Saturday, October 20, 2012

Suherman, Dulu Sendirian di Awal Usaha Ukiran Kayu Ulin, Kini Punya Puluhan Karyawan

Suherman (53) dikenal sebagai perajin kayu andal di
Balikpapan, tepatnya pakar ukir kayu ulin dengan
motif Dayak. Pelanggannya dari kalangan pejabat,
pemerintah daerah, perkantoran, hingga perhotelan.
Namun, yang unik, dia sebenarnya bukan orang asli
Dayak, melainkan wong Tulungagung, Jawa Timur.

“Namun, saya menyukai desain-desain Dayak.
Begitu melihat, langsung suka dan bisa membuatnya. Bakat mungkin,
hehehe,” ujar Suherman kala mengawali obrolan bersama
Kompas, Senin (11/4), di ruang pamernya, Jalan Soekarno-Hatta, Gunung

Samarinda, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Beberapa karyawan di ruang pamer dari CV Borneo Picaso
Mandiri ini tengah mengerjakan tiga gelondong kayu ulin
masing-masing sepanjang 7,5 meter dan berdiameter 45 cm.
Motif-motif Dayak sudah separuh disematkan ke tubuh
kayu asli Kalimantan berusia puluhan tahun yang acap disebut kayu besi

tersebut (karena tahan air).

“Saya dapat pesanan 36 gelondongan seperti ini untuk
diukir motif Dayak. Pesanan ini untuk sebuah hotel di Bali
yang segera dibuka. Selain ulin untuk tiang ini, hotel itu juga
pesan ratusan lain, seperti untuk nomor kamar,” kata Suherman.

Suherman juga menunjukkan setumpuk kayu ulin pesanan sejumlah

pejabat yang belum tergarap. Si pemesan
mau bersabar menunggu.

Bukankah kayu ulin termasuk dilindungi karena sudah

hampir habis populasinya sehingga ulin sebesar itu harus
dilengkapi izin gubernur? Suherman mengiyakan. “Kalau
enggak ada izinnya, ya, enggak berani. Nanti Anda malah wawancara saya di
rutan, Mas,” ujarnya berkelakar.

Bukan hal mudah mendapat ulin saat sekarang karena, sejak
10 tahun silam, peredaran ulin dibatasi ketat. Banyak ulin ditebang dan

dijual secara ilegal. Otomatis, pasokan ulin pun tak
selancar sebelumnya. Surat-suratnya harus komplet Saking
langkanya ulin, harganya pun meroket, yakni Rp 5,5 juta per
meter persegi. Ulin tiga kali lebih mahal dari kayu jati.

Lelaki ini meyakini kemampuannya mengukir dan

memahat kayu—dan meniru motif apa saja yang dilihat adalah
anugerah dan bakat. Kedua orangtuanya petani tulen di
kampung halamannya, Tulungagung, Jawa Timur. Kalau,
toh, ditelusuri, bakat seni itu
berasal dan kakeknya yang bisa mendalang.

Sejak kecil ia suka menggambar apa saja, yang lalu

diaplikasikan ke kayu. Merasa bakatnya bakal tersalurkan di
kursi perguruan tinggi, Suherman mendaftar ke Akademi
Seni Rupa Indonesia seusai tamat dari STM Pembangunan
Bandung, Jawa Barat.

Tak lebih dari setahun, Suherman keluar dengan alasan
sederhana, yakni merasa kemampuannya kurang terasah
secara cepat. Ia semakin tak sempat kuliah karena pesanan
mulai berdatangan. Beranjak dari kebutuhan uang, kuliah
pun dia relakan walau sempat berangan-angan bisa tamat

Bukan pola bos-bawahan

Pengembaraan ke Balikpapan dimulai tahun 1975.

Suherman diminta membantu salah satu hotel. Tahun 1986,
dia membuka usaha mandiri. Dari mulut ke mulut, karyanya
mulai dikenal, terutama desain Dayak yang ditatahkan pada
ulin. Jika dulu sendiri, lantas punya 9 karyawan, sekarang
dia memiiki 25 karyawan.
Walau demikian, dia tak
Mau menerapkan pola bos-bawahan kepada karyawannya

sehingga komunikasi dan kedekatan terus dilakukan. Setiap pesanan pun,

walau digarap para karyawan, tetap dipastikan tersentuh tangannya.

“Masa saya cuma duduk” ucapnya.

Berbagai penghargaan sudah disabetnya, seperti Sidhakarya (penghargaan

untuk produktivitas) tahun 2010. Juga Juara I Lomba Desain Produk
Kerajinan/Cenderamata se-Kaltim tiga tahun berturut-turut (2008-2010).

Ketiganya penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kaltim.

Bukan hal gampang mencapai sukses. Suami dan Sri Mugiwarti (43) dan ayah

tiga anak ini mengatakan, yang penting
perajin bisa memberi kepuasan kepada pelanggan, yakni tepat
waktu, rapi, dan indah pengerjaan, plus keramahan. Syarat
klasik, tetapi sulit.

Untuk urusan tepat waktu

dan kepuasan pelanggan, tak ada kompromi bagi Suherman.
“Begitu perajin molor, separuh kepercayaan pelanggan hi1ang.
Jadi, kalau bisa, selesal tepat waktu. Kalau bisa sebelum batasan waktu,

itu lebih istimewa,” tuturnya.

Dalam sebulan, Suherman
butuh setidaknya Rp 150 juta untuk belanja kayu. Sejauh ini
produknya telah tersebar di banyak daerah, terutama Jawa
dan Bali. Ia belum berpikir ekspor ke luar negeri karena
sudah kewalahan memenuhi permintaan dalam negeri.

Suherman memang unik karena, walau orang Jawa, sebagian hatinya sudah

tertambat ke motif Dayak. Ia pun ikut prihatin atas kayu ulin
yang kian langka. “Walau bisa saja menggambar motif Dayak
di kayu lain, tetapi aslinya, kan, di ulin,” ujarnya.

OLEH: LUKAS ADI PRASETYA

Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 20 Agustus 2011

No comments: