikan mereka sangat
terampil dan ahli dalam memproduksi kain batik.
Selain itu, beberapa di antara anggota keluarganya
memang membutuhkan pekerjaan.
Selain anggota keluarga, Sarini juga merekrut
Sekitar 30 orang pekerja yang berasal dari
warga sekitar. Setiap orang dilatih agar
mampu membatik, mengecap, mewarnai, dan mencelup.
Setelah dilatih, Sarini mengelompokkan mereka
sesuai dengan spesialisasi masing-masing.
Misalnya, untuk pekerjaan mengecap diperlukan
dua orang, mencelup dibutuhkan tiga orang,
sedangkan tim membatik sebanyak 20-an orang.
Untuk upah, Sarini membayar secara borongan
Berdasarkan pekerjaan yang dihasilkan. Kisarannya
untuk pekerja wanita bisa mendapatkan Rp 15-20
ribu per hari, sementara pekerja laki-laki Rp 6o
ribu per hari.
Meski demikian, hambatan tetap saja ada.
Pernah ada karyawannya yang dibajak atau
pindah ke tempat lain, “Tetapi ujung-ujungnya
juga ada yang balik lagi karena lebih merasa
nyaman bekerja di tempat saya,” ujarnya sambil
tersenyum. Untuk menyiasati agar karyawannya
betah, Sarini memberikan mereka bonus dari
batik yang berhasil dijual saat pameran.
Walau usahanya banyak melibatkan keluarga,
Sarini mengaku bakal mengalami kesulitan
mendapatkan penerus. Pasalnya, dari
ketiga anaknya ia belum melihat ada yang
berminat meneruskan bisnis batiknya. Dua anaknya
telah menikah dan tinggal di Surabaya.
Anak pertamanya menikah dengan seorang pria
yang memiliki usaha toko emas, anak keduanya
adalah seorang sarjana kehutanan dan bekerja
sebagai pegawai, sementara anaknya ketiga
cenderung tidak berminat bisnis.
Padahal, Sarini beranggapan bahwa menjadi
pengusaha jauh lebih nyaman dibandingkan
menjadi pegawai. “Kalau usaha kita maju,
pendapatan yang dihasilkan akan lebih besar dari
gaji bulanan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa
naik gaji paling hanya setahun sekali. Menurut
saya, berdagang merupakan pekerjaan yang
memerlukan kreativitas tinggi,” kata Sarini
yang berharap sang Adik akan menjadi penerus
usahanya kelak.
PERSAINGAN SHOWROOM BATIK
Dalam persaingan bisnis batik Cirebon, selain
motif, Sarini juga menganggap faktor harga
sebagai hal yang penting. Terutama untuk para
pembeli grosiran. Jika harga satuan kainnya
mencapai Rp 50 ribu, harga grosirannya sebesar
Rp 40 ribu.
Meskipun potongan harga yang diberikan
tidak terlalu banyak, pasti bisa membuat
pesaingnya merasa terancam. “Pernah ada
yang iri, kalau saya ikut pameran mereka suka
membicarakan saya di belakang. Tapi biar
bagaimanapun, namanya juga usaha, kita harus
tetap maju. Hal itu tidak memengaruhi saya,”
ujar Sarini mantap.
Kini, dengan menjamurnya showroom batik di
Cirebon, Sarini merasakan sengitnya
persaingan. Karena itu ia melakukan ekspansi
dengan membuka kios dan lapak di Thamrin
City, Jakarta. Awalnya, Sarini mendapat kios
tersebut secara cuma-cuma, mengingat pusat
batik di Jakarta itu masih terbilang baru. Namun,
sejak lokasinya ramai, ia harus mengeluarkan
Rp1.050.000 per bulan untuk sewa kios. Tarif
sewa itu menurutnya masih terbilang murah jika
dibandingkan dengan biaya sewa kios di tempat
lain. Di Bandung, misalnya, tarif sewanya bisa
mencapai belasan juta rupiah per bulan.
Dua bulan pertama berada di Thamrin
City, kios Batik Sarini sepi pengunjung. Tiga
pekerjanya bahkan sampai tak betah karenanya.
Sarini pun tidak tinggal diam. Ia mengirimkan
sms kepada para pelanggannya yang berada di
Jakarta untuk mengabari bahwa Batik Sarini
juga tersedia di Jakarta. Sarini berharap para
pelanggannya lebih senang karena tidak perlu
jauh-jauh datang ke Cirebon lagi. Voila! Sejak
itu kiosnya ramai pengunjung. Meski baru enam
bulan berjalan, Sarini mampu meraih omzet
hingga Rp 40 juta per bulan.
“Sebagai orang bisnis, kita harus punya tanggung
jawab kepada karyawan. Jangan sampai karyawan
kita telantar. Itu yang harus kita
perjuangkan untuk bersama-sama mengembangkan
usaha,” ujarnya optimis. Karenanya,
Sarini tidak pernah hanya pasif menunggu
pesanan. Jika dari pelanggannya tidak ada kabar,
dia aktif menelepon menanyakan apakah
mereka memerlukan bahan batik baru. Dengan
cara ini, pesanan pun rutin datang mengalir.
Menurut perhitungan Sarini, kini total
omzetnya bisa mencapai Rp 50 juta-70 juta per
bulan. Dengan keuntungan dari penjualan batik
per potong berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp
125 ribu, setiap bulannya Sarini mampu meraih
keuntungan bersih sebesar Rp 8 juta.
MANAJEMEN USAHA
Berjualan batik ternyata juga ada musimnya.
Sama seperti usaha tekstil lainnya, sebulan
sebelum Ramadhan biasanya pesanan bisa
melonjak hingga tiga kali lipat, mencapai ratusan
kodi. Terkadang Sarini merasa kewalahan dengan
banjirnya pesanan, mengingat semua
pemesannya meminta cepat, sementara tenaga
pekerjanya tetap. Pesanan biasanya membanjir
dari Jakarta dan Bandung.
Belum lagi jika ada jadwal pameran di waktu
yang sama. Hal tersebut sering kali membuatnya
semakin kewalahan. “Setiap kali mengikuti
pameran kita harus sudah mempersiapkan
barangnya. Jadi produksi harus lebih cepat.
Sementara bagian produksi masih kewalahan
menepati janji pesanan sebelumnya,” tutur
wanita yang dari usaha batiknya ini sudah
menunaikan ibadah haji di tahun 2001 lalu.
Dalam kondisi normal, produksi batik Sarini
mencapai 5-6 kodi pakaian jadi per hari. Jumlah
tersebut terdiri dari batik cap, tulis, serta
kombinasi kedua metode tersebut. Produk yang
dihasilkan berupa rok, kemeja pria, baju pesta,
blus wanita, gamis, dan kerudung. Meskipun
menghasilkan banyak inovasi produk, Sarini
paham henar bahwa yang paling digemari
adalah kain batik sepanjang 2 meter dan 2,5
meter, karena konsumen lebih bebas berkreasi
membuat pakaian yang sesuai dengan keinginan
serta kebutuhan mereka. “Saya selalu mengarahkan
para sales untuk lebih dulu menjual
produk jadi, agar barang tidak menumpuk,”
papar Sarini.
Selain menyiasati target penjualan, Sarini
juga mengelompokkan harga sesuai produknya.
Kemeja pria dihargai mulai dari Rp 35 ribu
untuk pembelian kodian dan Rp 50 ribu untuk
pembelian satuan. Sementara bahan batik
dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.
Untuk mempermudah pembayaran, Sarini
membuat beberapa sistem pembayaran, seperti
tunai, transfer, atau diangsur. Bagi pembeli yang
mengambil dalam jumlah banyak, ia memberi
keringanan tempo pembayaran selama dua
minggu hingga sebulan. Untuk pembeli dari luar
daerah, Sarini memberikan keringanan ongkos
kirim agar konsumen tetap setia padanya.
Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui
inovasi produk secara kontinyu. Sarini
berupa menciptakan model-model baru yang
lebih variatif dengan menggunakan warna yang
banyak digemari, seperti merah dan cokelat.
Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan
tertinggi yang datang ke showroom maupun
cabangnya. Hasilnya, pelanggan menyukai
inovasi tersebut dan membuntuti setiap pameran
yang diikutinya. Hal ini memacu Sarini untuk
terus berinovasi dan berjuang mengembangkan
usahanya.
Mengenai teknologi, Sarini merasa tidak begitu
memerlukannya. Segalanya dilakukan secara
manual, termasuk pencatatan keuangan.
Kalaupun menggunakan teknologi paling-paling
sebatas memiliki akun Facebook Batik Sarini
sebagai sarana promosi. Akun tersebut dikelola
oleh karyawannya karena Sarini tidak begitu
mengerti social network. “Saya lebih mahir
mengatur masalah pameran dibandingkan jika
harus mengurus teknologi,” ungkapnya jujur.
Namun demikian pameran tidak selalu
berbuah manis. Ada masanya pameran yang
diikuti Sarini malah membuatnya rugi karena
sepi pengunjung. Kalau sudah begini, Sarini
harus mencari pinjaman lain untuk menutupi
biaya operasional pameran. Menurut Sarini,
bank bjb sangat kooperatif dan berperan besar
dalam membantu mengembangkan usahanya,
baik ketika mengalami masa sulit maupun masa
jaya. Jika pameran yang diikutinya berhasil,
pembayaran pinjamannya ke bank bjb juga
lancar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.
Sedangkan ketika mengalami kerugian, Sarini
diberi kemudahan dengan cara diperbolehkan
hanya membayar bunganya saja.
Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya
terpuruk. Dia memilih untuk segera bangkit.
Saat ini, Sarini memusatkan perhatian pada
rencana untuk menambah showroom di Bandung.
Sebab, dari pengalamannya mengikuti pameran,
banyak pelanggannya yang menanyakan cabang
Batik Sarini di Bandung. Pembelinya di Cirebon
pun banyak orang Bandung. Selama ini, rencana
tersebut masih terbentur harga sewa kios yang
cukup tinggi di Bandung.
“Pendapatannya masih bagus di showroom
yang di sini. Sesekali masih mengikuti pameran di
luar kota. Tapi keinginan saya untuk buka show
room lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada
rezekinya,” ujarnya optimis.
Catatan Rhenald Kasali
SELAIN JELI MELIHAT peluang, keuletan dan tahan banting adalah ciri lain
seorang wirausaha. Siapakah yang tidak pernah jatuh atau mengalami ujian?
Perhatikanlah yang dialami ibu tiga anak dari Cirebon ini. Bercerai dari
Suami dan memulainya kembali dari nol, anak-anak tidak ada yang mau
meneruskan usaha, cemoohan dari para pesaing saat Ãa ikut pameran, lokasi
usaha yang sepi saat membuka di Tharnnin City, dan seterusnya.
Semua itu dilalui Sarini dari hari ke hari. Namun, yang terpenting bagi
setiap usahawan adalah ia bukan telur yang mudah pecah bila jatuh,
melainkan membal bak bola tenis. Usaha keluarga memang penuh ujian. Kalau
keluarga berpisah, modal pun berpisah, Kalau di rumah ribut, di warung pun
ribut. Sebaliknya juga demikian. Rapat kantor ya rapat keluarga. Semua ikut
mempengaruhi.
Tetapà kalau bukan keluarga siapa lagi yang membantu? Modal tidak besar,
tenaga profesional belum bisa dibiayai, produksi belum lancar ya seluruh
anggota keluarga harus ikut menopang. Minimal suami atau istri memegang
keuangan karena uang butuh kepercayaan. Tetapi juga tak ada jaminan bahwa
anggota keluarga tidak berkhianat. Namun, manusia lebih ikhlas bila
kepercayaan dipegang keluarga.
Kepercayaan tidak hanya diperlukan kepada anggota keluarga melainkan juga
dari pasar. Itu sebabnya Anda tak bisa bermalas-malasan. Setiap saat Anda
harus terus memutar otak, berinovasi dan menjembatani produk dengan
pelanggan. Maka diperlukan hubungan baik dengan bank. Sebab bank yang
percaya akan membantu mereka yang bersungguh-sungguh untuk menjembatani
Anda dengan pasar. Usaha keluarga juga memerlukan ‘jendela’, ÿaitu bingkai
untuk melihat keluar. Usaha keluarga tak berjendela akan membuat Anda diam
di tempat bak dinosaurus, besar namun mudah punah. Itu sebabnya pameran-
pameran sangat diperlukan sama halnya dengan showroom. Sebab betapa pun
bagusnya karya Anda ‘tanpa jendela’ tak ada interaksi, tak ada kemajuan.
Make bukalah jendela, bangun hubungan dengan pelanggan-pelanggan Anda
dan jangan mudah pecah seperti telur.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Sanin, Mantan Tukang Becak yang kini Jadi Juragan Garam dengan 50 Karyawan
Sanin, Berkah Garam Seorang Tukang Becak
Sepuluh tahun bertekun mengayuh becak
tak membuat Sanin menyerah begitu saja
terhadap nasib. Keringat yang mengucur
akhirnya mengkrista1 bagai garam.
Asinnya garam membuat kehidupan Sanin
tak lagi hambar.
DARI seorang tukang becak, Sanin meniti
usaha sebagai pembuat garam dapur dan pupuk
yang kini beroleh sukses. CV Sanutra Utama
yang didirikannya tahun 1985 dengan
modal awal Rp 1 juta dan dikerjakan sendiri,
kini telah memiliki 50 pekerja dan 0mzet
Rp 200 juta per bulan. Pemikirannya sederhana
saja: di Cirebon sangat banyak dan mudah
mencari bahan garam. Lalu, di usia 35 tahun,
Sanin pun mendirikan pabrik garam.
Memang bukan perjalanan yang mudah. Kesulitan
Modal pun masih dirasakannya hingga sekarang.
Namun, kalau sejak dulu ia mudah berputus
asa, mungkin bukan seperti ini hidup yang sekarang
digenggamnya.
PRODUKSI GARAM YANG BERBUAH MANIS
Selama 5 tahun mengayuh becak di Cirebon, Sanin
mengamati Cirebon sebagai sentral garam. Melihat ada
peluang untuk memperbaiki kualitas hidupnya, ia pun
berganti haluan. Becak ditinggalkan dan beralih menjadi
karyawan perusahaan garam sebagai pencetak garam dapur.
“Kerja dulu nyetak garam, berguru selama 5 bulan. Setelah
bisa, bikin sendiri di rumah. Dulu sama istri nyetak sendiri,
manggang sendiri, dipasarkan sendiri, kita kan pakai
sepeda dulu,” tutur Sanin. Usaha yang dirintisnya
ini terus bergulir. Sanin pun tak lagi hanya mengandalkan
istrinya. Ia mulai mengambil tetangga sekitarnya untuk
bekerja di pabrik garamnya. “Mereka datang sendiri
karena butuh pekerjaan,” kenang Sanin.
Mungkin para penduduk di sekitarnya mulai
merasakan pertumbuhan usaha garam Sanin.
Jadi, Sanin pun tak perlu pilih-pilih. “Rata-rata
saya sudah kenal dengan mereka. Jadi ketika
mereka minta pekerjaan, ya saya berikan,”
ujarnya lugas. Kini, ada 8 orang yang bekerja
di ladang garam, 30-an orang di pabrik, 6 orang
bagian distribusi, dan 4 orang sales.
Sanin sendirilah yang melatih semua pekerjanya
mengenai segala hal pengolahan garam. Ia fasih
mengenai pekerjaan di ladang garam, mengumpulkan
butir garam hingga menggenjot cetakan, juga
memasukkan dalam kemasan yang siap dijual.
“Kalau ada pelatihan mengenai pengolahan garam,
saya dan anak saya yang datang, sampai pernah ikut
pelatihan di Madura,” ujarnya. Lalu, mereka berdualah
yang mengajarkan semua karyawan. Sanin yang berhasil
menyekolahkan anak anaknya hingga lulus dari perguruan
tinggi negeri ternama di Yogyakarta kemudian melibatkan
anak-anaknya dalam usaha garam ini. Bagi Sanin, anggota
keluarganya adalah orang-orang yang paling mengetahui
dan memahami kondisi perusahaan. Merekalah orang-orang
yang paling tepat untuk membesarkan usaha yang
dirintisnya tersebut. “Selain itu, saya lebih tahu
kebiasaan anggota keluarga saya daripada
karyawan lain di luar keluarga,” ujarnya.
Jadi, tiga dari empat anaknya yang notabene
perempuan semua, kini berkecimpung mengurus garam.
Tak terkecuali, para suami mereka.
Bahkan salah satu menantunya kini dipercaya
mengepalai gudang, mengawasi produksi,
juga mengurus rekrutmen di pabrik. “Ada juga
yang mengurus pengadaan barang,” ujarnya,
“Jadi saya tinggal kontrol dan tanda tangan
untuk menjual BG.” Mungkin, firasat Sanin
tidak keliru. Hingga saat ini semua anggota
keluarga yang terlibat tetap rukun dan memiliki
hubungan yang baik.
Dalam benak Sanin, memang ada keinginan
untuk mempekerjakan orang-orang yang profesional
dalam bidangnya. Namun, melihat kondisi keuangan
dan pabrik saat ini, niat tersebut belum bisa
terwujud. “Ya, nantilah. Kalau sudah punya modal
besar dan pabriknya juga sudah besar. Saat ini kami
belum mampu mempekerjakan karyawan profesional,” ujarnya.
MENYIASATI KEUANGAN
Minimnya mengecap bangku sekolah sempat
membuat Sanin mengalami kesulitan saat berurusan
dengan pihak bank. Saat membuat bilyet biro (BG)
di sebuah bank swasta ternama,
Sanin kagok saat membubuhkan tanda tangan.
Semakin sering mencoba agar tanda tangannya
sama persis, semakin berbeda hasilnya.
Walhasil, Sanin pun ditolak menjadi debitur
bank tersebut, meski memiliki usaha dan mobil
sendiri serta perusahaan atas nama pribadi.
Sulitnya Sanin mencari suntikan modal mendapat
jalan keluar saat mulai bisa berutang ke
bank tahun 1997. Namun baru pada tahun 2003,
Sanin mendapat pinjaman sesuai jumlah yang
diinginkannya, yaitu Rp 100 juta dari bank bjb,
dengan jaminan perusahaannya sendiri. Sanin
butuh permodalan banyak, sebab minimal
dalam sehari harus memiliki 6 ton bahan baku
garam. Dalam sebulan ia membutuhkan kurang
lebih 200 ton garam, sehingga dalam setahun
minimal ia harus menyediakan 2.000 ton garam.
Apalagi, untuk membeli bahan baku tersebut ia
harus membayar kontan.
Lantaran ingin memiliki uang banyak untuk
membeli 2.000 ton garam sekaligus setiap
tahunnya, Sanin pun rutin meminjam ke bank
dengan jamjnan rumah dan kendaraan. Namun,
agar tertib dan disiplin dalam membayar utang,
Sanin selalu mengambil tempo pinjaman 1 tahun.
Tidak pernah lebih dari itu. “Minimal per bulan
bayar ke bank Rp 45 jutaan, lah. Alhamdulillah
belum pernah ada masalah. Lancar terus. Bulan
tujuh sudah ketutup lagi. Garam murah kami
beli lagi, pinjam lagi, setahun ketutup lagi,”
urai Sanin. Ia pun mengakui bahwa salah satu
yang membuatnya sukses dalam urusan kredit
ini adalah memilih bank yang bunganya paling
rendah.
Dengan menggunakan perputaran uang
pinjaman setahun sekali, Sanin lebih mudah
mengontrol dan mengetahui untung atau rugi
usahanya. Setiap menjelang bulan Juli, saat
hendak penutupan pinjaman bank, Sanin
menghitung hitung dana. Setelah utang
tertutupi, jika ada lebih, digunakan untuk
menambah aset seperti ladang garam, tanah
untuk perluasan pabrik garam, rumah, maupun
kendaraan.
Usahanya terus berkembang hingga perlahan
tapi pasti Sanin memiliki pabrik
pengolahan garam di Rawa Urip, 6 buah rumah,
serta 9 kendaraan yang terdiri dari truk dan
mobil pribadi. Selain itu, impian Sanin ke Tanah
Suci pun tercapai pada tahun 2000 dan 2010.
Setiap keuntungan yang diraih, dibelikannya
aset secara bertahap. Dengan membeli aset,
Sanin mengaku dapat mengetahui apakah
bisnisnya mendapatkan untung atau justru rugi
di tahun yang sedang berjalan. “Soalnya bisa
kelihatan wujudnya,” ujarnya lugu.
Karena setiap keuntungan dibelikan aset,
Sanin harus selalu kembali mengajukan
pinjaman ke bank untuk membeli bahan baku.
Dana yang dipinjam bisa cukup besar bila ia
merasa barga bahan baku garam sedang turun
dan dia perlu membeli banyak. “Kalau
musim kemarau, garam lokal bisa dibeli dengan
harga Rp300,” ujarnya. Setelah itu
disimpannya bahan baku tersebut dan dijual
secara bertahap. Harga jualnya bisa
mencapai Rp600, yang berarti dua kali lipat
dari harga beli. “Bahkan, kadang bisa saya
jual Rp1.000,” urainya, “Kalau saya jual
ke pelosok dengan harga Rp500, untungnya
sudah hampir 75 persen.” Dari keuntungan
itulah Sanin menutup utang dan membeli aset.
Meskipun berkali-kali meminjam, hingga
saat ini Sanin amat menjaga kepercayaan
agar tidak terjadi masalah ke bank, “Tutup
utang, lalu tahun berikutnya utang lagi!” Sanin
tampaknya tidak sekadar bicara. Pabrik yang
dibeli secara bertahap, sedikit demi sedikit
setiap ada keuntungan, juga ladang garam yang
kini mencapai luas 6 hektar adalah saksi bisu
perjalanannya mengolah garam selama hampir
30 tahun.
Sanin melihat kelemahan pengusaha yang
bangkrut dikarenakan manajemen keuangan
yang kurang terkontrol. Keuntungan yang
diperoleh tidak disimpan atau diputar kembali
untuk membeli bahan baku atau melunasi utang,
melainkan dibelikan hal-hal yang diinginkan.
Beda halnya dengan Sanin yang disiplin
memprioritaskan pelunasan utang bank. “Yang
penting adalah mencatat pemasukan dan
pengeluaran dengan benar,” demikian tipsnya.
Apalagi, bahan-bahan yang dibelinya harus
dibayar secara kontan. Pada saat diwawancara,
Sanin tengah menunggu dua trailer yang
membawa 105 ton bahan mentah garam dari Surabaya.
“Seratus lima ton itu harus dibayar Rp 105
juta kontan,” paparnya, “Jadi, kadang-kadang
saya jual BG.”
Meski berusaha disiplin dalam hal keuangan,
bukan berarti Sanin tidak pernah menghadapi
masalah keuangan. Ini terjadi pada tahun 2003
saat menantu sulungnya mencalonkan diri dalam
pemilihan kepala desa (Pilkades). Modal untuk
membeli garam yang saat itu harganya masih
murah digunakan untuk biaya pencalonan. Saat
hendak membeli garam pada tahun 2006, harganya
ternyata sudah melonjak tinggi. Apesnya
lagi, sang menantu tak memenangkan Pilkades.
Sanin pun berutang hingga Rp 6oo juta. Namun,
Sanin merasa lega dan bersyukur karena pada
tahun 2008, seluruh utang tersebut telah lunas.
“Alhamdulillah, pulih lagi. Malah akhirnya sampai
lebih. Sampai susah ngitung lebihnya,” ucap Sanin.
Pelajaran mahal yang dipetik Sanin adalah
tidak mau sembrono memperlakukan BG. Setiap
ada BG segera ditukar agar terus berputar dan
bergulir. Sanin menjaga namanya dengan baik
agar jangan sampai cacat dalam catatan bank.
“Kalau sekali nama kita tercemar, semua bank
akan tahu,” ujarnya, “Nanti kita juga yang jadi
tidak laku. Padahal kita harus bayar plastik ke
Semarang, garam ke Surabaya, banyak sekali!
Jadi, saya pesan benar-benar ke anak-anak,
supaya mereka jangan sampai menunggak.”
Dengan cara tersebut ia berharap kapan pun
membutuhkan pinjaman uang dari bank, ia tidak
akan mengalami kesulitan. Sanin yang pernah
dengan mulus meningkatkan pinjaman ke bank
bjb menjadi Rp 150 juta pun berencana menaikkan
jumlah utang menjadi Rp 200 juta. Faktor
kepercayaan dan tidak pernah menunggak
pembayaran dipegang teguh oleh Sanin.
Karena sudah mendapat kepercayaan, Sanin
mengaku tidak lagi sering dikejar-kejar
untuk masalah pembayaran. “Waktu tahun
pertama, telat sehari sudah ditelepon terus,”
kenangnya, “Padahal, saya mah orang usaha.
Kena bunga berapa pun pasti saya bayar. Yang
penting menutup utang di bulan itu.” Sanin
merasa beruntung karena bank bjb memahami
usahanya. “Lebih longgar dan tidak cepat
memberi peringatan,” katanya bersyukur.
PEMASARAN DAN PERLUASAN
Karena menjalankan pabrik berdasarkan intuisi
bisnisnya sendiri, Sanin tidak banyak melakukan
inovasi dalam usahanya. Setiap pagi
Sanin dan anak-anaknya menjual garam ke
pasar-pasar yang ada di sekitar tempat tinggal
dan pabrik mereka. Penjualan yang dulu
menggunakan sepeda, kini telah menggunakan
mobil yang disopirinya sendiri.
Sementara sore hari, para sales-lah yang
memasarkan garam ke toko-toko yang sebagian
besar berlokasi di wilayah 3, yaitu daerah
Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu.
Kadang mereka juga merambah
Jatibarang hingga Jawa Tengah. Garam dapur
tidak diberikan kepada agen, melainkan ke
pasar langsung, itu sebabnya Sanin langsung
mendapat hasil. Sales juga mendapat fasilitas
mobil sebagai modal untuk mengangkut barang
dagangan. Setiap hari sales-nya bisa membawa
rezeki Rp 3-6 juta. “Jadi, kalau untuk anak
sekolah atau kebutuhan sehari-hari, saya tidak
bingung. Selalu ada dana,” paparnya bangga.
Selain uang, membina karyawan agar bekerja
dengan benar dan baik juga menjadi
modal bagi Sanin, terutama untuk para sales.
Karena begitu pentingnya peran sales dalam
usaha garam ini, Sanin berencana menambah
sales yang bisa terjun langsung ke lapangan
dalam rangka memperluas pasar hingga seluruh
wilayah Jawa Barat. Sanin juga ingin membuka
cabang di tempat lain, selain di Paliaman yang
berfungsi sebagai distributor.
Tentunya, perluasan pasar tidak dapat dilakukan
jika produk yang dihasilkan masih
terbatas. “Saya ingin membuat garam dalam
kemasan botol karena selama ini saya cuma
membuat kemasan plastik yang beratnya
berbeda-beda,” jelasnya. Namun, hal ini pun
masih terkendala dengan kapasitas produksi
yang mampu dihasilkan. “Kesulitan memakai
tenaga manusia adalah tidak bisa diberikan
target. Kalau sudah terlalu lelah, hasilnya akan
sangat sedikit,” ucapnya.
Lantas, mengapa tak membeli mesin saja?
“Sebenarnya, kami sangat butuh mesin, tapi
terkendala modal. Mesin itu pembiayaannya
besar,” ujar Sanin. Sanin sendiri mengaku sudah
banyak mempelajari cara kerja mesin-mesin
pembuat garam dari hasil melihat langsung
ke pabrik-pabrik lain tempatnya belajar. Jadi,
kalau kelak mampu membeli mesin, ia sudah
tahu cara mengoperasikannya. Sanin
kini giat mencari pinjaman dengan bunga
rendah untuk mewujudkan mesin-mesin
impiannya. Setidaknya, separuh produksi dilakukan
secara manual, separuh dengan mesin.
GARAM LOKAL VS IMPOR
Langganan masa sulit bagi pengusaha garam adalah
ketika turun hujan. Bahkan pada tahun 2010
mereka mengalami gagal panen sehingga tidak
ada garam lokal. Di musim kemarau, garam bisa
dihasilkan dari ladangnya sendiri maupun
membeli dari masyarakat. “Garam lokal lebih murah,”
jelas Sanin. Misalnya, dengan harga jual Rp
300, Sanin bisa mendapat keuntungan Rp5o, atau
Sekitar 15 persen. Sementara garam impor hanya
menghasilkan keuntungan maksimal 10 persen
karena modalnya tinggi. Sanin juga
mengambil garam dari Surabaya, yang
didatangkan dan Australia dan India.
Sebagai petani garam, ia fasih menceritakan
proses pembuatan garam. “Kita seperti bikin
kolam yang besar, lalu dipetak-petak,
seperti orang menggarap sawah. Perbedaannya,
kalau ladang garam membutuhkan tanah yang
halus dan keras. Kalau orang sini
sih memakai silinder, sejenis silinder mesin
yang dipakai untuk mengeraskan jalan. Setelah
ladangnya bersih, air dipindahkan.
Setelah kering, dipindahkan lagi ke petak lain.
Jadi, kalau airnya sudah mengental, kita periksa
dengan arometer. Kalau di sini disebut
hipermil. Biasanya kalau udah jadi garam,
ukurannya minimal 22 arometer. Ketika masih
berupa air laut, ukurannya 0 arometer.
Kalau sudah 22 arometer, baru jadi garam,
keluar, dan bertumbuh,” urainya panjang lebar.
Kalau tidak ada hujan, Sanin mengibaratkan
garam seperti kumis atau jenggot: hari ini dikeruk,
kalau besok panas bisa dikeruk lagi. Perbedaannya
dengan garam di Madura, ketebalan
garam di daerah Sanin untuk dikeruk hanya 1 cm.
Kalau di Madura, ladang-ladang garam bisa
mencapai ketebalan 5 cm karena ditunggui hingga
minimal 15 hari. “Kalau di sini tidak
bisa begitu. Kalau kena hujan, wah! Istri bisa
ngamuk karena anaknya enggak bisa jajan,”
ujarnya sambil tergelak.
Menurut perhitungan Sanin, nilai murni
garam adalah Rp 500 per kilogram. Kalau sehari
saja pekerja di ladang garam bisa mendapat
sekuintal garam, ia sudah beroleh uang Rp 50
ribu. Padahal, setiap harinya setiap petak bisa
menghasilkan 5 kuintal hingga 1 ton garam.
Untuk menjadi garam balok, bahan garam
dari Australia butuh perlakuan khusus, karena
tidak mengandung air. Prosesnya harus diairi
dulu supaya melekat, dicetak balok, lalu di
masukkan ke dalam oven untuk dipanggang.
Sedangkan garam lokal yang memang sudah
mengandung air bisa langsung dicetak balok.
Sementara untuk garam halus, baik lokal
maupun dari luar negeri bisa langsung di
masukkan ke dalam plastik kemasan.
Diakui Sanin, warna garam dari Australia
lebih putih karena tumbuh seperti gunung di
pinggiran laut. Sedangkan garam lokal berasal
dari air sehingga terkadang ada kotoran debu.
Namun soal rasa, menurut Sanin, garam lokal
lebih enak dan gurih. Ini karena PPN atau
kadar keasinan garam lokal paling tinggi 70,
sedangkan garam Australia lebih dari l00.
“Kalau masak pakai garam Australia, saat
dicicipi sudah cukup asin. Tapi begitu masakan
sudah dingin, asinnya luar biasa. Nah, kalau
garam lokal, biarpun masakannya masih panas
atau sudah dingin, rasanya tetap sama. Cuma
kadang-kadang orang kota tuh suka yang putih,
yang putih sekali, padahal enggak enak,” kata
Sanin.
Untuk proses pemanggangan, awalnya Sanin
menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.
Tetapi, pemakaian solar ternyata menjadikan
biayanya lebih tinggi. Karena itu, sejak tahun
ini ia menggunakan elpiji, yang lebih ringan dan
irit.
Selain memproduksi garam dapur, Sanin
mendiversifikasikan usahanya, yakni berjualan
pupuk untuk semua jenis tanaman. Pembuatan
pupuk memerlukan garam hingga 40 persen. “Lalu
ditambah kaptan, bahan kaptul seperti kapur dari
Sukabumi,” urainya. KCI dalam garam dibutuhkan
untuk menguatkan batang. Ia mengirim pupuknya
ke Sumatera karena tanah di sana cenderung
bersifat gambut. “Kalau tidak diberi garam,
tanamannya tidak bisa hidup, tidak bisa berbuah,
atau buahnya sedikit,” papar Sanin. Berbisnis
garam sangat menguntungkan bagi Sanin karena
tidak ada garam yang tersisa, “Semua garam
dipakai. Yang kotor dicampur untuk pupuk.”
Penjuaan pupuk pun dalam setahun
mencapai 2 ribu ton, bahkan pernah hingga
3 ribu ton. Tentu saja, garam yang digunakan
adalah jenis yang berbeda. Untuk garam dapur
menggunakan garam putih kualitas 1 dan 2.
Sedangkan untuk pupuk, Sanin menggunakan
garam kualitas 3.
Baik di bidang garam maupun pupuk, Sanin
tidak terlalu memusingkan urusan persaingan.
Ia percaya bahwa rezeki diatur oleh Yang Di Atas.
Apalagi Sanin melihat banyak pesaingnya yang
bangkrut. “Ada bisnis yang sama di daerah ini,
tapi perusahaannya kecil. Bahkan, untuk bahan
baku saja mengambil dari saya. Mereka tinggal
mengemasnya,” ujar Sanin. Bisa jadi, memang
tidak ada pesaing yang berarti di sekitar wilayah
tersebut.
Bagi Sanin, ia hanya beruntung. “Menyekolahkan
empat anak sampai jadi sarjana butuh biaya
yang enggak sedikit,” ujarnya. Ia mengisahkan,
anak bungsunya yang menjadi bidan setiap
bulan paling sedikit butuh Rp 4-5 juta. “Kalau
tidak mengandalkan usaha, ya repot,” ujarnya
sembari tersenyum.
Ketika ditanya, akan dibawa ke mana bisnis
garam ini, Sanin menjawab, “Saya hanya mau
memperbesar pabrik, menaikkan jumlah
produksi, menambah tenaga kerja, membeli
mesin, dan menambah jumlah armada agar
produksi saya bisa menjangkau seluruh Jawa
Barat. Setelah menggeluti usaha garam dapur
dan pupuk hingga seperempat abad, Sanin
yang kini berusia 60 tahun memercayakan
pengelolaan perusahaan kepada para anak dan
menantunya dengan berbagi tugas. Sanin hanya
tinggal mengontrol agar semuanya berjalan
dengan baik.
Pesan penting pun dibagikan kepada semua
anak dan menantunya, bahkan karyawannya,
dan siapa pun yang hendak terjun ke dalam
dunia usaha, yakni harus sabar dan jujur.
“Susahlah kalau kita berbisnis inginnya
langsung besar. Pelan-pelan saja, begitu.
Jangan sekali-kali kita banyak bohong. Kita
harus jujur. Suatu saat dalam usaha, kejujuran
pasti menjadi kesuksesan kita,” ujarnya
bersahaja.
Catatan Rhenald Kasali
SAYA TERTEGUN DENGAN cara Sanin membangun usahanya. Ya, seperti inilah
manajamen UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Tumbuhnya perlahan-lahan
sacara alamiah. Dan hanya mereka yang tekun jujur, serta disiplinlah yang
mampu bertahan dan tumbuh. Bagi Sanin untung itu ditandai dengan
membesarnya jumlah aset bukan yang lainnya. Seperti pangusaha lain Sanin
juga butuh bantuan cash flow dari bank. Namun cara kerja bank yang mampu
manyederhanakan proses dan membuat usaha UMKM ‘nyaman’ sangat menentukan
keberhasilan hubungan antara bank dengan UMKM. Jadi sederhanakanlah semua
proses dan mengertilah cara kerja mereka.
Sanin seperti UMKM lainnya adalah sebuah produk dari sebuah proses evolusi.
Mereka naik kelas secara alamiah dari bekal kerja keras dan kejujuran. Saya
sering menyebutkan, pengusaha-pengusaha kecil modalnya berawal dari sekolah
50 senti atau setangah meter. Dari ujung telapak kaki ke atas dengkul.
Mulai dari tukang becak sampai menjadi pemilik pabrik garam. Itu pun hanya
kecil-kecilan saja. Namun karena tekun, ia bisa berurusan dengan bank dan
mampu mencicil pinjaman hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Sanin berbeda dangan sarjana-sarjana yang hanya bersekolah lima senti,
yaitu hanya mengisi kepalanya dengan teori, namun kaki dan tangannya tidak
‘disekolahkan’ di lapangan. Mereka yang demikian hanya menjadi penganggur.
beban bagi msyarakat.
Bisnis ‘50 senti’ ini adalah bisnis yang marjinnya besar, namun nilainya
kecil dan volumenya besar. Bayangkan 105 ton hanya berharga Rp 105 juta.
Bagi para sarjana, nilai seperti itu terlalu kecil. Namun bagi rakyat
jelata, nilai seperti itu sudah sangat disyukuri. Apalagi oleh seorang
mantan tukang bacak.
Berbeda dengan kebanyakan usaha, bisnis UKM seperti ini mempunyai karakter
tunai (sehingga banyak uang recehannya). Karakter tunai yang demikian bisa
membuat pelaku usaha kecil terperangkap dalam ‘perilaku pedagang’ yang lupa
melakukan inovasi atau perluasan produksi. Setiap mendapat tawaran
berutang, mereka hanya berpikir untuk memodali pembelian bahan baku atau
barang-barang untuk dijual kembali, bukan untuk membangun pabrik yang lebih
besar, lebih efisien, atau lebih produktif.
Kedua, usaha kecil juga sarat dengan godaan-godaan duniawi yang bisa
berakhir kalau pemiliknya terperangkap dalam godaan. Secara alamiah kita
semua terpanggil untuk menjalankan ibadah ke Tanah Suci, namun semua ada
syaratnya yaitu mampu. Godaan pertama adalah ‘merasa mampu’ bukan karena
benar-benar mampu, melainkan karena gengsi, ingin terlihat hebat. Kedua,
godaan kawin lagi. Dan ketiga, godaan Pilkada. Mereka bisa menjadi besar
kalau mampu mengatasi godaan-godaan tersebut dan fokus pada upaya memajukan
usaha.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Sepuluh tahun bertekun mengayuh becak
tak membuat Sanin menyerah begitu saja
terhadap nasib. Keringat yang mengucur
akhirnya mengkrista1 bagai garam.
Asinnya garam membuat kehidupan Sanin
tak lagi hambar.
DARI seorang tukang becak, Sanin meniti
usaha sebagai pembuat garam dapur dan pupuk
yang kini beroleh sukses. CV Sanutra Utama
yang didirikannya tahun 1985 dengan
modal awal Rp 1 juta dan dikerjakan sendiri,
kini telah memiliki 50 pekerja dan 0mzet
Rp 200 juta per bulan. Pemikirannya sederhana
saja: di Cirebon sangat banyak dan mudah
mencari bahan garam. Lalu, di usia 35 tahun,
Sanin pun mendirikan pabrik garam.
Memang bukan perjalanan yang mudah. Kesulitan
Modal pun masih dirasakannya hingga sekarang.
Namun, kalau sejak dulu ia mudah berputus
asa, mungkin bukan seperti ini hidup yang sekarang
digenggamnya.
PRODUKSI GARAM YANG BERBUAH MANIS
Selama 5 tahun mengayuh becak di Cirebon, Sanin
mengamati Cirebon sebagai sentral garam. Melihat ada
peluang untuk memperbaiki kualitas hidupnya, ia pun
berganti haluan. Becak ditinggalkan dan beralih menjadi
karyawan perusahaan garam sebagai pencetak garam dapur.
“Kerja dulu nyetak garam, berguru selama 5 bulan. Setelah
bisa, bikin sendiri di rumah. Dulu sama istri nyetak sendiri,
manggang sendiri, dipasarkan sendiri, kita kan pakai
sepeda dulu,” tutur Sanin. Usaha yang dirintisnya
ini terus bergulir. Sanin pun tak lagi hanya mengandalkan
istrinya. Ia mulai mengambil tetangga sekitarnya untuk
bekerja di pabrik garamnya. “Mereka datang sendiri
karena butuh pekerjaan,” kenang Sanin.
Mungkin para penduduk di sekitarnya mulai
merasakan pertumbuhan usaha garam Sanin.
Jadi, Sanin pun tak perlu pilih-pilih. “Rata-rata
saya sudah kenal dengan mereka. Jadi ketika
mereka minta pekerjaan, ya saya berikan,”
ujarnya lugas. Kini, ada 8 orang yang bekerja
di ladang garam, 30-an orang di pabrik, 6 orang
bagian distribusi, dan 4 orang sales.
Sanin sendirilah yang melatih semua pekerjanya
mengenai segala hal pengolahan garam. Ia fasih
mengenai pekerjaan di ladang garam, mengumpulkan
butir garam hingga menggenjot cetakan, juga
memasukkan dalam kemasan yang siap dijual.
“Kalau ada pelatihan mengenai pengolahan garam,
saya dan anak saya yang datang, sampai pernah ikut
pelatihan di Madura,” ujarnya. Lalu, mereka berdualah
yang mengajarkan semua karyawan. Sanin yang berhasil
menyekolahkan anak anaknya hingga lulus dari perguruan
tinggi negeri ternama di Yogyakarta kemudian melibatkan
anak-anaknya dalam usaha garam ini. Bagi Sanin, anggota
keluarganya adalah orang-orang yang paling mengetahui
dan memahami kondisi perusahaan. Merekalah orang-orang
yang paling tepat untuk membesarkan usaha yang
dirintisnya tersebut. “Selain itu, saya lebih tahu
kebiasaan anggota keluarga saya daripada
karyawan lain di luar keluarga,” ujarnya.
Jadi, tiga dari empat anaknya yang notabene
perempuan semua, kini berkecimpung mengurus garam.
Tak terkecuali, para suami mereka.
Bahkan salah satu menantunya kini dipercaya
mengepalai gudang, mengawasi produksi,
juga mengurus rekrutmen di pabrik. “Ada juga
yang mengurus pengadaan barang,” ujarnya,
“Jadi saya tinggal kontrol dan tanda tangan
untuk menjual BG.” Mungkin, firasat Sanin
tidak keliru. Hingga saat ini semua anggota
keluarga yang terlibat tetap rukun dan memiliki
hubungan yang baik.
Dalam benak Sanin, memang ada keinginan
untuk mempekerjakan orang-orang yang profesional
dalam bidangnya. Namun, melihat kondisi keuangan
dan pabrik saat ini, niat tersebut belum bisa
terwujud. “Ya, nantilah. Kalau sudah punya modal
besar dan pabriknya juga sudah besar. Saat ini kami
belum mampu mempekerjakan karyawan profesional,” ujarnya.
MENYIASATI KEUANGAN
Minimnya mengecap bangku sekolah sempat
membuat Sanin mengalami kesulitan saat berurusan
dengan pihak bank. Saat membuat bilyet biro (BG)
di sebuah bank swasta ternama,
Sanin kagok saat membubuhkan tanda tangan.
Semakin sering mencoba agar tanda tangannya
sama persis, semakin berbeda hasilnya.
Walhasil, Sanin pun ditolak menjadi debitur
bank tersebut, meski memiliki usaha dan mobil
sendiri serta perusahaan atas nama pribadi.
Sulitnya Sanin mencari suntikan modal mendapat
jalan keluar saat mulai bisa berutang ke
bank tahun 1997. Namun baru pada tahun 2003,
Sanin mendapat pinjaman sesuai jumlah yang
diinginkannya, yaitu Rp 100 juta dari bank bjb,
dengan jaminan perusahaannya sendiri. Sanin
butuh permodalan banyak, sebab minimal
dalam sehari harus memiliki 6 ton bahan baku
garam. Dalam sebulan ia membutuhkan kurang
lebih 200 ton garam, sehingga dalam setahun
minimal ia harus menyediakan 2.000 ton garam.
Apalagi, untuk membeli bahan baku tersebut ia
harus membayar kontan.
Lantaran ingin memiliki uang banyak untuk
membeli 2.000 ton garam sekaligus setiap
tahunnya, Sanin pun rutin meminjam ke bank
dengan jamjnan rumah dan kendaraan. Namun,
agar tertib dan disiplin dalam membayar utang,
Sanin selalu mengambil tempo pinjaman 1 tahun.
Tidak pernah lebih dari itu. “Minimal per bulan
bayar ke bank Rp 45 jutaan, lah. Alhamdulillah
belum pernah ada masalah. Lancar terus. Bulan
tujuh sudah ketutup lagi. Garam murah kami
beli lagi, pinjam lagi, setahun ketutup lagi,”
urai Sanin. Ia pun mengakui bahwa salah satu
yang membuatnya sukses dalam urusan kredit
ini adalah memilih bank yang bunganya paling
rendah.
Dengan menggunakan perputaran uang
pinjaman setahun sekali, Sanin lebih mudah
mengontrol dan mengetahui untung atau rugi
usahanya. Setiap menjelang bulan Juli, saat
hendak penutupan pinjaman bank, Sanin
menghitung hitung dana. Setelah utang
tertutupi, jika ada lebih, digunakan untuk
menambah aset seperti ladang garam, tanah
untuk perluasan pabrik garam, rumah, maupun
kendaraan.
Usahanya terus berkembang hingga perlahan
tapi pasti Sanin memiliki pabrik
pengolahan garam di Rawa Urip, 6 buah rumah,
serta 9 kendaraan yang terdiri dari truk dan
mobil pribadi. Selain itu, impian Sanin ke Tanah
Suci pun tercapai pada tahun 2000 dan 2010.
Setiap keuntungan yang diraih, dibelikannya
aset secara bertahap. Dengan membeli aset,
Sanin mengaku dapat mengetahui apakah
bisnisnya mendapatkan untung atau justru rugi
di tahun yang sedang berjalan. “Soalnya bisa
kelihatan wujudnya,” ujarnya lugu.
Karena setiap keuntungan dibelikan aset,
Sanin harus selalu kembali mengajukan
pinjaman ke bank untuk membeli bahan baku.
Dana yang dipinjam bisa cukup besar bila ia
merasa barga bahan baku garam sedang turun
dan dia perlu membeli banyak. “Kalau
musim kemarau, garam lokal bisa dibeli dengan
harga Rp300,” ujarnya. Setelah itu
disimpannya bahan baku tersebut dan dijual
secara bertahap. Harga jualnya bisa
mencapai Rp600, yang berarti dua kali lipat
dari harga beli. “Bahkan, kadang bisa saya
jual Rp1.000,” urainya, “Kalau saya jual
ke pelosok dengan harga Rp500, untungnya
sudah hampir 75 persen.” Dari keuntungan
itulah Sanin menutup utang dan membeli aset.
Meskipun berkali-kali meminjam, hingga
saat ini Sanin amat menjaga kepercayaan
agar tidak terjadi masalah ke bank, “Tutup
utang, lalu tahun berikutnya utang lagi!” Sanin
tampaknya tidak sekadar bicara. Pabrik yang
dibeli secara bertahap, sedikit demi sedikit
setiap ada keuntungan, juga ladang garam yang
kini mencapai luas 6 hektar adalah saksi bisu
perjalanannya mengolah garam selama hampir
30 tahun.
Sanin melihat kelemahan pengusaha yang
bangkrut dikarenakan manajemen keuangan
yang kurang terkontrol. Keuntungan yang
diperoleh tidak disimpan atau diputar kembali
untuk membeli bahan baku atau melunasi utang,
melainkan dibelikan hal-hal yang diinginkan.
Beda halnya dengan Sanin yang disiplin
memprioritaskan pelunasan utang bank. “Yang
penting adalah mencatat pemasukan dan
pengeluaran dengan benar,” demikian tipsnya.
Apalagi, bahan-bahan yang dibelinya harus
dibayar secara kontan. Pada saat diwawancara,
Sanin tengah menunggu dua trailer yang
membawa 105 ton bahan mentah garam dari Surabaya.
“Seratus lima ton itu harus dibayar Rp 105
juta kontan,” paparnya, “Jadi, kadang-kadang
saya jual BG.”
Meski berusaha disiplin dalam hal keuangan,
bukan berarti Sanin tidak pernah menghadapi
masalah keuangan. Ini terjadi pada tahun 2003
saat menantu sulungnya mencalonkan diri dalam
pemilihan kepala desa (Pilkades). Modal untuk
membeli garam yang saat itu harganya masih
murah digunakan untuk biaya pencalonan. Saat
hendak membeli garam pada tahun 2006, harganya
ternyata sudah melonjak tinggi. Apesnya
lagi, sang menantu tak memenangkan Pilkades.
Sanin pun berutang hingga Rp 6oo juta. Namun,
Sanin merasa lega dan bersyukur karena pada
tahun 2008, seluruh utang tersebut telah lunas.
“Alhamdulillah, pulih lagi. Malah akhirnya sampai
lebih. Sampai susah ngitung lebihnya,” ucap Sanin.
Pelajaran mahal yang dipetik Sanin adalah
tidak mau sembrono memperlakukan BG. Setiap
ada BG segera ditukar agar terus berputar dan
bergulir. Sanin menjaga namanya dengan baik
agar jangan sampai cacat dalam catatan bank.
“Kalau sekali nama kita tercemar, semua bank
akan tahu,” ujarnya, “Nanti kita juga yang jadi
tidak laku. Padahal kita harus bayar plastik ke
Semarang, garam ke Surabaya, banyak sekali!
Jadi, saya pesan benar-benar ke anak-anak,
supaya mereka jangan sampai menunggak.”
Dengan cara tersebut ia berharap kapan pun
membutuhkan pinjaman uang dari bank, ia tidak
akan mengalami kesulitan. Sanin yang pernah
dengan mulus meningkatkan pinjaman ke bank
bjb menjadi Rp 150 juta pun berencana menaikkan
jumlah utang menjadi Rp 200 juta. Faktor
kepercayaan dan tidak pernah menunggak
pembayaran dipegang teguh oleh Sanin.
Karena sudah mendapat kepercayaan, Sanin
mengaku tidak lagi sering dikejar-kejar
untuk masalah pembayaran. “Waktu tahun
pertama, telat sehari sudah ditelepon terus,”
kenangnya, “Padahal, saya mah orang usaha.
Kena bunga berapa pun pasti saya bayar. Yang
penting menutup utang di bulan itu.” Sanin
merasa beruntung karena bank bjb memahami
usahanya. “Lebih longgar dan tidak cepat
memberi peringatan,” katanya bersyukur.
PEMASARAN DAN PERLUASAN
Karena menjalankan pabrik berdasarkan intuisi
bisnisnya sendiri, Sanin tidak banyak melakukan
inovasi dalam usahanya. Setiap pagi
Sanin dan anak-anaknya menjual garam ke
pasar-pasar yang ada di sekitar tempat tinggal
dan pabrik mereka. Penjualan yang dulu
menggunakan sepeda, kini telah menggunakan
mobil yang disopirinya sendiri.
Sementara sore hari, para sales-lah yang
memasarkan garam ke toko-toko yang sebagian
besar berlokasi di wilayah 3, yaitu daerah
Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu.
Kadang mereka juga merambah
Jatibarang hingga Jawa Tengah. Garam dapur
tidak diberikan kepada agen, melainkan ke
pasar langsung, itu sebabnya Sanin langsung
mendapat hasil. Sales juga mendapat fasilitas
mobil sebagai modal untuk mengangkut barang
dagangan. Setiap hari sales-nya bisa membawa
rezeki Rp 3-6 juta. “Jadi, kalau untuk anak
sekolah atau kebutuhan sehari-hari, saya tidak
bingung. Selalu ada dana,” paparnya bangga.
Selain uang, membina karyawan agar bekerja
dengan benar dan baik juga menjadi
modal bagi Sanin, terutama untuk para sales.
Karena begitu pentingnya peran sales dalam
usaha garam ini, Sanin berencana menambah
sales yang bisa terjun langsung ke lapangan
dalam rangka memperluas pasar hingga seluruh
wilayah Jawa Barat. Sanin juga ingin membuka
cabang di tempat lain, selain di Paliaman yang
berfungsi sebagai distributor.
Tentunya, perluasan pasar tidak dapat dilakukan
jika produk yang dihasilkan masih
terbatas. “Saya ingin membuat garam dalam
kemasan botol karena selama ini saya cuma
membuat kemasan plastik yang beratnya
berbeda-beda,” jelasnya. Namun, hal ini pun
masih terkendala dengan kapasitas produksi
yang mampu dihasilkan. “Kesulitan memakai
tenaga manusia adalah tidak bisa diberikan
target. Kalau sudah terlalu lelah, hasilnya akan
sangat sedikit,” ucapnya.
Lantas, mengapa tak membeli mesin saja?
“Sebenarnya, kami sangat butuh mesin, tapi
terkendala modal. Mesin itu pembiayaannya
besar,” ujar Sanin. Sanin sendiri mengaku sudah
banyak mempelajari cara kerja mesin-mesin
pembuat garam dari hasil melihat langsung
ke pabrik-pabrik lain tempatnya belajar. Jadi,
kalau kelak mampu membeli mesin, ia sudah
tahu cara mengoperasikannya. Sanin
kini giat mencari pinjaman dengan bunga
rendah untuk mewujudkan mesin-mesin
impiannya. Setidaknya, separuh produksi dilakukan
secara manual, separuh dengan mesin.
GARAM LOKAL VS IMPOR
Langganan masa sulit bagi pengusaha garam adalah
ketika turun hujan. Bahkan pada tahun 2010
mereka mengalami gagal panen sehingga tidak
ada garam lokal. Di musim kemarau, garam bisa
dihasilkan dari ladangnya sendiri maupun
membeli dari masyarakat. “Garam lokal lebih murah,”
jelas Sanin. Misalnya, dengan harga jual Rp
300, Sanin bisa mendapat keuntungan Rp5o, atau
Sekitar 15 persen. Sementara garam impor hanya
menghasilkan keuntungan maksimal 10 persen
karena modalnya tinggi. Sanin juga
mengambil garam dari Surabaya, yang
didatangkan dan Australia dan India.
Sebagai petani garam, ia fasih menceritakan
proses pembuatan garam. “Kita seperti bikin
kolam yang besar, lalu dipetak-petak,
seperti orang menggarap sawah. Perbedaannya,
kalau ladang garam membutuhkan tanah yang
halus dan keras. Kalau orang sini
sih memakai silinder, sejenis silinder mesin
yang dipakai untuk mengeraskan jalan. Setelah
ladangnya bersih, air dipindahkan.
Setelah kering, dipindahkan lagi ke petak lain.
Jadi, kalau airnya sudah mengental, kita periksa
dengan arometer. Kalau di sini disebut
hipermil. Biasanya kalau udah jadi garam,
ukurannya minimal 22 arometer. Ketika masih
berupa air laut, ukurannya 0 arometer.
Kalau sudah 22 arometer, baru jadi garam,
keluar, dan bertumbuh,” urainya panjang lebar.
Kalau tidak ada hujan, Sanin mengibaratkan
garam seperti kumis atau jenggot: hari ini dikeruk,
kalau besok panas bisa dikeruk lagi. Perbedaannya
dengan garam di Madura, ketebalan
garam di daerah Sanin untuk dikeruk hanya 1 cm.
Kalau di Madura, ladang-ladang garam bisa
mencapai ketebalan 5 cm karena ditunggui hingga
minimal 15 hari. “Kalau di sini tidak
bisa begitu. Kalau kena hujan, wah! Istri bisa
ngamuk karena anaknya enggak bisa jajan,”
ujarnya sambil tergelak.
Menurut perhitungan Sanin, nilai murni
garam adalah Rp 500 per kilogram. Kalau sehari
saja pekerja di ladang garam bisa mendapat
sekuintal garam, ia sudah beroleh uang Rp 50
ribu. Padahal, setiap harinya setiap petak bisa
menghasilkan 5 kuintal hingga 1 ton garam.
Untuk menjadi garam balok, bahan garam
dari Australia butuh perlakuan khusus, karena
tidak mengandung air. Prosesnya harus diairi
dulu supaya melekat, dicetak balok, lalu di
masukkan ke dalam oven untuk dipanggang.
Sedangkan garam lokal yang memang sudah
mengandung air bisa langsung dicetak balok.
Sementara untuk garam halus, baik lokal
maupun dari luar negeri bisa langsung di
masukkan ke dalam plastik kemasan.
Diakui Sanin, warna garam dari Australia
lebih putih karena tumbuh seperti gunung di
pinggiran laut. Sedangkan garam lokal berasal
dari air sehingga terkadang ada kotoran debu.
Namun soal rasa, menurut Sanin, garam lokal
lebih enak dan gurih. Ini karena PPN atau
kadar keasinan garam lokal paling tinggi 70,
sedangkan garam Australia lebih dari l00.
“Kalau masak pakai garam Australia, saat
dicicipi sudah cukup asin. Tapi begitu masakan
sudah dingin, asinnya luar biasa. Nah, kalau
garam lokal, biarpun masakannya masih panas
atau sudah dingin, rasanya tetap sama. Cuma
kadang-kadang orang kota tuh suka yang putih,
yang putih sekali, padahal enggak enak,” kata
Sanin.
Untuk proses pemanggangan, awalnya Sanin
menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.
Tetapi, pemakaian solar ternyata menjadikan
biayanya lebih tinggi. Karena itu, sejak tahun
ini ia menggunakan elpiji, yang lebih ringan dan
irit.
Selain memproduksi garam dapur, Sanin
mendiversifikasikan usahanya, yakni berjualan
pupuk untuk semua jenis tanaman. Pembuatan
pupuk memerlukan garam hingga 40 persen. “Lalu
ditambah kaptan, bahan kaptul seperti kapur dari
Sukabumi,” urainya. KCI dalam garam dibutuhkan
untuk menguatkan batang. Ia mengirim pupuknya
ke Sumatera karena tanah di sana cenderung
bersifat gambut. “Kalau tidak diberi garam,
tanamannya tidak bisa hidup, tidak bisa berbuah,
atau buahnya sedikit,” papar Sanin. Berbisnis
garam sangat menguntungkan bagi Sanin karena
tidak ada garam yang tersisa, “Semua garam
dipakai. Yang kotor dicampur untuk pupuk.”
Penjuaan pupuk pun dalam setahun
mencapai 2 ribu ton, bahkan pernah hingga
3 ribu ton. Tentu saja, garam yang digunakan
adalah jenis yang berbeda. Untuk garam dapur
menggunakan garam putih kualitas 1 dan 2.
Sedangkan untuk pupuk, Sanin menggunakan
garam kualitas 3.
Baik di bidang garam maupun pupuk, Sanin
tidak terlalu memusingkan urusan persaingan.
Ia percaya bahwa rezeki diatur oleh Yang Di Atas.
Apalagi Sanin melihat banyak pesaingnya yang
bangkrut. “Ada bisnis yang sama di daerah ini,
tapi perusahaannya kecil. Bahkan, untuk bahan
baku saja mengambil dari saya. Mereka tinggal
mengemasnya,” ujar Sanin. Bisa jadi, memang
tidak ada pesaing yang berarti di sekitar wilayah
tersebut.
Bagi Sanin, ia hanya beruntung. “Menyekolahkan
empat anak sampai jadi sarjana butuh biaya
yang enggak sedikit,” ujarnya. Ia mengisahkan,
anak bungsunya yang menjadi bidan setiap
bulan paling sedikit butuh Rp 4-5 juta. “Kalau
tidak mengandalkan usaha, ya repot,” ujarnya
sembari tersenyum.
Ketika ditanya, akan dibawa ke mana bisnis
garam ini, Sanin menjawab, “Saya hanya mau
memperbesar pabrik, menaikkan jumlah
produksi, menambah tenaga kerja, membeli
mesin, dan menambah jumlah armada agar
produksi saya bisa menjangkau seluruh Jawa
Barat. Setelah menggeluti usaha garam dapur
dan pupuk hingga seperempat abad, Sanin
yang kini berusia 60 tahun memercayakan
pengelolaan perusahaan kepada para anak dan
menantunya dengan berbagi tugas. Sanin hanya
tinggal mengontrol agar semuanya berjalan
dengan baik.
Pesan penting pun dibagikan kepada semua
anak dan menantunya, bahkan karyawannya,
dan siapa pun yang hendak terjun ke dalam
dunia usaha, yakni harus sabar dan jujur.
“Susahlah kalau kita berbisnis inginnya
langsung besar. Pelan-pelan saja, begitu.
Jangan sekali-kali kita banyak bohong. Kita
harus jujur. Suatu saat dalam usaha, kejujuran
pasti menjadi kesuksesan kita,” ujarnya
bersahaja.
Catatan Rhenald Kasali
SAYA TERTEGUN DENGAN cara Sanin membangun usahanya. Ya, seperti inilah
manajamen UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Tumbuhnya perlahan-lahan
sacara alamiah. Dan hanya mereka yang tekun jujur, serta disiplinlah yang
mampu bertahan dan tumbuh. Bagi Sanin untung itu ditandai dengan
membesarnya jumlah aset bukan yang lainnya. Seperti pangusaha lain Sanin
juga butuh bantuan cash flow dari bank. Namun cara kerja bank yang mampu
manyederhanakan proses dan membuat usaha UMKM ‘nyaman’ sangat menentukan
keberhasilan hubungan antara bank dengan UMKM. Jadi sederhanakanlah semua
proses dan mengertilah cara kerja mereka.
Sanin seperti UMKM lainnya adalah sebuah produk dari sebuah proses evolusi.
Mereka naik kelas secara alamiah dari bekal kerja keras dan kejujuran. Saya
sering menyebutkan, pengusaha-pengusaha kecil modalnya berawal dari sekolah
50 senti atau setangah meter. Dari ujung telapak kaki ke atas dengkul.
Mulai dari tukang becak sampai menjadi pemilik pabrik garam. Itu pun hanya
kecil-kecilan saja. Namun karena tekun, ia bisa berurusan dengan bank dan
mampu mencicil pinjaman hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Sanin berbeda dangan sarjana-sarjana yang hanya bersekolah lima senti,
yaitu hanya mengisi kepalanya dengan teori, namun kaki dan tangannya tidak
‘disekolahkan’ di lapangan. Mereka yang demikian hanya menjadi penganggur.
beban bagi msyarakat.
Bisnis ‘50 senti’ ini adalah bisnis yang marjinnya besar, namun nilainya
kecil dan volumenya besar. Bayangkan 105 ton hanya berharga Rp 105 juta.
Bagi para sarjana, nilai seperti itu terlalu kecil. Namun bagi rakyat
jelata, nilai seperti itu sudah sangat disyukuri. Apalagi oleh seorang
mantan tukang bacak.
Berbeda dengan kebanyakan usaha, bisnis UKM seperti ini mempunyai karakter
tunai (sehingga banyak uang recehannya). Karakter tunai yang demikian bisa
membuat pelaku usaha kecil terperangkap dalam ‘perilaku pedagang’ yang lupa
melakukan inovasi atau perluasan produksi. Setiap mendapat tawaran
berutang, mereka hanya berpikir untuk memodali pembelian bahan baku atau
barang-barang untuk dijual kembali, bukan untuk membangun pabrik yang lebih
besar, lebih efisien, atau lebih produktif.
Kedua, usaha kecil juga sarat dengan godaan-godaan duniawi yang bisa
berakhir kalau pemiliknya terperangkap dalam godaan. Secara alamiah kita
semua terpanggil untuk menjalankan ibadah ke Tanah Suci, namun semua ada
syaratnya yaitu mampu. Godaan pertama adalah ‘merasa mampu’ bukan karena
benar-benar mampu, melainkan karena gengsi, ingin terlihat hebat. Kedua,
godaan kawin lagi. Dan ketiga, godaan Pilkada. Mereka bisa menjadi besar
kalau mampu mengatasi godaan-godaan tersebut dan fokus pada upaya memajukan
usaha.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)