Saturday, October 20, 2012

Muhdi, Mantan Tukang Kebun yang Kini Sukses Jadi Pengusaha Keripik Hingga Tembus ke Mancanegara

Saat datang ke Medan, Sumatera
Utara, tahun 1986, Muhammad
Muhdi (46) bukanlah siapa-siapa.
“Naik kereta (sepeda motor) saja
saya tidak bisa,” kata Muhdi. Namun, 25 tahun kemudian, ia adalah
pengusaha keripik singkong dan
turunannya dengan 75 karyawan
dan mulai mengekspor produknya.

Berbincang dengan Muhammad
Muhdi selama sekitar dua jam
membawa kesimpulan bahwa ia
sukses sebagai pengusaha keripik
singkong karena ia orang yang optimistis dengan hidupnyi. Namun,

optimisme itu pun tidak ia peroleh dengan
singkat. Ada masa ia terjepit dan terjatuh, tetapi bisa bangun lagi dan
berhasil seperti saat ini.

Selulusnya dan Madrasah Aliyah
Pondok Baru, Payaman, Magelang, Jawa
Tengah, Muhdi pergi ke Medan menjadi
nazir Masjid Nurul Imam di kawasan
Kompleks Perhubungan Udara, Padang
Bulan, Medan. Ia juga bekerja macam-macam, seperti menjadi tukang

kebon Taman Kanak-kanak Ikadiasa,
Kompleks Perhubungan Udara, Jalan
Penerbang, Medan.

A Siong, seorang pedagang telur, pernah menawarinya berdagang telur.
Usahanya menanjak saat ia mulai memasok logistik, seperti telur, beras,

minyak goreng, minyak tanah, hingga sirup, ke Pondok Pesantren Roudhatul
Hasanah, Medan. Semua berbalik saat
krisis moneter tahun 1997. Pemilik toko
tempat ia mengambil barang bangkrut.
Ia mencoba berdagang bahan pokok.

Di tengah situasi tak menentu, ia
pulang kampung saat Lebaran tahun
1999. Di situlah ide membuat keripik
singkong muncul. “Ada orang buat keripik manual. Saya lalu beli

peralatannya,” cerita Muhdi. Ia membeli alat
potong Rp 120.000, wajan Rp 75.000,
dan alat penampi Rp 15.000. Ia bawa
peralatan itu ke Medan.

Sesampai di Medan, ia langsung
membeli singkong 5 kilogram di pasar
dan minyak goreng 2 kilogram untuk

praktik membuat keripik. Ternyata keripiknya tenggelam dalam minyak.
Esoknya ia beli singkong ke petani,
dengan asumsi kualitas singkong lebih
baik. Eh, sama saja, keripik tenggelam di
dalam minyak.

Usut punya usut, ternyata api kurang
besar, sementara wajan kebesaran. Ber
kali-kali dicoba, baru ketemu formula
pas, antara banyaknya minyak, besarnya
api, panas minyak, dan besarnya wajan.
Wajan yang ia beli dari Magelang ternyata kebesaran sehingga ia perlu
mengganti wajan dari tukang pisang
yang membantu ia menemukan formula

pas untuk menggoreng keripik.

Akhir tahun 1999, produksinya membutuhkan 100 kilogram singkong per
hari dan proses menggoreng nonstop
hingga malam hari. Masyarakat sekitar
mulal terusik dengan aktivitas produksi
keripiknya, terutama karena limbah
singkong. Ia pun pindah ke kawasan
Medan Tuntungan di pinggĂ­r kota. “Saya
sewa rumah yang kata orang berhantu
Rp900.000 untuk tiga tahun,” katanya.
Kebetulan air di kawasan itu bagus.

Ia membuat dapur dan mulai berproduksi lagi. Ia memanggil lima orang
tetangganya di Tuntungan untuk bekerja kepadanya. Produksi terus

meningkat, dari 150 kg per hari menjadi 0,5
ton, kemudian 1 ton per hari. Tenaga
kerja meningkat menjadi 15 orang.

Tahun 2002, pemilik rumah hendak
menjual tanah dan rumah sewanya di
Jalan Tunas Mekar, Tuntungan II, Pancur Batu, Medan. Ia pun mencari

pinjaman bank untuk membeli rumah dan
tanah itu. Sementara itu, produksi meningkat menjadi 2 ton per hari. Pada
tahun itu, ia juga mengikuti pelatihan di
Dinas Perindustrian dan Perdagangin
Kota Medan, dan mulai mendaftarkan
produknya ke dinas kesehatan dan
memberi merek “Kreasi Lutfi”, mengambil nama anaknya. Ia juga mulai
membuat keripik aneka rasa.

Produksi sempat berhenti total selama tiga bulan pada 2004 karena para
penjualnya lari. Se1uruh produk dibawa
penjual sehingga ia menjual kendaraan
operasional untuk menutup utang.
Utang bank pun tak terbayar.

Ia memulai lagi menggoreng keripik
dengan modal Rp 1,1 juta. Jadilah 200
bal keripik. Ia meminta salah satu mantan penjualnya untuk menjadi

distributor. Mulai dari situ bisnisnya kembali
menanjak dan sejak tahun 2005 ia
memproduksi 4 ton singkong setiap
hari.

Ia juga melebarkan sayap ke bisnis
gaplek, mengolah kulit ubi menjadi makanan ternak. Kini ia tengah menjajaki
bisnis opak dan pembuatan tepung
singkong agar bisa menggantikan tepung terigu. Total karyawannya 75
orang.

Awal tahun ini ia mulai mengekspor
keripiknya ke Korea Selatan. Dua minggu sekali ia mengirim satu kontainer
kenipik singkong ke Korea Selatan. Satu
kontainer berisi 2.566 kotak keripik.
Satu kotak berisi 2,6 kg keripik. ”Ini
khusus untuk diameter singkong 5,7
cm,” kata dia.

Muhdi, yang selalu tampil sederhana
itu, mengatakan, semua itu dimulai dari
kepepet (terjepit). Ia mengatakan bahwa ilmunya sederhana saja,

yakni menyelaraskan otak, otot, dan omong,
membuat produknya mutu, mudah, dan
murah, serta bekerja dengan senang,santal, tetapi selesai.

Begituiah Muhdi,yang menyelesaikan kuliahnya di

Institut Agama Islam Negeri Sumut, dengan
harapan bisa mengajar di Medan. Namun, malah jadi pengusaha keripik.

OLEH: AUFRIDA WISMI WARASTRI

Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 2 Juli 2011

No comments: