Friday, July 6, 2012

Ni Ketut Susilawati, Pemilik Sondri Banten: Dari Bali Mengelola WarisanTradisi

Pulau dewata mewariskan banyak hal, dari seni, budaya, sampai alam yang indah. Tapi bukan hanya itu. Bali juga mewariskan bisnis banten (sesajen) yang menelurkan seorang wirausahawan mandiri yang mampu melepaskan diri dari kesulitan hidup



SELALU ADA HAL yang menarik dari Bali. Pemandangannya yang indah, ambiance-nya yang menawarkan penawar kejenuhan, dan kegiatan seni budayanya yang memikat. Aktivitas seni bisa dilihal dari adanya tari-tarian, patung, kain songket, dan yang tak kalah penting adalah kelihaian tangan untuk merangkai janur dalam proses pembuatan banten atau sesajen. Sesajen terdiri dari rangkaian janur, buah, kelapa, kue, dan bahan lainnya yang kemudian disusun sedemikian rupa sesuai makna filosofisnya. Setiap aspek kehidupan masyarakat Bali memang tidak terlepas dari aktivitas spiritual dan keagamaan.

Karena setiap keluarga harus menyediakan banten sebagai perangkat yang tak terpisahkan dari kehidupan upakara sehari-hari, maka tentunya dibutuhkan pula seseorang yang mampu memproduksi banten. Itulah yang dilakukan Ni Ketut Susilawati dan keluarganya terutama sang bunda untuk menambah penghasilan keluarga. "Salah satu tujuannya adalah mendukung kehidupan beragama sebagai penyeimbang arus modernisasi, selain tentu saja sebagai usaha mencari nafkah," Ni Ketut menjelaskan.

Bisnis rumahan yang dimulai oleh ibunya beberapa tahun lalu itu ayahnya bekerja sebagai pegawai swasta tak berkembang seperti yang diharapkan. Inilah ciri khas sebagian besar UMKM kita, berusaha sekadar untuk hidup dan merasa wajar bila usaha sepi, asalkan cukup untuk makan sehari-hari. Tetapi bagi Ni Ketut, hal ini merupakan sebuah masalah. Ada sesuatu yang salah dalam strategi bisnis, kalau dari bisnis yang sepi itu Ni Ketut harus menanggung utang Rp50 juta dari usaha itu. Namun, dengan kegigihannya ia berhasil melunasi utang-utang itu, bahkan menuai untung puluhan juta rupiah setiap bulannya. Apa rahasianya?



Memilih bisnis yang sudah ia selami seja knowledge dan keahliannya cukup terasah.



BERAWAL DARI PERJUANGAN IBU

Sejarah bisnis banten keluarga Ni Ketut berawal dari impitan ekonomi keluarga yang cukup besar. Orangtuanya harus menanggung biaya lima orang anak yang semuanya membutuhkan dana yang besar. "Saat itu saya baru akan masuk perguruan tinggi. Karena anggaran terbatas, Ayah dan lbu meminjam uang dari rentenir yang bunganya sangat tinggi."

Sebagai orangtua bijak, ibu Ni Ketut ingin agar anak keempatnya itu bisa menyelesaikan sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi. Dia merasa malu jika tidak seorang pun dari kelima anaknya mencicipi nikmatnya mencari ilmu di kampus. Tapi, "Jangankan untuk membiayai kuliah, menanggung beban hidup sehari-hari pun sulit dipenuhi orangtua saya," demikian awal penuturan Ni Ketut.

Demi kelanjutan pendidikan anak-anaknya itu, sang bunda merintis berbagai macam usaha, dari berdagang makanan, sandal, sembako, dan lain-lainnya. Tapi yang terjadi hanya kegagalan. Semua usaha yang sudah dicoba hanya mendatangkan utang yang semakin menumpuk karena sistem gali lubang dan tutup lubang. Usaha banten itu sendiri dimulai pada 2002, dengan modal awal Rp35 juta, yang dipinjamkan oleh salah seorang kerabat yang iba akan kesulitan hidup Ni Ketut dan keluarganya. Namun, lagi-lagi usaha itu kandas. Tahun 2008, ibu Ni Ketut jatuh sakit. Tidak terlalu lama sakit, stroke mengakhiri perjuangannya membesarkan anak-anak.

"Rasanya hampa karena beliaulah satu-satunya yang mendorong saya untuk terus kuliah. Saya tidak bisa berdiam diri karena ketika lbu sakit, usaha ini diteruskan seorang kakak dan Ayah. Namun keduanya tidak bisa dibilang sukses. Harusnya bisnis banten ini menguntungkan, kenyataannya tetap saja ekonomi keluarga tak terpenuhi," kenang Ni Ketut.

Dengan nekat, Ni Ketut yang masih kuliah mengambil alih usaha dengan peninggalan utang sebesar Rp50 juta. Modal untuk membangun kembali bisnis yang 'setengah hidup' itu, diperoleh–lagi-lagi–dari modal keluarga dan pinjaman dari kerabat-kerabat terdekat. Alhasil, setahun pertama keuntungan yang diperoleh mencapai Rp10 juta per bulan dan omzet yang dicapai sebesar Rp350 juta dari penjualan berbagai jenis banten. "Tahun berikutnya Saya melakukan kegiatan promosi yang lebih gencar seperti penyebaran kartu nama dan brosur ke kantor-kantor, pemesanan melalui surat elektronik, dan melakukan ready stock pada produk-produk tertentu. Terakhir tapi tidak kalah penting, yaitu memberikan pelayanan terbaik terhadap konsumen," ujarnya.



BIODATA

NI KETUT SUSILAWATI

Denpasar, 30 Juni 1986

Pendidlikan

SI Sastra Inggris, Universitas Udayana, Denpasar

Nama Usaha

Sondri Banten (Industri Rumahan di Bidang Produksi Sarana Upacara)

Alamat: JI. Waturenggong No. 142, Denpasar, Bali

Penghargaan

2009 Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri



Dari perombakan yang dilakukan Ni Ketut, omzet usaha ini melonjak drastis hingga Rp720 juta dengan keuntungan bersih mencapai Rp20 juta per bulan pada tahun 2009. Kendati senang, awalnya Ni Ketut sempat bingung dan kaget. Dia terkejut, mengapa profit yang dihasilkan ini bisa begitu besar. Mengapa dulu ibunya tak bisa meraih keuntungan seperti itu–bahkan terlilit utang yang cukup besar?



PERLU PROFESIONALISME

Ni Ketut lantas menganalisis apa yang telah terjadi. Dia mencoba menggali rekam jejak bisnis banten-nya dari segala arah. Setelah ditelusuri, akhirnya ia menemukan permasalahannya. Rupanya, keuntungan yang belum diperoleh oleh ibunya disebabkan beliau masih menjalankan masa promosi. "Promosinya sedemikian hebat, sampai-sampai selama 5 tahun harga yang diberikan adalah harga promosi atau harga diskon," ujar Ni Ketut. Walaupun terdengar menyimpang dari berbagai strategi bisnis yang pernah dibadanya, namun cara itu telah membentuk pelanggan yang loyal. "Sehingga, pada saat saya mewarisinya, usaha ini sudah siap digerakkan dan siap menghasilkan keuntungan yang begitu besar. Walaupun utang yang juga ditinggalkan begitu besar, tapi semua utang itu bisa ditutup hanya dalam waktu dua bulan."

Tentu saja, kata Ni Ketut, diperlukan pembenahan sistem manajemen pembagian tugas dan keuangan. Sebab, sebenarnya hal-hal lain sudah cukup mendukung. Misalnya, lokasi usaha—di A Waturenggong No. 142, Panjer,  Denpasar Selatan—cukup strategic, karena akses yang mudah dari kota Denpasar. Struktur organisasinya pun sudah ada—walau dulu belum berfungsi optimal. Ni Ketut menyempurnakannya dengan membentuk pimpinan usaha sebagai koordinator yang membawahi dua kepala bidang usaha, yaitu bidang usaha produksi dan distribusi. Kedua kepala bidang tersebut membawahi tenaga kerja di masing-masing bidangnya. pimpinan usaha bertugas mengontrol usaha secara umum, sedangkan kepala bidang bertugas mengontrol usaha sesuai bidangnya masing-masing.



Tidak segan melakukan analisis masalah, antara lain dengan menelusuri perbedaan profit bisnis ketika dipegang ibunya dan ketika ia kelola sendiri.



"Jumlah tenaga kerjanya sementara ini 4 orang; 3 orang untuk proses produksi, dan 1 orang untuk proses distribusi. Untuk waktu produksi, sangat bergantung dari jenis banten yang dibuat. Namun, dalam perjalanannya, kita dapat melakukan berbagai persiapan terlebih dulu untuk berbagai kelengkapan yang akan disusun menjadi banten. Paling lama waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1 minggu. sedangkan untuk proses distribusi, barang dapat tersedia di agen penjual atau produsennya," Ni Ketut menjelaskan panjang lebar.

Bahan baku terpenting yang digunakan dalam proses produksi banten adalah janur, bunga, buah, serta semat. Menurut Ni Ketut, dalam perjalanannya usaha banten ini memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan, baik dari segi ekonomi, social maupun budaya. Sebab, di masa depan ia ingin dapat lebih banyak lagi menyerap tenaga kerja lokal—terutama ibu-ibu rumah tangga.



PEMSELAJARAN PENTING

Keberhasilan Ni Ketut meneruskan usaha ibunya tidak terlepas dari kegigihan dan semangatnya dalam berupaya. Sejak remaja, ia sadar bahwa kondisi ekonomi keluarganya tergolong kekurangan. la pun terclorong untuk membantu mengatasi masalah financial tersebut. "Sejak kuliah, saya sudah banyak melakukan usaha kecil-kecilan. Salah satunya bergabung dalam bisnis produk kedantikan yang berbasis multi-level marketing. Sambil kuliah, saya selalu mencari prospek baru atau menawarkan produk kedantikan kepala teman-teman di kampus," kenangnya.



Setelah mernperoleh profit, ia juga melakukan inovasi, misalnya melakukan promosi dan memperkaya cara pemasaran



Walaupun belum purna-waktu, ketika kuliah pun Ni Ketut rajin membantu usaha ibunya. Dengan demikian ia memahami bahwa apa pun usaha itu, "Harus dibangun dengan proses, kerja keras, dan keberanian," katanya arif.

Ni Ketut juga belajar dari pengalaman keluarga mengelola usaha banten. Sebagai anggota keluarga, dia melihat bisnis ini pantang mengecewakan pelanggan. la menjelaskan, "pelanggan yang kecewa akan pergi, mungkin saja menyebarkan berita buruk tanpa sengaja tentang pelayanan kami yang buruk. Pengelolaan keuangan pun harus profesional. Harus jelas ke mana keluar masuknya, tidak boleh bercampur dengan keuangan pribadi."

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan keluarganya dulu menjadi pembelajaran yang mahal bagi Ni Ketut. Itulah yang membuatnya tekun membenahi segala masalah dalam keluarga dan usahanya. Semua potensi usaha dianalisis dengan akurat, termasuk warisan usaha, rumah, serta aset-aset lain yang ada. la juga kembali mempelajari secara detail proses produksi, pembelian barang, potensi pemasaran, hingga kebutuhan konsumen.

"Lantas, dengan modal semangat saya kembali menghubungi kenalan-kenalan ibu saya yang pernah menjadi pelanggan untuk dapat kembali menjadi konsumen kami. semangat ini akhirnya membuat saya bisa melewati bulan pertama dengan baik walaupun saya merasakan saat ini bagaimana kerasnya dunia bisnis bagi seorang perempuan seperti saya," tambahnya.

Berbagai inovasi pun dilakukan lulusan Sastra Inggris Universitas Udayana, Denpasar ini. la berpromosi melalui penyebaran brosur, kartu nama, pamflet, mengikuti pameran-pameran, hingga melalui jalur online. Daerah pemasaran ia perluas hingga mencakup hampir ke seluruh Denpasar. la juga melakukan terobosan bisnis dengan memberlakukan layanan pesan-antar. Di bawah bendera Sondri Banters, proses perekrutan tenaga baru yang berasal dari masyarakat setempat juga terus dia lakukan.

Ni Ketut merasa bersyukur karena bisa mengikuti berbagai seminar bisnis, yang diadakan oleh Bank Mandiri. "Saya bertekad mengembangkan lebih jauh lagi usaha ini. Impian saya ke depannya adalah membangun cabang-cabang baru dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal lebih banyak lagi. secara sosial, pembentukan usaha ini memiliki fungsi sebagai pencegah degradasi sosial dalam masyarakat," pungkas gadis kelahiran Denpasar, yang berharap dapat lebih banyak lagi memberdayakan kaum perempuan itu untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran.

Tertib dalam memisahkan keuangan pribadi maupun profesional, kendati usahanya masih berskala rumahan.



TESTIMONI

Q: Mengapa memilih bisnis ini?

A: Banten, sebagai satu perangkat yang tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan yang dilakukan masyarakat Bali, merupakan bentuk transformasi Hindu sebagai ungkapan dari pemujaan terhadap Tuhan. Usaha ini tujuan pokoknya adalah untuk mendukung kehidupan beragarna dalam struktur masyarakat, yang bersifat sebagai penyeimbang dalam pesatnya arus modernisasi.



“Usaha keluarga yang dibangun ibu dan telah berkembang, akhirnya berganti manajemen mulai dari kakak hinga bapak saya, dan semuanya membuat saya kecewa karena mereka tak pernah memikirkan keluarga. Hasil usaha yang didapat hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja.”



Tips

HUKUM WIRAUSAHA #16

Keluar dari Belenggu Usaha Kecil



"Apa yang kita benar-benar pelajari, dari setiap keadaan, menentukan apakah kita menjadi semakin tidak berdaya atau lebih kuat. — Blaine Lee



MEMULAI SUATU USAHA memang boleh saja dari usaha kecil, sehingga setiap orang bisa dengan mudah memasuki dunia usaha dan menjadi wirausahawan. Namun untuk menjadi besar, seseorang harus menanamkan dalam pikirannya bahwa segala sesuatu yang dilakukan di awal tidak selalu menjadi akhir dari perjalanan bisnisnya. Karena usaha yang paling mudah ini biasanya sudah bisa memberikan kehidupan walaupun dengan skala ekonomi yang kecil banyak orang kemudian merasa sudah cukup. Akibatnya, mereka tetap tinggal dalam 'kekecilan' tersebut selamanya. Mereka terbelenggu dalam kegiatan ekonomi skala kecil yang dikelola secara konvensional, paguyuban, dan kekeluargaan. Yang penting bisa dipakai untuk hidup. Pada akhirnya, usaha semacam ini cenderung mengalami kemerosotan karena skala usahanya tetap sama, sedangkan anggota keluarga semakin hari semakin banyak. Demikian pula, tuntutan ekonomi suatu keluarga semakin hari semakin besar.

Sebagai contoh, ibunda Ni Ketut Susilawati semula mengelola usaha hanya untuk kepentingan keluarga kecilnya, yang terdiri dari orangtua dan lima orang anak. Namun, di era Ni Ketut Susilawati, dia tidak hanya harus membiayai ayah dan saudara-saudaranya, tetapi juga membiayai anggota keluarga mereka masing-masing. Jumlahnya kini bisa mencapai 3-4 kali lipat dari jumlah semula. Dan, anak-anak mereka mungkin sudah membutuhkan peralatan kehidupan modern yang jauh lebih mahal dari generasi-generasi sebelumnya, seperti ponsel, laptop, sepeca motor, dan sebagainya.

Kehidupan yang seimbang adalah kehidupan yang tumbuh bersama-sama, antara alam di sekitar kita dengan diri sendiri. Ketika alam berubah, sementara kita tetap berada pada kebiasaan yang sama, maka terjadilah ketimpangan-ketimpangan alamiah, seperti pengerdilan kehidupan atau kematian yang diakibatkan oleh hilangnya daya imunitas. Untuk dapat keluar dari perangkap awal yang rentan terhadap 'seragngan' perubahan alam itu, ikuti tips berikut ini:

  • Lakukanlah perubahan secara berkala. Ketika kita berada pada posisi sebagai pengikut, yang dapat kita lakukan hanyalah mengamati perubahan. Tetapi, ketika kita berada pada posisi memimpin, kita diberikan kekuatan untuk melakukan perubahan. Lakukanlah perubahan dengan penuh kesungguhan untuk menyempurnakan usaha Anda.

  • Bila dirasa perlu, jangan ragu untuk melakukan perubahan mendasar pada usaha yang sama. Beberapa caranya adalah menggunakan teknologi baru yang lebih tepat guna, merekrut orang-orang baru yang lebih bergairah, atau menerapkan metode-metode baru yang sebelumnya ticak pernah terpikirkan seperti misalnya misalnya relationship marketing.

  • Perubahan juga bisa dilakukan dengan mengubah atau menambah usaha-usaha baru, baik yang ada hubungannya dengan usaha lama maupun yang tidak berhubungan sama sekali. Berubah, berarti belajar kembali tentang hal-hal yang baru. Satu hal penting yang harus dipahami saat belajar adalah dibutuhkan kerelaan untuk menjadi 'bodoh' kembali, karena kita harus memulai lagi dari awal dengan kemungkinan menghadapi beragam risiko yang tidak terduga.

  • Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jangan merasa malu atau mudah putus asa. Segera bangkit dan pergilah ke luar. Anda perlu bertemu dengan orang-orang baru atau orang-orang lama yang sudah Anda kenal, dan mencari potensi-potensi yang memungkinkan Anda untuk bangkit kembali. Dari sang Anda akan menemukan inspirasi, kekuatan, jaringan, dan sebagainya yang tak pernah Anda duga.

  • Bila usaha baru ternyata memiliki masa depan yang lebih menarik, jangan ragu untuk mengerahkan semua kekuatan sumber daya yang Anda miliki pada usaha baru tersebut. Dan, tutuplah usaha lama yang sudah tidak sesuai dengan DNA Anda yang baru.

  • Jangan ragu untuk mendatangkan tenaga-tenaga profesional. Hal ini berarti Anda memperkuat struktur manajerial perusahaan dengan pelimpahan kekuasaan pada orang-orang yang memiliki kompetensi. Dengan demikian Anda tidak harus turun sendiri mengelola perusahaan Anda.

  • Lakukan terus adaptasi-adaptasi baru. Buka wawasan Anda seluas-luasnya dan gall pengalaman orang-orang yang telah sukses untuk mendapatkan sudut pandang baru terhadap bisnis Anda. Keluar sejenak dari rutinitas untuk dapa t'memandang' bisnis Anda dari posisi orang luar.



Dari Buku: Wirausaha Muda Mandiri Part 2: Kisah Inspiratif Anak-anak Muda Menemukan Masa Depan dari Hal-hal yang Diabaikan Banyak Orang. Oleh: Rhenald Kasali Penerbit: Gramedia.

2 comments:

yutuh said...

saya ingin bertanya, wirausaha menentukan pasar dulu baru memproduksi, bagaimana caranya menentukan harga barang ketika belum memproduksi, supaya nantinya ketika barang terjual kita tdk rugi, karna harga jualnya murah sedangkan biaya produksinya tinggi....

wirasmada said...

menentukan harga jualnya dihitung dr total produksi cost langsung dan tak langsung. biaya bahan baku + biaya tenaga kerja + biaya transportasi/pengiriman + biaya overhead (listrik, air pam dsb)