Bagi Nuryanto (36), tak pernah ada kata mati
dalam berkreasi membuat kerajinan tangan.
Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti
dengan terus menciptakan barang-barang luar
biasa dan barang-barang bekas, limbah yang
tidak “blasa”, seperti stik es krim, sisa kayu .
dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir
memanfaatkan abu dari Gunung Merapi
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun
1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi nama
Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah
memiliki 1.780 jenis karya seni.
Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara
lain miniatur candi, gantungan kunci, dan setir mobil.
Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass
yang kerap dipakai artis penyanyi Maia Estianty,
hingga akhirnya populer dengan nama gelang artis.
Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus
bertambah dan berganti-ganti. Dengan cara itu, dia
pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru orang.
“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena
hampir setiap bulan saya selalu membuat kreasi yang
berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan
bakunya,” ujärnya terkekeh.
Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara
lain adalah flber glass, kayu, limbah kuningan, pasir,
gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia
bisa membuat ribuan jenis benda yang berbeda balk
bentuk maupun fungsinya.
Nuryanto mengatakan, kreativitasnya membuat
aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia masih
kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa
melihat kedatangan turis-turis ke Candi Borobudur
mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah
kaleng susu bekas. “Waktu itu saya bahkan bekerja
sama dengan para pemulung yang berperan sebagai
pemasok kaleng susu bekas,” ujarnya.
Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini
ternyata laku dijual. Setelah itu, dia pun terus berkreasi, bereksperimen
memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga SMA.
Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu pengetahuan tentang seni,
desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai tempat seperti di Ubud
Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta
Semua pelatihan diikutinya dalam waktu singkat.
Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan formal bagi
Nuryanto.
Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang. “Saya hanya ingin
mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya
Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan
dan keterampilan, tahun 1999 dia pun membuka
usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu dua
karyawan.
Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal
Singapura yang datang ke Candi Borobudur, dia pun
mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam
suvenir senilai Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan
dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun sukses
mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.
“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya
terasa mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.
Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga
anak ini pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap
peluang usaha dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.
Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun
mencoba membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi
sebagai tempat buah.
Abu Gunung Merapi
Tidak hanya itu, pikirannya pun terus berputar
untuk memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya
kelihatan tidak berguna. Saat erupsi Merapi dan hujan abu terus turun di
Kabupen Magelang, dia pun berpikir keras untuk memanfaatkan abu yang
Mengganggu, menutup jalan dan halaman di desanya.
“Saat usaha berhenti karena erupsi Merapi selama
sebulan penuh, saya bereksperimen untuk membuat
kerajinan berbahan abu,” ujarnya.
Dari hasil coba-coba itulah, dia mengetahui bahwa
sebelum diolah abu harus digoreng terlebih dahulu
agar benar-benar kering, tidak bercampur air, dan
kadar keasamannya berkurang. Setelah itu, dengan
dicampur getah pinus, abu Merapi bahkan bisa diolah
menjadi hiasan relief dan hiasan meja seperti stupa
dan miniatur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dalam kreativitasnya ini, Nuryanto menghabiskan
ribuan truk abu Merapi untuk menghasilkan jutaan
buah kerajman tangan. Sebagian kerajinan abu ini
dikirim ke Jerman.
Awal membuka galeri, Nuryanto hanya punya dua
karyawan, dan. kini dia telah mempekerjakan 50
karyawan dengan nilal total aset mencapai Rp 2,4 miliar.
Setiap hari, usahanya ini menghasillcan 1.000 barang kerajinan yang
sebagian besar berupa miniatur.
Selain dipasok ke galeri dan toko seni dalam negeri
seperti Mirota Batik, dia pun juga memasok untuk
kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Italia, Jerman,
Be1gia, Austraiia, dan Belanda. Distribusi di dalam
maupun di luar negeri dilakukan dengan menggunakan jasa pedagang perantara
atau eksportir.
Hal ini sengaja dilakukannya agar lebih banyak
orang terlibat. Ini sesuai dengan prinsip hidupnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. “Untuk tertawa saja kita tidak mungkin
tertawa sendirian, apalagi untuk bekerja,” ujarnya
sembari tersenyum.
OLEH: REGINA RUKMORINI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment