Tuesday, October 23, 2012

Jody Brotosuseno, Pemilik Waroeng Steak and Shake, Awalnya Jual Motor untuk Modal, Kini Punya 1000 Karyawan

Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha
kulinernya telah mencapai 50
outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap
gerai. Lantas, apa hubungannya
dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?

Mendengar kata steak akan teringat
makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku
di “Waroeng Steak and Shake”.
Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka
macam steak pun dapat dinikmati
dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng
Steak and Shake buka pada saat jam
makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang
telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan,
tak jarang sebagian di antaranya
rela antri untuk mendapatkan
tempat duduk.

Seiring dengan berputarnya waktu,
usaha ini semakin melaju. Jika
tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai
dengan mempekerjakan 1.000
karyawan.

Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group
tidak lepas dari keuletan dan
tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan
bakat wirausaha yang dimilikinya,
sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam
usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos
partai. Untung dan rugi pun pernah
ia alami.

Tahun 1997, Jody terlibat
mengurusi usaha “Obonk Steak”
milik orangtuanya. Ia diminta
menangani Obonk Steak dan
memasarkannya ke teman-teman
kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak
ada yang datang, karena harganya
cukup mahal dan tidak terjangkau
oleh kantong mahasiswa,”
ungkapnya sambil tersenyum.

Pengalaman terakhir inilah yang
memberi inspirasi untuk membuat
usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai
memikirkan cara menekan harga
steak yang sejatinya memang
mahal.

Diakui Jody, untuk mendirikan
Waroeng Steak and Shake
dibutuhkan modal awal yang cukup
besar. Beruntung ia memiliki
sepeda motor pemberian orangtua,
yang akhirnya dijual untuk modal
usaha.

“Dari penjualan motor, saya
gunakan untuk sewa tempat di
daerah Demangan Yogyakarta,
sebagian lagi untuk peralatan
usaha, dan sisanya untuk membeli
motor tua sebagai alat
transportasi,” ujar Jody.

Tanggal 4 September 2000 adalah
awal berdirinya Waroeng Steak and
Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody
memilih nama Waroeng sebagai
brand usaha kulinernya untuk
memberi kesan murah kepada
konsumen.

“Di mana-mana yang namanya steak
itu mahal, makanya saya memberi
nama Waroeng untuk memberi
kesan murah,” kata Jody.
Mengingat pangsa pasarnya anak
muda dan mahasiswa, maka warna
yang digunakannya pun dibuat
ngejreng, dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna
putih dan hitam.

Tahun pertama merupakan
perjuangan bagi Jody. Dengan lima
meja, sepuluh hot plate dan tiga
menu utama (Sirloin, Tenderlon,
dan Chicken Steak) yang disediakan
Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya
daripada sukanya. Namun, usaha
ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya
melayani tamu sekaligus menjadi
kasir, dan dua karyawannya
menangani tugas lainnya.

“Alhamdulillah, di tahun pertama
masih bisa menggaji karyawan dan
memenuhi kebutuhan keluarga,
meski pas-pasan,” jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan
masukan yang dilontarkan mereka
membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat
daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang,
banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai
menampakkan hasil.

Pengunjungnya
semakin stabil, bahkan tidak
mampu melayani seluruh
pengunjung. Maka ia pun mengajak
keluarganya untuk berinvestasi
mengembangkan usaha ini, mulai
dari ayah, ibu, saudara, paman,
dan keluarga lainnya diajak
berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7
dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya
Jody mampu mendanai sendiri
gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.

Belakangan, Jody lebih senang
mengajak investor dari kalangan
ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di
Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut
saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz
Edi Mustofa, dan Ustadz Endang
ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke
berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H.
Slamet, dan Festival Kuliner
(Feskul).

“Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini
dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka,”
terang Jody saat ditemui Suara
Hidayatullah di Rumah Tahfizh
miliknya di Deresan Yogyakarta.

Spiritual Company

Mengelola 1.000 karyawan
bukanlah hal mudah, dan itulah
yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut
memberdayakan karyawannya yang
berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan budaya tersebut.
Awalnya, Jody hanya berpikir
praktis dengan mengikutkan hampir
seluruh karyawannya training ESQ.

Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat
Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat
sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual
Company ini terdiri dari dakwah
dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui
olahraga, kegiatan sosial, infaq
karyawan, dan seni budaya. “Untuk
pendidikan Islamnya yakni
pengadaan tausiyah rutin di outlet-
outlet dan kantor, buletin bulanan,
dan belajar membaca al-Qur`an
bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di
kantor Waroeng Group Timoho
Yogyakarta.

Tausiyah di gerai kata Ustadz
Syamsuri, telah disusun secara
sistematis berikut tema-temanya.
Misalnya bulan Maret lalu bertema
Shalat Tepat Waktu, maka seluruh
gerai di Jawa, Bali dan Sumatera
harus menyelenggarakan tausiyah
untuk karyawan dengan tema yang
sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya
meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan
sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan
yang dilaksanakan setiap pekan,
Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan,
pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta
setiap bulan, dengan tema kegiatan
“Dari Waroeng untuk Umat”.

Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai
menawarkan program menarik bagi
karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal
empat surah pilihan akan diikutkan
umrah dan haji gratis.
“Ternyata banyak karyawan yang
bisa menghafal empat surah, dan
terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya,”
kata Jody.

Sebagai bagian dari Spiritual
Company, Jody menerapkan aturan
ketat kepada karyawannya. Bila
tahun 2009 larangan merokok
ditujukan kepada seluruh
menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang
merokok.

Kini, selain sibuk mengurus
usahanya, Jody pun aktif
mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk
menghafal al-Qur`an.

“Saat ini sudah berdiri empat
Rumah Tahfizh yang mengasuh 83
santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah
Tahfizh Waroeng Group.
Alhamdulillah, usaha saya terbukti
semakin meningkat, ”ungkap Jody
yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah
APRIL 2011

sumber: http//majalah.hidayatullah.com/?p=2497

No comments: