Bermula dari kegemaran terhadap
cokelat, Ermey Trisniaty sukses
membangun toko Dapur Cokelat. Ia
rela melepas pendidikannya untuk
membangun bisnisnya ini. Dengan
delapan toko, kini, omzet Dapur
Cokelat bisa ratusan juta rupiah per
bulan.
Katakan dengan cokelat. Begitulah,
sekarang, banyak orang
memanfaatkan cokelat sebagai
ungkapan kasih sayang dan
perhatian mereka. Cokelat diberikan
bukan cuma di saat event khusus
seperti valentine, tapi juga saat
orang sakit, melahirkan,
ulangtahun, dan perayaan
keagamaan.
Salah satu gerai cokelat ternama di
Ibukota adalah Dapur Cokelat.
Berdiri sejak 10 tahun silam, Dapur
Cokelat adalah pionir toko cokelat
di Indonesia. Kini, Dapur Cokelat
memiliki delapan gerai di Jakarta
dan Surabaya. Setiap hari, total
penjualan semua gerai mencapai
3.000 kilogram (kg) cokelat, baik
berupa pralin atau kue.
Di balik sukses Dapur Cokelat ada
nama Ermey Trisniaty. Sejak kecil,
ia memang suka cokelat, entah
dalam bentuk permen atau kue.
“Zaman dulu, kan, cokelat-cokelat
itu sudah enak sekali,” kenangnya.
Saking gemarnya, perempuan yang
biasa disapa Eyi ini kerap
menyimpan cokelat di bawah bantal
supaya bisa ia makan sebelum
tidur. Ia tidak bisa tidur sebelum
makan cokelat. “Tapi, saya tidak
pernah sakit gigi, tuh,” ujarnya
sambil tergelak.
Kini, kegemaran Ermey itu
dicurahkan ke bisnis cokelat melalui
Dapur Cokelat. Dengan menjual
permen cokelat (praline), kue (cake)
ulangtahun, dan wedding cake
seharga Rp 2.500–Rp 250.000,
Dapur Cokelat mampu meraup
omzet Rp 500 juta lebih setiap
bulan.
Ermey menempuh jalan terjal yang
cukup panjang sebelum menggapai
sukses seperti sekarang. Sejak kecil,
perempuan kelahiran Jakarta 2 Mei
1975 ini memang sudah hobi
memasak. Ia sering membantu sang
ibu memasak di dapur.
Kegemaran memasak itu Ermey
pertajam dengan bersekolah di
National Hotel Institute, Bandung.
Meski belajar ilmu memasak dengan
aneka menu, ia tetap mencoba
membuat makanan berbahan
cokelat. Saat kuliah itulah, untuk
pertama kalinya, ia mencoba
membuat kue berbahan cokelat.
Jenis kue yang dibikin Ermey adalah
cake cokelat. Keluar dari oven,
cake -nya langsung diserbu dan
dinikmati kawan-kawan kosnya di
Bandung. Melihat teman-temannya
sangat menyukai cake buatannya,
tekadnya untuk memproduksi aneka
kue cokelat semakin bulat. “Saya
langsung bersemangat, mencoba
membuat inovasi permen cokelat,”
ujarnya.
Dengan modal Rp 10.000 untuk
membeli bahan baku, Eyi mencoba
membuat praline. Ia memanfaatkan
kompor kecil di dapur kosnya untuk
mengolah bahan baku cokelat. Kala
itu, ia membuat praline hanya
untuk coba-coba dan iseng.
Lulus dari kuliah di Bandung, di
tahun 1994, Ermey melanjutkan
kuliah di Jurusan Agrobisnis Institut
Pertanian Bogor (IPB). Sambil
kuliah, ia bertekad memulai usaha
berjualan kue supaya bisa mendapat
penghasilan. Sang ayah memang
selalu mengajarkannya untuk
berusaha mendapatkan uang dengan
usaha sendiri. “Modal awal berasal
dari ayah sebesar Rp 200.000.
Tadinya buat beli handphone ,” kata
perempuan yang pernah bekerja di
hotel dan menjadi awak redaksi di
majalah Selera ini.
Dengan modal Rp 200.000 itu,
Ermey menjajal keberuntungannya
di bisnis kue cokelat. Tidak sampai
seminggu, ia sudah meraup Rp
500.000, dua kali lipat lebih
modalnya. Saat itu, ia segera
mengembalikan duit ayahnya dan
sekaligus membeli handphone.
Sukses di bisnis kue, ia semakin
yakin bahwa bisnis ini menjanjikan.
Tapi, lantaran tak bisa sambil
kuliah, ia melepas pendidikannya di
IPB. “Harus ada yang saya
korbankan. Tapi, saya tidak
menyesal,” katanya.
Cokelat menyatukan
Di 2001, bersama Okky Dewanto
yang kemudian menjadi suaminya,
Ermey mulai serius membangun
toko cokelat berjuluk Dapur
Cokelat. Benih-benih cintanya
dengan Okky tak lepas dari unsur
cokelat. Alkisah, Ermey meminta
Okky mencicipi kue buatannya.
Okky yang sudah lebih dulu
bergerak di bisnis pastry terpikat
kue Ermey. “Wah enak, nih, kita
jual, yuk!” kata Ermey menirukan
ajakan kekasihnya waktu itu.
Sekali mendayung, dua tiga pulau
terlampaui. Ermey mendapatkan
tambatan hatinya sekaligus memulai
cikal bakal usaha Dapur Cokelat-
nya. Dengan modal Rp 75 juta hasil
patungan dengan Okky dan seorang
teman, Ermey membangun toko di
Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta
Selatan. Hampir 50% modalnya
habis untuk investasi peralatan dan
sewa lahan. Sisanya untuk membeli
bahan baku cokelat dari produsen
lokal. Ia hanya mempekerjakan tiga
orang untuk membantu proses
produksi di dapur.
Ermey punya cara promosi unik. Ia
mengumpulkan nama orang dan
alamat-alamat yang tidak ia kenal
sebelumnya. “Saya kirim 1.500
kertas promosi Dapur Cokelat
menggunakan perangko seadanya,”
katanya.
Usahanya itu membuahkan hasil.
Pelan-pelan, pengunjung mulai
datang. Dari semula sekadar coba-
coba, belakangan, makin banyak
dari mereka yang menjadi
pelanggan tetap. Kini, dengan
delapan gerai Dapur Cokelat, Ermey
sudah memiliki 300 karyawan.
( Diade Riva Nugrahani)
Sumber: http//mobile.kontan.co.id//news/ermey-penggemar-cokelat-yang-sukses-membangun-gerai-cokelat-ternama-1
Thursday, October 25, 2012
Nur Handiah, Berbekal Kreatif dan Inovatif, Kerajinan Kerang-nya Sukses Tembus Hingga ke Empat Benua
Jakarta - Jangan anggap sebelah mata produk Industri Kecil Menengah (IKM) buatan Indonesia. Bukan tak mungkin produk IKM bisa mengalahkan produk perusahaan besar. Misalnya produk hiasan kerang asal Cirebon, produk bernuansa etnik ini telah diekspor ke berbagai benua antaralain Eropa, Asia, Afrika hingga Amerika. "Awalnya dari bahan bakunya saja (kerang) diekspor karena ada temannya suami saya dari luar negeri pesan kerang. Saya penasaran buat apa, akhirnya saya nggak mau kirim bahan bakunya saja. Saya buat barangnya," ungkap Pemilik CV Multi Dimensi Shell Craft Manufacturer and Exporter, Nur Handiah J Taguba kepada detikFinance di acara Trade Expo Indonesia di JIExpo Kemayoran Jakarta, Kamis (18/10/12). Ia menceritakan usahanya dimulai pada tahun 2000, CV ini berdiri di Cirebon di atas lahan seluas 1.000 meter persegi dan mempekerjakan sekitar 60 orang yang diantaranya adalah para tetangganya. "Harganya mulai dari Rp 5000 untuk gantungan kunci, pembatas buku, bunga. Dan yang paling mahal itu Rp 24 juta, itu untuk lampu dan juga ada yang 1 set furnitur yaitu kursi, meja dan cerminnya, lampunya," paparnya. Saat ini, produk yang ditawarkanpun memiliki inovasi yang lebih maju, mulai dari hiasan, hingga lampu kristal terbuat dari kerang. "Seiring berjalannya waktu, sekarang ada 32.000 m2, kapasitas produksi kita hingga 8 kontainer (per bulan)," katanya. Ia mengatakan, saat ini usaha yang sudah ditekuni sejak 12 tahun lalu ini sudah banyak merambah pasar dunia. Sebut saja negara Eropa seperti Jerman, Spanyol, Italia. Sedangkan untuk pasar Asia, ke Singapura, Jepang, Korea. Timur tengah, Amerika Latin hingga Afrika Selatan menjadi pelanggan produk kerang ini. "Kirimnya 5-6 kontainer (per bulan) untuk ekspor, pasar dalam negeri kita kurang. Kita punya toko di Jogja, Bali, Jakarta dan Cirebon, tapi yang beli tetap turis asing," jelasnya. Perusahaan milik Nur ini setiap bulan bisa menjual produknya hingga senilai Rp 2 miliar. "Nggak tentu sih, kalau lagi rame bisa sampai Rp 1 miliar lebih. Bisa sampai Rp 2 miliar," pungkasnya. ( Zulfi Suhendra) Sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/10/18/184329/2066485/480/kerang-made-in-cirebon-terbang-hingga-ke-eropa-amerika
Tuesday, October 23, 2012
Jody Brotosuseno, Pemilik Waroeng Steak and Shake, Awalnya Jual Motor untuk Modal, Kini Punya 1000 Karyawan
Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha
kulinernya telah mencapai 50
outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap
gerai. Lantas, apa hubungannya
dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?
Mendengar kata steak akan teringat
makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku
di “Waroeng Steak and Shake”.
Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka
macam steak pun dapat dinikmati
dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng
Steak and Shake buka pada saat jam
makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang
telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan,
tak jarang sebagian di antaranya
rela antri untuk mendapatkan
tempat duduk.
Seiring dengan berputarnya waktu,
usaha ini semakin melaju. Jika
tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai
dengan mempekerjakan 1.000
karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group
tidak lepas dari keuletan dan
tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan
bakat wirausaha yang dimilikinya,
sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam
usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos
partai. Untung dan rugi pun pernah
ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat
mengurusi usaha “Obonk Steak”
milik orangtuanya. Ia diminta
menangani Obonk Steak dan
memasarkannya ke teman-teman
kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak
ada yang datang, karena harganya
cukup mahal dan tidak terjangkau
oleh kantong mahasiswa,”
ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang
memberi inspirasi untuk membuat
usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai
memikirkan cara menekan harga
steak yang sejatinya memang
mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan
Waroeng Steak and Shake
dibutuhkan modal awal yang cukup
besar. Beruntung ia memiliki
sepeda motor pemberian orangtua,
yang akhirnya dijual untuk modal
usaha.
“Dari penjualan motor, saya
gunakan untuk sewa tempat di
daerah Demangan Yogyakarta,
sebagian lagi untuk peralatan
usaha, dan sisanya untuk membeli
motor tua sebagai alat
transportasi,” ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah
awal berdirinya Waroeng Steak and
Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody
memilih nama Waroeng sebagai
brand usaha kulinernya untuk
memberi kesan murah kepada
konsumen.
“Di mana-mana yang namanya steak
itu mahal, makanya saya memberi
nama Waroeng untuk memberi
kesan murah,” kata Jody.
Mengingat pangsa pasarnya anak
muda dan mahasiswa, maka warna
yang digunakannya pun dibuat
ngejreng, dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna
putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan
perjuangan bagi Jody. Dengan lima
meja, sepuluh hot plate dan tiga
menu utama (Sirloin, Tenderlon,
dan Chicken Steak) yang disediakan
Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya
daripada sukanya. Namun, usaha
ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya
melayani tamu sekaligus menjadi
kasir, dan dua karyawannya
menangani tugas lainnya.
“Alhamdulillah, di tahun pertama
masih bisa menggaji karyawan dan
memenuhi kebutuhan keluarga,
meski pas-pasan,” jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan
masukan yang dilontarkan mereka
membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat
daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang,
banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai
menampakkan hasil.
Pengunjungnya
semakin stabil, bahkan tidak
mampu melayani seluruh
pengunjung. Maka ia pun mengajak
keluarganya untuk berinvestasi
mengembangkan usaha ini, mulai
dari ayah, ibu, saudara, paman,
dan keluarga lainnya diajak
berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7
dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya
Jody mampu mendanai sendiri
gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.
Belakangan, Jody lebih senang
mengajak investor dari kalangan
ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di
Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut
saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz
Edi Mustofa, dan Ustadz Endang
ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke
berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H.
Slamet, dan Festival Kuliner
(Feskul).
“Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini
dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka,”
terang Jody saat ditemui Suara
Hidayatullah di Rumah Tahfizh
miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan
bukanlah hal mudah, dan itulah
yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut
memberdayakan karyawannya yang
berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan budaya tersebut.
Awalnya, Jody hanya berpikir
praktis dengan mengikutkan hampir
seluruh karyawannya training ESQ.
Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat
Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat
sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual
Company ini terdiri dari dakwah
dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui
olahraga, kegiatan sosial, infaq
karyawan, dan seni budaya. “Untuk
pendidikan Islamnya yakni
pengadaan tausiyah rutin di outlet-
outlet dan kantor, buletin bulanan,
dan belajar membaca al-Qur`an
bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di
kantor Waroeng Group Timoho
Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz
Syamsuri, telah disusun secara
sistematis berikut tema-temanya.
Misalnya bulan Maret lalu bertema
Shalat Tepat Waktu, maka seluruh
gerai di Jawa, Bali dan Sumatera
harus menyelenggarakan tausiyah
untuk karyawan dengan tema yang
sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya
meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan
sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan
yang dilaksanakan setiap pekan,
Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan,
pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta
setiap bulan, dengan tema kegiatan
“Dari Waroeng untuk Umat”.
Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai
menawarkan program menarik bagi
karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal
empat surah pilihan akan diikutkan
umrah dan haji gratis.
“Ternyata banyak karyawan yang
bisa menghafal empat surah, dan
terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya,”
kata Jody.
Sebagai bagian dari Spiritual
Company, Jody menerapkan aturan
ketat kepada karyawannya. Bila
tahun 2009 larangan merokok
ditujukan kepada seluruh
menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang
merokok.
Kini, selain sibuk mengurus
usahanya, Jody pun aktif
mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk
menghafal al-Qur`an.
“Saat ini sudah berdiri empat
Rumah Tahfizh yang mengasuh 83
santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah
Tahfizh Waroeng Group.
Alhamdulillah, usaha saya terbukti
semakin meningkat, ”ungkap Jody
yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah
APRIL 2011
sumber: http//majalah.hidayatullah.com/?p=2497
kulinernya telah mencapai 50
outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap
gerai. Lantas, apa hubungannya
dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?
Mendengar kata steak akan teringat
makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku
di “Waroeng Steak and Shake”.
Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka
macam steak pun dapat dinikmati
dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng
Steak and Shake buka pada saat jam
makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang
telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan,
tak jarang sebagian di antaranya
rela antri untuk mendapatkan
tempat duduk.
Seiring dengan berputarnya waktu,
usaha ini semakin melaju. Jika
tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai
dengan mempekerjakan 1.000
karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group
tidak lepas dari keuletan dan
tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan
bakat wirausaha yang dimilikinya,
sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam
usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos
partai. Untung dan rugi pun pernah
ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat
mengurusi usaha “Obonk Steak”
milik orangtuanya. Ia diminta
menangani Obonk Steak dan
memasarkannya ke teman-teman
kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak
ada yang datang, karena harganya
cukup mahal dan tidak terjangkau
oleh kantong mahasiswa,”
ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang
memberi inspirasi untuk membuat
usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai
memikirkan cara menekan harga
steak yang sejatinya memang
mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan
Waroeng Steak and Shake
dibutuhkan modal awal yang cukup
besar. Beruntung ia memiliki
sepeda motor pemberian orangtua,
yang akhirnya dijual untuk modal
usaha.
“Dari penjualan motor, saya
gunakan untuk sewa tempat di
daerah Demangan Yogyakarta,
sebagian lagi untuk peralatan
usaha, dan sisanya untuk membeli
motor tua sebagai alat
transportasi,” ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah
awal berdirinya Waroeng Steak and
Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody
memilih nama Waroeng sebagai
brand usaha kulinernya untuk
memberi kesan murah kepada
konsumen.
“Di mana-mana yang namanya steak
itu mahal, makanya saya memberi
nama Waroeng untuk memberi
kesan murah,” kata Jody.
Mengingat pangsa pasarnya anak
muda dan mahasiswa, maka warna
yang digunakannya pun dibuat
ngejreng, dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna
putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan
perjuangan bagi Jody. Dengan lima
meja, sepuluh hot plate dan tiga
menu utama (Sirloin, Tenderlon,
dan Chicken Steak) yang disediakan
Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya
daripada sukanya. Namun, usaha
ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya
melayani tamu sekaligus menjadi
kasir, dan dua karyawannya
menangani tugas lainnya.
“Alhamdulillah, di tahun pertama
masih bisa menggaji karyawan dan
memenuhi kebutuhan keluarga,
meski pas-pasan,” jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan
masukan yang dilontarkan mereka
membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat
daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang,
banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai
menampakkan hasil.
Pengunjungnya
semakin stabil, bahkan tidak
mampu melayani seluruh
pengunjung. Maka ia pun mengajak
keluarganya untuk berinvestasi
mengembangkan usaha ini, mulai
dari ayah, ibu, saudara, paman,
dan keluarga lainnya diajak
berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7
dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya
Jody mampu mendanai sendiri
gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.
Belakangan, Jody lebih senang
mengajak investor dari kalangan
ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di
Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut
saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz
Edi Mustofa, dan Ustadz Endang
ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke
berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H.
Slamet, dan Festival Kuliner
(Feskul).
“Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini
dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka,”
terang Jody saat ditemui Suara
Hidayatullah di Rumah Tahfizh
miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan
bukanlah hal mudah, dan itulah
yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut
memberdayakan karyawannya yang
berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan budaya tersebut.
Awalnya, Jody hanya berpikir
praktis dengan mengikutkan hampir
seluruh karyawannya training ESQ.
Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat
Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat
sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual
Company ini terdiri dari dakwah
dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui
olahraga, kegiatan sosial, infaq
karyawan, dan seni budaya. “Untuk
pendidikan Islamnya yakni
pengadaan tausiyah rutin di outlet-
outlet dan kantor, buletin bulanan,
dan belajar membaca al-Qur`an
bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di
kantor Waroeng Group Timoho
Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz
Syamsuri, telah disusun secara
sistematis berikut tema-temanya.
Misalnya bulan Maret lalu bertema
Shalat Tepat Waktu, maka seluruh
gerai di Jawa, Bali dan Sumatera
harus menyelenggarakan tausiyah
untuk karyawan dengan tema yang
sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya
meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan
sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan
yang dilaksanakan setiap pekan,
Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan,
pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta
setiap bulan, dengan tema kegiatan
“Dari Waroeng untuk Umat”.
Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai
menawarkan program menarik bagi
karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal
empat surah pilihan akan diikutkan
umrah dan haji gratis.
“Ternyata banyak karyawan yang
bisa menghafal empat surah, dan
terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya,”
kata Jody.
Sebagai bagian dari Spiritual
Company, Jody menerapkan aturan
ketat kepada karyawannya. Bila
tahun 2009 larangan merokok
ditujukan kepada seluruh
menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang
merokok.
Kini, selain sibuk mengurus
usahanya, Jody pun aktif
mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk
menghafal al-Qur`an.
“Saat ini sudah berdiri empat
Rumah Tahfizh yang mengasuh 83
santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah
Tahfizh Waroeng Group.
Alhamdulillah, usaha saya terbukti
semakin meningkat, ”ungkap Jody
yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah
APRIL 2011
sumber: http//majalah.hidayatullah.com/?p=2497
Kategori:
Kuliner
Badroni Yuzirman, Jatuh Bangun di Bisnis Garmen, Hingga Keberhasilannya Mendirikan Komunitas Tangan Di Atas
Sesuai namanya, komunitas Tangan
di Atas (TDA) terus menanamkan
nilai saling memberi dan berbagi
ilmu kepada anggotanya. Mereka
percaya, dengan berbagi kepada
sesama, rezeki akan semakin
berlimpah. Semangat itulah yang
membuat jumlah anggota TDA terus
berkembang pesat. Kini sekitar 20
ribu orang berjiwa entrepreneur
tergabung dalam komunitas yang
didirikan pada 2006 tersebut.
BADRONI Yuzirman tak pernah
mengira kegagalannya menjalankan
bisnis garmen di Pasar Tanah Abang
ternyata berbuah sangat manis.
Tidak hanya berhasil bangkit
dengan memanfaatkan toko online,
kini pria yang akrab disapa Roni itu
juga sukses menyebarkan virus
entrepreneurship kepada anak-anak
muda yang ingin sukses
membangun kerajaan bisnis.
Ya, Roni "panggilan Badroni" yang
kini menekuni bisnis pakaian
busana muslim di Jakarta tersebut
adalah pendiri komunitas TDA.
"Sebenarnya angka 20 ribu itu
jumlah anggota yang keluar masuk
di TDA karena memang pintunya
banyak. Ada yang masuk lewat
milis, blog, Twitter, Facebook, dan
lainnya," katanya saat ditemui di
rumahnya, kawasan Ulujami Jaksel,
Kamis (26/7).
Kini, kata Roni, TDA berupaya
menertibkan seluruh anggotanya
dengan membuat kartu anggota
resmi. Sampai saat ini, sudah
sekitar 2 ribu anggota yang
memiliki kartu anggota. Anggotanya
pun terdiri atas berbagai latar
belakang. Mulai entrepreneur di
bidang IT yang bisnisnya
berhubungan dengan alat-alat
canggih hingga pengusaha makanan
yang sekelas warteg (warung tegal).
"Pokoknya, di sini pengusaha yang
omzetnya miliaran sampai
pengusaha yang masih nol ada
semua," ujarnya lantas tertawa.
Di TDA-lah mereka yang sudah
merasakan sukses dan mapan harus
menyebarkan ilmu serta resep
kesuksesannya. Setidaknya mereka
bisa bertukar pengalaman antara
satu dan lainnya untuk menambah
jaringan bisnis di antara mereka.
Sejak 2009, TDA mulai
mengembangkan diri dan membuka
"cabang" di berbagai daerah.
Hingga kini, TDA tercatat ada di 30
kota/kabupaten. Setiap wilayah
memiliki program serta kegiatan
tersendiri.
"Awalnya kami terpusat di Jakarta.
Tapi, karena jumlah orang yang
bergabung semakin banyak dan dari
berbagai wilayah, akhirnya kami
membuka di wilayah-wilayah yang
sudah siap," imbuh bapak dua anak
itu.
Meski menjadi orang penting di
antara ribuan pengusaha sukses,
Roni tetap hidup sederhana.
Rumahnya yang cukup luas
didesain simpel dan minimalis.
Halamannya dibiarkan hijau dengan
ditumbuhi rumput yang tertata
rapi. Di sudut halaman, Roni
membangun arena bermain untuk
anak-anaknya yang masih kecil.
Ruang tamu di rumah tersebut juga
tak kalah sederhana. Di sana hanya
ada sebuah sofa mungil serta
beberapa kursi. Sebuah lemari kecil
dan beberapa hiasan rumah
menyambut tamu yang berkunjung.
Saat menemui Jawa Pos, Roni
bergaya santai dengan mengenakan
batik ungu yang dipadu blue jeans.
Roni mengaku, saat ini dirinya
memang mengutamakan kualitas
hidup. Sehari-hari dirinya tidak
hanya menghabiskan waktu untuk
mengembangkan bisnis, tapi juga
berupaya mendekatkan diri dengan
keluarga.
Dia lantas menceritakan awal mula
merintis komunitas TDA. Lulusan
Jurusan Manajemen Trisakti
tersebut menggeluti bisnis pakaian
muslim sejak 2001. Kala itu, dia
menyewa kios di Pasar Tanah
Abang. Letaknya di Blok F yang
memang khusus pakaian.
Nah, karena Roni mengutamakan
kualitas dan pelayanan kepada
pelanggan, bisnisnya cepat maju.
Perlahan-lahan dia terus
menambah kios. "Puncak bisnis
saya tahun 2003. Saya menyewa
tiga kios," katanya.
Seiring dengan pesatnya
perkembangan bisnisnya, Roni juga
mendapat banyak "gangguan". Di
antaranya, dirinya berselisih
dengan pengelola pasar. Dia merasa
diperlakukan tidak adil. "Saya
termasuk salah seorang pedagang
yang vokal melawan perlakuan
pengelola yang saat itu tidak adil,"
kenangnya.
Perselisihan tersebut tak kunjung
selesai hingga 2004. Bahkan
semakin runcing. Akhirnya, 3 Maret
2004, Roni diusir dari Pasar Tanah
Abang. Dia diminta keluar dan tidak
lagi diizinkan untuk berdagang di
pasar besar itu. Roni awalnya ingin
melawan melalui jalur hukum. Tapi,
setelah berpikir dua kali, dia
memilih untuk mengalah.
Dia lantas mengontrak rumah kecil
di kawasan padat penduduk
Kemandoran, Jaksel. "Di sana, saya
benar-benar memulai usaha dari
nol lagi. Tapi, saya tetap yakin bisa
kembali bangkit," imbuhnya.
Di kontrakan tersebut, Roni
memanfaatkan garasi untuk
merintis usahanya. Lantaran
tempatnya yang kurang strategis
dibanding kiosnya di Tanah Abang,
mau tidak mau Roni harus terus
memutar otak. Akhirnya, dia
"menemukan" solusi dengan
berbisnis via online.
Dia lalu membuat situs
www.manetvision.com yang
merupakan lapak busana muslimnya
di dunia maya. "Saya sebenarnya
iseng. Sebab, saat itu kalau berbau
www.com dianggap sudah keren.
Apalagi saat itu belum banyak toko
online," tuturnya lantas tertawa.
Sejak saat itu Roni kerap
menghubungi teman-temannya,
jaringan, serta para pelanggan
untuk memberi tahu agar membuka
lapaknya di internet. Dia terus
berusaha mengenalkan lapak itu
secara luas. Tak diduga, keisengan
tersebut berbuah manis. Jualannya
laris. Bahkan, Roni mengaku
bisnisnya terus berkembang dan
semakin maju. Keuntungan yang
diraup dari berjualan online tidak
kalah dibanding berjualan di tiga
kiosnya di Tanah Abang.
"Bayangkan, di Tanah Abang saya
harus menghabiskan Rp 200 juta
setiap tahun untuk sewa tiga kios.
Tapi, di kontrakan kecil itu, saya
hanya membayar Rp 12 juta untuk
sewa," ungkapnya.
Sejak merasakan sukses di bisnis
online, Roni ingin membagi
pengalaman dan ilmunya kepada
orang lain. Caranya masih tetap via
dunia maya. Dia membuat blog
roniyuzirman.com pada 2
November 2005. Di blog itulah dia
menceritakan semua
pengalamannya jatuh bangun
menjalankan bisnis, mulai di Pasar
Tanah Abang hingga sukses
menempuh jalur toko online.
Curahan pengalaman di blog yang
sebenarnya juga iseng itu ternyata
banyak dibaca orang. Tidak sedikit
yang akhirnya mengirim komen
atau bertanya jawab dengan Roni.
Dari situ, Roni kemudian
memutuskan untuk membuat milis
yang dikhususkan untuk orang-
orang yang biasa berdiskusi di
blognya.
Milis bisnis online itu pun sangat
ramai. Karena itu, pada 22 Januari
2006, Roni memberanikan diri
untuk kopi darat dengan para
anggota. "Saat itu jumlahnya masih
40 orang," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Roni
mengajak seorang pengusaha Pasar
Tanah Abang yang sangat sukses.
Pengusaha itu akrab disapa Haji
Alay. Dia punya puluhan kios di
Pasar Tanah Abang. Haji Alay
diminta menjadi narasumber.
Pertemuan tersebut membicarakan
berbagai pengalaman masing-
masing anggota dalam berbisnis,
mulai mengikrarkan niat hingga
memulai usaha. Ternyata,
pertemuan itu tidak berhenti
sampai di situ. Mereka lalu
melanjutkan dalam diskusi serta
seminar yang mengundang
pengusaha-pengusaha kondang
sebagai pembicara.
Para anggota komunitas tersebut
menyadari pentingnya sebuah
wadah untuk berbagi di antara
mereka yang ingin menjadi
pengusaha sukses. Karena itu, lalu
dipilihkan kata Tangan di Atas
sebagai nama komunitas.
Tahun demi tahun kelompok
tersebut terus berkembang hingga
jumlah anggotanya mencapai
ribuan. "TDA bisa besar bukan
karena kecanggihan teknologi. Tapi,
kami memiliki nilai lebih. Yaitu,
saling memberi. Kami mengajak
member untuk selalu berbagi.
Kami
percaya, alam semesta ini
berlimpah dan akan makin
berlimpah meski setiap hari kita
bagi," tutur suami Ely Febrita itu.
Kini TDA sudah menyerupai
perusahaan. Mereka memiliki
pengurus di pusat dan wilayah.
Roni menjadi ketua Majelis Wali
Amanah yang dalam struktur
perusahaan biasa disebut
komisaris. "Seluruh pengurus tidak
dibayar. Sebab, prinsip kami untuk
berbagi," imbuhnya.
Eksistensi TDA yang militan menarik
perhatian Menteri BUMN Dahlan
Iskan. Kementerian BUMN akan
menjadikan TDA sebagai mitra
kerja. Sebagian CSR (corporate
social responsibility) perusahaan-
perusahaan BUMN akan disalurkan
melalui TDA.
"Pak Dahlan sudah menyatakan
ingin menjadi mitra kerja TDA.
Kami sangat menyambut,"
tegasnya. (*/c5/ari)( THOMAS KUKUH)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/07/29/135159/Kerja-Keras-Badroni-Yuzirman-Membangun-Komunitas-Tangan-di-Atas-
di Atas (TDA) terus menanamkan
nilai saling memberi dan berbagi
ilmu kepada anggotanya. Mereka
percaya, dengan berbagi kepada
sesama, rezeki akan semakin
berlimpah. Semangat itulah yang
membuat jumlah anggota TDA terus
berkembang pesat. Kini sekitar 20
ribu orang berjiwa entrepreneur
tergabung dalam komunitas yang
didirikan pada 2006 tersebut.
BADRONI Yuzirman tak pernah
mengira kegagalannya menjalankan
bisnis garmen di Pasar Tanah Abang
ternyata berbuah sangat manis.
Tidak hanya berhasil bangkit
dengan memanfaatkan toko online,
kini pria yang akrab disapa Roni itu
juga sukses menyebarkan virus
entrepreneurship kepada anak-anak
muda yang ingin sukses
membangun kerajaan bisnis.
Ya, Roni "panggilan Badroni" yang
kini menekuni bisnis pakaian
busana muslim di Jakarta tersebut
adalah pendiri komunitas TDA.
"Sebenarnya angka 20 ribu itu
jumlah anggota yang keluar masuk
di TDA karena memang pintunya
banyak. Ada yang masuk lewat
milis, blog, Twitter, Facebook, dan
lainnya," katanya saat ditemui di
rumahnya, kawasan Ulujami Jaksel,
Kamis (26/7).
Kini, kata Roni, TDA berupaya
menertibkan seluruh anggotanya
dengan membuat kartu anggota
resmi. Sampai saat ini, sudah
sekitar 2 ribu anggota yang
memiliki kartu anggota. Anggotanya
pun terdiri atas berbagai latar
belakang. Mulai entrepreneur di
bidang IT yang bisnisnya
berhubungan dengan alat-alat
canggih hingga pengusaha makanan
yang sekelas warteg (warung tegal).
"Pokoknya, di sini pengusaha yang
omzetnya miliaran sampai
pengusaha yang masih nol ada
semua," ujarnya lantas tertawa.
Di TDA-lah mereka yang sudah
merasakan sukses dan mapan harus
menyebarkan ilmu serta resep
kesuksesannya. Setidaknya mereka
bisa bertukar pengalaman antara
satu dan lainnya untuk menambah
jaringan bisnis di antara mereka.
Sejak 2009, TDA mulai
mengembangkan diri dan membuka
"cabang" di berbagai daerah.
Hingga kini, TDA tercatat ada di 30
kota/kabupaten. Setiap wilayah
memiliki program serta kegiatan
tersendiri.
"Awalnya kami terpusat di Jakarta.
Tapi, karena jumlah orang yang
bergabung semakin banyak dan dari
berbagai wilayah, akhirnya kami
membuka di wilayah-wilayah yang
sudah siap," imbuh bapak dua anak
itu.
Meski menjadi orang penting di
antara ribuan pengusaha sukses,
Roni tetap hidup sederhana.
Rumahnya yang cukup luas
didesain simpel dan minimalis.
Halamannya dibiarkan hijau dengan
ditumbuhi rumput yang tertata
rapi. Di sudut halaman, Roni
membangun arena bermain untuk
anak-anaknya yang masih kecil.
Ruang tamu di rumah tersebut juga
tak kalah sederhana. Di sana hanya
ada sebuah sofa mungil serta
beberapa kursi. Sebuah lemari kecil
dan beberapa hiasan rumah
menyambut tamu yang berkunjung.
Saat menemui Jawa Pos, Roni
bergaya santai dengan mengenakan
batik ungu yang dipadu blue jeans.
Roni mengaku, saat ini dirinya
memang mengutamakan kualitas
hidup. Sehari-hari dirinya tidak
hanya menghabiskan waktu untuk
mengembangkan bisnis, tapi juga
berupaya mendekatkan diri dengan
keluarga.
Dia lantas menceritakan awal mula
merintis komunitas TDA. Lulusan
Jurusan Manajemen Trisakti
tersebut menggeluti bisnis pakaian
muslim sejak 2001. Kala itu, dia
menyewa kios di Pasar Tanah
Abang. Letaknya di Blok F yang
memang khusus pakaian.
Nah, karena Roni mengutamakan
kualitas dan pelayanan kepada
pelanggan, bisnisnya cepat maju.
Perlahan-lahan dia terus
menambah kios. "Puncak bisnis
saya tahun 2003. Saya menyewa
tiga kios," katanya.
Seiring dengan pesatnya
perkembangan bisnisnya, Roni juga
mendapat banyak "gangguan". Di
antaranya, dirinya berselisih
dengan pengelola pasar. Dia merasa
diperlakukan tidak adil. "Saya
termasuk salah seorang pedagang
yang vokal melawan perlakuan
pengelola yang saat itu tidak adil,"
kenangnya.
Perselisihan tersebut tak kunjung
selesai hingga 2004. Bahkan
semakin runcing. Akhirnya, 3 Maret
2004, Roni diusir dari Pasar Tanah
Abang. Dia diminta keluar dan tidak
lagi diizinkan untuk berdagang di
pasar besar itu. Roni awalnya ingin
melawan melalui jalur hukum. Tapi,
setelah berpikir dua kali, dia
memilih untuk mengalah.
Dia lantas mengontrak rumah kecil
di kawasan padat penduduk
Kemandoran, Jaksel. "Di sana, saya
benar-benar memulai usaha dari
nol lagi. Tapi, saya tetap yakin bisa
kembali bangkit," imbuhnya.
Di kontrakan tersebut, Roni
memanfaatkan garasi untuk
merintis usahanya. Lantaran
tempatnya yang kurang strategis
dibanding kiosnya di Tanah Abang,
mau tidak mau Roni harus terus
memutar otak. Akhirnya, dia
"menemukan" solusi dengan
berbisnis via online.
Dia lalu membuat situs
www.manetvision.com yang
merupakan lapak busana muslimnya
di dunia maya. "Saya sebenarnya
iseng. Sebab, saat itu kalau berbau
www.com dianggap sudah keren.
Apalagi saat itu belum banyak toko
online," tuturnya lantas tertawa.
Sejak saat itu Roni kerap
menghubungi teman-temannya,
jaringan, serta para pelanggan
untuk memberi tahu agar membuka
lapaknya di internet. Dia terus
berusaha mengenalkan lapak itu
secara luas. Tak diduga, keisengan
tersebut berbuah manis. Jualannya
laris. Bahkan, Roni mengaku
bisnisnya terus berkembang dan
semakin maju. Keuntungan yang
diraup dari berjualan online tidak
kalah dibanding berjualan di tiga
kiosnya di Tanah Abang.
"Bayangkan, di Tanah Abang saya
harus menghabiskan Rp 200 juta
setiap tahun untuk sewa tiga kios.
Tapi, di kontrakan kecil itu, saya
hanya membayar Rp 12 juta untuk
sewa," ungkapnya.
Sejak merasakan sukses di bisnis
online, Roni ingin membagi
pengalaman dan ilmunya kepada
orang lain. Caranya masih tetap via
dunia maya. Dia membuat blog
roniyuzirman.com pada 2
November 2005. Di blog itulah dia
menceritakan semua
pengalamannya jatuh bangun
menjalankan bisnis, mulai di Pasar
Tanah Abang hingga sukses
menempuh jalur toko online.
Curahan pengalaman di blog yang
sebenarnya juga iseng itu ternyata
banyak dibaca orang. Tidak sedikit
yang akhirnya mengirim komen
atau bertanya jawab dengan Roni.
Dari situ, Roni kemudian
memutuskan untuk membuat milis
yang dikhususkan untuk orang-
orang yang biasa berdiskusi di
blognya.
Milis bisnis online itu pun sangat
ramai. Karena itu, pada 22 Januari
2006, Roni memberanikan diri
untuk kopi darat dengan para
anggota. "Saat itu jumlahnya masih
40 orang," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Roni
mengajak seorang pengusaha Pasar
Tanah Abang yang sangat sukses.
Pengusaha itu akrab disapa Haji
Alay. Dia punya puluhan kios di
Pasar Tanah Abang. Haji Alay
diminta menjadi narasumber.
Pertemuan tersebut membicarakan
berbagai pengalaman masing-
masing anggota dalam berbisnis,
mulai mengikrarkan niat hingga
memulai usaha. Ternyata,
pertemuan itu tidak berhenti
sampai di situ. Mereka lalu
melanjutkan dalam diskusi serta
seminar yang mengundang
pengusaha-pengusaha kondang
sebagai pembicara.
Para anggota komunitas tersebut
menyadari pentingnya sebuah
wadah untuk berbagi di antara
mereka yang ingin menjadi
pengusaha sukses. Karena itu, lalu
dipilihkan kata Tangan di Atas
sebagai nama komunitas.
Tahun demi tahun kelompok
tersebut terus berkembang hingga
jumlah anggotanya mencapai
ribuan. "TDA bisa besar bukan
karena kecanggihan teknologi. Tapi,
kami memiliki nilai lebih. Yaitu,
saling memberi. Kami mengajak
member untuk selalu berbagi.
Kami
percaya, alam semesta ini
berlimpah dan akan makin
berlimpah meski setiap hari kita
bagi," tutur suami Ely Febrita itu.
Kini TDA sudah menyerupai
perusahaan. Mereka memiliki
pengurus di pusat dan wilayah.
Roni menjadi ketua Majelis Wali
Amanah yang dalam struktur
perusahaan biasa disebut
komisaris. "Seluruh pengurus tidak
dibayar. Sebab, prinsip kami untuk
berbagi," imbuhnya.
Eksistensi TDA yang militan menarik
perhatian Menteri BUMN Dahlan
Iskan. Kementerian BUMN akan
menjadikan TDA sebagai mitra
kerja. Sebagian CSR (corporate
social responsibility) perusahaan-
perusahaan BUMN akan disalurkan
melalui TDA.
"Pak Dahlan sudah menyatakan
ingin menjadi mitra kerja TDA.
Kami sangat menyambut,"
tegasnya. (*/c5/ari)( THOMAS KUKUH)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/07/29/135159/Kerja-Keras-Badroni-Yuzirman-Membangun-Komunitas-Tangan-di-Atas-
Kategori:
Fashion
Aghnia Nabila, Masih Mahasiswi tapi Sudah Mampu Raup Omzet Puluhan Juta Lewat L'Risoles
KOMPAS.com - Usia muda tak
menghalangi cita-cita seseorang
untuk mengembangkan diri dan
keinginan untuk menjadi
wirausahawan yang sukses.
Meskipun masih berstatus
mahasiswa semester enam
fakultas hukum di Universitas
Padjajaran, Bandung, Aghnia
Nabila sudah punya tekad yang
kuat untuk berbisnis.
"Saya sangat suka makan, jadi
saya memutuskan untuk bisnis
di bidang makanan," tukas
Aghnia kepada Kompas
Female, di sela-sela kompetisi
Young Caring Professional
Award 2012 (YCPA) di Djakarta
Theater, Jakarta, Sabtu
(16/6/2012) lalu.
Berbekal kecintaan pada
makanan, ia memutuskan untuk
mulai berjualan risoles keju
berdasarkan pesanan teman-
teman kampusnya. Lama-
kelamaan, ia memberanikan diri
untuk membuka sebuah outlet
bernama L'Risoles di Bandung.
Dalam perkembangannya, usaha
ini menghasilkan lima reseller
di Bandung, dan dalam sebulan
ia mampu meraup omset
sampai Rp 30 juta. Ia pun sudah
memiliki empat pegawai yang
semuanya diambil dari para
tuna karya di sekitar rumahnya.
Selain bisnis dan kuliah,
perempuan kelahiran Bandung,
5 Desember 1991 ini juga
masih mengikuti beragam
aktivitas keorganisasian di
kampusnya. Bahkan ia tercatat
sebagai anggota BEM FH Unpad
sebagai kader pengembangan
sumber daya manusia (PSDM)
dan menjadi salah satu pendiri
Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Perguruan
Tinggi Unpad, sebagai ketua
divisi kewirausahaan.
"Ini sebagai salah satu wujud
kepedulian saya untuk
membangkitkan semangat
wirausaha para generasi muda,"
ungkapnya.
Semua kesibukan itu ternyata
tak membuat prestasinya
menurun. Buktinya, baru-baru
ini Aghnia terpilih menjadi
finalis mahasiswa berprestasi di
Unpad tahun 2011. Saat
penjurian YCPA di Hotel
Morrisey, Jakarta Pusat, Jumat
(15/6/2012) lalu, para juri
terkagum-kagum dengan
semangat kewirausahaan
Aghnia, yang diikuti dengan
prestasinya di kampus dalam
waktu bersamaan. Ketika
disinggung tentang
kepiawaiannya mengatur waktu,
ia hanya menjawab bahwa ia
tidak memiliki metode khusus.
"Yang saya lakukan hanya fokus
pada berbagai hal yang sedang
saya lakukan. Saat kuliah saya
benar-benar konsentrasi pada
pelajaran, karena saya sadar
saya tidak punya banyak waktu
senggang," bebernya.
Prestasi, usia muda, dan
semangat wirausaha inilah yang
membuatnya terpilih sebagai
salah satu perempuan inspiratif
dan kreatif YCPA. Kepada
Kompas Female , Aghnia
mengaku tak berani berharap
untuk jadi pemenang karena
memiliki 18 saingan yang
sangat kuat. "Namun,
mengingat usia saya yang paling
muda di antara yang lain, saya
optimis menang," ungkap
perempuan yang mengakui
Nilam Sari (salah satu
pemenang YCPA lainnya) sebagai
salah satu pesaing terberatnya.
Muda dan menginpirasi
Terpilihnya Aghnia sebagai salah
satu pemenang termuda YCPA
diungkapkan Fira Basuki (salah
satu juri) sebagai keputusan
yang tepat. "Salah satu kriteria
penentuan pemenang bukanlah
dari penampilan fisik. Akan
tetapi kemampuan mereka
untuk bisa berpikir kreatif dan
menginspirasi orang lain," tukas
Fira kepada Kompas Female.
Menurut Fira Basuki dan
desainer Era Soekamto (juga
menjadi juri), salah satu nilai
lebih Aghnia terletak pada
kemampuannya untuk
menorehkan prestasi di kampus,
dan kesuksesan bisnisnya dalam
waktu yang bersamaan.
"Selain itu, ia juga mampu
menginspirasi generasi muda
lainnya untuk bisa menjadi
pengusaha sukses selagi kuliah.
Ini terbukti dari kemampuannya
untuk memberdayakan
mahasiswa lainnya menjadi
reseller usahanya," beber Era.
Tak hanya itu, para juri juga
menilai Aghnia mampu menjadi
contoh karena punya
kepedulian yang tinggi terhadap
masyarakat di sekitarnya, yaitu
dengan membuka lapangan
pekerjaan sebagai pegawai di
L'Risoles.
(CHR)
Editor: Dini
Sumber: http://female.kompas.com/read/2012/06/18/19552565/Aghnia.Nabila.Wirausahawan.Muda.yang.Inspiratif.
menghalangi cita-cita seseorang
untuk mengembangkan diri dan
keinginan untuk menjadi
wirausahawan yang sukses.
Meskipun masih berstatus
mahasiswa semester enam
fakultas hukum di Universitas
Padjajaran, Bandung, Aghnia
Nabila sudah punya tekad yang
kuat untuk berbisnis.
"Saya sangat suka makan, jadi
saya memutuskan untuk bisnis
di bidang makanan," tukas
Aghnia kepada Kompas
Female, di sela-sela kompetisi
Young Caring Professional
Award 2012 (YCPA) di Djakarta
Theater, Jakarta, Sabtu
(16/6/2012) lalu.
Berbekal kecintaan pada
makanan, ia memutuskan untuk
mulai berjualan risoles keju
berdasarkan pesanan teman-
teman kampusnya. Lama-
kelamaan, ia memberanikan diri
untuk membuka sebuah outlet
bernama L'Risoles di Bandung.
Dalam perkembangannya, usaha
ini menghasilkan lima reseller
di Bandung, dan dalam sebulan
ia mampu meraup omset
sampai Rp 30 juta. Ia pun sudah
memiliki empat pegawai yang
semuanya diambil dari para
tuna karya di sekitar rumahnya.
Selain bisnis dan kuliah,
perempuan kelahiran Bandung,
5 Desember 1991 ini juga
masih mengikuti beragam
aktivitas keorganisasian di
kampusnya. Bahkan ia tercatat
sebagai anggota BEM FH Unpad
sebagai kader pengembangan
sumber daya manusia (PSDM)
dan menjadi salah satu pendiri
Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Perguruan
Tinggi Unpad, sebagai ketua
divisi kewirausahaan.
"Ini sebagai salah satu wujud
kepedulian saya untuk
membangkitkan semangat
wirausaha para generasi muda,"
ungkapnya.
Semua kesibukan itu ternyata
tak membuat prestasinya
menurun. Buktinya, baru-baru
ini Aghnia terpilih menjadi
finalis mahasiswa berprestasi di
Unpad tahun 2011. Saat
penjurian YCPA di Hotel
Morrisey, Jakarta Pusat, Jumat
(15/6/2012) lalu, para juri
terkagum-kagum dengan
semangat kewirausahaan
Aghnia, yang diikuti dengan
prestasinya di kampus dalam
waktu bersamaan. Ketika
disinggung tentang
kepiawaiannya mengatur waktu,
ia hanya menjawab bahwa ia
tidak memiliki metode khusus.
"Yang saya lakukan hanya fokus
pada berbagai hal yang sedang
saya lakukan. Saat kuliah saya
benar-benar konsentrasi pada
pelajaran, karena saya sadar
saya tidak punya banyak waktu
senggang," bebernya.
Prestasi, usia muda, dan
semangat wirausaha inilah yang
membuatnya terpilih sebagai
salah satu perempuan inspiratif
dan kreatif YCPA. Kepada
Kompas Female , Aghnia
mengaku tak berani berharap
untuk jadi pemenang karena
memiliki 18 saingan yang
sangat kuat. "Namun,
mengingat usia saya yang paling
muda di antara yang lain, saya
optimis menang," ungkap
perempuan yang mengakui
Nilam Sari (salah satu
pemenang YCPA lainnya) sebagai
salah satu pesaing terberatnya.
Muda dan menginpirasi
Terpilihnya Aghnia sebagai salah
satu pemenang termuda YCPA
diungkapkan Fira Basuki (salah
satu juri) sebagai keputusan
yang tepat. "Salah satu kriteria
penentuan pemenang bukanlah
dari penampilan fisik. Akan
tetapi kemampuan mereka
untuk bisa berpikir kreatif dan
menginspirasi orang lain," tukas
Fira kepada Kompas Female.
Menurut Fira Basuki dan
desainer Era Soekamto (juga
menjadi juri), salah satu nilai
lebih Aghnia terletak pada
kemampuannya untuk
menorehkan prestasi di kampus,
dan kesuksesan bisnisnya dalam
waktu yang bersamaan.
"Selain itu, ia juga mampu
menginspirasi generasi muda
lainnya untuk bisa menjadi
pengusaha sukses selagi kuliah.
Ini terbukti dari kemampuannya
untuk memberdayakan
mahasiswa lainnya menjadi
reseller usahanya," beber Era.
Tak hanya itu, para juri juga
menilai Aghnia mampu menjadi
contoh karena punya
kepedulian yang tinggi terhadap
masyarakat di sekitarnya, yaitu
dengan membuka lapangan
pekerjaan sebagai pegawai di
L'Risoles.
(CHR)
Editor: Dini
Sumber: http://female.kompas.com/read/2012/06/18/19552565/Aghnia.Nabila.Wirausahawan.Muda.yang.Inspiratif.
Kategori:
Kuliner
Bisnis Juga Untuk Berbagi, Dini Sisihkan 20% dari Omzet Jutaan per Hari dari Bisnis Bakso Mawut-nya Untuk Sedekah
MAGELANG, KOMPAS.com -
Siapa tak suka bakso? Hampir
semua orang tahu dan
menyukai makanan yang satu
ini. Saat ini bakso juga sudah
banyak ragam rasa dan makin
inovatif. Seperti Bakso Mawut
yang ada di Kota Magelang
Jateng, unik dan bikin nagih.
Dalam Bahasa Jawa, kata
"mawut" artinya tumpah, yang
artinya dalam satu mangkuk ada
banyak isinya. Antara lain bakso
urat, bakso isi telur, bakso alus,
iga sapi, mie, tahu, hingga
sayuran dan tentu kuah yang
gurih.
"Saking kompletnya seperti mau
tumpah," ujar Nuri Ikhsanida,
pemilik Bakso Mawut Magelang,
Jumat (8/6/2012).
Kata "mawut" sengaja dipilih
Dini, panggilan akrabnya,
karena diharapkan banyak
pembeli yang datang sehingga
bisa memberi rezeki yang
tumpah melimpah. Bahkan,
agar tidak dijiplak nama Bakso
Mawut sudah dipatenkan di
Dirjen HKI Kemenhumham RI
sejak 16 Mei lalu.
Rahasia kelezatan bakso ini
terletak pada pemilihan bahan
baku dagingnya. Dini sengaja
memilih jenis daging sapi segar
yang kualitas super, meski
tergolong mahal namun kualitas
rasa dijamin tidak
mengecewakan. Berbeda dengan
bakso pada umumnya, daging
dalam bakso ini benar-benar
dominan. "Banyak penjual
bakso yang mencampurkan
lebih banyak tepung ketimbang
daging. Namun bakso kami
benar-benar lebih banyak
dagingnya, penggunaan tepung
kanji hanya sebagai pengikat
saja itu pun dalam jumlah yang
sedikit," imbuh alumni jurusan
Apoteker UAD Yogyakarta ini.
Ia juga sama sekali tidak
mencampurkan bahan-bahan
kimia berbahaya seperti boraks
dan pengawet. Oleh karena itu,
Dini beserta tiga karyawannya
setiap pagi harus belanja dan
masak. "Itu sebabnya kenapa
kami mulai buka jam 11.00,
karena kami bena-benar ingin
meyajikan bakso yang fresh,"
kata gadis berjilbab ini.
Untuk menarik pelanggan, Dini
membuat program-program
khusus yang menarik, seperti
pengunjung yang kebetulan
memakai baju sama dengan
warna seragam karyawan maka
gratis minum es teh, atau yang
kebetulan memiliki nama Dini
juga bakal dapat gratis minum
es teh. Istimewanya lagi, jika
pengunjung pada saat membeli
merayakan ultah, maka gratis
makan bakso sepuas dan
sekeyang-kenyangnya.
"Syaratnya hanya menunjukkan
KTP," katanya.
Karena itu tak heran, meski
usaha yang dirintisnya baru
berjalan dua bulan, namun
sudah memliki banyak
pelanggan, mulai dari orang tua
hingga anak kecil. Kedainya
yang terletak di Jalan
Panembahan Senopati No. 17C
Kota Magelang ini tak pernah
sepi pengunjung terutama pada
jam makan siang dan sore hari.
Harga yang dipatok pun relatif
terjangkau, mulai dari Rp 7.000
hingga Rp 10.000 per porsi.
Harga tergantung jumlah dan
jenis bakso, pengunjung bebas
memilih mau yang mawut
uratnya, mawut ndog/telurnya,
mawut alusannya atau komplet
plus daging iga sapi. "Semuanya
nikmat dengan atau tanpa
kecap, saus dan sambel,"
katanya.
Dalam sehari rata-rata Dini
bisa menghabiskan daging 7 kg,
urat 3 kg dan iga hingga 5 kg.
Jika dirupiahkan omzetnya bisa
mencapai Rp 1-2 juta per hari.
Namun demikian tak membuat
Dini sombong, setiap hari
Jumat ia selalu menyisihkan 20
persen dari omzetnya untuk
bersedekah. Menurutnya, usaha
tersebut tidak hanya semata
untuk memperkaya diri namun
juga ingin memberi manfaat
bagi sesama. "Jadi pengunjung
yang membeli bakso pada hari
Jumat juga turut bersedekah,"
tutur warga Perumahan Depkes
Kramat Magelang ini.
( Penulis: Kontributor Magelang,
Ika Fitriana)
Editor: I Made Asdhiana
Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/06/09/07421537/Ini.Dia.Bakso.Mawut
Siapa tak suka bakso? Hampir
semua orang tahu dan
menyukai makanan yang satu
ini. Saat ini bakso juga sudah
banyak ragam rasa dan makin
inovatif. Seperti Bakso Mawut
yang ada di Kota Magelang
Jateng, unik dan bikin nagih.
Dalam Bahasa Jawa, kata
"mawut" artinya tumpah, yang
artinya dalam satu mangkuk ada
banyak isinya. Antara lain bakso
urat, bakso isi telur, bakso alus,
iga sapi, mie, tahu, hingga
sayuran dan tentu kuah yang
gurih.
"Saking kompletnya seperti mau
tumpah," ujar Nuri Ikhsanida,
pemilik Bakso Mawut Magelang,
Jumat (8/6/2012).
Kata "mawut" sengaja dipilih
Dini, panggilan akrabnya,
karena diharapkan banyak
pembeli yang datang sehingga
bisa memberi rezeki yang
tumpah melimpah. Bahkan,
agar tidak dijiplak nama Bakso
Mawut sudah dipatenkan di
Dirjen HKI Kemenhumham RI
sejak 16 Mei lalu.
Rahasia kelezatan bakso ini
terletak pada pemilihan bahan
baku dagingnya. Dini sengaja
memilih jenis daging sapi segar
yang kualitas super, meski
tergolong mahal namun kualitas
rasa dijamin tidak
mengecewakan. Berbeda dengan
bakso pada umumnya, daging
dalam bakso ini benar-benar
dominan. "Banyak penjual
bakso yang mencampurkan
lebih banyak tepung ketimbang
daging. Namun bakso kami
benar-benar lebih banyak
dagingnya, penggunaan tepung
kanji hanya sebagai pengikat
saja itu pun dalam jumlah yang
sedikit," imbuh alumni jurusan
Apoteker UAD Yogyakarta ini.
Ia juga sama sekali tidak
mencampurkan bahan-bahan
kimia berbahaya seperti boraks
dan pengawet. Oleh karena itu,
Dini beserta tiga karyawannya
setiap pagi harus belanja dan
masak. "Itu sebabnya kenapa
kami mulai buka jam 11.00,
karena kami bena-benar ingin
meyajikan bakso yang fresh,"
kata gadis berjilbab ini.
Untuk menarik pelanggan, Dini
membuat program-program
khusus yang menarik, seperti
pengunjung yang kebetulan
memakai baju sama dengan
warna seragam karyawan maka
gratis minum es teh, atau yang
kebetulan memiliki nama Dini
juga bakal dapat gratis minum
es teh. Istimewanya lagi, jika
pengunjung pada saat membeli
merayakan ultah, maka gratis
makan bakso sepuas dan
sekeyang-kenyangnya.
"Syaratnya hanya menunjukkan
KTP," katanya.
Karena itu tak heran, meski
usaha yang dirintisnya baru
berjalan dua bulan, namun
sudah memliki banyak
pelanggan, mulai dari orang tua
hingga anak kecil. Kedainya
yang terletak di Jalan
Panembahan Senopati No. 17C
Kota Magelang ini tak pernah
sepi pengunjung terutama pada
jam makan siang dan sore hari.
Harga yang dipatok pun relatif
terjangkau, mulai dari Rp 7.000
hingga Rp 10.000 per porsi.
Harga tergantung jumlah dan
jenis bakso, pengunjung bebas
memilih mau yang mawut
uratnya, mawut ndog/telurnya,
mawut alusannya atau komplet
plus daging iga sapi. "Semuanya
nikmat dengan atau tanpa
kecap, saus dan sambel,"
katanya.
Dalam sehari rata-rata Dini
bisa menghabiskan daging 7 kg,
urat 3 kg dan iga hingga 5 kg.
Jika dirupiahkan omzetnya bisa
mencapai Rp 1-2 juta per hari.
Namun demikian tak membuat
Dini sombong, setiap hari
Jumat ia selalu menyisihkan 20
persen dari omzetnya untuk
bersedekah. Menurutnya, usaha
tersebut tidak hanya semata
untuk memperkaya diri namun
juga ingin memberi manfaat
bagi sesama. "Jadi pengunjung
yang membeli bakso pada hari
Jumat juga turut bersedekah,"
tutur warga Perumahan Depkes
Kramat Magelang ini.
( Penulis: Kontributor Magelang,
Ika Fitriana)
Editor: I Made Asdhiana
Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/06/09/07421537/Ini.Dia.Bakso.Mawut
Kategori:
Kuliner
Awalnya Usaha Skala Kecil, Kini Hinda Bisa Hasilkan Omset Ratusan Juta dari Usaha Dodol Garut-nya
KOMPAS.com - Berawal dari
bantu-bantu bisnis orangtua,
Hinda Japar kini sukses menjadi
pengusaha dodol di Garut, Jawa
Barat. Dari usaha ini ia meraup
omzet hingga Rp 400 juta per
bulan.
Ada banyak variasi olahan
makanan khas Kota Garut yang
dipasarkannya dengan merek
Pusaka dan Pusaka JS. Dodol
Garut Pusaka merupakan bisnis
yang dirintis oleh orang tua
Hinda sejak tahun 1970-an.
Awalnya dodol Pusaka
merupakan usaha rumahan
dengan skala kecil. Hinda
kemudian mengambil alih bisnis
orangtuanya itu pada 2005.
Hingga saat ini, Hinda menjabat
Direktur Perusahaan Dodol
Garut Pusaka.
Dalam sehari, pabrik dodol
milik Hinda bisa memproduksi
rata-rata 1 ton dodol. Harga
dodol di tingkat pabrik Rp
16.500 – Rp 17.000 per
kilogram (kg). “Jadi, omzet saya
dalam sebulan mencapai Rp 400
juta,” kata Hinda.
Selain pabrik, Hinda juga
memiliki dua toko untuk
memasarkan produk dodol
buatannya itu. Di dua toko itu,
ia menjual pelbagai varian
dodol, seperti dodol dengan
rasa buah-buahan dan rujak
dodol.
Pria 43 tahun ini sudah mulai
membantu bisnis orang tuanya
sejak tamat dari bangku SMA
pada tahun 1989. Tapi, baru
tahun 2005 ia memegang
tampuk kepemimpinan di
perusahaan keluarga itu.
Saat mulai dikendalikannya,
usaha warisan orang tua ini
memiliki kelemahan di bidang
pemasaran. Ketika itu, Dodol
Pusaka hanya dipasarkan di
wilayah Garut. Namun, setelah
beberapa tahun dikelola Hinda,
wilayah pemasarannya meluas
hingga ke Jakarta, Bandung,
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Kalimantan.
Kebanyakan, konsumennya
merupakan pedagang makanan
di daerahnya masing-masing.
Biasanya, mereka menjual lagi
dodol buatannya dengan harga
Rp 30.000 hingga Rp 60.000
per kotak.
Menurut Hinda, pelanggannya
di Kalimantan ada yang
memasok dodolnya ke beberapa
pusat perbelanjaan. Sementara
pelanggannya di Jawa Timur ada
yang memasok ke toko oleh-
oleh di beberapa tempat wisata.
---
Hinda Japar sudah ikut
membantu kedua orang tuanya
mengelola usaha pembuatan
dodol sejak masih duduk di
bangku sekolah dasar (SD).
Tepatnya sejak tahun 1970-an.
"Saya hanya bertugas
membantu produksi di pabrik
kecil milik orang tua," katanya.
Sebagai anak pertama di
keluarganya, Hinda memang
dipersiapkan untuk meneruskan
bisnis orang tuanya ini. Di
tahun 1970-an itu, menurut
Hinda, bisnis dodol Pusaka
milik orang tuanya masih skala
kecil.
Baru di tahun 1990-an, merek
dodol Pusaka dikenal oleh
masyarakat Jawa Barat. Sejak
saat itu, dodol Pusaka
diproduksi dalam jumlah besar.
Makanya, ketika lulus sekolah
menengah atas (SMA) pada
1989, Hinda memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolah. Ia
memilih fokus membantu orang
tuanya membesarkan usaha.
Oleh orang tuanya, ia diberi
tugas mengurus produksi dan
pemasaran dodol Pusaka. Pada
tahun 2005, usaha dodol ini
baru diwariskan ke Hinda.
Langkah pertama yang
dilakukannya saat menerima
usaha ini adalah memperkuat
produksi. "Saat itu saya
langsung membangun pabrik
sendiri," ujarnya.
Hinda sempat mengalami
kekurangan dana untuk
membangun pabrik. Pasalnya, ia
butuh pabrik skala besar yang
bisa memproduksi dodol dalam
jumlah banyak. Selain biaya
buat membangun pabrik, ia juga
perlu biaya lumayan besar buat
membeli tanah.
Untungnya, kekurangan dana
bisa tutup dari pinjaman dari
bank. “Karena usaha orang tua
saya ini sudah terkenal, bank
percaya saja meminjamkan uang
kepada saya,” ucapnya.
Kini, pabrik barunya itu mampu
memproduksi dodol sebanyak 1
ton per hari. Setelah pendirian
pabrik selesai, ia terus mencari
strategi untuk mengembangkan
pemasaran dodol Pusaka.
Salah satunya dengan rajin
mengikuti pameran kuliner di
Jakarta. Dari pameran ini,
produk dodolnya semakin
dikenal luas. Selain di Jawa
Barat, ia sekarang sering
mendapat pesanan dari daerah-
daerah.
Hingga saat ini, Hinda terus
berupaya untuk memperluas
pemasaran dodol Pusaka.
Menurutnya, tidak cukup hanya
mengandalkan penjualan dari
toko. Soalnya, penjualan toko
sangat bergantung kepada
musim liburan.“Biasanya baru
ramai pembeli kalau libur
sekolah dan banyak yang
berkunjung ke Garut saja,”
katanya.
Apalagi, sekarang di Garut
semakin banyak kompetitor di
bidang usaha yang sama.
Bahkan, di daerahnya itu kini
banyak muncul produsen dodol
dengan kualitas rendah yang
merusak pasar.
---
Sukses di bisnis dodol Garut
dengan omzet ratusan juta, tak
membuat Hinda Japar cepat
puas. Ia masih berambisi untuk
terus membesarkan usaha
pembuatan dodol Garut
peninggalan orang tuanya itu.
Hinda mengaku, ingin sekali
mengekspor produk dodol
Garut merek Pusaka buatannya
ke luar negeri. Ia menargetkan,
rencana ekspor itu bisa
terwujud tahun ini juga. Hinda
mengaku, saat masih menjadi
mitra binaan PT Krakatau Steel
pernah mengekspor dodol
Pusaka ke Dubai, Uni Emirat
Arab.
Ekspor ke Dubai itu berlangsung
sekitar tahun 2000-an. Namun,
ekspor terpaksa dihentikan
karena keterbatasan
manajemen. Pengalaman itu
juga yang mendorongnya untuk
mencoba kembali melakukan
ekspor.
Ia optmistis, keinginan untuk
ekspor tahun ini bisa
terealisasi. "Soalnya, sekarang
ini saya sudah mendapatkan
satu calon buyer dari
Singapura," katanya.
Namun, rencana ekspor ini
bukannya tanpa halangan. Salah
satunya di bidang kemasan.
Untuk ekspor diperlukan
kualitas kemasan agak bagus.
Namun, biayanya tentu besar.
Nah, ia khawatir ongkos
produksi bakal membengkak.
Makanya, sekarang ia sedang
mencari cara untuk
menurunkan ongkos produksi
ini. Tidak hanya itu, ia juga
masih merasa perlu melakukan
inovasi produk. Menurutnya,
varian dodol Pusaka masih
kurang beragam. Sejak
meluncurkan varian rujak dodol
tahun lalu, ia belum
menemukan lagi varian baru
untuk dikembangkan.
Sampai saat ini ia masih terus
berusaha menemukan resep
baru untuk produk dodolnya
tersebut. Lantaran perhatiannya
masih terfokus kepada usaha
dodolnya, ia mengaku belum
berencana merambah bisnis
lain.
Bagi Hinda, bisnis dodol sendiri
penuh dengan tantangan.
Selama mengelola usaha ini, ia
pernah beberapa kali dirugikan
oleh agen, terutama agen-agen
kecil.
Soalnya, mereka ini sering telat
melakukan pembayaran.
Bahkan, ada juga yang tidak
melakukan pembayaran sama
sekali. Padahal, produk sudah
terlanjur dikirim.
Agen besar juga pernah mangkir
dari kewajiban membayar. Hal
itu pernah dilakukan agen besar
di wilayah Surabaya, Jawa Timur
dan Cianjur, Jawa Barat. "Alasan
mereka saat itu sudah bangkrut,
sehingga tidak memiliki uang
lagi untuk membayar saya,"
ujarnya.
Kini, Hinda lebih berhati-hati
dalam memilih agen yang akan
memasarkan produknya.
(Marantina/ Kontan)
sumber: http//bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/13/22152215/Hinda.Raup.Omzet.Rp.400.Juta.dari.Bisnis.Dodol.Garut.
bantu-bantu bisnis orangtua,
Hinda Japar kini sukses menjadi
pengusaha dodol di Garut, Jawa
Barat. Dari usaha ini ia meraup
omzet hingga Rp 400 juta per
bulan.
Ada banyak variasi olahan
makanan khas Kota Garut yang
dipasarkannya dengan merek
Pusaka dan Pusaka JS. Dodol
Garut Pusaka merupakan bisnis
yang dirintis oleh orang tua
Hinda sejak tahun 1970-an.
Awalnya dodol Pusaka
merupakan usaha rumahan
dengan skala kecil. Hinda
kemudian mengambil alih bisnis
orangtuanya itu pada 2005.
Hingga saat ini, Hinda menjabat
Direktur Perusahaan Dodol
Garut Pusaka.
Dalam sehari, pabrik dodol
milik Hinda bisa memproduksi
rata-rata 1 ton dodol. Harga
dodol di tingkat pabrik Rp
16.500 – Rp 17.000 per
kilogram (kg). “Jadi, omzet saya
dalam sebulan mencapai Rp 400
juta,” kata Hinda.
Selain pabrik, Hinda juga
memiliki dua toko untuk
memasarkan produk dodol
buatannya itu. Di dua toko itu,
ia menjual pelbagai varian
dodol, seperti dodol dengan
rasa buah-buahan dan rujak
dodol.
Pria 43 tahun ini sudah mulai
membantu bisnis orang tuanya
sejak tamat dari bangku SMA
pada tahun 1989. Tapi, baru
tahun 2005 ia memegang
tampuk kepemimpinan di
perusahaan keluarga itu.
Saat mulai dikendalikannya,
usaha warisan orang tua ini
memiliki kelemahan di bidang
pemasaran. Ketika itu, Dodol
Pusaka hanya dipasarkan di
wilayah Garut. Namun, setelah
beberapa tahun dikelola Hinda,
wilayah pemasarannya meluas
hingga ke Jakarta, Bandung,
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Kalimantan.
Kebanyakan, konsumennya
merupakan pedagang makanan
di daerahnya masing-masing.
Biasanya, mereka menjual lagi
dodol buatannya dengan harga
Rp 30.000 hingga Rp 60.000
per kotak.
Menurut Hinda, pelanggannya
di Kalimantan ada yang
memasok dodolnya ke beberapa
pusat perbelanjaan. Sementara
pelanggannya di Jawa Timur ada
yang memasok ke toko oleh-
oleh di beberapa tempat wisata.
---
Hinda Japar sudah ikut
membantu kedua orang tuanya
mengelola usaha pembuatan
dodol sejak masih duduk di
bangku sekolah dasar (SD).
Tepatnya sejak tahun 1970-an.
"Saya hanya bertugas
membantu produksi di pabrik
kecil milik orang tua," katanya.
Sebagai anak pertama di
keluarganya, Hinda memang
dipersiapkan untuk meneruskan
bisnis orang tuanya ini. Di
tahun 1970-an itu, menurut
Hinda, bisnis dodol Pusaka
milik orang tuanya masih skala
kecil.
Baru di tahun 1990-an, merek
dodol Pusaka dikenal oleh
masyarakat Jawa Barat. Sejak
saat itu, dodol Pusaka
diproduksi dalam jumlah besar.
Makanya, ketika lulus sekolah
menengah atas (SMA) pada
1989, Hinda memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolah. Ia
memilih fokus membantu orang
tuanya membesarkan usaha.
Oleh orang tuanya, ia diberi
tugas mengurus produksi dan
pemasaran dodol Pusaka. Pada
tahun 2005, usaha dodol ini
baru diwariskan ke Hinda.
Langkah pertama yang
dilakukannya saat menerima
usaha ini adalah memperkuat
produksi. "Saat itu saya
langsung membangun pabrik
sendiri," ujarnya.
Hinda sempat mengalami
kekurangan dana untuk
membangun pabrik. Pasalnya, ia
butuh pabrik skala besar yang
bisa memproduksi dodol dalam
jumlah banyak. Selain biaya
buat membangun pabrik, ia juga
perlu biaya lumayan besar buat
membeli tanah.
Untungnya, kekurangan dana
bisa tutup dari pinjaman dari
bank. “Karena usaha orang tua
saya ini sudah terkenal, bank
percaya saja meminjamkan uang
kepada saya,” ucapnya.
Kini, pabrik barunya itu mampu
memproduksi dodol sebanyak 1
ton per hari. Setelah pendirian
pabrik selesai, ia terus mencari
strategi untuk mengembangkan
pemasaran dodol Pusaka.
Salah satunya dengan rajin
mengikuti pameran kuliner di
Jakarta. Dari pameran ini,
produk dodolnya semakin
dikenal luas. Selain di Jawa
Barat, ia sekarang sering
mendapat pesanan dari daerah-
daerah.
Hingga saat ini, Hinda terus
berupaya untuk memperluas
pemasaran dodol Pusaka.
Menurutnya, tidak cukup hanya
mengandalkan penjualan dari
toko. Soalnya, penjualan toko
sangat bergantung kepada
musim liburan.“Biasanya baru
ramai pembeli kalau libur
sekolah dan banyak yang
berkunjung ke Garut saja,”
katanya.
Apalagi, sekarang di Garut
semakin banyak kompetitor di
bidang usaha yang sama.
Bahkan, di daerahnya itu kini
banyak muncul produsen dodol
dengan kualitas rendah yang
merusak pasar.
---
Sukses di bisnis dodol Garut
dengan omzet ratusan juta, tak
membuat Hinda Japar cepat
puas. Ia masih berambisi untuk
terus membesarkan usaha
pembuatan dodol Garut
peninggalan orang tuanya itu.
Hinda mengaku, ingin sekali
mengekspor produk dodol
Garut merek Pusaka buatannya
ke luar negeri. Ia menargetkan,
rencana ekspor itu bisa
terwujud tahun ini juga. Hinda
mengaku, saat masih menjadi
mitra binaan PT Krakatau Steel
pernah mengekspor dodol
Pusaka ke Dubai, Uni Emirat
Arab.
Ekspor ke Dubai itu berlangsung
sekitar tahun 2000-an. Namun,
ekspor terpaksa dihentikan
karena keterbatasan
manajemen. Pengalaman itu
juga yang mendorongnya untuk
mencoba kembali melakukan
ekspor.
Ia optmistis, keinginan untuk
ekspor tahun ini bisa
terealisasi. "Soalnya, sekarang
ini saya sudah mendapatkan
satu calon buyer dari
Singapura," katanya.
Namun, rencana ekspor ini
bukannya tanpa halangan. Salah
satunya di bidang kemasan.
Untuk ekspor diperlukan
kualitas kemasan agak bagus.
Namun, biayanya tentu besar.
Nah, ia khawatir ongkos
produksi bakal membengkak.
Makanya, sekarang ia sedang
mencari cara untuk
menurunkan ongkos produksi
ini. Tidak hanya itu, ia juga
masih merasa perlu melakukan
inovasi produk. Menurutnya,
varian dodol Pusaka masih
kurang beragam. Sejak
meluncurkan varian rujak dodol
tahun lalu, ia belum
menemukan lagi varian baru
untuk dikembangkan.
Sampai saat ini ia masih terus
berusaha menemukan resep
baru untuk produk dodolnya
tersebut. Lantaran perhatiannya
masih terfokus kepada usaha
dodolnya, ia mengaku belum
berencana merambah bisnis
lain.
Bagi Hinda, bisnis dodol sendiri
penuh dengan tantangan.
Selama mengelola usaha ini, ia
pernah beberapa kali dirugikan
oleh agen, terutama agen-agen
kecil.
Soalnya, mereka ini sering telat
melakukan pembayaran.
Bahkan, ada juga yang tidak
melakukan pembayaran sama
sekali. Padahal, produk sudah
terlanjur dikirim.
Agen besar juga pernah mangkir
dari kewajiban membayar. Hal
itu pernah dilakukan agen besar
di wilayah Surabaya, Jawa Timur
dan Cianjur, Jawa Barat. "Alasan
mereka saat itu sudah bangkrut,
sehingga tidak memiliki uang
lagi untuk membayar saya,"
ujarnya.
Kini, Hinda lebih berhati-hati
dalam memilih agen yang akan
memasarkan produknya.
(Marantina/ Kontan)
sumber: http//bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/13/22152215/Hinda.Raup.Omzet.Rp.400.Juta.dari.Bisnis.Dodol.Garut.
Kategori:
Kuliner
Ningsih, Sukses Butik Fesyen-nya Bermula dari Dua Potong Pakaian Kreditan
Keinginannya untuk mandiri
sedari dini, membuat
Muktiningsih cerdas membaca
berbagai peluang bisnis. Berawal
dari dua potong pakaian
kreditan, kini ia memiliki butik
megah Mega Fashion dan
sejumlah bisnis lainnya.
Sebuah foto keluarga berukuran
besar tergantung di ruang tamu di
rumahnya yang megah di Jalan
Jagalan Kediri. Mirip. Mirip sekali
dengan penyanyi Cici Paramida.
Semula saya tidak mengira bahwa
foto tersebut adalah milik sang
empunya rumah, pasangan
Muktiningsih dan Agus Purnomo
yang mengapit putri semata
wayangnya Elke.
Di depan rumahnya persis (hanya
dipisahkan gang) berdiri kokoh
butiknya Mega Fashion. Pada lantai
pertama terpajang semua produk
fesyen mulai dari pakaian, tas,
asesoris, parfum dan produk-
produk mode lainnya. Di lantai dua
terhampar ruangan untuk gym,
pelatihan dansa dan ruangan
layanan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing.
Tak pernah ada yang mengira bisnis
sebesar itu bermula dari dua
potong pakaian.
Muktiningsih, yang akrab disapa
Mbak Ning oleh para pelanggannya,
memulai usaha ketika duduk di
bangku SMA di Kediri. Awalnya ia
membeli dua potong pakaian dari
orangtua temannya yang berjualan
pakaian. “Waktu saya pakai ada
teman lain yang tertarik. Saat itu
pikiran saya langsung bekerja,
kenapa saya tidak berbisnis jual beli
pakaian saja,” ungkap Ning.
Kemampuan menangkap peluang ini
tidak terlepas dari rekaman di
bawah sadar Ning yang diprogram
secara berulang-ulang melalui
pesan-pesan yang berulang-ulang
juga dari orangtuanya. Sebagai anak
pertama dari empat bersaudara di
keluarganya Ning selalu menerima
pesan dari orangtuanya,” Meskipun
kamu seorang wanita, kamu harus
mandiri sehingga suatu saat ketika
kamu membantu adik-adikmu kamu
tidak perlu merepotkan suami
kamu,” ulang Ning tentang pesan
orangtuanya.
Pemograman bahwa sadar tentang
kemandirian inilah yang membuat
Ning memutuskan untuk berjual
beli pakaian saat temannya
mengaku tertarik pakaian yang
dikenakan Ning. Ia membeli
beberapa potong pakaian dari
orangtua temannya dan menjual
lagi ke sejumlah teman lainnya.
Dari jual-beli pakaian di lingkungan
teman-teman sekolah itulah jiwa
bisnis Ning terasah. Rumah
orangtua Ning kebetulan dilewati
ribuan karyawan rokok Gudang
Garam. Pernah suatu waktu ia
melihat sejumlah karyawan antre di
depan toko sembako orangtuanya
untuk membeli keperluan sehari
hari, semisal pasta gigi, shampoo
dan sabun mandi. Ning melihat
ketidakefisienan pelayanan dari
orangtuanya sehingga banyak
pembeli yang tidak terlayani. Oleh
karena itu, Ning membuat
terobosan dengan membungkus
berbagai keperluan sehari-hari
tersebut menjadi satu paket.
Berkat terobosan itu para pembeli
dengan cepat terlayani dan
omsetnya pun membengkak karena
para konsumen tinggal mengambil
paket tanpa harus antre. Bakat
dagang Ning inilah yang
menggerakkan orangtuanya untuk
membangun toko pakaian kecil di
samping toko sembakonya.
Harga kompetitif dan mode yang
up to date adalah dua kunci dari
beberapa kunci sukses berbisnis
pakaian. Itu sebabnya Ning yang
memutuskan diri tidak melanjutkan
kuliah selepas SMA, tidak mau
kulakan pakaian di Kediri,
melainkan ke Kapasan Surabaya.
“Dengan naik kereta api, dua hari
sekali saya pergi ke Kapasan
Surabaya untuk kulakan,” tutur
Ning.
Dalam waktu singkat Ning
mendapat kepercayaan dari grosir
pakaian di Kapasan. Dengan
semakin banyaknya produk pakaian,
Ning mulai memikirkan cara
pemasarannya. Ia mulai
menciptakan reseller di lingkungan
karyawan rokok Gudang Garam.
Satu reseller bisa menghasilkan
omset Rp20 juta hingga Rp25 juta/
bulan. “Pada tahun 1989/1990 saya
memiliki sekitar 20 reseller,”
ujarnya. Berarti Ning bisa
menangguk omset Rp400 juta
hingga Rp500 juta/bulan. Itu belum
termasuk hasil penjualan dari
tokonya sendiri. “Menjelang
lebaran omset toko bisa mencapai
Rp25 juta/hari,” papar Ning.
Namun masa booming langsung
redup ketika perusahaan rokok
Gudang Garam mewajibkan
karyawannya berseragam. Untuk
mempertahankan omset—dibantu
suaminya Agus Purnomo—Ning
membeli satu toko di Pasar
Sonobetek, Kediri. Kejayaan
berjualan pakaian sempat bertahan
hingga beberapa tahun kemudian.
Tetapi ketika di Kediri menjamur
beberapa pusat perbelanjaan,
omset toko pakaian Ning di Pasar
Sonobetek turun drastis.
Di sinilah keberanian dan feeling
bisnis Ning diuji. Keberadaan
sejumlah tempat perbelanjaan di
Kediri, alih-alih menciutkan nyali
Ning, justru wanita kelahiran tahun
1969 ini mengambil langkah besar.
Ia membeli tiga ruko sekaligus di
Jalan Pattimura Kediri. Tiga ruko
tersebut direnovasi dan disatukan
menjadi Butik Mega Fashion.
Menyadari Butik Mega Fashion
tidak berada di tempat strategis,
Ning melancarkan jurus baru dalam
pemasarannya. Ia masuk dan
tergabung dalam sejumlah kegiatan
arisan. Sekalipuan ia bukan istri
dokter, arisan istri-istri dokter pun
ia ikuti. Bahkan bukan hanya arisan
yang anggotanya berlingkup di
Kediri, arisan yang berada di
Surabaya dan pesertanya tersebar
di beberapa kota ia ikuti juga.
“Sambil arisan, saya membawa
produk-produk fesyen. Itulah cara
saya memperkenalkan produk-
produk,” ujarnya.
Tetapi dengan sasaran konsumen
yang berbeda dari sebelumnya ini
membuat Ning rela bolak-balik
Jakarta-Kediri setiap minggunya
untuk kulakan. Itu sebabnya meski
ia berjualan di Kediri tetapi
barometer modenya adalah Jakarta.
“Produk butik saya tidak kalah
dengan tempat-tempat perbelanjaan
mentereng di Kediri. Ini yang
membuat konsumen saya masih
terus berdatangan meski Mega
Fashion tempatnya kurang
strategis,” ungkap Ning tentang
kiatnya mendatangkan pelanggan.
Ketika Ning memperluas usahanya
ke pelatihan aerobik, senam, dansa
dan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing,
jurus mendatangkan pelanggan
dengan masuk ke sejumlah arisan
tetap dilakukan. Hasilnya “orang-
orang penting” di Jalan Doho Kediri
tercatat menjadi konsumen
setianya.
“Dalam berbisnis saya memakai
feeling. Bisnis apa yang menurut
saya prospektif langsung saya
jalankan tanpa menunda-nunda
waktu,” tutur Ning tentang kiat
bisnisnya. Pengakuan Ning sekaligus
mengungkapkan bawah sadarnya
yang sudah terinstall program
Enter, bukan Entar.
( Sukatna Panca M)
Sumber: http//pengusahaindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:finansial-mapan-berkat-dua-potong-pakaian-kreditan&catid=29:profil-pengusaha&Itemid=65
sedari dini, membuat
Muktiningsih cerdas membaca
berbagai peluang bisnis. Berawal
dari dua potong pakaian
kreditan, kini ia memiliki butik
megah Mega Fashion dan
sejumlah bisnis lainnya.
Sebuah foto keluarga berukuran
besar tergantung di ruang tamu di
rumahnya yang megah di Jalan
Jagalan Kediri. Mirip. Mirip sekali
dengan penyanyi Cici Paramida.
Semula saya tidak mengira bahwa
foto tersebut adalah milik sang
empunya rumah, pasangan
Muktiningsih dan Agus Purnomo
yang mengapit putri semata
wayangnya Elke.
Di depan rumahnya persis (hanya
dipisahkan gang) berdiri kokoh
butiknya Mega Fashion. Pada lantai
pertama terpajang semua produk
fesyen mulai dari pakaian, tas,
asesoris, parfum dan produk-
produk mode lainnya. Di lantai dua
terhampar ruangan untuk gym,
pelatihan dansa dan ruangan
layanan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing.
Tak pernah ada yang mengira bisnis
sebesar itu bermula dari dua
potong pakaian.
Muktiningsih, yang akrab disapa
Mbak Ning oleh para pelanggannya,
memulai usaha ketika duduk di
bangku SMA di Kediri. Awalnya ia
membeli dua potong pakaian dari
orangtua temannya yang berjualan
pakaian. “Waktu saya pakai ada
teman lain yang tertarik. Saat itu
pikiran saya langsung bekerja,
kenapa saya tidak berbisnis jual beli
pakaian saja,” ungkap Ning.
Kemampuan menangkap peluang ini
tidak terlepas dari rekaman di
bawah sadar Ning yang diprogram
secara berulang-ulang melalui
pesan-pesan yang berulang-ulang
juga dari orangtuanya. Sebagai anak
pertama dari empat bersaudara di
keluarganya Ning selalu menerima
pesan dari orangtuanya,” Meskipun
kamu seorang wanita, kamu harus
mandiri sehingga suatu saat ketika
kamu membantu adik-adikmu kamu
tidak perlu merepotkan suami
kamu,” ulang Ning tentang pesan
orangtuanya.
Pemograman bahwa sadar tentang
kemandirian inilah yang membuat
Ning memutuskan untuk berjual
beli pakaian saat temannya
mengaku tertarik pakaian yang
dikenakan Ning. Ia membeli
beberapa potong pakaian dari
orangtua temannya dan menjual
lagi ke sejumlah teman lainnya.
Dari jual-beli pakaian di lingkungan
teman-teman sekolah itulah jiwa
bisnis Ning terasah. Rumah
orangtua Ning kebetulan dilewati
ribuan karyawan rokok Gudang
Garam. Pernah suatu waktu ia
melihat sejumlah karyawan antre di
depan toko sembako orangtuanya
untuk membeli keperluan sehari
hari, semisal pasta gigi, shampoo
dan sabun mandi. Ning melihat
ketidakefisienan pelayanan dari
orangtuanya sehingga banyak
pembeli yang tidak terlayani. Oleh
karena itu, Ning membuat
terobosan dengan membungkus
berbagai keperluan sehari-hari
tersebut menjadi satu paket.
Berkat terobosan itu para pembeli
dengan cepat terlayani dan
omsetnya pun membengkak karena
para konsumen tinggal mengambil
paket tanpa harus antre. Bakat
dagang Ning inilah yang
menggerakkan orangtuanya untuk
membangun toko pakaian kecil di
samping toko sembakonya.
Harga kompetitif dan mode yang
up to date adalah dua kunci dari
beberapa kunci sukses berbisnis
pakaian. Itu sebabnya Ning yang
memutuskan diri tidak melanjutkan
kuliah selepas SMA, tidak mau
kulakan pakaian di Kediri,
melainkan ke Kapasan Surabaya.
“Dengan naik kereta api, dua hari
sekali saya pergi ke Kapasan
Surabaya untuk kulakan,” tutur
Ning.
Dalam waktu singkat Ning
mendapat kepercayaan dari grosir
pakaian di Kapasan. Dengan
semakin banyaknya produk pakaian,
Ning mulai memikirkan cara
pemasarannya. Ia mulai
menciptakan reseller di lingkungan
karyawan rokok Gudang Garam.
Satu reseller bisa menghasilkan
omset Rp20 juta hingga Rp25 juta/
bulan. “Pada tahun 1989/1990 saya
memiliki sekitar 20 reseller,”
ujarnya. Berarti Ning bisa
menangguk omset Rp400 juta
hingga Rp500 juta/bulan. Itu belum
termasuk hasil penjualan dari
tokonya sendiri. “Menjelang
lebaran omset toko bisa mencapai
Rp25 juta/hari,” papar Ning.
Namun masa booming langsung
redup ketika perusahaan rokok
Gudang Garam mewajibkan
karyawannya berseragam. Untuk
mempertahankan omset—dibantu
suaminya Agus Purnomo—Ning
membeli satu toko di Pasar
Sonobetek, Kediri. Kejayaan
berjualan pakaian sempat bertahan
hingga beberapa tahun kemudian.
Tetapi ketika di Kediri menjamur
beberapa pusat perbelanjaan,
omset toko pakaian Ning di Pasar
Sonobetek turun drastis.
Di sinilah keberanian dan feeling
bisnis Ning diuji. Keberadaan
sejumlah tempat perbelanjaan di
Kediri, alih-alih menciutkan nyali
Ning, justru wanita kelahiran tahun
1969 ini mengambil langkah besar.
Ia membeli tiga ruko sekaligus di
Jalan Pattimura Kediri. Tiga ruko
tersebut direnovasi dan disatukan
menjadi Butik Mega Fashion.
Menyadari Butik Mega Fashion
tidak berada di tempat strategis,
Ning melancarkan jurus baru dalam
pemasarannya. Ia masuk dan
tergabung dalam sejumlah kegiatan
arisan. Sekalipuan ia bukan istri
dokter, arisan istri-istri dokter pun
ia ikuti. Bahkan bukan hanya arisan
yang anggotanya berlingkup di
Kediri, arisan yang berada di
Surabaya dan pesertanya tersebar
di beberapa kota ia ikuti juga.
“Sambil arisan, saya membawa
produk-produk fesyen. Itulah cara
saya memperkenalkan produk-
produk,” ujarnya.
Tetapi dengan sasaran konsumen
yang berbeda dari sebelumnya ini
membuat Ning rela bolak-balik
Jakarta-Kediri setiap minggunya
untuk kulakan. Itu sebabnya meski
ia berjualan di Kediri tetapi
barometer modenya adalah Jakarta.
“Produk butik saya tidak kalah
dengan tempat-tempat perbelanjaan
mentereng di Kediri. Ini yang
membuat konsumen saya masih
terus berdatangan meski Mega
Fashion tempatnya kurang
strategis,” ungkap Ning tentang
kiatnya mendatangkan pelanggan.
Ketika Ning memperluas usahanya
ke pelatihan aerobik, senam, dansa
dan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing,
jurus mendatangkan pelanggan
dengan masuk ke sejumlah arisan
tetap dilakukan. Hasilnya “orang-
orang penting” di Jalan Doho Kediri
tercatat menjadi konsumen
setianya.
“Dalam berbisnis saya memakai
feeling. Bisnis apa yang menurut
saya prospektif langsung saya
jalankan tanpa menunda-nunda
waktu,” tutur Ning tentang kiat
bisnisnya. Pengakuan Ning sekaligus
mengungkapkan bawah sadarnya
yang sudah terinstall program
Enter, bukan Entar.
( Sukatna Panca M)
Sumber: http//pengusahaindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:finansial-mapan-berkat-dua-potong-pakaian-kreditan&catid=29:profil-pengusaha&Itemid=65
Kategori:
Fashion
Kuntoro, Bisnis Lampu Hias-nya yang Beromzet Puluhan Juta Rupiah Ini Berawal dari Hobi
Jakarta - Menggeluti sebuah bisnis
tak jarang dimulai dari sebuah
hobi ataupun kesukaan seseorang.
Misalnya usaha lampu hias unik
yang ditekuni oleh Kuntoro dan
rekannya.
Berawal dari ketertarikannya
terhadap interior dan lampu hias,
Kuntoro selepas bekerja dari
Amerika Serikat (AS) kemudian
mendirikan usaha lampu dekorasi
buatan tangan yang unik.
"Karena saya suka interior dan
bisanya kalau Natal saya suka yang
warna-warni, dulu waktu saya di
Amerika sering ada acara Natal
ramai meriah jadi saya dasarnya
beli lampu dari luar habis itu
kenapa kok nggak bikin sendiri di
Indonesia. Sudah saya bikin saja,"
ungkapnya ketika berbicang
dengan detikFinance beberapa
waktu lalu.
Usaha yang dijalani Kuntoro
bersama rekannya semenjak April
2009 ini, menjual produk lampu
hias berupa lampu tidur, lampu
gantung, dan lampu korden
dengan membidik pasar untuk
memenuhi keperluan anak-anak
dan home dekor. Sedangkan untuk
penjualannya sendiri dilakukan
melalui offline maupun online.
"Ada online, ada offline ada
reseller juga. Serta galeri-galeri
dari luar (dalam dan luar negeri),"
tambahnya.
Pemuda yang lulusan sekolah
pelayaran di Cikarang dan sempat
bekerja 5 tahun di AS. Saat ini
usahanya telah menghasilkan
omzet penjualan mencapai Rp 40
juta per bulan dengan harga
produknya berkisar Rp 10 ribu
sampai Rp 7 juta.
"Dari Rp 10 ribu sampai paling
mahal kita bikin pohon natal
seharga Rp 7 juta," sambungnya.
Kuntoro juga menunturkan, ketika
memulai usaha, ia hanya bekerja
bersama seorang rekannya dari
proses produksi sampai penjualan.
Tetapi saat ini ia telah
mempekerjakan 20 orang
karyawan yang merupakan ibu-ibu
di sekitar kantornya di Surabaya
untuk terlibat dalam proses
produksi pembuatan lampu hias
ini.
"Dulu dua orang, saya dan partner
saya. Kerja sendiri bikin sendiri
serta dijual sendiri, sekarang tim
ini di kantor saya itu ada 9 orang
dan perajinnya ada 20 orang. Itu
semuanya ibu-ibu yang dirumah
nggak kerja jadi mereka
diberdayakan, diajari kemudian
dikasih bahan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu lah,"
tambahnya.
Sebelum memfokuskan pasarnya
ke dalam negeri, Kuntoro
mengatakan jika di awal usaha,
produknya lebih banyak ditujukan
untuk memenuhi pasar ekspor
daripada pasar dalam negeri.
Kemudian dialihkan ke dalam
negeri karena persyaratan yang
begitu banyak untuk kebutuhan
pasar ekspor.
"Dua tahun lalau kita sempat
ekspor, cuma sekarang kita
membidik lokal karena lokal
banyak sekali minatnya jadi kita
nggak main ekspor karena ekspor
permintaan banyak bermacam-
macam perlu elektrik dan
sertifikatnya jadi kita nggak mau
pecah perhatian kesana. Kita
fokusnya ke lokal ke anak-anak,"
sambungnya.
Usaha yang dijalani oleh Kuntoro
ini bukannya tanpa kendala.
Banyak sekali kendala yang
dihadapinya, mulai dari 'gesekan-
gesekan' sampai sulitnya mengajari
ibu-ibu agar terampil membuat
produk.
"Banyak, ada kendala-kendala, ada
gesekan kanan kiri, mulai usaha
memang nggak gampang tapi
kuncinya terus pantang menyerah
saja, dalam satu masalah pasti ada
jalan keluarnya," sebutnya.
Kuntoro juga tidak pelit berbagai
kunci keberhasilannya. Ia
mengatakan kunci keberhasilannya
yaitu terus berinovasi dan
membentuk tim yang solid. Selain
itu kedepannya dia berencana
membukan pabrik aksesoris Natal.
"Kedepannya mau buka pabrik
aksesoris natal di Surabaya jadi
nanti fokus ke Natal aja soalnya
saya lihat di Indonesia belum
ada," tutupnya.
Jika anda tertarik terhadap produk
dari Light Craft ini anda bisa
datang ke:
Jalan Jaya A2 No. 66 Surabaya
atau mengunjungi www.light-
craft.blogspot.com
( Feby Dwi Sutianto)
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/05/14/125913/1916558/480/
tak jarang dimulai dari sebuah
hobi ataupun kesukaan seseorang.
Misalnya usaha lampu hias unik
yang ditekuni oleh Kuntoro dan
rekannya.
Berawal dari ketertarikannya
terhadap interior dan lampu hias,
Kuntoro selepas bekerja dari
Amerika Serikat (AS) kemudian
mendirikan usaha lampu dekorasi
buatan tangan yang unik.
"Karena saya suka interior dan
bisanya kalau Natal saya suka yang
warna-warni, dulu waktu saya di
Amerika sering ada acara Natal
ramai meriah jadi saya dasarnya
beli lampu dari luar habis itu
kenapa kok nggak bikin sendiri di
Indonesia. Sudah saya bikin saja,"
ungkapnya ketika berbicang
dengan detikFinance beberapa
waktu lalu.
Usaha yang dijalani Kuntoro
bersama rekannya semenjak April
2009 ini, menjual produk lampu
hias berupa lampu tidur, lampu
gantung, dan lampu korden
dengan membidik pasar untuk
memenuhi keperluan anak-anak
dan home dekor. Sedangkan untuk
penjualannya sendiri dilakukan
melalui offline maupun online.
"Ada online, ada offline ada
reseller juga. Serta galeri-galeri
dari luar (dalam dan luar negeri),"
tambahnya.
Pemuda yang lulusan sekolah
pelayaran di Cikarang dan sempat
bekerja 5 tahun di AS. Saat ini
usahanya telah menghasilkan
omzet penjualan mencapai Rp 40
juta per bulan dengan harga
produknya berkisar Rp 10 ribu
sampai Rp 7 juta.
"Dari Rp 10 ribu sampai paling
mahal kita bikin pohon natal
seharga Rp 7 juta," sambungnya.
Kuntoro juga menunturkan, ketika
memulai usaha, ia hanya bekerja
bersama seorang rekannya dari
proses produksi sampai penjualan.
Tetapi saat ini ia telah
mempekerjakan 20 orang
karyawan yang merupakan ibu-ibu
di sekitar kantornya di Surabaya
untuk terlibat dalam proses
produksi pembuatan lampu hias
ini.
"Dulu dua orang, saya dan partner
saya. Kerja sendiri bikin sendiri
serta dijual sendiri, sekarang tim
ini di kantor saya itu ada 9 orang
dan perajinnya ada 20 orang. Itu
semuanya ibu-ibu yang dirumah
nggak kerja jadi mereka
diberdayakan, diajari kemudian
dikasih bahan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu lah,"
tambahnya.
Sebelum memfokuskan pasarnya
ke dalam negeri, Kuntoro
mengatakan jika di awal usaha,
produknya lebih banyak ditujukan
untuk memenuhi pasar ekspor
daripada pasar dalam negeri.
Kemudian dialihkan ke dalam
negeri karena persyaratan yang
begitu banyak untuk kebutuhan
pasar ekspor.
"Dua tahun lalau kita sempat
ekspor, cuma sekarang kita
membidik lokal karena lokal
banyak sekali minatnya jadi kita
nggak main ekspor karena ekspor
permintaan banyak bermacam-
macam perlu elektrik dan
sertifikatnya jadi kita nggak mau
pecah perhatian kesana. Kita
fokusnya ke lokal ke anak-anak,"
sambungnya.
Usaha yang dijalani oleh Kuntoro
ini bukannya tanpa kendala.
Banyak sekali kendala yang
dihadapinya, mulai dari 'gesekan-
gesekan' sampai sulitnya mengajari
ibu-ibu agar terampil membuat
produk.
"Banyak, ada kendala-kendala, ada
gesekan kanan kiri, mulai usaha
memang nggak gampang tapi
kuncinya terus pantang menyerah
saja, dalam satu masalah pasti ada
jalan keluarnya," sebutnya.
Kuntoro juga tidak pelit berbagai
kunci keberhasilannya. Ia
mengatakan kunci keberhasilannya
yaitu terus berinovasi dan
membentuk tim yang solid. Selain
itu kedepannya dia berencana
membukan pabrik aksesoris Natal.
"Kedepannya mau buka pabrik
aksesoris natal di Surabaya jadi
nanti fokus ke Natal aja soalnya
saya lihat di Indonesia belum
ada," tutupnya.
Jika anda tertarik terhadap produk
dari Light Craft ini anda bisa
datang ke:
Jalan Jaya A2 No. 66 Surabaya
atau mengunjungi www.light-
craft.blogspot.com
( Feby Dwi Sutianto)
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/05/14/125913/1916558/480/
Nadia, Sukses Jadi Eksportir di Usia Muda Lewat Sepatu Kelom
KOMPAS.com - Saat tinggal di
Jepang untuk mengikuti sang
ayah yang bertugas di sana,
Nadia Mutia Rahma mengikuti
program pendalaman bahasa
Jepang di KAI Japanese
Language School, salah satu
sekolah bahasa Jepang di
Shinjuku, Tokyo. Di sana ia
berkenalan dengan berbagai
siswa dari mancanegara. Di
kelas angkatannya, kebetulan
ada banyak siswa yang berasal
dari wilayah Skandinavia.
Otomatis Nadia selalu mendapat
cerita mengenai kawasan yang
menaungi negara Finlandia,
Swedia, Islandia, Norwegia dan
Denmark. "Saya senang
mendengar cerita seputar
kebudayaan orang-orang
Skandinavia," ujarnya.
Salah satu budaya yang mencuri
perhatiannya adalah tradisi
memakai clog atau kelom. Ia
mengaku jatuh cinta dengan
alas kaki dari kayu tersebut.
"Sebenarnya tradisi memakai
kelom bukan hanya milik orang
Skandinavia. Di Jepang dan
Indonesia juga ada. Di Jawa,
kelom disebut dengan
teklek ,"jelasnya.
Kepincut bisnis sepatu
Usai belajar di KAI, putri
pasangan Nanang Sunarya dan
Noerdiyanti ini lalu mengambil
jurusan Fashion Introduction di
ESMOD Tokyo. Di sini Nadia
banyak belajar mengenai seluk-
beluk dunia fashion, termasuk
sisi bisnisnya. Saat menempuh
kuliah, Nadia sering mengikuti
seminar fashion. Salah satunya
adalah seminar dari Hiko
Mizuno, seorang desainer
sepatu asal Jepang.
Di seminar
tersebut, ditampilkan cara-cara
memproduksi sepatu. Melihat
keseriusan dan ketelitian para
pengrajin sepatu di Jepang yang
dipaparkan dalam seminar
tersebut, Nadia pun tertank
untuk terjun ke bisnis sepatu.
"Di seminar tersebut dijelaskan
sejarah, teknik, dan
pengembangan produk sepatu.
Ternyata sangat menantang.
Saya jadi tertarik
mendalaminya," cerita Nadia.
Karena suka dengan alas kaki
kelom, ia pun bertekad untuk
menciptakan produk kelom
dengan inovasinya sendiri.
Selain karena minat, Nadia
mengaku mempunyai feeling
yang sangat kuat terhadap
bisnis kelom. "Menurut saya,
bisnis itu juga harus
menggunakan feeling . Saya
merasa yakin dengan produk
kelom. Apalagi masih jarang
pengusaha yang berinovasi
dengan kelom di Indonesia,"
tuturnya.
Selain itu, Nadia juga
melakukan survei terhadap
berbagai situs toko online, baik
lokal maupun internasional.
Rupanya produksi kelom masih
terbilang sedikit di Indonesia,
sementara peminatnya cukup
banyak, termasuk dari
mancanegara. "Saya langsung
bertekad untuk fokus juga ke
ekspor. Untungnya ayah saya
seorang importir, jadi saya
belajar banyak mengenai usaha
ekspor-impor melalui beliau,"
cerita Nadia.
Tak punya ijazah
Tanpa menyelesaikan kuliahnya
di ESMOD Jepang, awal tahun
2010 lalu Nadia nekad kembali
ke Indonesia menyusul kedua
orangtuanya yang sudah lebih
dulu kembali. Untuk mendalami
proses produksi sepatu, Nadia
yang berdomisili di Yogyakarta
memutuskan untuk mengambil
pendidikan di ATK (Akademi
Teknologi Kulit), Yogyakarta.
Setelah satu semester
menempuh pendidikan di ATK,
Nadia pun memutuskan keluar.
Untuk mewujudkan bisnis yang
diimpikan, Nadia
mengumpulkan modal sebanyak
Rp 30 juta untuk membeli
bahan baku serta membayar
pengrajin. Menurut Nadia, sulit
mencari pengrajin yang mau
memproduksi kelom sesuai
dengan model yang
dirancangnya. Pasalnya
pengrajin di sekitar Yogyakarta,
biasanya sudah memiliki pakem
sendiri dalam membuat alas
kaki. "Mereka (pengrajin) rata-
rata hanya membuat alas kaki
dengan model yang sudah
umum. Jadi banyak yang
menolak saat saya minta
memproduksi kelom yang saya
desain," tutur anak pertama
dari tiga bersaudara yang lahir
pada 12 Juni 1989 ini.
Kelom rancangan Nadia
memang bukan seperti desain
kelom pada umumnya. Ia
mendesain kelom dengan
sentuhan Eropa, yakni kayu
dipadupadankan dengan
material kulit. Menurut Nadia,
rancangannya ini belum pernah
ada di Indonesia sebelumnya.
"Kelom didesain sedemikian
rupa agar nyaman untuk
pemakaian sehari-hari. Selain
itu, sepatu ini juga serasi
dikenakan dengan berbagai
model busana," katanya.
Setelah mendapatkan pengrajin
yang sesuai, Nadia harus
melakukan berbagai percobaan
terhadap produk kelom sampai
menemukan bentuk yang pas
dan nyaman dipakai.
Bermacam-macam jenis kayu
diuji sebagai material utama
kelom. Tidak seperti kelom-
kelom lain yang menggunakan
kayu mahoni, Nadia
menggunakan kayu sampang.
Kayu ini tumbuh liar di hutan
Jawa dan Sumatra. "Kayu jenis
ini warnanya bersih, bobotnya
ringan, dan awet. Saat dipijak
terasa halus dan nyaman," ujar
perempuan yang juga hobi
membatik ini.
Setelah tiga bulan percobaan,
akhirnya Nadia menemukan
model dan bentuk kelom yang
pas dikenakan. Ia mengaku puas
karena memang telah berusaha
maksimal. Mengusung nama
usaha Kloom (baca: klum),
pemasaran pertama
dilakukannya melalui Facebook
dengan akun Kloom Clogshop
pada bulan September 2010.
Sepasang kelom dijualnya
seharga Rp 200.000. Hasilnya
lumayan, 3-4 pasang kelom
laku per hari.
Namun Nadia tidak puas sampai
di situ. Ia berpikir dalam
menjual produk fashion ia harus
membuat konsumen puas
dengan memperlihatkan
langsung wujud produk
tersebut.
Akhirnya ia menyewa
stan bazaar di mall.
"Responsnya sangat lumayan.
Sebulan omzet-nya mencapai Rp
39 juta," ceritanya.
Ditaksir importir
Selain pasar lokal, Nadia juga
menyasar mancanegara dengan
memasarkan produk melalui
toko online internasional
seperti www.alibaba.com.
Usahanya pun berbuah manis.
Banyak importir Eropa yang
tertarik dengan kreasinya. Salah
satu permintaan ekspor datang
dari Swedia yang memesan
sebanyak 250 pasang kelom.
Dengan suntikan modal dari
sang ayah sebanyak Rp 200
juta, Nadia merekrut puluhan
pekerja dari Yogyakarta dan
Tasikmalaya demi memenuhi
target.
Selanjutnya, ia juga
mendapatkan permintaan dari
supplier di Denmark, Belanda,
dan Yunani, yang meminta
100-200 pasang kelom. Bahkan
sebuah butik di Amerika Serikat
rutin memesan kelom sebanyak
100 pasang setiap bulannya.
Saat ini, selain kelom, Nadia
juga bereksperimen dengan
sandal dan sepatu model
espadrille yang
dipadupadankan dengan batik
tulis hasil desainnya. Selain
batik, ada juga espadrille
dengan sentuhan tenun. Kreasi
ini dilakukannya dengan tujuan
untuk lebih melestarikan tradisi
Indonesia, serta
memaksimalkan penggunaan
bahan baku lokal.
Kendati sudah menjadi produk
ekspor, Nadia menjamin harga
produknya masih sangat
terjangkau. Untuk kelom, harga
yang diberikan mulai dari Rp
175.000 - Rp 425.000.
Sementara untuk model
espadrille , harganya antara Rp
235.000 - Rp 325.000. Ada
puluhan model kelom dan
espadrille yang sudah
diciptakan Nadia. Berkat
inovasinya, baru-baru ini
sepatu kreasinya digaet salah
satu perancang busana asal
Yogyakarta untuk meramaikan
pagelaran Jakarta Fashion Week
2011.
Saat ini Nadia sudah bisa
mempekerjakan 20 orang
pengrajin di Yogyakarta dan
Tasikmalaya. Omzet tetap yang
dihasilkannya mencapai Rp 70
juta sebulan. Itu hanya dari
pameran. Untuk manajemen
bisnis, Nadia dibantu ayah dan
ibunya. "Modal dari ayah sudah
saya kembalikan semua. Semoga
seterusnya usaha ini bisa terus
maju," ucapnya tersenyum.
Kontak Nadia:
Telepon: 0878 324 60900
Website: www.shop-kloom.com
Facebook: facebook.com/
kloomkloom
(Ira Nursita)
Editor: Dini
sumber: http://female.kompas.com/read/2012/01/05/14590134/sukses.jadi.eksportir.di.usia.muda
Jepang untuk mengikuti sang
ayah yang bertugas di sana,
Nadia Mutia Rahma mengikuti
program pendalaman bahasa
Jepang di KAI Japanese
Language School, salah satu
sekolah bahasa Jepang di
Shinjuku, Tokyo. Di sana ia
berkenalan dengan berbagai
siswa dari mancanegara. Di
kelas angkatannya, kebetulan
ada banyak siswa yang berasal
dari wilayah Skandinavia.
Otomatis Nadia selalu mendapat
cerita mengenai kawasan yang
menaungi negara Finlandia,
Swedia, Islandia, Norwegia dan
Denmark. "Saya senang
mendengar cerita seputar
kebudayaan orang-orang
Skandinavia," ujarnya.
Salah satu budaya yang mencuri
perhatiannya adalah tradisi
memakai clog atau kelom. Ia
mengaku jatuh cinta dengan
alas kaki dari kayu tersebut.
"Sebenarnya tradisi memakai
kelom bukan hanya milik orang
Skandinavia. Di Jepang dan
Indonesia juga ada. Di Jawa,
kelom disebut dengan
teklek ,"jelasnya.
Kepincut bisnis sepatu
Usai belajar di KAI, putri
pasangan Nanang Sunarya dan
Noerdiyanti ini lalu mengambil
jurusan Fashion Introduction di
ESMOD Tokyo. Di sini Nadia
banyak belajar mengenai seluk-
beluk dunia fashion, termasuk
sisi bisnisnya. Saat menempuh
kuliah, Nadia sering mengikuti
seminar fashion. Salah satunya
adalah seminar dari Hiko
Mizuno, seorang desainer
sepatu asal Jepang.
Di seminar
tersebut, ditampilkan cara-cara
memproduksi sepatu. Melihat
keseriusan dan ketelitian para
pengrajin sepatu di Jepang yang
dipaparkan dalam seminar
tersebut, Nadia pun tertank
untuk terjun ke bisnis sepatu.
"Di seminar tersebut dijelaskan
sejarah, teknik, dan
pengembangan produk sepatu.
Ternyata sangat menantang.
Saya jadi tertarik
mendalaminya," cerita Nadia.
Karena suka dengan alas kaki
kelom, ia pun bertekad untuk
menciptakan produk kelom
dengan inovasinya sendiri.
Selain karena minat, Nadia
mengaku mempunyai feeling
yang sangat kuat terhadap
bisnis kelom. "Menurut saya,
bisnis itu juga harus
menggunakan feeling . Saya
merasa yakin dengan produk
kelom. Apalagi masih jarang
pengusaha yang berinovasi
dengan kelom di Indonesia,"
tuturnya.
Selain itu, Nadia juga
melakukan survei terhadap
berbagai situs toko online, baik
lokal maupun internasional.
Rupanya produksi kelom masih
terbilang sedikit di Indonesia,
sementara peminatnya cukup
banyak, termasuk dari
mancanegara. "Saya langsung
bertekad untuk fokus juga ke
ekspor. Untungnya ayah saya
seorang importir, jadi saya
belajar banyak mengenai usaha
ekspor-impor melalui beliau,"
cerita Nadia.
Tak punya ijazah
Tanpa menyelesaikan kuliahnya
di ESMOD Jepang, awal tahun
2010 lalu Nadia nekad kembali
ke Indonesia menyusul kedua
orangtuanya yang sudah lebih
dulu kembali. Untuk mendalami
proses produksi sepatu, Nadia
yang berdomisili di Yogyakarta
memutuskan untuk mengambil
pendidikan di ATK (Akademi
Teknologi Kulit), Yogyakarta.
Setelah satu semester
menempuh pendidikan di ATK,
Nadia pun memutuskan keluar.
Untuk mewujudkan bisnis yang
diimpikan, Nadia
mengumpulkan modal sebanyak
Rp 30 juta untuk membeli
bahan baku serta membayar
pengrajin. Menurut Nadia, sulit
mencari pengrajin yang mau
memproduksi kelom sesuai
dengan model yang
dirancangnya. Pasalnya
pengrajin di sekitar Yogyakarta,
biasanya sudah memiliki pakem
sendiri dalam membuat alas
kaki. "Mereka (pengrajin) rata-
rata hanya membuat alas kaki
dengan model yang sudah
umum. Jadi banyak yang
menolak saat saya minta
memproduksi kelom yang saya
desain," tutur anak pertama
dari tiga bersaudara yang lahir
pada 12 Juni 1989 ini.
Kelom rancangan Nadia
memang bukan seperti desain
kelom pada umumnya. Ia
mendesain kelom dengan
sentuhan Eropa, yakni kayu
dipadupadankan dengan
material kulit. Menurut Nadia,
rancangannya ini belum pernah
ada di Indonesia sebelumnya.
"Kelom didesain sedemikian
rupa agar nyaman untuk
pemakaian sehari-hari. Selain
itu, sepatu ini juga serasi
dikenakan dengan berbagai
model busana," katanya.
Setelah mendapatkan pengrajin
yang sesuai, Nadia harus
melakukan berbagai percobaan
terhadap produk kelom sampai
menemukan bentuk yang pas
dan nyaman dipakai.
Bermacam-macam jenis kayu
diuji sebagai material utama
kelom. Tidak seperti kelom-
kelom lain yang menggunakan
kayu mahoni, Nadia
menggunakan kayu sampang.
Kayu ini tumbuh liar di hutan
Jawa dan Sumatra. "Kayu jenis
ini warnanya bersih, bobotnya
ringan, dan awet. Saat dipijak
terasa halus dan nyaman," ujar
perempuan yang juga hobi
membatik ini.
Setelah tiga bulan percobaan,
akhirnya Nadia menemukan
model dan bentuk kelom yang
pas dikenakan. Ia mengaku puas
karena memang telah berusaha
maksimal. Mengusung nama
usaha Kloom (baca: klum),
pemasaran pertama
dilakukannya melalui Facebook
dengan akun Kloom Clogshop
pada bulan September 2010.
Sepasang kelom dijualnya
seharga Rp 200.000. Hasilnya
lumayan, 3-4 pasang kelom
laku per hari.
Namun Nadia tidak puas sampai
di situ. Ia berpikir dalam
menjual produk fashion ia harus
membuat konsumen puas
dengan memperlihatkan
langsung wujud produk
tersebut.
Akhirnya ia menyewa
stan bazaar di mall.
"Responsnya sangat lumayan.
Sebulan omzet-nya mencapai Rp
39 juta," ceritanya.
Ditaksir importir
Selain pasar lokal, Nadia juga
menyasar mancanegara dengan
memasarkan produk melalui
toko online internasional
seperti www.alibaba.com.
Usahanya pun berbuah manis.
Banyak importir Eropa yang
tertarik dengan kreasinya. Salah
satu permintaan ekspor datang
dari Swedia yang memesan
sebanyak 250 pasang kelom.
Dengan suntikan modal dari
sang ayah sebanyak Rp 200
juta, Nadia merekrut puluhan
pekerja dari Yogyakarta dan
Tasikmalaya demi memenuhi
target.
Selanjutnya, ia juga
mendapatkan permintaan dari
supplier di Denmark, Belanda,
dan Yunani, yang meminta
100-200 pasang kelom. Bahkan
sebuah butik di Amerika Serikat
rutin memesan kelom sebanyak
100 pasang setiap bulannya.
Saat ini, selain kelom, Nadia
juga bereksperimen dengan
sandal dan sepatu model
espadrille yang
dipadupadankan dengan batik
tulis hasil desainnya. Selain
batik, ada juga espadrille
dengan sentuhan tenun. Kreasi
ini dilakukannya dengan tujuan
untuk lebih melestarikan tradisi
Indonesia, serta
memaksimalkan penggunaan
bahan baku lokal.
Kendati sudah menjadi produk
ekspor, Nadia menjamin harga
produknya masih sangat
terjangkau. Untuk kelom, harga
yang diberikan mulai dari Rp
175.000 - Rp 425.000.
Sementara untuk model
espadrille , harganya antara Rp
235.000 - Rp 325.000. Ada
puluhan model kelom dan
espadrille yang sudah
diciptakan Nadia. Berkat
inovasinya, baru-baru ini
sepatu kreasinya digaet salah
satu perancang busana asal
Yogyakarta untuk meramaikan
pagelaran Jakarta Fashion Week
2011.
Saat ini Nadia sudah bisa
mempekerjakan 20 orang
pengrajin di Yogyakarta dan
Tasikmalaya. Omzet tetap yang
dihasilkannya mencapai Rp 70
juta sebulan. Itu hanya dari
pameran. Untuk manajemen
bisnis, Nadia dibantu ayah dan
ibunya. "Modal dari ayah sudah
saya kembalikan semua. Semoga
seterusnya usaha ini bisa terus
maju," ucapnya tersenyum.
Kontak Nadia:
Telepon: 0878 324 60900
Website: www.shop-kloom.com
Facebook: facebook.com/
kloomkloom
(Ira Nursita)
Editor: Dini
sumber: http://female.kompas.com/read/2012/01/05/14590134/sukses.jadi.eksportir.di.usia.muda
Kategori:
Fashion
Saturday, October 20, 2012
Nuryanto, Aneka Kerajinan Berbahan Limbah dan Barang Bekas-nya Sukses Tembus Eropa dan Amerika
Bagi Nuryanto (36), tak pernah ada kata mati
dalam berkreasi membuat kerajinan tangan.
Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti
dengan terus menciptakan barang-barang luar
biasa dan barang-barang bekas, limbah yang
tidak “blasa”, seperti stik es krim, sisa kayu .
dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir
memanfaatkan abu dari Gunung Merapi
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun
1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi nama
Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah
memiliki 1.780 jenis karya seni.
Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara
lain miniatur candi, gantungan kunci, dan setir mobil.
Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass
yang kerap dipakai artis penyanyi Maia Estianty,
hingga akhirnya populer dengan nama gelang artis.
Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus
bertambah dan berganti-ganti. Dengan cara itu, dia
pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru orang.
“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena
hampir setiap bulan saya selalu membuat kreasi yang
berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan
bakunya,” ujärnya terkekeh.
Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara
lain adalah flber glass, kayu, limbah kuningan, pasir,
gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia
bisa membuat ribuan jenis benda yang berbeda balk
bentuk maupun fungsinya.
Nuryanto mengatakan, kreativitasnya membuat
aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia masih
kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa
melihat kedatangan turis-turis ke Candi Borobudur
mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah
kaleng susu bekas. “Waktu itu saya bahkan bekerja
sama dengan para pemulung yang berperan sebagai
pemasok kaleng susu bekas,” ujarnya.
Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini
ternyata laku dijual. Setelah itu, dia pun terus berkreasi, bereksperimen
memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga SMA.
Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu pengetahuan tentang seni,
desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai tempat seperti di Ubud
Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta
Semua pelatihan diikutinya dalam waktu singkat.
Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan formal bagi
Nuryanto.
Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang. “Saya hanya ingin
mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya
Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan
dan keterampilan, tahun 1999 dia pun membuka
usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu dua
karyawan.
Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal
Singapura yang datang ke Candi Borobudur, dia pun
mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam
suvenir senilai Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan
dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun sukses
mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.
“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya
terasa mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.
Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga
anak ini pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap
peluang usaha dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.
Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun
mencoba membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi
sebagai tempat buah.
Abu Gunung Merapi
Tidak hanya itu, pikirannya pun terus berputar
untuk memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya
kelihatan tidak berguna. Saat erupsi Merapi dan hujan abu terus turun di
Kabupen Magelang, dia pun berpikir keras untuk memanfaatkan abu yang
Mengganggu, menutup jalan dan halaman di desanya.
“Saat usaha berhenti karena erupsi Merapi selama
sebulan penuh, saya bereksperimen untuk membuat
kerajinan berbahan abu,” ujarnya.
Dari hasil coba-coba itulah, dia mengetahui bahwa
sebelum diolah abu harus digoreng terlebih dahulu
agar benar-benar kering, tidak bercampur air, dan
kadar keasamannya berkurang. Setelah itu, dengan
dicampur getah pinus, abu Merapi bahkan bisa diolah
menjadi hiasan relief dan hiasan meja seperti stupa
dan miniatur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dalam kreativitasnya ini, Nuryanto menghabiskan
ribuan truk abu Merapi untuk menghasilkan jutaan
buah kerajman tangan. Sebagian kerajinan abu ini
dikirim ke Jerman.
Awal membuka galeri, Nuryanto hanya punya dua
karyawan, dan. kini dia telah mempekerjakan 50
karyawan dengan nilal total aset mencapai Rp 2,4 miliar.
Setiap hari, usahanya ini menghasillcan 1.000 barang kerajinan yang
sebagian besar berupa miniatur.
Selain dipasok ke galeri dan toko seni dalam negeri
seperti Mirota Batik, dia pun juga memasok untuk
kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Italia, Jerman,
Be1gia, Austraiia, dan Belanda. Distribusi di dalam
maupun di luar negeri dilakukan dengan menggunakan jasa pedagang perantara
atau eksportir.
Hal ini sengaja dilakukannya agar lebih banyak
orang terlibat. Ini sesuai dengan prinsip hidupnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. “Untuk tertawa saja kita tidak mungkin
tertawa sendirian, apalagi untuk bekerja,” ujarnya
sembari tersenyum.
OLEH: REGINA RUKMORINI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
dalam berkreasi membuat kerajinan tangan.
Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti
dengan terus menciptakan barang-barang luar
biasa dan barang-barang bekas, limbah yang
tidak “blasa”, seperti stik es krim, sisa kayu .
dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir
memanfaatkan abu dari Gunung Merapi
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun
1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi nama
Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah
memiliki 1.780 jenis karya seni.
Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara
lain miniatur candi, gantungan kunci, dan setir mobil.
Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass
yang kerap dipakai artis penyanyi Maia Estianty,
hingga akhirnya populer dengan nama gelang artis.
Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus
bertambah dan berganti-ganti. Dengan cara itu, dia
pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru orang.
“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena
hampir setiap bulan saya selalu membuat kreasi yang
berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan
bakunya,” ujärnya terkekeh.
Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara
lain adalah flber glass, kayu, limbah kuningan, pasir,
gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia
bisa membuat ribuan jenis benda yang berbeda balk
bentuk maupun fungsinya.
Nuryanto mengatakan, kreativitasnya membuat
aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia masih
kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa
melihat kedatangan turis-turis ke Candi Borobudur
mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah
kaleng susu bekas. “Waktu itu saya bahkan bekerja
sama dengan para pemulung yang berperan sebagai
pemasok kaleng susu bekas,” ujarnya.
Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini
ternyata laku dijual. Setelah itu, dia pun terus berkreasi, bereksperimen
memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga SMA.
Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu pengetahuan tentang seni,
desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai tempat seperti di Ubud
Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta
Semua pelatihan diikutinya dalam waktu singkat.
Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan formal bagi
Nuryanto.
Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang. “Saya hanya ingin
mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya
Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan
dan keterampilan, tahun 1999 dia pun membuka
usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu dua
karyawan.
Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal
Singapura yang datang ke Candi Borobudur, dia pun
mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam
suvenir senilai Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan
dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun sukses
mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.
“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya
terasa mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.
Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga
anak ini pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap
peluang usaha dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.
Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun
mencoba membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi
sebagai tempat buah.
Abu Gunung Merapi
Tidak hanya itu, pikirannya pun terus berputar
untuk memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya
kelihatan tidak berguna. Saat erupsi Merapi dan hujan abu terus turun di
Kabupen Magelang, dia pun berpikir keras untuk memanfaatkan abu yang
Mengganggu, menutup jalan dan halaman di desanya.
“Saat usaha berhenti karena erupsi Merapi selama
sebulan penuh, saya bereksperimen untuk membuat
kerajinan berbahan abu,” ujarnya.
Dari hasil coba-coba itulah, dia mengetahui bahwa
sebelum diolah abu harus digoreng terlebih dahulu
agar benar-benar kering, tidak bercampur air, dan
kadar keasamannya berkurang. Setelah itu, dengan
dicampur getah pinus, abu Merapi bahkan bisa diolah
menjadi hiasan relief dan hiasan meja seperti stupa
dan miniatur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dalam kreativitasnya ini, Nuryanto menghabiskan
ribuan truk abu Merapi untuk menghasilkan jutaan
buah kerajman tangan. Sebagian kerajinan abu ini
dikirim ke Jerman.
Awal membuka galeri, Nuryanto hanya punya dua
karyawan, dan. kini dia telah mempekerjakan 50
karyawan dengan nilal total aset mencapai Rp 2,4 miliar.
Setiap hari, usahanya ini menghasillcan 1.000 barang kerajinan yang
sebagian besar berupa miniatur.
Selain dipasok ke galeri dan toko seni dalam negeri
seperti Mirota Batik, dia pun juga memasok untuk
kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Italia, Jerman,
Be1gia, Austraiia, dan Belanda. Distribusi di dalam
maupun di luar negeri dilakukan dengan menggunakan jasa pedagang perantara
atau eksportir.
Hal ini sengaja dilakukannya agar lebih banyak
orang terlibat. Ini sesuai dengan prinsip hidupnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. “Untuk tertawa saja kita tidak mungkin
tertawa sendirian, apalagi untuk bekerja,” ujarnya
sembari tersenyum.
OLEH: REGINA RUKMORINI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
Riana, Miliarder Muda yang Semuanya Bermula dari Berani Bermimpi Besar
Mimpi, menumbuhkan tujuan,
dan semangat hidup Merry Riana
(31). Dengan mimpi, semangat,
dan kerja keras, ia menjadi
miliarder di usia muda.
Saat usianya menginjak 20 tahun, Merry
punya mimpi. Dia ingin sebelum berusia 30 tahun sudah mendapatkan
“kebebasan” finansial.
Mimpi itu terwujud. Hanya setahun setelah dia bekerja, tepatnya di usia 23
tahun, Merry sudah berpenghasilan 220.000 dollar
Singapura. Kira-kira sekitar Rp 1,5 miliar
dengan nilai tukar saat ini. Setahun berikutnya,
yaltu pada tahun 2004,dia mendirikan perusahaan Merry Riana Organization
(MRO). Dua tahun berikutnya di usia 26 tahun, penghasilan totalnya
mencapai 1 juta dollar Singapura —sekitar Rp 7 miliar.
Popularitas Merry melesat. Dia banyak diberitakan media massa di
Singapura sebagai miliarder di usia muda. Lho,
Singapura?
Meski lahir di Jakarta dan orangtua yang warga
Indonesia, Merry mengawali karier sebagai konsultan keuangan,
pengusaha, dan menjadi motivator di Singapura. Sejak
lulus SMA, anak pertama dari tiga bersaudara ini
“mengungsi” ke Negeri Singa.
Ketika bertemu di Central Park, Jakarta,
Minggu (10/7), beberapa jam sebelum kembali ke Singapura, Merry
bercerita sambil mengingat kembali perjalanan hidupnya. Pekan lalu,
selama tiga hari, Merry ada di Indonesia untuk menjadi pembicara atas
undangan sebuah perusahaan di Semarang, Jawa Tengah.
“Ya, sudah lama juga saya di Singapura. Meski rencana kembali ke
Indonesia belum terlaksana, setidaknya pada
tahun ini saya lebih sering datang ke Indonesia karena lebih banyak
kegiatan yang dilaksanakan di sini,” kata Merry.
Kerusuhan 1998
Perjalanan hidup Merry di Singapura berawal ketika terjadi kerusuhan besar
di Jakarta tahun 1998. Cita-cita untuk kuliah di
Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti
buyar karena kejadian tersebut. Orangtua
Merry kemudian memutuskan mengirimkan
putrinya ke Singapura dengan alasan keselamatan.
“Waktu itu rasanya seperti ada dalam film perang. Saya di
minta pergi agar saya selamat,” kata Merry merasakan kesedihan yang terjadi
13 tahun lalu.
Tanpa persiapan yang memadai untuk kuliah di luar negeri,
Merry sempat gagal dalam tes bahasa Inggris di Nanyang
Technological University. Tanpa persiapan bekal dana yang memadai pula,
Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura.
Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga
untuk hidup sehari-hari. “Utang saya totalnya 40.000 dollar Singapura,”
kata Merry.
Dengan uang saku hanya 10 dolar per minggu, hidupnya harus
superhemat. Untuk makan, misalnya, Merry lebih sering makan
roti atau mi instan atau bahkan berpuasa.
Ketika menyadari hidupnya tak berubah
meski sudah memasuki tahun kedua kuliah,
Merry mulai membangun mimpi. “Saya
membuat resolusi ketika ulang tahun ke-20.
Saya harus punya kebebasan finansial sebelum usia 30. Dengan kata lain,
harus jadi orang sukses. The lowest point in my life
membuat saya ingin mewujudkan mimpi tersebut,” ujar Merry
Meski sudah ada mimpi dan didukung
semangat, Merry belum menentukan cara
mewujudkannya. Pikirannya baru terbuka
setelah magang di perusahaan produsen semikonduktor.
Dari pengalaman ini, Merry melakukan hitung-hitungan,
seandainya dia menjadi karyawan perusahaan seusai kuliah.
“Dari perhitungan tersebut, ternyata saya baru bisa melunasi utang dalam
waktu 10 tahun, tanpa tabungan. Kalau begitu caranya, mimpi saya
tak akan terwujud,” kata Merry yang akhirnya memutuskan memilih jalan
berwirausaha untuk mencapai mimpinya.
Karena tak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman bisnis, Merry
mengumpulkan informasi dengan mengikuti
berbagai seminar dan melibatkan diri dalam
organisasi kemahasiswaan yang berhubungan dengan dunia bisnis. Merry juga
mencoba praktik dengan terjun ke multi level marketing meski akhirnya rugi
200 dollar.
Merry bahkan pernah kehilangan 10.000
dollar ketika memutar uangnya di bisnis
saham. Mentalnya sempat jatuh meski dalam kondisi tersebut masih bisa
menyelesaikan kuliah.
Tamat kuliah, barulah Merry mempersiapkan diri dengan
matang. Belajar dari pengalaman para pengusaha sukses, dia memulai dari
sektor penjualan di bidang jasa keuangan. Kerja kerasnya menjual berbagai
produk keuangan, seperti tabungan, asuransi, dan kartu kredit, hingga 14
jam sehari mulai membuahkan hasil. Dalam waktu
enam bulan setelah bekerja, Merry bisa melunasi utang pada Pemerintah
Singapura. Tunai!
Kesuksesan lain pun datang. Karena kinerjanya, Merry bisa membentuk tim
Sendiri hingga akhirnya mendirikan MRO. Dengan penghasilan total 1 juta
dollar Singapura di usia 26 tahun, ambisi Merry saat berusia 20
tahun terwujud.
Berbagi
Namun, seiring usia yang kian dewasa, menghasilkan uang hingga jutaan
dollar bukan menjadi satu-satunya tujuan hidup Merry. Pengagum Oprah
Winfrey ini lebih menikmati hidup ketika orang lain memperoleh kesuksesan
seperti dia.
Pengalaman meraih sukses dibagikan kepada orang lain dengan
berbagai cara, seperti menjadi pembicara di seminar, perusahaan,
sekolah, serta melalui media seperti jejaring sosial, media massa, dan
menulis buku.
Bersama timnya di MRO, Merry memiliki
program pemberdayaan perempuan dan anak-anak muda. Anggota timnya di
lembaga ini bahkan tergolong muda, berusia 20-30
tahun. “Saya ingin menampung orang muda yang punya ambisi dan semangat
seperti saya,” katanya.
Keinginannya untuk berbagi ini tak hanya dilakukan di Singapura. Pada ulang
Tahunnya ke-30, Merry membuat resolusi baru, yaitu
memberi dampak positif pada satu juta orang di Asia, terutama di tanah
kelahirannya, Indonesia.
TENTANG MERRY RIANA
• Nama: Merry Riana
• Tempat tangga lahir:
Jakarta, 29 Mei 1980.
. Nama suami:
Alva Tjenderasa (31)
• Nama anak:
Alvernia Mary Liu (2,5)
• Pendidikan:
S-1 Teknik Elektro Nanyang Technological
University, Singapura (1998-2002)
• Pekerjaan:
Group Director Merry Riana Organization
• Penghargaan:
- Salah satu pengusaha terbaik di Singapura dari Menteri Perdagangan dan
Perindustnian Singapura (2008)
- Salah satu wanita paling sukses dan inspiratif dari Menteri Kepemudaan
dan Olahraga Singapura (2010)
- Wanita paling inspiratif pada salah satu majalah bulanan Inspirational
Woman Magazine (2011)
- Salah satu eksekutif paling profesional dari penampilan dan keahlian
berkomunikasi dari surat kabar My Paper, Singapura (2010)
- Duta LG Asia, Watson, dan Canon (2010-2011)
CITA-CITA
Seperti MacGyver
Merry, yang sukses di bidang jasa keuangan dan kian sibuk dengan
kegiatannya menjadi motivator, pernah punya cita-cita lain. Sewaktu kecil,
anak sulung dari Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62) ini pernah
punya keinginan untuk menjadi seperti sang ayah yang seorang insinyur
elektro. “Waktu kecil, kalau ditanya maujadi apa,
saya selalu jawab ingin seperti papa. Saya senang melihat papa mengutak-
atik peralatan elektronik, seperti Mac Gyver,” kata Merry.
Cita-cita ini bahkan melekat hingga lulus SMA. Merry kuliah di Jurusan
Teknik Elektro Nanyang Technological University seteläh sebelumnya bercita-
cita kuliah dengan jurusan yang sama di Universitas Trisakti
Namun, perjalanan hidup Merry berubah. Meski bisa meraih gelar insinyur
dalam waktu empat tahun, ilmu elektro yang dikuasainya tak terpakai dalam
kariernya. “Paling-paling dipakai di rumah. Kalau
TV atau kulkas rusak, saya masih bisa memperbaiki, hehehe. Tetapi, bukan
berarti kuliah saya tak berguna. Semua proses
yang saya jalani selama kuliah, telah membawa saya menjadi seperti sekarang
ini,” kata Merry. (IYA)
OLEH: YULIA SAPTHIANI
Sumber: Harian Kompas cetak, Minggu, 17 Juli 2011
dan semangat hidup Merry Riana
(31). Dengan mimpi, semangat,
dan kerja keras, ia menjadi
miliarder di usia muda.
Saat usianya menginjak 20 tahun, Merry
punya mimpi. Dia ingin sebelum berusia 30 tahun sudah mendapatkan
“kebebasan” finansial.
Mimpi itu terwujud. Hanya setahun setelah dia bekerja, tepatnya di usia 23
tahun, Merry sudah berpenghasilan 220.000 dollar
Singapura. Kira-kira sekitar Rp 1,5 miliar
dengan nilai tukar saat ini. Setahun berikutnya,
yaltu pada tahun 2004,dia mendirikan perusahaan Merry Riana Organization
(MRO). Dua tahun berikutnya di usia 26 tahun, penghasilan totalnya
mencapai 1 juta dollar Singapura —sekitar Rp 7 miliar.
Popularitas Merry melesat. Dia banyak diberitakan media massa di
Singapura sebagai miliarder di usia muda. Lho,
Singapura?
Meski lahir di Jakarta dan orangtua yang warga
Indonesia, Merry mengawali karier sebagai konsultan keuangan,
pengusaha, dan menjadi motivator di Singapura. Sejak
lulus SMA, anak pertama dari tiga bersaudara ini
“mengungsi” ke Negeri Singa.
Ketika bertemu di Central Park, Jakarta,
Minggu (10/7), beberapa jam sebelum kembali ke Singapura, Merry
bercerita sambil mengingat kembali perjalanan hidupnya. Pekan lalu,
selama tiga hari, Merry ada di Indonesia untuk menjadi pembicara atas
undangan sebuah perusahaan di Semarang, Jawa Tengah.
“Ya, sudah lama juga saya di Singapura. Meski rencana kembali ke
Indonesia belum terlaksana, setidaknya pada
tahun ini saya lebih sering datang ke Indonesia karena lebih banyak
kegiatan yang dilaksanakan di sini,” kata Merry.
Kerusuhan 1998
Perjalanan hidup Merry di Singapura berawal ketika terjadi kerusuhan besar
di Jakarta tahun 1998. Cita-cita untuk kuliah di
Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti
buyar karena kejadian tersebut. Orangtua
Merry kemudian memutuskan mengirimkan
putrinya ke Singapura dengan alasan keselamatan.
“Waktu itu rasanya seperti ada dalam film perang. Saya di
minta pergi agar saya selamat,” kata Merry merasakan kesedihan yang terjadi
13 tahun lalu.
Tanpa persiapan yang memadai untuk kuliah di luar negeri,
Merry sempat gagal dalam tes bahasa Inggris di Nanyang
Technological University. Tanpa persiapan bekal dana yang memadai pula,
Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura.
Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga
untuk hidup sehari-hari. “Utang saya totalnya 40.000 dollar Singapura,”
kata Merry.
Dengan uang saku hanya 10 dolar per minggu, hidupnya harus
superhemat. Untuk makan, misalnya, Merry lebih sering makan
roti atau mi instan atau bahkan berpuasa.
Ketika menyadari hidupnya tak berubah
meski sudah memasuki tahun kedua kuliah,
Merry mulai membangun mimpi. “Saya
membuat resolusi ketika ulang tahun ke-20.
Saya harus punya kebebasan finansial sebelum usia 30. Dengan kata lain,
harus jadi orang sukses. The lowest point in my life
membuat saya ingin mewujudkan mimpi tersebut,” ujar Merry
Meski sudah ada mimpi dan didukung
semangat, Merry belum menentukan cara
mewujudkannya. Pikirannya baru terbuka
setelah magang di perusahaan produsen semikonduktor.
Dari pengalaman ini, Merry melakukan hitung-hitungan,
seandainya dia menjadi karyawan perusahaan seusai kuliah.
“Dari perhitungan tersebut, ternyata saya baru bisa melunasi utang dalam
waktu 10 tahun, tanpa tabungan. Kalau begitu caranya, mimpi saya
tak akan terwujud,” kata Merry yang akhirnya memutuskan memilih jalan
berwirausaha untuk mencapai mimpinya.
Karena tak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman bisnis, Merry
mengumpulkan informasi dengan mengikuti
berbagai seminar dan melibatkan diri dalam
organisasi kemahasiswaan yang berhubungan dengan dunia bisnis. Merry juga
mencoba praktik dengan terjun ke multi level marketing meski akhirnya rugi
200 dollar.
Merry bahkan pernah kehilangan 10.000
dollar ketika memutar uangnya di bisnis
saham. Mentalnya sempat jatuh meski dalam kondisi tersebut masih bisa
menyelesaikan kuliah.
Tamat kuliah, barulah Merry mempersiapkan diri dengan
matang. Belajar dari pengalaman para pengusaha sukses, dia memulai dari
sektor penjualan di bidang jasa keuangan. Kerja kerasnya menjual berbagai
produk keuangan, seperti tabungan, asuransi, dan kartu kredit, hingga 14
jam sehari mulai membuahkan hasil. Dalam waktu
enam bulan setelah bekerja, Merry bisa melunasi utang pada Pemerintah
Singapura. Tunai!
Kesuksesan lain pun datang. Karena kinerjanya, Merry bisa membentuk tim
Sendiri hingga akhirnya mendirikan MRO. Dengan penghasilan total 1 juta
dollar Singapura di usia 26 tahun, ambisi Merry saat berusia 20
tahun terwujud.
Berbagi
Namun, seiring usia yang kian dewasa, menghasilkan uang hingga jutaan
dollar bukan menjadi satu-satunya tujuan hidup Merry. Pengagum Oprah
Winfrey ini lebih menikmati hidup ketika orang lain memperoleh kesuksesan
seperti dia.
Pengalaman meraih sukses dibagikan kepada orang lain dengan
berbagai cara, seperti menjadi pembicara di seminar, perusahaan,
sekolah, serta melalui media seperti jejaring sosial, media massa, dan
menulis buku.
Bersama timnya di MRO, Merry memiliki
program pemberdayaan perempuan dan anak-anak muda. Anggota timnya di
lembaga ini bahkan tergolong muda, berusia 20-30
tahun. “Saya ingin menampung orang muda yang punya ambisi dan semangat
seperti saya,” katanya.
Keinginannya untuk berbagi ini tak hanya dilakukan di Singapura. Pada ulang
Tahunnya ke-30, Merry membuat resolusi baru, yaitu
memberi dampak positif pada satu juta orang di Asia, terutama di tanah
kelahirannya, Indonesia.
TENTANG MERRY RIANA
• Nama: Merry Riana
• Tempat tangga lahir:
Jakarta, 29 Mei 1980.
. Nama suami:
Alva Tjenderasa (31)
• Nama anak:
Alvernia Mary Liu (2,5)
• Pendidikan:
S-1 Teknik Elektro Nanyang Technological
University, Singapura (1998-2002)
• Pekerjaan:
Group Director Merry Riana Organization
• Penghargaan:
- Salah satu pengusaha terbaik di Singapura dari Menteri Perdagangan dan
Perindustnian Singapura (2008)
- Salah satu wanita paling sukses dan inspiratif dari Menteri Kepemudaan
dan Olahraga Singapura (2010)
- Wanita paling inspiratif pada salah satu majalah bulanan Inspirational
Woman Magazine (2011)
- Salah satu eksekutif paling profesional dari penampilan dan keahlian
berkomunikasi dari surat kabar My Paper, Singapura (2010)
- Duta LG Asia, Watson, dan Canon (2010-2011)
CITA-CITA
Seperti MacGyver
Merry, yang sukses di bidang jasa keuangan dan kian sibuk dengan
kegiatannya menjadi motivator, pernah punya cita-cita lain. Sewaktu kecil,
anak sulung dari Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62) ini pernah
punya keinginan untuk menjadi seperti sang ayah yang seorang insinyur
elektro. “Waktu kecil, kalau ditanya maujadi apa,
saya selalu jawab ingin seperti papa. Saya senang melihat papa mengutak-
atik peralatan elektronik, seperti Mac Gyver,” kata Merry.
Cita-cita ini bahkan melekat hingga lulus SMA. Merry kuliah di Jurusan
Teknik Elektro Nanyang Technological University seteläh sebelumnya bercita-
cita kuliah dengan jurusan yang sama di Universitas Trisakti
Namun, perjalanan hidup Merry berubah. Meski bisa meraih gelar insinyur
dalam waktu empat tahun, ilmu elektro yang dikuasainya tak terpakai dalam
kariernya. “Paling-paling dipakai di rumah. Kalau
TV atau kulkas rusak, saya masih bisa memperbaiki, hehehe. Tetapi, bukan
berarti kuliah saya tak berguna. Semua proses
yang saya jalani selama kuliah, telah membawa saya menjadi seperti sekarang
ini,” kata Merry. (IYA)
OLEH: YULIA SAPTHIANI
Sumber: Harian Kompas cetak, Minggu, 17 Juli 2011
Kategori:
Finance
Muhdi, Mantan Tukang Kebun yang Kini Sukses Jadi Pengusaha Keripik Hingga Tembus ke Mancanegara
Saat datang ke Medan, Sumatera
Utara, tahun 1986, Muhammad
Muhdi (46) bukanlah siapa-siapa.
“Naik kereta (sepeda motor) saja
saya tidak bisa,” kata Muhdi. Namun, 25 tahun kemudian, ia adalah
pengusaha keripik singkong dan
turunannya dengan 75 karyawan
dan mulai mengekspor produknya.
Berbincang dengan Muhammad
Muhdi selama sekitar dua jam
membawa kesimpulan bahwa ia
sukses sebagai pengusaha keripik
singkong karena ia orang yang optimistis dengan hidupnyi. Namun,
optimisme itu pun tidak ia peroleh dengan
singkat. Ada masa ia terjepit dan terjatuh, tetapi bisa bangun lagi dan
berhasil seperti saat ini.
Selulusnya dan Madrasah Aliyah
Pondok Baru, Payaman, Magelang, Jawa
Tengah, Muhdi pergi ke Medan menjadi
nazir Masjid Nurul Imam di kawasan
Kompleks Perhubungan Udara, Padang
Bulan, Medan. Ia juga bekerja macam-macam, seperti menjadi tukang
kebon Taman Kanak-kanak Ikadiasa,
Kompleks Perhubungan Udara, Jalan
Penerbang, Medan.
A Siong, seorang pedagang telur, pernah menawarinya berdagang telur.
Usahanya menanjak saat ia mulai memasok logistik, seperti telur, beras,
minyak goreng, minyak tanah, hingga sirup, ke Pondok Pesantren Roudhatul
Hasanah, Medan. Semua berbalik saat
krisis moneter tahun 1997. Pemilik toko
tempat ia mengambil barang bangkrut.
Ia mencoba berdagang bahan pokok.
Di tengah situasi tak menentu, ia
pulang kampung saat Lebaran tahun
1999. Di situlah ide membuat keripik
singkong muncul. “Ada orang buat keripik manual. Saya lalu beli
peralatannya,” cerita Muhdi. Ia membeli alat
potong Rp 120.000, wajan Rp 75.000,
dan alat penampi Rp 15.000. Ia bawa
peralatan itu ke Medan.
Sesampai di Medan, ia langsung
membeli singkong 5 kilogram di pasar
dan minyak goreng 2 kilogram untuk
praktik membuat keripik. Ternyata keripiknya tenggelam dalam minyak.
Esoknya ia beli singkong ke petani,
dengan asumsi kualitas singkong lebih
baik. Eh, sama saja, keripik tenggelam di
dalam minyak.
Usut punya usut, ternyata api kurang
besar, sementara wajan kebesaran. Ber
kali-kali dicoba, baru ketemu formula
pas, antara banyaknya minyak, besarnya
api, panas minyak, dan besarnya wajan.
Wajan yang ia beli dari Magelang ternyata kebesaran sehingga ia perlu
mengganti wajan dari tukang pisang
yang membantu ia menemukan formula
pas untuk menggoreng keripik.
Akhir tahun 1999, produksinya membutuhkan 100 kilogram singkong per
hari dan proses menggoreng nonstop
hingga malam hari. Masyarakat sekitar
mulal terusik dengan aktivitas produksi
keripiknya, terutama karena limbah
singkong. Ia pun pindah ke kawasan
Medan Tuntungan di pinggír kota. “Saya
sewa rumah yang kata orang berhantu
Rp900.000 untuk tiga tahun,” katanya.
Kebetulan air di kawasan itu bagus.
Ia membuat dapur dan mulai berproduksi lagi. Ia memanggil lima orang
tetangganya di Tuntungan untuk bekerja kepadanya. Produksi terus
meningkat, dari 150 kg per hari menjadi 0,5
ton, kemudian 1 ton per hari. Tenaga
kerja meningkat menjadi 15 orang.
Tahun 2002, pemilik rumah hendak
menjual tanah dan rumah sewanya di
Jalan Tunas Mekar, Tuntungan II, Pancur Batu, Medan. Ia pun mencari
pinjaman bank untuk membeli rumah dan
tanah itu. Sementara itu, produksi meningkat menjadi 2 ton per hari. Pada
tahun itu, ia juga mengikuti pelatihan di
Dinas Perindustrian dan Perdagangin
Kota Medan, dan mulai mendaftarkan
produknya ke dinas kesehatan dan
memberi merek “Kreasi Lutfi”, mengambil nama anaknya. Ia juga mulai
membuat keripik aneka rasa.
Produksi sempat berhenti total selama tiga bulan pada 2004 karena para
penjualnya lari. Se1uruh produk dibawa
penjual sehingga ia menjual kendaraan
operasional untuk menutup utang.
Utang bank pun tak terbayar.
Ia memulai lagi menggoreng keripik
dengan modal Rp 1,1 juta. Jadilah 200
bal keripik. Ia meminta salah satu mantan penjualnya untuk menjadi
distributor. Mulai dari situ bisnisnya kembali
menanjak dan sejak tahun 2005 ia
memproduksi 4 ton singkong setiap
hari.
Ia juga melebarkan sayap ke bisnis
gaplek, mengolah kulit ubi menjadi makanan ternak. Kini ia tengah menjajaki
bisnis opak dan pembuatan tepung
singkong agar bisa menggantikan tepung terigu. Total karyawannya 75
orang.
Awal tahun ini ia mulai mengekspor
keripiknya ke Korea Selatan. Dua minggu sekali ia mengirim satu kontainer
kenipik singkong ke Korea Selatan. Satu
kontainer berisi 2.566 kotak keripik.
Satu kotak berisi 2,6 kg keripik. ”Ini
khusus untuk diameter singkong 5,7
cm,” kata dia.
Muhdi, yang selalu tampil sederhana
itu, mengatakan, semua itu dimulai dari
kepepet (terjepit). Ia mengatakan bahwa ilmunya sederhana saja,
yakni menyelaraskan otak, otot, dan omong,
membuat produknya mutu, mudah, dan
murah, serta bekerja dengan senang,santal, tetapi selesai.
Begituiah Muhdi,yang menyelesaikan kuliahnya di
Institut Agama Islam Negeri Sumut, dengan
harapan bisa mengajar di Medan. Namun, malah jadi pengusaha keripik.
OLEH: AUFRIDA WISMI WARASTRI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 2 Juli 2011
Utara, tahun 1986, Muhammad
Muhdi (46) bukanlah siapa-siapa.
“Naik kereta (sepeda motor) saja
saya tidak bisa,” kata Muhdi. Namun, 25 tahun kemudian, ia adalah
pengusaha keripik singkong dan
turunannya dengan 75 karyawan
dan mulai mengekspor produknya.
Berbincang dengan Muhammad
Muhdi selama sekitar dua jam
membawa kesimpulan bahwa ia
sukses sebagai pengusaha keripik
singkong karena ia orang yang optimistis dengan hidupnyi. Namun,
optimisme itu pun tidak ia peroleh dengan
singkat. Ada masa ia terjepit dan terjatuh, tetapi bisa bangun lagi dan
berhasil seperti saat ini.
Selulusnya dan Madrasah Aliyah
Pondok Baru, Payaman, Magelang, Jawa
Tengah, Muhdi pergi ke Medan menjadi
nazir Masjid Nurul Imam di kawasan
Kompleks Perhubungan Udara, Padang
Bulan, Medan. Ia juga bekerja macam-macam, seperti menjadi tukang
kebon Taman Kanak-kanak Ikadiasa,
Kompleks Perhubungan Udara, Jalan
Penerbang, Medan.
A Siong, seorang pedagang telur, pernah menawarinya berdagang telur.
Usahanya menanjak saat ia mulai memasok logistik, seperti telur, beras,
minyak goreng, minyak tanah, hingga sirup, ke Pondok Pesantren Roudhatul
Hasanah, Medan. Semua berbalik saat
krisis moneter tahun 1997. Pemilik toko
tempat ia mengambil barang bangkrut.
Ia mencoba berdagang bahan pokok.
Di tengah situasi tak menentu, ia
pulang kampung saat Lebaran tahun
1999. Di situlah ide membuat keripik
singkong muncul. “Ada orang buat keripik manual. Saya lalu beli
peralatannya,” cerita Muhdi. Ia membeli alat
potong Rp 120.000, wajan Rp 75.000,
dan alat penampi Rp 15.000. Ia bawa
peralatan itu ke Medan.
Sesampai di Medan, ia langsung
membeli singkong 5 kilogram di pasar
dan minyak goreng 2 kilogram untuk
praktik membuat keripik. Ternyata keripiknya tenggelam dalam minyak.
Esoknya ia beli singkong ke petani,
dengan asumsi kualitas singkong lebih
baik. Eh, sama saja, keripik tenggelam di
dalam minyak.
Usut punya usut, ternyata api kurang
besar, sementara wajan kebesaran. Ber
kali-kali dicoba, baru ketemu formula
pas, antara banyaknya minyak, besarnya
api, panas minyak, dan besarnya wajan.
Wajan yang ia beli dari Magelang ternyata kebesaran sehingga ia perlu
mengganti wajan dari tukang pisang
yang membantu ia menemukan formula
pas untuk menggoreng keripik.
Akhir tahun 1999, produksinya membutuhkan 100 kilogram singkong per
hari dan proses menggoreng nonstop
hingga malam hari. Masyarakat sekitar
mulal terusik dengan aktivitas produksi
keripiknya, terutama karena limbah
singkong. Ia pun pindah ke kawasan
Medan Tuntungan di pinggír kota. “Saya
sewa rumah yang kata orang berhantu
Rp900.000 untuk tiga tahun,” katanya.
Kebetulan air di kawasan itu bagus.
Ia membuat dapur dan mulai berproduksi lagi. Ia memanggil lima orang
tetangganya di Tuntungan untuk bekerja kepadanya. Produksi terus
meningkat, dari 150 kg per hari menjadi 0,5
ton, kemudian 1 ton per hari. Tenaga
kerja meningkat menjadi 15 orang.
Tahun 2002, pemilik rumah hendak
menjual tanah dan rumah sewanya di
Jalan Tunas Mekar, Tuntungan II, Pancur Batu, Medan. Ia pun mencari
pinjaman bank untuk membeli rumah dan
tanah itu. Sementara itu, produksi meningkat menjadi 2 ton per hari. Pada
tahun itu, ia juga mengikuti pelatihan di
Dinas Perindustrian dan Perdagangin
Kota Medan, dan mulai mendaftarkan
produknya ke dinas kesehatan dan
memberi merek “Kreasi Lutfi”, mengambil nama anaknya. Ia juga mulai
membuat keripik aneka rasa.
Produksi sempat berhenti total selama tiga bulan pada 2004 karena para
penjualnya lari. Se1uruh produk dibawa
penjual sehingga ia menjual kendaraan
operasional untuk menutup utang.
Utang bank pun tak terbayar.
Ia memulai lagi menggoreng keripik
dengan modal Rp 1,1 juta. Jadilah 200
bal keripik. Ia meminta salah satu mantan penjualnya untuk menjadi
distributor. Mulai dari situ bisnisnya kembali
menanjak dan sejak tahun 2005 ia
memproduksi 4 ton singkong setiap
hari.
Ia juga melebarkan sayap ke bisnis
gaplek, mengolah kulit ubi menjadi makanan ternak. Kini ia tengah menjajaki
bisnis opak dan pembuatan tepung
singkong agar bisa menggantikan tepung terigu. Total karyawannya 75
orang.
Awal tahun ini ia mulai mengekspor
keripiknya ke Korea Selatan. Dua minggu sekali ia mengirim satu kontainer
kenipik singkong ke Korea Selatan. Satu
kontainer berisi 2.566 kotak keripik.
Satu kotak berisi 2,6 kg keripik. ”Ini
khusus untuk diameter singkong 5,7
cm,” kata dia.
Muhdi, yang selalu tampil sederhana
itu, mengatakan, semua itu dimulai dari
kepepet (terjepit). Ia mengatakan bahwa ilmunya sederhana saja,
yakni menyelaraskan otak, otot, dan omong,
membuat produknya mutu, mudah, dan
murah, serta bekerja dengan senang,santal, tetapi selesai.
Begituiah Muhdi,yang menyelesaikan kuliahnya di
Institut Agama Islam Negeri Sumut, dengan
harapan bisa mengajar di Medan. Namun, malah jadi pengusaha keripik.
OLEH: AUFRIDA WISMI WARASTRI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 2 Juli 2011
Kategori:
Kuliner
Suparji, Mantan Bartender yang Kini Sukses Jadi Pengusaha Kancing Unik
Anda butuh kancing kerajinan yang unik dan
menarik dalam aneka bentuk, dari yang sulit
sampal yang sederhana? Suparji Utomo (57)
slap untuk itu. Koleksi kancing kerajinan
buatannya pun hampir tak terhitung
jumlahnya. Pelanggannya perusahaan konveksi
besar di Indonesia dan mancanegara.
Suparji adalah pemiik pusat kancing kerajinan
JJ Button di Jalan Gunung Tangkuban Perahu,
Kota Denpasar, Bali. Meski mengaku tak memiliki kemampuan bisnis, usaha
kancing kerajinannya maju pesat sejak berdiri tahun 1996. Kini ia
memiliki puluhan rekanan dalam pembuatan kancing tersebut.
“Saya juga tidak menyangka karena semua terjadi
begitu saja. Saat itu yang terpikirkan oleh saya adalah
ini peluang!” kata Suparji saat ditemui di toko kancing kerajinannya,
pertengahan bulan Mei lalu.
Awalnya, ia hanya memiliki pengalaman sebagai
bartender hampir 10 tahun di salah satu kelab malam di sekitar Legian,
Kabupaten Badung. Karena tak
maju, ia bersama I Gusti Ayu Putri Astuti (48),
istrinya, beralih menggeluti pembuatan barang-barang dan bahan baku kulit.
Sayangnya, usaha kulitnya pun hanya bertahan 10 tahun. Sepanjang waktu itu
usahanya hanya kembang kempis.
Tiba-tiba, salah satu pelanggannya asal Amerika
Serikat yang memiliki perusahaan garmen di Pulau
Dewata menantang Suparji untuk bisa membuat
25.000 kancing baju dari bahan batok kelapa. Hanya
saja, kancing itu harus ada gambar bintang laut.
“Sebenarnya saya bingung juga mendapatkan tantangan itu karena sama sekali
belum pernah membuatnya. Tapi ini adalah peluang! Kancing bentuknva
kecil dan hampir dianggap sepele oleh orang-orang,
termasuk saya. Tapi, entah mengapa, saat itu saya
begitu yakin ini adalah kesempatan emas buat saya
dan keluarga saya,” tutur Suparji yg didampingi
anak sulungnya, Cendana Wangi Utomo (25).
Pesanan 25.000 kancing batok kelapa yang bergambar bintang laut itu mampu
dipenuhniya. Selanjutnya, pesanan kancing terus mengalir seperti tak
henti. Ragam desain pun bermunculan, terutama
terinspirasi dari pelanggannya dari negeri Sakura,
Jepang. Kini koleksi produksi dan langganannya tak
terkira jumlahnya.
Berbagai referensi dipelajari dan dia bereksperimen mengenai bagaimana agar
kancing buatannya awet dengan bahan baku cat aman lingkungan serta
tidak berbahaya untuk anak-anak. Satu pengalaman
yang tak terlupakan adalah ia sempat diprotes pelanggan karena cat kancing
buatannya luntur.
Baginya, protes apa pun dari pelanggan adalah
teguran berharga agar produknya bisa lebih baik di
kemudian hari, la sadar tak mudah bersaing. Bahkan,
lanjutnya, tak mudah pula menentukan apakah
usahanya ini kerajinan kancing atau kancing kerajinan? Ia pun memiih
kancing kerajinan.
Ya, menurut Suparji,kerajinan kancing itu sama
saja dengan pembuat kancing. Sementara Suparji
merasa dirinya adalah pembuat kancing yang tidak
hanya sekadar kancing biasa.
Buktinya? Semua ukuran kancing buatannya tidak
ada yang sama, juga tidak bisa dilakukan dengan
mesin hanya agar proses produksinya lebih cepat.
Seluruh kancing adalah buatan tangan dan dibuat
satu per satu, mulai dari pemilihan bahan baku
pembentukan, pengecatan, hingga pelubangan kancing itu sendiri.
Semua itu tidak bisa dilakukan oleh mesin.
Itu sebabnya, pembuatan kancing Suparji hanya
berjumlah ratusan, bahkan untuk kancing yang rumit
bisa membutuhkan waktu sebulan. Berbeda dengan
kancing biasa yang berbentuk lingkaran dengan dua
lubang yang lazim ada. Itu bisa diproduksi puluhan
ribu buah dalam sehari.
Eksperimen bahan baku pun terus berlanjut. Berawal dari
batok kelapa yang terbuang alias sampah.
Suparji pun mengembangkan bahan bekas lainnya,
seperti tulang sapi, kulit kerang, dan kayu.
Cita-citanya, produksi buatannya semua ramah lingkungan.
“Namun, apa boleh buat. Beberapa pelanggan masih menginginkan bahan baku dari getah damar yang dijadikan aneka macam bentuk dan warna,” kata
Suparji.
Satu hal yang masih sulit Suparji dan putri sulungnya lakukan
adalah menghitung jumlah desain
yang mereka miliki. Hal ini disebabkan seluruh kancing buatan mereka
ditempatkan dalam sebuah stopies. Tak jarang, sejumlah orang yang tak
membaca toko ini menjual berbagai kancing kerajinan mengira
toko ini sebagai toko permen.
Harga satu kancing beragam, mulal Rp 2.000
hingga puluhan ribu rupiah. Ukurannya pun beragam, dari yang terkecil
sebesar kuku jari jempol orang dewasa hingga ada yang sebesar tutup gelas
dengan berbagai bentuk, dan lingkaran sampai bentuk jamur, mobil,pesawat,
dan lain-lain. Seru!
Saat ini ia tengah merintis inovasi baru bersama
putri pertamanya itu. Menurut Suparji, bisnis semakin memanas dari hari
kehari. Jika iä tidak
memvariasi produknya, bisa saja ia ditinggalkan pelanggannya. “Karena ini
barang seni, jadi sebisa mungkin setiap hari perlu ada inovasi dan kreasi,
tentu dengan hati dan niat bersih. Jika berusaha,
pasti bisa!” ujar Suparji.
OLEH: AYU SULISTYOWATI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 9 Juli 2011
menarik dalam aneka bentuk, dari yang sulit
sampal yang sederhana? Suparji Utomo (57)
slap untuk itu. Koleksi kancing kerajinan
buatannya pun hampir tak terhitung
jumlahnya. Pelanggannya perusahaan konveksi
besar di Indonesia dan mancanegara.
Suparji adalah pemiik pusat kancing kerajinan
JJ Button di Jalan Gunung Tangkuban Perahu,
Kota Denpasar, Bali. Meski mengaku tak memiliki kemampuan bisnis, usaha
kancing kerajinannya maju pesat sejak berdiri tahun 1996. Kini ia
memiliki puluhan rekanan dalam pembuatan kancing tersebut.
“Saya juga tidak menyangka karena semua terjadi
begitu saja. Saat itu yang terpikirkan oleh saya adalah
ini peluang!” kata Suparji saat ditemui di toko kancing kerajinannya,
pertengahan bulan Mei lalu.
Awalnya, ia hanya memiliki pengalaman sebagai
bartender hampir 10 tahun di salah satu kelab malam di sekitar Legian,
Kabupaten Badung. Karena tak
maju, ia bersama I Gusti Ayu Putri Astuti (48),
istrinya, beralih menggeluti pembuatan barang-barang dan bahan baku kulit.
Sayangnya, usaha kulitnya pun hanya bertahan 10 tahun. Sepanjang waktu itu
usahanya hanya kembang kempis.
Tiba-tiba, salah satu pelanggannya asal Amerika
Serikat yang memiliki perusahaan garmen di Pulau
Dewata menantang Suparji untuk bisa membuat
25.000 kancing baju dari bahan batok kelapa. Hanya
saja, kancing itu harus ada gambar bintang laut.
“Sebenarnya saya bingung juga mendapatkan tantangan itu karena sama sekali
belum pernah membuatnya. Tapi ini adalah peluang! Kancing bentuknva
kecil dan hampir dianggap sepele oleh orang-orang,
termasuk saya. Tapi, entah mengapa, saat itu saya
begitu yakin ini adalah kesempatan emas buat saya
dan keluarga saya,” tutur Suparji yg didampingi
anak sulungnya, Cendana Wangi Utomo (25).
Pesanan 25.000 kancing batok kelapa yang bergambar bintang laut itu mampu
dipenuhniya. Selanjutnya, pesanan kancing terus mengalir seperti tak
henti. Ragam desain pun bermunculan, terutama
terinspirasi dari pelanggannya dari negeri Sakura,
Jepang. Kini koleksi produksi dan langganannya tak
terkira jumlahnya.
Berbagai referensi dipelajari dan dia bereksperimen mengenai bagaimana agar
kancing buatannya awet dengan bahan baku cat aman lingkungan serta
tidak berbahaya untuk anak-anak. Satu pengalaman
yang tak terlupakan adalah ia sempat diprotes pelanggan karena cat kancing
buatannya luntur.
Baginya, protes apa pun dari pelanggan adalah
teguran berharga agar produknya bisa lebih baik di
kemudian hari, la sadar tak mudah bersaing. Bahkan,
lanjutnya, tak mudah pula menentukan apakah
usahanya ini kerajinan kancing atau kancing kerajinan? Ia pun memiih
kancing kerajinan.
Ya, menurut Suparji,kerajinan kancing itu sama
saja dengan pembuat kancing. Sementara Suparji
merasa dirinya adalah pembuat kancing yang tidak
hanya sekadar kancing biasa.
Buktinya? Semua ukuran kancing buatannya tidak
ada yang sama, juga tidak bisa dilakukan dengan
mesin hanya agar proses produksinya lebih cepat.
Seluruh kancing adalah buatan tangan dan dibuat
satu per satu, mulai dari pemilihan bahan baku
pembentukan, pengecatan, hingga pelubangan kancing itu sendiri.
Semua itu tidak bisa dilakukan oleh mesin.
Itu sebabnya, pembuatan kancing Suparji hanya
berjumlah ratusan, bahkan untuk kancing yang rumit
bisa membutuhkan waktu sebulan. Berbeda dengan
kancing biasa yang berbentuk lingkaran dengan dua
lubang yang lazim ada. Itu bisa diproduksi puluhan
ribu buah dalam sehari.
Eksperimen bahan baku pun terus berlanjut. Berawal dari
batok kelapa yang terbuang alias sampah.
Suparji pun mengembangkan bahan bekas lainnya,
seperti tulang sapi, kulit kerang, dan kayu.
Cita-citanya, produksi buatannya semua ramah lingkungan.
“Namun, apa boleh buat. Beberapa pelanggan masih menginginkan bahan baku dari getah damar yang dijadikan aneka macam bentuk dan warna,” kata
Suparji.
Satu hal yang masih sulit Suparji dan putri sulungnya lakukan
adalah menghitung jumlah desain
yang mereka miliki. Hal ini disebabkan seluruh kancing buatan mereka
ditempatkan dalam sebuah stopies. Tak jarang, sejumlah orang yang tak
membaca toko ini menjual berbagai kancing kerajinan mengira
toko ini sebagai toko permen.
Harga satu kancing beragam, mulal Rp 2.000
hingga puluhan ribu rupiah. Ukurannya pun beragam, dari yang terkecil
sebesar kuku jari jempol orang dewasa hingga ada yang sebesar tutup gelas
dengan berbagai bentuk, dan lingkaran sampai bentuk jamur, mobil,pesawat,
dan lain-lain. Seru!
Saat ini ia tengah merintis inovasi baru bersama
putri pertamanya itu. Menurut Suparji, bisnis semakin memanas dari hari
kehari. Jika iä tidak
memvariasi produknya, bisa saja ia ditinggalkan pelanggannya. “Karena ini
barang seni, jadi sebisa mungkin setiap hari perlu ada inovasi dan kreasi,
tentu dengan hati dan niat bersih. Jika berusaha,
pasti bisa!” ujar Suparji.
OLEH: AYU SULISTYOWATI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 9 Juli 2011
Suherman, Dulu Sendirian di Awal Usaha Ukiran Kayu Ulin, Kini Punya Puluhan Karyawan
Suherman (53) dikenal sebagai perajin kayu andal di
Balikpapan, tepatnya pakar ukir kayu ulin dengan
motif Dayak. Pelanggannya dari kalangan pejabat,
pemerintah daerah, perkantoran, hingga perhotelan.
Namun, yang unik, dia sebenarnya bukan orang asli
Dayak, melainkan wong Tulungagung, Jawa Timur.
“Namun, saya menyukai desain-desain Dayak.
Begitu melihat, langsung suka dan bisa membuatnya. Bakat mungkin,
hehehe,” ujar Suherman kala mengawali obrolan bersama
Kompas, Senin (11/4), di ruang pamernya, Jalan Soekarno-Hatta, Gunung
Samarinda, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Beberapa karyawan di ruang pamer dari CV Borneo Picaso
Mandiri ini tengah mengerjakan tiga gelondong kayu ulin
masing-masing sepanjang 7,5 meter dan berdiameter 45 cm.
Motif-motif Dayak sudah separuh disematkan ke tubuh
kayu asli Kalimantan berusia puluhan tahun yang acap disebut kayu besi
tersebut (karena tahan air).
“Saya dapat pesanan 36 gelondongan seperti ini untuk
diukir motif Dayak. Pesanan ini untuk sebuah hotel di Bali
yang segera dibuka. Selain ulin untuk tiang ini, hotel itu juga
pesan ratusan lain, seperti untuk nomor kamar,” kata Suherman.
Suherman juga menunjukkan setumpuk kayu ulin pesanan sejumlah
pejabat yang belum tergarap. Si pemesan
mau bersabar menunggu.
Bukankah kayu ulin termasuk dilindungi karena sudah
hampir habis populasinya sehingga ulin sebesar itu harus
dilengkapi izin gubernur? Suherman mengiyakan. “Kalau
enggak ada izinnya, ya, enggak berani. Nanti Anda malah wawancara saya di
rutan, Mas,” ujarnya berkelakar.
Bukan hal mudah mendapat ulin saat sekarang karena, sejak
10 tahun silam, peredaran ulin dibatasi ketat. Banyak ulin ditebang dan
dijual secara ilegal. Otomatis, pasokan ulin pun tak
selancar sebelumnya. Surat-suratnya harus komplet Saking
langkanya ulin, harganya pun meroket, yakni Rp 5,5 juta per
meter persegi. Ulin tiga kali lebih mahal dari kayu jati.
Lelaki ini meyakini kemampuannya mengukir dan
memahat kayu—dan meniru motif apa saja yang dilihat adalah
anugerah dan bakat. Kedua orangtuanya petani tulen di
kampung halamannya, Tulungagung, Jawa Timur. Kalau,
toh, ditelusuri, bakat seni itu
berasal dan kakeknya yang bisa mendalang.
Sejak kecil ia suka menggambar apa saja, yang lalu
diaplikasikan ke kayu. Merasa bakatnya bakal tersalurkan di
kursi perguruan tinggi, Suherman mendaftar ke Akademi
Seni Rupa Indonesia seusai tamat dari STM Pembangunan
Bandung, Jawa Barat.
Tak lebih dari setahun, Suherman keluar dengan alasan
sederhana, yakni merasa kemampuannya kurang terasah
secara cepat. Ia semakin tak sempat kuliah karena pesanan
mulai berdatangan. Beranjak dari kebutuhan uang, kuliah
pun dia relakan walau sempat berangan-angan bisa tamat
Bukan pola bos-bawahan
Pengembaraan ke Balikpapan dimulai tahun 1975.
Suherman diminta membantu salah satu hotel. Tahun 1986,
dia membuka usaha mandiri. Dari mulut ke mulut, karyanya
mulai dikenal, terutama desain Dayak yang ditatahkan pada
ulin. Jika dulu sendiri, lantas punya 9 karyawan, sekarang
dia memiiki 25 karyawan.
Walau demikian, dia tak
Mau menerapkan pola bos-bawahan kepada karyawannya
sehingga komunikasi dan kedekatan terus dilakukan. Setiap pesanan pun,
walau digarap para karyawan, tetap dipastikan tersentuh tangannya.
“Masa saya cuma duduk” ucapnya.
Berbagai penghargaan sudah disabetnya, seperti Sidhakarya (penghargaan
untuk produktivitas) tahun 2010. Juga Juara I Lomba Desain Produk
Kerajinan/Cenderamata se-Kaltim tiga tahun berturut-turut (2008-2010).
Ketiganya penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kaltim.
Bukan hal gampang mencapai sukses. Suami dan Sri Mugiwarti (43) dan ayah
tiga anak ini mengatakan, yang penting
perajin bisa memberi kepuasan kepada pelanggan, yakni tepat
waktu, rapi, dan indah pengerjaan, plus keramahan. Syarat
klasik, tetapi sulit.
Untuk urusan tepat waktu
dan kepuasan pelanggan, tak ada kompromi bagi Suherman.
“Begitu perajin molor, separuh kepercayaan pelanggan hi1ang.
Jadi, kalau bisa, selesal tepat waktu. Kalau bisa sebelum batasan waktu,
itu lebih istimewa,” tuturnya.
Dalam sebulan, Suherman
butuh setidaknya Rp 150 juta untuk belanja kayu. Sejauh ini
produknya telah tersebar di banyak daerah, terutama Jawa
dan Bali. Ia belum berpikir ekspor ke luar negeri karena
sudah kewalahan memenuhi permintaan dalam negeri.
Suherman memang unik karena, walau orang Jawa, sebagian hatinya sudah
tertambat ke motif Dayak. Ia pun ikut prihatin atas kayu ulin
yang kian langka. “Walau bisa saja menggambar motif Dayak
di kayu lain, tetapi aslinya, kan, di ulin,” ujarnya.
OLEH: LUKAS ADI PRASETYA
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 20 Agustus 2011
Balikpapan, tepatnya pakar ukir kayu ulin dengan
motif Dayak. Pelanggannya dari kalangan pejabat,
pemerintah daerah, perkantoran, hingga perhotelan.
Namun, yang unik, dia sebenarnya bukan orang asli
Dayak, melainkan wong Tulungagung, Jawa Timur.
“Namun, saya menyukai desain-desain Dayak.
Begitu melihat, langsung suka dan bisa membuatnya. Bakat mungkin,
hehehe,” ujar Suherman kala mengawali obrolan bersama
Kompas, Senin (11/4), di ruang pamernya, Jalan Soekarno-Hatta, Gunung
Samarinda, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Beberapa karyawan di ruang pamer dari CV Borneo Picaso
Mandiri ini tengah mengerjakan tiga gelondong kayu ulin
masing-masing sepanjang 7,5 meter dan berdiameter 45 cm.
Motif-motif Dayak sudah separuh disematkan ke tubuh
kayu asli Kalimantan berusia puluhan tahun yang acap disebut kayu besi
tersebut (karena tahan air).
“Saya dapat pesanan 36 gelondongan seperti ini untuk
diukir motif Dayak. Pesanan ini untuk sebuah hotel di Bali
yang segera dibuka. Selain ulin untuk tiang ini, hotel itu juga
pesan ratusan lain, seperti untuk nomor kamar,” kata Suherman.
Suherman juga menunjukkan setumpuk kayu ulin pesanan sejumlah
pejabat yang belum tergarap. Si pemesan
mau bersabar menunggu.
Bukankah kayu ulin termasuk dilindungi karena sudah
hampir habis populasinya sehingga ulin sebesar itu harus
dilengkapi izin gubernur? Suherman mengiyakan. “Kalau
enggak ada izinnya, ya, enggak berani. Nanti Anda malah wawancara saya di
rutan, Mas,” ujarnya berkelakar.
Bukan hal mudah mendapat ulin saat sekarang karena, sejak
10 tahun silam, peredaran ulin dibatasi ketat. Banyak ulin ditebang dan
dijual secara ilegal. Otomatis, pasokan ulin pun tak
selancar sebelumnya. Surat-suratnya harus komplet Saking
langkanya ulin, harganya pun meroket, yakni Rp 5,5 juta per
meter persegi. Ulin tiga kali lebih mahal dari kayu jati.
Lelaki ini meyakini kemampuannya mengukir dan
memahat kayu—dan meniru motif apa saja yang dilihat adalah
anugerah dan bakat. Kedua orangtuanya petani tulen di
kampung halamannya, Tulungagung, Jawa Timur. Kalau,
toh, ditelusuri, bakat seni itu
berasal dan kakeknya yang bisa mendalang.
Sejak kecil ia suka menggambar apa saja, yang lalu
diaplikasikan ke kayu. Merasa bakatnya bakal tersalurkan di
kursi perguruan tinggi, Suherman mendaftar ke Akademi
Seni Rupa Indonesia seusai tamat dari STM Pembangunan
Bandung, Jawa Barat.
Tak lebih dari setahun, Suherman keluar dengan alasan
sederhana, yakni merasa kemampuannya kurang terasah
secara cepat. Ia semakin tak sempat kuliah karena pesanan
mulai berdatangan. Beranjak dari kebutuhan uang, kuliah
pun dia relakan walau sempat berangan-angan bisa tamat
Bukan pola bos-bawahan
Pengembaraan ke Balikpapan dimulai tahun 1975.
Suherman diminta membantu salah satu hotel. Tahun 1986,
dia membuka usaha mandiri. Dari mulut ke mulut, karyanya
mulai dikenal, terutama desain Dayak yang ditatahkan pada
ulin. Jika dulu sendiri, lantas punya 9 karyawan, sekarang
dia memiiki 25 karyawan.
Walau demikian, dia tak
Mau menerapkan pola bos-bawahan kepada karyawannya
sehingga komunikasi dan kedekatan terus dilakukan. Setiap pesanan pun,
walau digarap para karyawan, tetap dipastikan tersentuh tangannya.
“Masa saya cuma duduk” ucapnya.
Berbagai penghargaan sudah disabetnya, seperti Sidhakarya (penghargaan
untuk produktivitas) tahun 2010. Juga Juara I Lomba Desain Produk
Kerajinan/Cenderamata se-Kaltim tiga tahun berturut-turut (2008-2010).
Ketiganya penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kaltim.
Bukan hal gampang mencapai sukses. Suami dan Sri Mugiwarti (43) dan ayah
tiga anak ini mengatakan, yang penting
perajin bisa memberi kepuasan kepada pelanggan, yakni tepat
waktu, rapi, dan indah pengerjaan, plus keramahan. Syarat
klasik, tetapi sulit.
Untuk urusan tepat waktu
dan kepuasan pelanggan, tak ada kompromi bagi Suherman.
“Begitu perajin molor, separuh kepercayaan pelanggan hi1ang.
Jadi, kalau bisa, selesal tepat waktu. Kalau bisa sebelum batasan waktu,
itu lebih istimewa,” tuturnya.
Dalam sebulan, Suherman
butuh setidaknya Rp 150 juta untuk belanja kayu. Sejauh ini
produknya telah tersebar di banyak daerah, terutama Jawa
dan Bali. Ia belum berpikir ekspor ke luar negeri karena
sudah kewalahan memenuhi permintaan dalam negeri.
Suherman memang unik karena, walau orang Jawa, sebagian hatinya sudah
tertambat ke motif Dayak. Ia pun ikut prihatin atas kayu ulin
yang kian langka. “Walau bisa saja menggambar motif Dayak
di kayu lain, tetapi aslinya, kan, di ulin,” ujarnya.
OLEH: LUKAS ADI PRASETYA
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 20 Agustus 2011
Bob Dimas, Bermodal 50 Rb, Kini Omzetnya Puluhan Juta per Hari Lewat Keripik Singkong
Keripik singkong adalah makanan rakyat yang biasa ditemukan di pinggir jalan yang dijual secara sederhana. Namun, di tangan Dimas Ginanjar Merdeka (26), keripik singkong disulap menjadi makanan yang bergengsi dan bemilal tinggi, persis seperti sentuhan Midas yang membuat semuanya menjadi emas, bernilal tinggi. Dimas-lah yang pertama kali memperkenalkan produk keripik singkong pedas bernama Maicih yang dijual melalui jejaring sosial Twitter. Mengawali usahanya dengan modal Rp 50.000, kini dia mengelola usaha dengan omzet nyaris Rp 16 juta per hari. Maicih dengan produksi harian sampai 5.000 bungkus menjadi merek utama dalam makanan pedas yang dibuntuti oleh para kompetitornya. “Keripik singkong adalah camilan kegemaran saya,” ujar Dimas menceritakan ketertarikannya untuk berbisnis keripik singkong pedas. Salah satu ciri khas yang dimiiiki Maicih adalah tingkatan (level) dari rasa pedas pada keripiknya, yakni paling rendah tingkat 3 dan paling pedas adalah tingkat 10, dan dijual dengan harga eceran Rp 13.000 hingga Rp 15.000 di Bandung, Jawa Barat. Dia mengatakan, membuat sekeping keripik singkong terasa enak di nikmati. Bukan cuma soal rasa pedas saja, melainkan juga rasa gurih. Banyak penjual keripik singkong pedas terjebak bersaing di rasa pedas malah keripik singkongnya tidak lagi terasa. Dia mengolah produknya menggunakan cabal giling, bukan bubuk cabai, ditambah rempah-rempah yang diracik khusus agar rasanya tetap gurih. Setelah besar, Maicih menjadi merek yang memiliki misi mengangkat kebudayaan Jawa Barat. Baru-baru ini Maicih menjadi sponsor tunggal konser musik grup Bottle Smoker di Bandung, suatu hal yang langka terjadi saat konser banyak didominasi rokok ataupun provider telekomunikasi. Dimas beralasan, Bottle Smoker dipilih karena menjadi band yang sudah melanglang buana di kancah internasional, tapi belum pernah menggelar konser di kampung halamannya di Bandung. Maicih juga beberapa kali menjadi sponsor untuk konser biduanita Sarasvati, di luar Bandung, sembari promosi produk. Maicih yang memiliki logo gambar perempuan tua itu juga memiliki program “1 coin 1 leaf” yang berarti setiap pembelian satu bungkus Maicih akan menyisihkan Rp loo untuk tujuan sosial. Dimulai sejak dua bulan, program ini juga sudah menghasilkan dana Rp 16 juta yang disumbangkan untuk pelestarian Gunung Manglayang, Sungai Cikapundung, dan rencananya akan disalurkan untuk anak yatim. Distribusi keripik singkong pedas serta tujuh varian produknya tidak terbatas di Bandung saja. Saat ini keripik singkong Maicih sudah bisa didapatkan di Yogyakarta, Surabaya (Jawa Timur), hingga Medan (Sumatera Utara). Twitter Salah satu hal yang diingat dari Maicih adalah jejaring sosial Twitter. Melalui situs microblogging inilah Dimas pertama kali memasarkan produknya, tahun 2010. Tidak ada jurus tertentu, murni coba-coba. Keterbatasan modal membuat produk tersebut dijual di mobil yang berkeliling di beberapa titik di Kota Bandung. Lokasi keberadaan mobil penjaja keripiknya itu dia informasikan melalui Twitter. Pasalnyá, saat pertama kali dipasarkan, tidak ada satu kafe pun yang bersedia meminjamkan tempatnya untuk berjualan keripik singkong pedas. Dimas mengawali pemasaran dengan memperkenalkan Maicih, tokoh fiksi yang membuat keripik singkong pedas. Dia sengaja menampilkan tokoh orang tua untuk menghadirkan relasi yang dekat dan hangat dengan konsumen, layaknya keluarga sendiri. Pendekatan viral marketing yang ditempuh Dimas ternyata berhasil dan merengkuh hasil yang tidak diduga. Konsumen kian tertarik berburu produk Maicih dan menganggapnya sebagal sebuah permainan. Menunggu informasi lokasi penjualan dan mengejarnya meski sebagian harus gigit jari karena kehabisan. Dimas menuturkan, produksi keripik singkong Maicih memang belum mampu memenuhi permintaan konsumen, hanya seperempatnya “Kelangkaan itu membuat konsumen semakin berebut mencari produk keripik singkong” katanya. Mengawali usaha pada Juil 2010, Dimas menjual 100 bungkus per hari dan kini sudah melonjak menjadi 5.000 bungkus per hari. Konsumen juga kerap menunjukkan fanatismenya terhadap Maicih. Dimas mengisahkan, acara peluncuran Maicih di Yogyakarta ternyata didatangi pembeli dari Surabaya dan daerah lain. Ada pula konsumen dari Bandung yang khusus datang karena kehabisan di kotanya. Komunikasi Sadar bahwa tidak bisa bergantung pada Twitter seterusnya, Dimas pun serius menggarap identitas Maicih, mulai dengan mengganti logo usaha karena mulai banyak pesaing yang memasarkan keripik pedas dengan pendekatan serupa. Sebagai pembeda, dia juga mengemas ulang produknya dengan kemasan kertas sehingga lebih eksklusif serta melengkapinya dengan label Badan Pengawas Obat dan Makanan dan label halai dari Majelis Ulama Indonesia. “Semua tidak dilakukàn karena keharusan, melainkan tanggung jawab agar konsumen tenang mengonsumsi produk kita,” katanya. Salah satu nilai yang dia pegang erat adalah komunikasi dengan para konsumen untuk mendapatkan masukan balik. Dari sanalah Dimas juga memutuskan untuk menghentikan cara berjualan dengan berpindah-pindah setelah konsumen mulai sering kecewa karena tidak pernah kebagian. Saat ini, ada enam gerai yang menjual Maicih, belum termasuk jasa pengantaran produk. Begitu pula dengan pembuatan tingkatan untuk rasa pedas. Awalnya, Maicih memiliki tingkatan 1 hingga 10, tapi hal itu rupanya membuat konsumen sedikit kebingungan karena sulit membedakan antara tingkatan 1 dan 2 atau 5 dan 6. Akhirya, Dimas menyederhanakannya menjadi tingkat 3, 5, dan 10. Selain keripik singkong, Dimas — yang juga akrab disapa dengan nama Bob — memproduksi makaroni dengan beragam rasa pedas lainnya. Produk lainnya, gurilem alias kerupuk awur, salah satu makanan khas Tanah Pasundan, pun mendapat perlakuan serupa dengan rasa pedas berbagai level. Dia juga akan meluncurksm situs http://www.maicih.com yang menjadi sarana komunikasi bagi konsumen. Dengan membuka laman tersebut, Dimas berharap dapat mengetahul keinginan pelanggan dan memenuhinya. Yang pasti, begitu mengunyah keripik singkong Maicih, tidak lama kemudian mulut akan terasa panas karena kepedasan. Kapok? Justru semakin ketagihan. Inilah budaya makanan pedas yang kembali dihadirkan Dimas. DIMAS GINANJAR MERDEKA Lahir: 17 Agustus 1985. Pendidikan Terakhir: - Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Parahyangan Bandung OLEH: DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO Sumber: Harian Kompas Cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
Kategori:
Kuliner
Thursday, October 11, 2012
Bermodal Rp 500.000, Lukisan Pasir Faizan Dijual Hingga Rp 250 Juta
Jakarta - Terkadang industri kecil
dan menengah banyak dipandang
sebelah mata. Padahal, industri
kecil dan menengah (IKM) banyak
berkontribusi menggerakan roda
perekonomian dalam negeri.
Salah satunya IKM yang
berkembang adalah lukisan
kaligrafi dengan menggunakan
pasir pantai karya A Faizan
Z'Makhadatu.
Faizan memulai bisnisnya sejak 11
tahun silam. Tepatnya akhir 2001,
ia mendapatkan ide yang tak
pernah terpikirkan bahkan oleh
seniman manapun.
"Kita memang nyari ide, untuk
media pembuatannya apa yang
memang belum pernah ada dan
tertuang oleh seniman, kita coba
yang belum ada. Yaitu pakai
pasir," ungkap Faizan saat ditemui
detikFinance di acara Pameran
Industri Kreatif Yogyakarta di
Kementerian Perindustrian, Selasa
(9/10/12).
Faizan bukanlah seniman. Dia
hanya lulusan sebuah Institut
Keagamaan di Lampung. Namun,
bakatnya dalam melukis kaligrafi
pasir ini tak kalah dengan
seniman-seniman profesional lain.
Harga yang ditawarkan untuk satu
karya yang dibuat Faizan
bervariatif. Mukai dari Rp 250.000
hingga Rp 250 juta. Sangat
mencengangkan untuk sebuah
industri kecil dan menengah,
terlebih untuk satu karyanya
modal yang disiapkan tak lebih
dari Rp 1 juta.
"Bahan bakunya pasir pantai,
kayu, triplek dan lem saja. Saya
dapat bahan baku dari Lampung,
Jogja, Jateng, semua dalam negeri.
Murah kok, nggak sampai Rp
1.000.000, paling hanya Rp
500.000," ucapnya.
Kenapa harga lukisan pasir ini
bervariasi? Faizan mengaku
patokan harga didasari tingkat
kesulitan, ukuran, dan pesan yang
disampaikan oleh lukisan tersebut.
Contohnya, untuk lukisan kaligrafi
"Surat Yassin" ia banderol Rp 250
juta. Pengerjaan lukisan ini pun
hampir satu bulan. Menurutnya
tingkat kesulitan untuk membuat
lukisan ini sangat tinggi.
"Hurufnya kecil-kecil. Saya
buatnya kalau salah ya ganti lagi.
Itu semua Surat Yassin, full,"
katanya.
"Ada juga Asmaul Husna. Saya jual
Rp 99 juta, sesuai dengan
pesannya. Istri saya nyuruh itu
nggak boleh dijual dibawah Rp 99
juta. Harus segitu," imbuhnya.
Uniknya, Faizan mengerjakan
karyanya seorang diri. Lukisan ini
lebih banyak diburu oleh kalangan
kolektor atau konsumen dalam
negeri.
"Kalau ekspor kita nggak khusus
secara langsung diekspor. Paling
ada yang datang perseorangan, di
pameran ataupun ke workshop.
Banyaknya dari Malaysia, Libya
juga," paparnya.
Dalam 1 bulan, dia mengaku
setidaknya ada dua hingga lima
karya Lukisan Pasirnya terjual.
Rata-rata penikmat karya Faizan
membeli karyanya yang berharga
di bawah Rp 10 juta.
"Rata-rata pendapatan Rp 5 juta-
Rp 10 juta masuk. Kadang lebih.
Yang rata-rata di bawah Rp 10 juta
yang banyak kejual ," katanya.
Untuk membeli atau sekedar
melihat karya ini, bisa datang ke
Showroom-nya di Thamrin City,
lantai 3, Jakarta atau Gallery
Faizan di Purwomertani, Kalasan
Sleman, Yogyakarta.
Khusus pada tanggal 9-12
Oktober, karya lukisan
masterpiece ini bisa ditemui di
Pameran Industri Kementerian
Perindustrian, Jalan Gatot Subroto,
Jakarta, atau bisa menghubungi
nomor telepon: 081272045673
( Zulfi Suhendra )
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/10/10/123836/2059149/480/bermodal-rp-500000-lukisan-pasir-ini-dijual-hingga-rp-250-juta
dan menengah banyak dipandang
sebelah mata. Padahal, industri
kecil dan menengah (IKM) banyak
berkontribusi menggerakan roda
perekonomian dalam negeri.
Salah satunya IKM yang
berkembang adalah lukisan
kaligrafi dengan menggunakan
pasir pantai karya A Faizan
Z'Makhadatu.
Faizan memulai bisnisnya sejak 11
tahun silam. Tepatnya akhir 2001,
ia mendapatkan ide yang tak
pernah terpikirkan bahkan oleh
seniman manapun.
"Kita memang nyari ide, untuk
media pembuatannya apa yang
memang belum pernah ada dan
tertuang oleh seniman, kita coba
yang belum ada. Yaitu pakai
pasir," ungkap Faizan saat ditemui
detikFinance di acara Pameran
Industri Kreatif Yogyakarta di
Kementerian Perindustrian, Selasa
(9/10/12).
Faizan bukanlah seniman. Dia
hanya lulusan sebuah Institut
Keagamaan di Lampung. Namun,
bakatnya dalam melukis kaligrafi
pasir ini tak kalah dengan
seniman-seniman profesional lain.
Harga yang ditawarkan untuk satu
karya yang dibuat Faizan
bervariatif. Mukai dari Rp 250.000
hingga Rp 250 juta. Sangat
mencengangkan untuk sebuah
industri kecil dan menengah,
terlebih untuk satu karyanya
modal yang disiapkan tak lebih
dari Rp 1 juta.
"Bahan bakunya pasir pantai,
kayu, triplek dan lem saja. Saya
dapat bahan baku dari Lampung,
Jogja, Jateng, semua dalam negeri.
Murah kok, nggak sampai Rp
1.000.000, paling hanya Rp
500.000," ucapnya.
Kenapa harga lukisan pasir ini
bervariasi? Faizan mengaku
patokan harga didasari tingkat
kesulitan, ukuran, dan pesan yang
disampaikan oleh lukisan tersebut.
Contohnya, untuk lukisan kaligrafi
"Surat Yassin" ia banderol Rp 250
juta. Pengerjaan lukisan ini pun
hampir satu bulan. Menurutnya
tingkat kesulitan untuk membuat
lukisan ini sangat tinggi.
"Hurufnya kecil-kecil. Saya
buatnya kalau salah ya ganti lagi.
Itu semua Surat Yassin, full,"
katanya.
"Ada juga Asmaul Husna. Saya jual
Rp 99 juta, sesuai dengan
pesannya. Istri saya nyuruh itu
nggak boleh dijual dibawah Rp 99
juta. Harus segitu," imbuhnya.
Uniknya, Faizan mengerjakan
karyanya seorang diri. Lukisan ini
lebih banyak diburu oleh kalangan
kolektor atau konsumen dalam
negeri.
"Kalau ekspor kita nggak khusus
secara langsung diekspor. Paling
ada yang datang perseorangan, di
pameran ataupun ke workshop.
Banyaknya dari Malaysia, Libya
juga," paparnya.
Dalam 1 bulan, dia mengaku
setidaknya ada dua hingga lima
karya Lukisan Pasirnya terjual.
Rata-rata penikmat karya Faizan
membeli karyanya yang berharga
di bawah Rp 10 juta.
"Rata-rata pendapatan Rp 5 juta-
Rp 10 juta masuk. Kadang lebih.
Yang rata-rata di bawah Rp 10 juta
yang banyak kejual ," katanya.
Untuk membeli atau sekedar
melihat karya ini, bisa datang ke
Showroom-nya di Thamrin City,
lantai 3, Jakarta atau Gallery
Faizan di Purwomertani, Kalasan
Sleman, Yogyakarta.
Khusus pada tanggal 9-12
Oktober, karya lukisan
masterpiece ini bisa ditemui di
Pameran Industri Kementerian
Perindustrian, Jalan Gatot Subroto,
Jakarta, atau bisa menghubungi
nomor telepon: 081272045673
( Zulfi Suhendra )
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/10/10/123836/2059149/480/bermodal-rp-500000-lukisan-pasir-ini-dijual-hingga-rp-250-juta
Subscribe to:
Posts (Atom)