Thursday, January 31, 2013

Sriwahyuni, Mulai Merintis Usaha Sejak Masih Mahasiswi, Kini Keripik Bawang-nya Hasilkan Laba Puluhan Juta

Jakarta - Siapa yang menyangka,
kalau bawang merah bisa jadi
produk makanan keripik dan
menghasilkan keuntungan puluhan
juta rupiah.

Adalah Sriwahyuni
mampu membuktikannya, dengan
bermodal kesungguhan dan
keberanian, ia bisa menciptakan
Bawang Berani Rumbia. Merek ini
mewakili keripik bawang, bawang
goreng dan bawang mentah.

"Ingat perkataan orang tua saya
dulu, ketika kamu mau berhasil,
dan tidak mau melakukan apapun,
maka kamu akan gagal. Tapi ketika
kamu mau berani, berusaha dan
melewatinya maka berhasil bisa
jadi kenyataan. Berani itu saya
coba terus dan membuat saya
percaya diri," tuturnya kepada
detikFinance akhir pekan lalu.
Ia bercerita, usahanya dimulai
ketika masa kuliahnya akan
berakhir di Universitas Negeri
Makasar (UNM) akhir tahun 2011.

Dengan modal Rp 6 juta, Sri
kembali ke kampung halaman di
Jenepontoh, Sulawesi Selatan
untuk menggarap 1 hektar lahan
yang dimiliki orang tuanya.
"Awalnya program wirausaha
mahasiswa yang memerikan modal
buat saya Rp 6 juta," ucapnya.

Lulusan Ilmu Pendidikan PPKN
tersebut memilih bawang merah
untuk ditanam pada lahan
tersebut. Alasannya, komoditas ini
bisa lebih tahan lama
dibandingkan dengan jenis lainnya
yang cepat busuk.
"Jadi kalau bawang merah
harganya turun, kan bisa disimpan
dulu, beda sama cabe atau
sayuran lainnya," cetusnya.

Satu kali budidaya yang memakan
waktu 3-4 bulan, Sri mengaku
gagal. Ia bingung, bagaimana cara
mengolah dan mendapatkan
untung besar. Apalagi dengan
peralatan yang sedikit.
"Saya lihat, di daerah sana
makanan favoritnya adalah coto
kuda. Jadi saya pikir untuk
membuat bawang goreng beraneka
rasa, dan ternyata banyak
peminatnya," ujar wanita
berzodiak Taurus ini.

Selanjutnya Sri mulai menemukan
titik terang, kegigihannya
menghasilkan panen bawang
merah mencapai 3.000 Kg. Alhasil,
selain bawang mentah dan bawang
goreng, ia juga mengolah keripik
bawang dengan adonan berbeda
dari biasanya dan dijual dengan
harga Rp 15.000/bungkus.

"Keripik bawang rasanya beragam
ada 7 rasa, ekstra campur,
barbeque, keju, balado, jagung
bakar,coklat, pizza," terangnya.
Secara total, 4 kali budidaya Sri
telah mengantongi omset yang
tidak sedikit. Meski fluktuatif,
namun mampu meraup untung Rp
16 juta sampai Rp 20 juta per 4
bulan.

Wanita berusia 21 tahun ini
mengaku bahagia dengan hasil
usaha tersebut. Ia merasa cocok
dengan profesi sebagai pengusaha
dibandingkan harus menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun
karyawan perusahaan.
"Saya senang ngajar anak-anak
tapi nggak suka terikat. Saya lebih
kreatif dengan kondisi pengusaha,"
jawabnya.

Keripik bawang adalah produk
yang akan menjadi andalan Sri. Ia
menargetkan tahun ini akan
memasuki pasar moderen untuk
memperlebar kosumennya.
Sementara untuk bawang mentah,
ekspor keluar kota terus akan ia
maksimalkan.

"Bawang merah mentah itu sudah
ke Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Kalimantan. Kalau Keripik
bawang, masih baru tahap
pemasaran," ujarnya.( Maikel Jefriando )

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2013/01/21/102710/2147992/480/wanita-ini-jadi-pengusaha-keripik-bawang-gara-gara-ikuti-wejangan-orang-tua

Dedih, Bermula dari 20 Ekor Indukan Kelinci, Kini Hasilkan 400 Kelinci Hias per Bulan dengan Omzet Puluhan Juta

Jakarta - Berternak bagi sebagian
orang mungkin suatu hal yang
merepotkan dan sering dipandang
tidak menjanjikan sebagai peluang
bisnis yang menguntungkan.

Padahal apabila jeli, lewat
berternak banyak orang yang
sukses dibisnis ini.
Yang menjadi masalahnya adalah
sejauh mana kita memanfaatkan
peluang atau bidang hewan apa
yang kita akan geluti untuk
dikembangbiakan.

Nah, ini ada kisah pengalaman
Dedih pemilik Rabbit Collection
yang sudah 10 tahun lalu
menggeluti bisnis ternak kelinci.
Hasilnya cukup lumayan.
Bermula dari lahan seluas 200
meter persegi dipekarangan
rumahnya kawasan Cianjur,
Puncak. Ia memberanikan diri
untuk membeli 20 ekor kelinci
indukan sebagai modal awal
usahanya.

Sekarang ini, dari 20 ekor indukan
kelinci itu sudah dihasilkan ribuan
ekor kelinci yang telah dijualnya
dan menghasilan jutaan rupiah
yang masuk ke kantongnya.
"Dulu saya memulainya dari 20
indukan, dari 10 induk kelinci
jantannya cuma 2, terus
berkembang sampai sekarang,"
ujar Dedih.

Dedih menambahkan sekarang ini
setidaknya setiap bulan, ia mampu
menghasilkan 300 sampai 400
kelinci yang dijual ke berbagai
kota di Indonesia terutama di
wilayah Jawa Barat dan sekitarnya
seperti Indramayu, Cikarang,
Cirebon dan lain-lain.

Kelinci yang dikembangkan oleh
Dedih bukan sembarang kelinci.
Tetapi kelinci-kelinci hias yang
memiliki daya jual yang tinggi,
meskipun ia juga mengembangkan
kelinci pedaging khususnya kelinci
lokal.
Yang menyenangkan dari beternak
kelinci, tingkat produktifitas dari
setiap indukan sangat tinggi.

Dalam 1 sampai 2 bulan setiap
indukan akan bisa hamil kembali
dengan jumlah anak kelinci setiap
kelahirannya mencapai 1 lusin
lebih. Dalam usia 2,5 bulan
kelinci-kelinci sudah siap dijual
kepasaran.
"Kawin dalam sebulan bisa terjadi,
keluar dari masing indukan paling
banyak 13 sampai 14 ekor, paling
jelek 5 atau 6 ekor," ujar Aditya
Eka Yulian salah seorang rekan
Dedih.

Harga kelinci hias yang Dedih jual
bervarasi. Kelinci Anggora yang
harga termurahnya Rp 100.000,
kelinci Giant harga termurah Rp
150.000, kelinci Rax Rp 250.000,
kelinci Fuzilup Rp 300.000 dan
kelinci lokal yang hanya 50.000.
Dedih mengaku omset usaha
ternak kelincinya bisa mencapai
Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per
bulan. Dengan memiliki 4
karyawan yang setia
membantunya, ia berhasil menjadi
wirausahawan yang mampu
menciptakan lapangan kerja bagi
orang lain.
Untuk memulai bisnis ini, menurut
Dedih tidaklah susah. Yang penting
adalah ketelatenan dari peternak,
selain itu juga jangan lupa untuk
terus menimba wawasan mengenai
kelinci terutama dalam hal
persilangan spesies kelinci.

Dedih merinci, dengan bermodal
20 ekor kelinci indukan, yang
harga per ekornya mencapai Rp
500.000 sampai Rp 700.000 per
ekornya, ia sudah bisa memulai
bisnis ini. "Memilih indukan yang
baik itu sangat penting," pesannya.

Namun jangan lupa, untuk
investasi ini juga harus
menyiapkan lahan dan kandang
yang cukup sebagai
tempat untuk berternak. Untuk
kandang bisa membuat kandang
yang sederhana yang terbuat dari
kayu dengan sirkulasi yang cukup
dan luas penampang yang
memadai.

Dengan modal kira-kira Rp 15 juta
untuk indukan dan kandang
sebenarnya sudah bisa memulai
bisnis ini. Sedangkan untuk urusan
pakan tidak harus pusing-pusing
karena dengan rumput-rumput
layu sudah bisa membuat kenyang
para kelinci.

Bagi yang tinggal diperkotaan
tidak perlu khawatir, Anda bisa
memanfaatkan sisa-sisa sayuran
dipasar seperti daun jagung bisa
menjadi pilihan pakan yang
digemari kelinci.

"Ternak kelinci biasanya
terkendala dengan angin dan
hujan, kelinci-kelinci bisa
kembung. Enggak usah diberi
makanan yang masih segar, justru
yang harus layu kalau seger
mencret," timpal Aditya.

Dikatakan Aditya, untuk merawat
kelinci tidak rumit, yang penting
kebersihan kandang menjadi
nomor satu. Mengingat kelinci
sangat rentan dengan penyakit-
penyakit yang disebabkan
lingkungan yang kotor.

"Kebersihan kandang utama,
sehari sekali harus dibersihkan,
penyakit yang paling sering
menyerang hanya korengan, itu
kalau kandangnya tidak bersih,"
jelas Aditya.

Dedih dan Aditya mengatakan
bahwa prospek pasar kelinci di
Indonesia cukup bagus. Terlebih
lagi, sekarang ini hampir semua
usia dari anak-anak hingga orang
dewasa menggemari kelinci
termasuk kelinci hias.

Bagi yang mengembangkan kelinci
lokal untuk pedaging, tidak
masalah sebab sekarang ini
permintaan kelinci lokal dari
restauran-restauran cukup tinggi
terutama untuk sate kelinci.( Suhendra)

Tertarik untuk menggeluti ternak
hewan imut-imut ini, silakan
hubungi:
Dedih dan Aditya Eka Yulian
Rabbit Collection
Jl. Pasir Kampung Sukatani, Pacet
Cianjur Jawa Barat
HP 085624687993

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/19/114339/990703/480/

Hery dan Retno, Pasutri Kreatif yang Mengubah Limbah Kayu Menjadi Bisnis Kerajinan Beromzet Puluhan Juta Rupiah

Jakarta - Sepak terjang pasangan
suami istri (Pasutri) asal Malang,
Hery dan Retno patut menjadi
inspirasi bagi pasangan lainnya.
Pasutri ini sukses menjalankan
bisnis, pengolahan sampah kayu,
mungkin bagi banyak orang benda
tersebut tak bernilai.

Hery dan Retno merupakan pasutri
asal Malang, Jawa Timur yang
mampu memaksimalkan bahan
kayu bekas pabrik mebel dan
furnitur yang tidak terpakai
menjadi desain-desain hiasan kayu
yang unik seperti tempat pensil,
tempat gulungan tisu, boneka kayu
dan gantungan baju. Namun
proses keduanya menjadi
pengusaha dengan omset Rp 30-50
juta/bulan, dilewati dengan kerja
keras.

"Saya memulai bisnis ini tahun
1992 dimulai dari limbah pabrik
kayu perusahaan mebel yang tidak
terpakai. Kemudian kita desain dan
kita pasarkan," ungkap Retno
kepada detikFinance di JCC
Senayan Jakarta, Kamis
(13/12/2012).

Retno menuturkankan ketika
memulai bisnisnya pertama kali,
tidak membutuhkan modal.
Awalnya usahanya pun masih
belum berkembang karena
ketidaktahuan mereka pada produk
kayu yang disukai masyarakat.

"Saya nggak modal karena pakai
limbah pabrik itu dan pengerjaan
kita menggunakan gergaji pabrik di
Malang. Dahulu kita masih
melihat-lihat dan laku di pasaran
tidak. acara pertama Expo
pembangunan di Malang kita
pamerkan produk kita. Dari acara
itu kita mendapat masukan bentuk
produk yang laku dan bermanfaat
dipasaran. Tahun 1992 omset
masih Rp 100.000 itupun jika ada
acara saja," tuturnya.
Dari pengalaman itu, Hery dan
Retno kemudian mengubah desain
pada produk kayu yang dibuatnya.

Tahun 1995, mereka
menambahkan desain buah-
buahan seperti strawberry dan
terus menambah desain pada
tahun yang sama. Selain itu
perluasan pasar kembali dilakukan
walaupun belum masih lingkup
Kota Malang Jawa Timur.

"Lama-lama kita tahu pasarnya,
kemudian kita beli kayu
gelondongan jenis Pinus atas izin
Perhutani dan hasil produksinya
saya titipkan ke toko-toko dan
koperasi. Tahun 1995 kita
memberikan motif strawberry dan
tahun berikutnya kita terus
menambah model," imbuhnya.
Masa puncak bisnisnya terjadi
pada tahun 2003, produk Hery
dan Retno dilirik pasar Malaysia
dan Jamaika. Akhirnya inilah
pengalaman mereka untuk
melakukan ekspor dan hasilnya
negatif. Menurutnya tidak ada
kesepakatan harga dan penipuan
yang dilakukan eksportir membuat
mereka menghentikan ekspor
produknya ke Jamaika dan
Malaysia.

"Tahun 2003 kita merambah pasar
internasional yaitu Jamaika dan
Malaysia ada order sekitar Rp 25
juta dari Jamaika dan Kuala
Lumpur Rp 25 juta. Setelah itu
tidak ada kesepakatan harga dan
kami berhenti. Selain itu saya juga
rugi imateril tenaga kerja. Saya
juga belum siap dan saya pernah
tertipu lewat eksportir di Bali
hingga kami harus menutupi
kekurangan yang ada," katanya.

Sejak saat itu, Heri dan Retno
lebih konsentrasi untuk merambah
pasar domestik. Hasilnya tidak sia-
sia. Saat ini keduanya mampu
meraup omset hingga Rp 30-50
juta per bulan. Harga juga
beragam mulai dari Rp 10.000
hingga jutaan rupiah. Produk yang
dijual seperti tempat pensil,
tempat gulungan tisu, boneka kayu
dan gantungan baju.
"Nggak mahal produk kami dari Rp
10.000 hingga jutaan rupiah itu
untuk desain khusus. Omset
pendapatan per bulan Rp 30 juta.
Musim pameran dan pernikahan
omset saya lebih dan bisa
mencapai Rp 50 juta. Januari nanti
sudah mulai banyak pemesanan.

Rumah saya di Gondosuli Malang
sering dijadikan tempat kunjungan.
Ini kayu pinus dari Malang dan
saya sudah tahu peluang ini baik
ke depan," tutupnya.

Tertarik mengikuti jejaknya ? atau
mau lebih tahu tentang produk
yang unik yang di produksi oleh
Hery dan Retno? Saat ini keduanya
tengah memamerkan produk
kayunya di JCC Senayan Jakarta
tepatnya di Hall B pada acara
CRAFINA 2012 hingga Minggu
(16/12/2012).( Wiji Nurhayat )

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/12/14/111909/2118464/480/

Yusi, Berawal dari Iseng, Wanita Pengusaha Muda Ini Kini Sukses Lewat Sepatu Kulit 'U-See'

Jakarta - Berbisnis tak melulu
harus terencana dengan sistematis.
Namun ada beberapa pengusaha
sukses menggeluti bisnisnya
berawal dari keisengan, misalnya
bisnis U-See Shoes and Bag, milik
Yusi.

Barang-barang yang terbuat dari
kulit, biasanya memang lebih awet
dari bahan lainnya. Terbukti, tas
atau sepatu berbahan dasar kulit
harganya jauh lebih mahal. Ada
harga, ada barang, begitu katanya.
"Sepatu-sepatu dan tas-tas saya
terbuat dari kulit sapi, kulit ular,
batik, kulit domba, kulit kambing,
pokoknya kulit ternak," kata si
pemilik toko, Yusi (38) kepada
detikFinance pekan lalu.

Menurut Yusi, barang-barang
buatannya itu memiliki kualitas
yang terjamin keawetannya
dibanding barang sejenis namun
imitasi. Sehingga tak heran, jika
harga yang dibanderol tergolong
mahal. "Sepatu kulit jauh lebih
awet dan nyaman. Beda kalau
imitasi," katanya.

Untuk satu pasang sepatu kulit,
Yusi membanderol Rp 350.000 -
Rp 2,5 juta. Sementara tas kulit,
dia mematok harga mulai dari Rp
600.000 - Rp 3 juta.
Yusi memang hobi menggambar,
kini Yusi bersama 11 orang
pegawainya bisa menjual sekitar
400 produk sebulan dengan omset
Rp 120 juta per bulannya.

"Awal-awal iseng beli selembar
kulit sapi, terus coba-coba
gambar. Mungkin karena latar
belakang keluarga saya perajin
sepatu di Solo. Jadi ya ketularan.
Dari hasil hambar itu saya minta
embahku cariin tukang buat
ngejahit. Pertama kali hanya
terjual 40 pasang sepatu sebulan.
Lama-lama rame," paparnya.

Untuk modalnya, Yusi
menghabiskan uang sekitar Rp 30 -
Rp 40 juta untuk sekali belanja.
"Itu bisa untuk 3 bulan lho (dalam
3 bulan ga belanja lagi). Selembar
kulit harganya Rp 1 juta dengan
hitungan Rp 35 ribu - Rp 85 ribu
per feet (1 feet= 28 cm). Kulit ular
itu disamak. Disamak pakai
campuran bahan kimia. Desain 80
persen sendiri, 20 persen
modifikasi. Produk jenis kulit print
sama kulit ular piton yang paling
mahal," terangnya.

Usaha yang telah digelutinya
hampir 2 tahun itu, bisa
didapatkan di pameran-pameran
fashion atau UKM. Rencananya,
tahun depan Yusi mencoba
peruntungan untuk ekspor barang-
barang buatannya ke luar negeri,
seperti Hongkong dan Australia.
Rencananya 14 - 17 Januari 2013,
tokonya akan mejeng di pameran
Hongkong World Designer
Boutique.

"Rencana Januari tahun depan
target ekspor. Sekarang sih sudah
dijual di Australia, nitip sama
temenku yang ada disana, kalau
ada order saya kirim. 14-17
Januari ada pameran di Hongkong
World Designer Boutique," kata
Yusi.( Dewi Rachmat Kusuma)

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/12/27/103633/2127641/480/berawal-dari-iseng-wanita-ini-sukses-jadi-pengusaha-sepatu-kulit

Ratna, Sukses 'Menyulap' Botol Bekas Menjadi Bisnis Botol Hias Beromzet Puluhan Juta

Bandung - Bagi banyak orang,
mungkin botol-botol bekas adalah
sampah yang tidak berguna.
Namun bagi Ratna Miranti botol
bekas adalah barang yang sangat
berarti.
Ia mampu mengubah barang itu
menjadi sesuatu yang amat
bernilai. Sebagai seorang perajin
lukisan di atas kaca, botol, gelas
dan barang yang terbuat dari kaca
lainnya.

Ratna mengawali karirnya sejak
tahun 2009, bisnisnya dimulai dari
sebuah kecelakaan. Ia sebelumnya
berprofesi sebagai perajin batik.
"Saya dulu suka membatik. Tapi
batik makin kesini makin banyak
dan makin ketat. Akhirnya saya
vakum 2 tahun karena mengurus
anak," tutur Ratna kepada
detikFinance di kediaman
sekaligus workshopnya di Jalan
Sangkuriang, Bandung, Jawa Barat,
Sabtu (24/11/12).

Ratna memutuskan untuk memulai
usahanya lagi. Namun, di pada
saat ingin membeli bahan baku cat
untuk batik, ia malah membeli cat
untuk kaca. Ia pun iseng-iseng,
mencoba melukis di atas kaca.
"Saya salah beli. Malah beli untuk
cat kaca. Tapi saya coba untuk
buat di botol, di gelas. Ternyata
temen-temen suka," tutur Sarjana
Desain Tekstil Institut Teknologi
Bandung ini.

Namun, kejadian itu tak serta
merta membuat dirinya percaya
diri untuk menumbuh kembangkan
usahanya menjadi besar. Pada saat
itu, Ratna masih menjual
produknya berdasarkan pesanan
konsumen.
"Saya bikin dulu, karena pada
dasarnya saya hobi melukis. Waktu
itu bertepatan sama Natal, jadi
banyak pesanan bernuansa Natal.
Pemasaran saya masih mulut ke
mulut, di blog, atau bawa ke
tempat ibu-ibu arisan," papar
Ratna.

Barulah pada tahun 2010, genap
setelah usahanya berusia 1 tahun,
dia mendapat kesempatan untuk
mengikuti pameran Inacraft di
Jakarta. Disitulah kesempatan
besar bagi Ratna untuk
memperkenalkan produknya.

Untuk mengembangkan usahanya
itu dia mendapatkan suntikan
modal dari PT Permodalan
Nasional Madani (PNM) melalui
programnya yaitu Unit Layanan
Mikro Madani sebesar Rp 50 juta.
"Untuk nambah modal. Biaya
bahan baku dan yang lain,"
ucapnya.

Sampai saat ini, omzet yang
didapat Ratna dengan produknya
yang dinamai 'Meerakatja' ini
mencapai Rp 30 juta/bulan.
Padahal sebelum menjadi besar,
dia hanya bisa meraup Rp 3-5 juta
per bulan.
"Awalnya omzet Rp 3 juta, paling
tinggi Rp 5 juta. Karena jualnya
juga perorangan. Modal awalnya
juga pertama Rp 500 ribu,"
katanya.

Untuk urusan bahan baku, Ratna
mengaku tak kesulitan. Ia pun
sering memesan botol-botol bekas
penjual jamu. Namun untuk
catnya, Ratna menggunakan cat
yang diimpor dari Jerman melalui
distributor langganannya.
Tak hanya melukis di atas botol,
Ratna pun menerima pesanan
untuk melukis interior rumah
berbahan baku kaca, kaca cermin,
vas bunga, gelas, tempat lampu,
guci dan lain sebagainya.
"Harganya dari Rp 25 ribu hingga
Rp 2,5 juta," ucapnya.

Produknya ini masih banyak
tersebar di wilayah Jakarta dan
Bandung. Beberapa produknya pun
telah masuk pasar internasional.
Namun, ia tidak secara langsung
mengekspor produknya ke luar
negeri, melainkan melalui
perantara.

"Kalau yang namanya bener-bener
ekspor sih belum. Tapi ada
pesanan beberapa orang untuk
tujuannya ke luar, Kanada, Jerman,
tapi tetap Saya berhubungannya
dengan orang Jakarta," papar
Ratna.
Sampai saat ini, Ratna memiliki 3
pegawai tetap yang bekerja sebagai
pemberi warna pada karyanya.
Urusan desain dan lukisan dasar,
Ratna lah yang turun tangan.
"Kalau pesanan lagi banyak, kita
bisa sampai 15 orang," cetusnya.

Jika tertarik dengan hasil karya
Meeraktja ini, anda bisa langsung
datang ke Jalan Sangkuriang O-2,
Bandung. Atau bisa mengunjungi
website
www.meeraktja.wordpress.com.

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/11/26/105241/2101144/480/

Bermodal Hanya Rp 2,5 Juta, Benyamin Kini Raup Untung Rp 200 Juta/Bulan dari Usaha Mendong

Jakarta - Siapa sangka, bahan
dasar mendong, tanaman sejenis
padi bisa menghasilkan
keuntungan hingga Rp 200 juta
per bulan. Dengan modal awal
hanya Rp 2,5 juta saja, kini Abun
Benyamin (48), pemilik toko
produk mendong bisa meraup
keuntungan menggiurkan.

Mendong merupakan sejenis
tanaman padi yang dibudidayakan
di sawah. Bahan tersebut bisa
diolah kemudian dikeringkan dan
diberi warna menggunakan bahan
kimia dasar yang kemudian bisa
menghasilkan barang bernilai
tambah seperti tas, sandal, tikar,
tempat sampah, box buku, dan
tempat cucian.
"Itu asli Tasikmalaya, Jawa Barat.
Material dari karton dan mendong.

Mendong ditenun dulu dan
dikeringkan menggunakan energi
matahari. Setelah kering diberi
warna kemudian dikeringkan lagi
dan siap dipasarkan. Pembuatan
sehari beres," papar Abun, saat
dijumpai detikFinance, di Pameran
CRAFINA, JCC, Minggu
(16/12/2012).
Abun mengaku, produk-produk
tersebut, dibuat untuk memberi
warna yang beda kepada
masyarakat yang mulai bosan
dengan produk-produk moderen.

Bahan dasar mendong merupakan
ciri khas dari Tasikmalaya, Jawa
Barat. Selain dari mendong,
produk-produk tersebut juga bisa
menggunakan bahan dari eceng
gondok, pandan, dan lidi.
Produk-produk itu dibandrol
dengan kisaran harga Rp 15 ribu -
Rp 1 juta. Untuk tikar, misalnya
dengan panjang 2 meter dan lebar
90 cm, produk tersebut dihargai
Rp 150 ribu.

Sementara untuk tas, dibandrol
dengan kisaran harga Rp 80 ribu -
Rp 150 ribu. Selain itu, ada box
buku yang harganya Rp 100 - Rp
800 ribu dan tempat cucian yang
diberi harga Rp 300 ribu - Rp 500
ribu. Selain itu, ada tempat sampai
yang 1 set-nya dihargai Rp 200
ribu. Ada juga yang murah loh,
sandal dari mendong dibandrol
cuma Rp 15 ribu saja.

Namun, harga-harga tersebut
masih bisa nego asal membeli
dalam jumlah banyak. Abun
memberi diskon hingga 20 persen
untuk setiap produk dengan
pemesanan di atas seratus produk.
"Kalau satuan mahal, kalau dalam
jumlah banyak bisa murah dan
nego tergantung jumlah dan
materialnya. Bisa sekitar 10-20
persen diskonnya. Untuk ekspor
bisa sampai 30-40 persen
diskonnya dengan minimal
pesanan 550 set untuk semua
produk," katanya.

Usaha yang telah dirintisnya sejak
1996 itu, bisa menembus omset
hingga seribu set setiap bulannya
untuk box buku. Sementara untuk
tas bisa jauh lebih banyak hingga
2 ribu set per bulannya.
Tak hanya itu, produk-produk
miliknya dalam 2 bulan terakhir
mulai dilirik negara lain seperti
Kanada, Eropa (Spanyol), dan Asia
(Jepang, China, dan Singapura). "2
bulan lalu kita ekspor box cucian
ke Kanada. Ekspor sudah kita
lakukan dari 5 bulan lalu," kata
Abun.

Mengingat permintaan yang
meningkat, Abun tak kalah akal,
dirinya ingin terus melebarkan
usahanya ke berbagai kota di
Indonesia. Rencananya. Bulan
April 2013, produk-produk hasil
kerajinannya akan mulai
disalurkan ke Bandung, Jakarta,
dan Bali.
"Kita punya showroom baru di
Tasikmalaya, baru satu. Rencana
ekspansi April tahun depan ke
Bandung, Jakarta, dan Bali. Lihat
kondisi pasar dulu," akunya.

Abun mengaku, hingga saat ini
angka ekspor mencapai 270 set
untuk 1 kontainer untuk produk
box cucian. Sementara untuk box
buku bisa mencapai 2600 set per
1 kontainer.
"Kita mengedepankan motif.
Mendong lebih banyak variasinya.
Kualitas ekspor dan mutu terjaga,"
katanya.

Pernyataan itu diamini si pembeli
lady (37). Menurutnya, box buku
mendong tersebut memiliki desain
yang bagus dan harganya sesuai
dengan kualitas. "Desainnya bagus,
buatannya bagus, harganya sesuai
dengan kualitasnya," katanya.( Dewi Rachmat Kusuma)

sumber: m.detik.com/finance/read/2012/12/16/133342/2119791/480/bermodal-hanya-rp-25-juta-pengusaha-mendong-ini-kini-untung-rp-200-juta-bulan

Iskandar, Mantan Aktivis yang Berbisnis Kaos Bertema Demonstrasi Beromzet Puluhan Juta Rupiah

Jakarta - Sarjana muda seorang
aktivis kampus, Iskandar sukses
berbisnis kaos dengan nama
'Kampoeng Merdeka'. Ia membuat
berbagai produk kaos yang
bertemakan soal demonstrasi.
Iskandar menyebut dirinya sebagai
Presiden 'Kampoeng Merdeka'.

Berangkat dari seorang aktivis
yang cukup sibuk dengan aksi
demonstrasinya, ia rupanya
mencari cara lain untuk
mengungkapkan aspirasinya.
Ia menuturkan, menjadi
demonstran adalah sikap individu
yang mulai resah atas kondisi di
sekitarnya. Mensejahterakan
rakyat selalu menjadi alasan utama
setiap kali melangsungkan
demonstrasi.

"Satu kali saya naik angkot waktu
banyak ibu-ibu bilang, wah
mahasiswa demo lagi demo lagi
bikin macet jalan. Padahal tujuan
kita demonstrasi untuk
mensejahterakan rakyat," katanya
kepada detikFinance pekan lalu.
Peserta Wirausaha Muda Mandiri
ini mengaku mulai merenung
terhadap ucapan ibu-ibu tersebut.
Iskandar pun mencari upaya untuk
tetap menyampaikan aspirasi,
namun tidak dengan merugikan
masyarakat lainnya.
"Timbulah pikiran, oh lewat baju
saja. Maka ini saya jadikan peluang
bisnis," katanya.

Ia memilih baju yang diproduksi
dikemas dengan bahasa
demonstran dan berkembang
mengikuti isu nasional. "Salah
satunya saya awasi detik.com. oh
ini sedang tren isu," cetus pria
yang mengaku belum menikah ini.

Alumni Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Makassar ini siap
megawali usaha dengan modal Rp
800.000. Modal tersebut
merupakan hasil pinjaman dari
teman dekatnya. "Saya pinjam
buat bikin baju 6 buah. Desain
saya sendiri," kata Iskandar.

Kemudian usahanya berkembang
dengan membidik segmentasi
pasar mahasiswa dengan rentang
usia 18-30 tahun. Pemasaran
selain satu outlet yang disebut
sebagai kantor kecamatan, ia juga
mengandalkan website
Kampoengmerdeka.com dan media
sosial lainnya.

Ia cukup yakin dengan bisnisnya
ini, Iskandar beralasan masyarakat
yang resah akan terus bertambah
dan ingin meluapkan ekspresinya.
"Banyak yang resah dengan Aceng,
jadi pakai baju 'saya bukan aceng'.
Jadi ini demo dengan cara yang
unik kreatif dan inovatif,"
jawabnya.

Alhasil, saat ini Iskandar telah
mengantongi omset Rp 40-50 juta
per bulan dari baju yang seharga
Rp 85.000. Ia pun juga telah
memperkerjakan 47 orang sebagai
tim, mulai dari desain, produksi,
hingga pemasaran.

Soal kendala, menurutnya cukup
dapat diminimalisir setelah
menyelesaikan kuliahnya akhir
2012 lalu. Terkait desain baju
yang cukup kontroversial, ia malah
menganggap bukan sebuah
masalah.
"Nggak ada masalah, malah
menunggu masalah datang. Kan
masyarakat demo nggak masalah,"
singkatnya.

Iskandar berencana membuka
kantor 'kecamatan' dengan konsep
kemitraan. Belum disebutkan
lokasinya, namun konsep tempat
akan dibuat unik. Ruangan
tersebut hanya akan berisikan satu
tablet dan LCD dan jaringan
internet gratis.

"Mereka bisa cek Online ke
Kampoengmerdeka.com dia dah
bisa lihat, dan beli disana," jelas
Iskandar.
Penting baginya dalam usaha ini
adalah eksklusifitas barang. Selain
itu, kepedulian untuk Indonesia
tetap masih bisa diwujudkan meski
tidak dengan turun ke jalan.
"Untuk memajukan negeri," tutup
Iskandar.( Maikel Jefriando)

sumber: http:// m.detik.com/finance/read/2013/01/25/115713/2151989/480/iskandar-aktivis-yang-berbisnis-kaos-demonstran-beromzet-puluhan-juta-rupiah

Wednesday, January 30, 2013

Saefullah, Kerajinan Bambu 'Efrin Kreasi'-nya Menembus Hingga Pasar Amerika dan Fiji

Jakarta - Produk Industri Kecil dan Menengah (IKM) sejatinya jangan dipandang sebelah mata. Tak sedikit produk industri tersebut tembus pasar ekspor dengan omzet selangit. Salah satunya adalah produk kerajinan bambu milik Mochamad Saefullah. Siapa menyangka, bambu yang bagi sebagian orang bukan barang yang bernilai, bisa dibilang menjadi tumpuan hidup Saefullah, pria yang biasa dipanggil Kang Ipul ini. Berawal dari kegemarannya terhadap seni, dan menghadiri beberapa pameran kerajinan, Kang Ipul mulai memberanikan diri untuk terjun langsung sebagai perajin. Pada tahun 2002 dia mulai bergelut dengan bisnis kerajinan bambu. "Saya pikir di kampung saya banyak SDA (sumber daya alam), kita coba. Awal modal kita Rp 100 ribu. Kita bikin pensil, tahun 2002," ungkap Kang Ipul saat ditemui di kediaman sekaligus workshopnya di Lembang, Bandung, Sabtu (24/11/12). Produknya sudah ke merambah ke beberapa negara di dunia. Terjauh, dia mengirimkan produk bambunya ke Amerika Serikat (AS) dan Fiji. Sisanya ke negara Asia seperti Malaysia, Singapura, negara Eropa seperti Belanda, Spanyol dan negara-negara lainnya. "Ekspor itu rutin, dari 100% paling banyak ke Malaysia hingga 60%. Cenderamata dari Malaysia dibuat di sini," tambahnya. "Dan suatu saat kita pengen buka toko di Kuala Lumpur sekitar 2 tahun lagi lah. Karena peminat di sana banyak," imbuhnya. Permasalahan umum sebuah IKM ialah permodalan. Usaha yang dinamainya Efrin Kreasi inipun pernah mengalami masalah demikian. Hingga pada tahun 2009, Kang Ipul mendapat bantuan permodalan dari PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dengan program yang dinamakan Unit Layanan Mikro Madani (UlaMM) sebesar Rp 200 juta. Modal tersebut digunakan Kang Ipul untuk biaya operasional seperti pembelian bahan baku, kendaraan operasional dan lainnya. "Orang dari UlaMM datang ke saya. Saya pinjam Rp 200 juta, prosesnya cepat sekali. Dua hari sudah cair. Tiga bulan yang lalu kita pinjam lagi Rp 80 juta. Bunganya wajar, kami sanggup bayarnya" papar Kang Ipul. Sampai saat ini, dia memiliki 15 orang pekerja yang kebanyakan bersifat borongan, dengan kata lain, bekerja saat ada pesanan saja. Sementara dia memiliki 3 pekerja yang keluar dan memulai usaha serupa mengikuti jejaknya. "Ada 3 orang yang keluar, tapi mereka kurang pasarnya mungkin ya," tambahnya. Dalam satu bulan, dia bisa memproduksi 20 ribu unit kerajinan bambu yang kecil. Namun, untuk produk dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi seperti miniatur motor Harley, Kang Ipul tak bisa menyebutkan berapa kemampuan produksinya. Omzetnya, Kang Ipul dapat meraup hingga Rp 60 juta. Harga yang ditawarkan untuk produknya mulai dari Rp 3.500 hingga Rp 1,5 juta per unit. Pada tahun 2005, Kang Ipul bersama pekerjanya mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia karena telah membuat miniatur kereta api terpanjang, yaitu sepanjang 240 meter. Namun sayang, setelah itu, miniatur tersebut dia bongkar untuk kembali digunakan membuat kerajinan yang lain. "Kita juga buat Harley Davidson, pesanan dari California, saya yakin ini baru pertama saya yang buat," tutupnya. Jika ingin membeli atau melihat- lihat, atau bahkan anda terinspirasi usaha gigih dan ingin berdiskusi dengan Kang Ipul, langsung saja datang ke tokonya di Jalan Tangkuban Parahu 333 RT 03/07 Cikole Lembang, Bandung.( Zulfi Suhendra) sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/11/24/125640/2100139/480/

Nazmah, Pengusaha Sepatu Lukis Ini Bangkit Lagi Setelah 2 Tokonya Terbakar. Kini Omzetnya Puluhan Juta

Jakarta - Kegagalan atau bangkrut
merupakan risiko yang harus
ditanggung oleh seorang
wirausahawan atau pengusaha.
Seperti yang dialami oleh perajin
sepatu lukis asal Surabaya,
Nazmah Armadhani yang mulai
mencoba terjun berbisnis sepatu
lukis sejak 4 tahun yang lalu sejak
2009.

Sebelumnya, dia dan suaminya
telah berbisnis sepatu pada tahun
1986. Namun, musibah
menimpanya dengan keluarga. Dua
toko miliknya di Pasar Turi
Surabaya habis dilalap si jago
merah pada tahun 2007 silam. Tak
ayal kerugian ratusan juta rupiah
pun dialami pasangan ini.
Dua tahun setelah itu, Dhani
panggilan akrabnya mulai
merambah bisnis industri yang
lain, mulai dari busana muslim,
hingga bisnis batik. Namun, belum
menuai hasil yang begitu
memuaskan. Hingga pada akhirnya
pada akhir tahun 2009 dirinya
mulai mencoba berbisnis sepatu
lukis.

"Tolak ukurnya pas kebakaran.
Dua toko kita habis, pas mau
bulan puasa. Dua tahun kita
bingung karena nggak ada
pemasukan. Akhirnya anak saya
coba gambar-gambar di
sepatunya, temannya suka. Saya
juga ikutan gambar di sepatu
polos, saya selipkan satu pasang di
pameran busana muslim teman
saya. Ternyata ibu gubernur suka,"
ungkap Dhani kepada detikFinance
di Pameran Produk Unggulan Jawa
Timur di Kementerian
Perindustrian, Selasa (20/11/12).
Ia mengaku tak sendiri
melancarkan bisnis sepatu lukis.

Atau dengan kata lain, banyak
pelaku industri serupa. Namun,
dia meyakini produk yang
dibuatnya ini berbeda. Selain
karena latar belakang telah
bergelut di industri sepatu selama
puluhan tahun, kualitas dari
produk sepatunya pun menjadi
keunggulan.

"Kita sudah malang melintang di
dunia persepatuan. Mereka
(industri lain) itu bagus, tapi nggak
rapi. Kenapa, soalnya diliat sekilas,
garisnya sudah beda. Ketahuan
banget kalau garapan saya kaya
pabrik. Mereka soalnya dari
pelukis, kalau karyawan saya
bukan siapa siapa. Pentolan SD,
nggak lulus SD, bahkan berhitung
pun mereka nggak bisa. Tapi
mereka telaten," paparnya.

Sampai saat ini, karyawan yang
dimiliki oleh Dhani berjumlah 5
orang yang berasal dari daerah
Jawa Timur dan sekitarnya. Untuk
bahan baku, Dhani hanya cukup
menyediakan cat sablon acrylic
dengan kuas untuk melukis.
Sedangkan sepatu polos, ia
mengaku mendapatkannya di
daerah lain seperti Surabaya,
Sidoardjo hingga ke Bandung, Jawa
Barat.

Usaha bisnis yang digelutinya
selama kurang lebih 4 tahun itu
cukup menjanjikan. Dalam sebuah
pameran, dirinya mengaku bisa
meraup omzet hingga Rp 20 juta.
Namun, untuk reguler tanpa ada
pameran, dia bisa meraup omzet
sampai Rp 6 juta.

"Kalau pameran bisa sampai Rp
10-20 juta. Kalau nggak pameran
Rp 6 juta-an sebulan. Kan di toko
itu nyempil, jadi nggak ke gebyar.
Paling keluar 60 pasang,"
ungkapnya.

Urusan harga, ia mematok harga
yang variatif. Mulai dari Rp
100-300 ribu. "Tergantung dari
sepatunya untuk cewek apa cowok.
Kalau cowok kan lebih besar dan
medianya lebih besar," katanya.
Namun sayang, Dhani belum
berani merambah pasar ekspor
untuk usahanya ini. Dia mengaku
belum siap untuk memasarkan
produknya ke luar negeri, karena
alasan regulasi yang berbelit-belit.

Walaupun sempat ada yang
menawari, dia secara halus
menolaknya.
"Ekspor kan ribet, saya
bayanginnya ribet. Terus nanti
pasti ada kendala bahasanya juga.
Manajemennya harus sudah rapi
lah, belum saatnya. Mungkin
sudah 10 tahun kalau sudah
mateng," tuturnya.

Para pembeli dapat memesan
sepatu dengan model dan desain
sendiri. Gambar yang unik, dan
cerah menjadi keunggulan sepatu
berlabel Dhona Dhani ini.

Saat ini produk sepatu lukis
berada di pameran Industri
Unggulan Jawa Timur di Kantor
Kementerian Perindustrian, Jalan
Gatot Subroto, Jakarta dari tanggal
20-23 November 2012.
( Zulfi Suhendra)

Nazmah Armadhani
Alamat:
Dukuh Setro 8a/17 Surabaya
atau tokonya di ITC lantai
Ground Blok G5/3-3a Surabaya.

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/11/21/133908/2096960/480/pengusaha-sepatu-lukis-ini-bangkit-lagi-setelah-2-tokonya-terbakar

Meski Awalnya Otodidak, Muzakki Kini Sukses Raup Untung Jutaan dari Bisnis Booth

KOMPAS.com — Muhammad
Muzakki sukses menggeluti
usaha pembuatan booth sejak
2008. Pria asal Jakarta ini
mengerjakan pesanan booth
mulai tahap desain hingga
pesanan selesai dan siap pakai.

Muzakki menerima pesanan
booth dalam pelbagai ukuran,
seperti booth mini, booth mini
kafe, island booth , hingga
booth untuk pameran. Booth-
booth tersebut dibuat dalam
pelbagai model dan bentuk.
"Desain buatan saya cenderung
elegan, minimalis, dan
mengikuti tren yang ada," kata
Muzakki.

Konsep desainnya sendiri murni
berasal dari idenya, dengan
melihat desain-desain booth
yang sedang menjadi tren.
Kadang, ia juga menerima
masukan pelanggan dalam
setiap desain booth -nya.
Menurut Muzakki, desain yang
sekarang lagi ngetren adalah
booth dengan bentuk karakter
kartun, didukung gambar-
gambar tiga dimensi (3D).

Menurut dia, tampilan booth
sekarang memang harus dibuat
semenarik mungkin. Dengan
begitu, booth yang bakal
dipakai sebagai tempat
berjualan bisa menarik
konsumen untuk mampir dan
belanja.

Muzakki mematok tarif setiap
desain booth sebesar Rp
300.000. Sementara itu,
produksi satu booth Rp 3,5
juta-Rp 37 juta, tergantung
ukuran, bahan, dan tingkat
kerumitan.

Omzet yang dikantonginya
mencapai sekitar Rp 200 juta
per bulan. "Dalam sebulan, saya
bisa mendesain lebih dari 20
booth dan produksi booth 10
unit hingga 15 unit," kata pria
berusia 31 tahun ini.
Muzakki mengaku belajar
membuat desain booth secara
otodidak. Awalnya, ia membuat
booth untuk dipakai sendiri.

Kebetulan saat itu ia baru saja
memulai bisnis penjualan teh.
Bisnis tehnya ternyata tidak
berkembang. Di saat itulah,
Muzakki melihat peluang bisnis
membuat booth . Ia pun
memutuskan untuk fokus
menekuni usaha pembuatan
booth .

"Awalnya, saya membeli
software untuk desain booth.
Saya pelajari cara-cara
pembuatannya juga. Semua
secara otodidak," ujar sarjana
Ilmu Fisika ini.

Saat ini, banyak pengusaha
waralaba yang memesan booth
kepadanya, seperti D'Paris
Crepes, Solopuchino, dan
Javapuccino. (Revi Yohana/
Kontan )

sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/12/05/11583378/belajar.otodidak..muzakki.raih.omzet.ratusan.juta

Jumadiarto, Wirausahawan Sukses Lewat Tepung Singkong 'Wonocaf' yang Setara Tepung Terigu

Singkong melimpah ruah di tanah Wonogiri. Namun, sejauh ini lebih sering dijual mentah sehingga nilai ekonomisnya sangat rendah. Saat harga cukup baik, harga singkong bisa mencapai Rp 1.500-Rp 3.000 per kilogram. Namun, saat panen, harganya jatuh hingga hanya Rp 600 per kilogram. Melihat ini, Jumadiarto (49), warga Desa Wonokarto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tergerak untuk mencari cara meningkatkan nilai ekonomis singkong, tanaman andalan di Wonogiri saat musim kemarau. Kondisi sebagian besar lahan pertanian di Wonogiri hanya dapat ditanami padi sekali setahun, sisanya palawija, terutama singkong. Tidak jarang juga lahan dibiarkan menganggur karena air yang sangat sulit. Produksi singkong dari Kabupaten Wonogiri rata- rata 1,2 juta ton per tahun. Jumadiarto lantas teringat kearifan lokal nenek moyang tentang khasiat berbagai tanaman serta ragi untuk membuat tempe, tahu, atau tape. Ia lantas memanfaatkan empat jenis bunga ditambah daun dan biji tertentu, tepung singkong, tepung beras, tepung ketan, serta sebuah formula yang masih dirahasiakannya. Bahan-bahan ini lantas diolah menjadi ragi atau enzim yang digunakan untuk mengolah singkong. ”Para nenek moyang kita itu sebenarnya jago bikin ragi atau enzim. Ini kekayaan kearifan lokal kita yang selama ini belum dikembangkan,” kata Jumadi, Minggu (25/11). Formula enzim yang kemudian diberi nama WRD751WNG ini sekarang tengah dalam proses pengajuan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Nama enzim itu merupakan singkatan dari Wiridan Jumadiarto Wonogiri yang artinya ide putra asli Wonogiri tersebut tidak lain berasal dari Sang Ilahi. Enzim yang ia temukan pada 2009 itu kemudian digunakan untuk mengolah singkong menjadi tepung yang setara dengan tepung terigu. Artinya, dapat digunakan sebagai pengganti terigu 100 persen. Tepung ini dinamakan Wonocaf, singkatan dari Wonogiri Cassava Fermented atau singkong yang difermentasikan. Proses produksi Cara pembuatannya, singkong kupas yang telah dicuci bersih kemudian diparut dan diberi enzim Wonocaf. Setelah didiamkan selama 12 jam, parutan singkong diperas untuk dipisahkan dari airnya. Ampas yang dihasilkan dijemur hingga kering selama dua hari lantas digiling dan disaring sehingga menjadi tepung Wonocaf. Hasil uji laboratorium Kementerian Pertanian di Bogor, Jawa Barat, menyebutkan, tepung Wonocaf mengandung 78,9 persen karbohidrat, sementara singkong mengandung 34 persen karbohidrat. Tepung ini juga tidak mengandung gluten sehingga aman bagi penderita autisme atau alergi. Jumadi pernah mempresentasikan temuannya itu di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong pada Maret 2011. Tidak hanya itu, limbah hasil pengolahan Wonocaf juga dapat dimanfaatkan. Limbah cair hasil perasan parutan singkong, setelah ditambah ragi jenis tertentu, dapat diolah menjadi produk sampingan yang tidak kalah nilai ekonomisnya. Limbah cair ini bisa untuk biofuel, cairan pemadam kebakaran, pupuk, minuman kesehatan bagi hewan, dan air pendingin radiator. Limbah hasil pengolahan ini masih dalam taraf pengembangan oleh Jumadiarto. Pria lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ciputat ini kemudian bermitra dengan Riyanto, pemilik Perusahaan Otobus Sedya Mulya untuk memproduksi secara massal tepung Wonocaf di bawah bendera CV Eka Mulya. Karena pengeringan ampas perasan singkong masih dilakukan dengan sinar matahari, produksi masih terbatas sebanyak 3,5 kuintal per hari. Proses produksi menggunakan tiga mesin parut yang untuk sementara ditangani seorang pegawai. Keduanya tengah memesan oven agar pengeringan ampas singkong yang telah difermentasi bisa lebih cepat. Diharapkan, produksi tepung bisa mencapai 3 ton per hari. Selain di Wonogiri, saat ini tepung Wonocaf juga dipasarkan ke Kota Solo, Semarang, dan Jakarta. Selain ke toko-toko roti, dipasarkan pula kepada keluarga yang anggotanya menderita autisme. Hotel Sahid Jaya, Solo, juga secara rutin menggunakan Wonocaf untuk berbagai resep kue buatan mereka. Tepung Wonocaf dipasarkan Rp 5.600 per kilogram. Pemerintah Kabupaten Wonogiri mendorong CV Eka Mulya mengambil pasokan tepung tapioka basah atau kering dari petani. Jumadiarto berani membeli tepung tapioka basah dan kering dari petani dengan harga Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Di sinilah petani yang mengolah singkongnya menjadi tepung tapioka akan mendapat nilai tambah dibandingkan sekadar menjual singkong mentah. ”Kami membentuk inti-plasma. Kami sebagai inti dan plasmanya tersebar di 25 kecamatan se-Kabupaten Wonogiri. Nantinya petani- petani yang tergabung di plasma ini yang akan memasok kebutuhan tepung tapioka. Kami juga membentuk Koperasi Tepung Wonocaf Indonesia,” kata Jumadiarto yang sebelumnya aktif sebagai konsultan di berbagai lembaga nonpemerintah.(Sri Rejeki) Editor: Laksono Hari W sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/12/08/07161053/jumadiarto.dan.tepung.singkong.rasa.terigu

Astuti, Bermodal 200rb Kini Kedai Sate Kelinci dan Usaha Abon Kelinci-nya Tuai Untung Jutaan per Hari

KOMPAS.com - Semula Puji
Astuti (37), adalah karyawan di
perusahaan farmasi obat-
obatan. Pekerjaan itu sesuai
latar belakangnya sebagai
lulusan sekolah menengah
farmasi. Suami Puji, Achmad
Sutarli, juga bekerja di tempat
yang sama.

Setelah menikah Puji memilih
ke luar dari perusahaan farmasi
tersebut. Pada 2008, petugas
penyuluhan lapangan (PPL)
Balai Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan
(BP3K) Dukupuntang
memperkenalkan ternak kelinci
kepada Puji dan sejumlah
rekannya.

Puji tertarik dan berusaha
mencari berbagai informasi
mengenai kelinci. Ia keluar
masuk perpustakaan dan
mengikuti beberapa seminar
tentang kelinci hingga akhirnya
ia memiliki kesimpulan sendiri.

"Kelinci itu seperti kelapa,
semuanya bermanfaat," kata
Puji ketika dikunjungi di
kedainya, Sumber, Kabupaten
Cirebon, Minggu (16/12/2012).
Ia pun mengetahui daging
kelinci bermanfaat sebagai obat
untuk beberapa jenis penyakit,
yakni asma, infeksi
tenggorokan, liver, dan asam
urat. Daging kelinci, ujar Puji,
rendah lemak, memiliki protein
dan kalsium yang tinggi. Puji
menerima tawaran untuk
memulai ternak kelinci
bermodal Rp 200.000.
Ia membeli lima kelinci.
Setengah tahun berselang, Puji
mengaku ternaknya berkembang
lima kali lipat. "Rata-rata
seekor kelinci melahirkan lima
ekor anak kelinci," katanya.
Lantaran kandang kelincinya
penuh, Puji pun memikirkan
cara untuk menjual kelinci-
kelincinya hingga terbersit
membuka kedai sate kelinci.

Puji mengaku belajar dari tiga
rekannya yang gagal
menjalankan usaha sate kelinci.
"Masalah utama adalah jumlah
persediaan daging kelinci,"
ujarnya.
Puji bergabung dengan Cirebon
Rabbit Association (CRA) yang
beranggotakan sekitar 50 orang.
Di antara rekan-rekannya, puji
mengaku sebagai pemilik ternak
kelinci terbanyak, yakni 150
ekor kelinci.

Teman-temannnya, menurut
Puji, hanya memelihara rata-
rata 10 ekor kelinci per orang.
Setiap pekan, Puji memerlukan
50 ekor kelinci pedaging untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan
di kedainya. Karena itu, sering
memesan kelinci ke peternak-
peternak di Kabupaten
Majalengka dan Kuningan.
Dari berdagang sate kelinci, Puji
mengantungi untung Rp
500.000 hingga Rp 1 juta per
hari. Puji dan suaminya juga
membuat berbagai barang
kerajinan dari bahan kulit
kelinci. Dua bulan terakhir, ia
mengolah daging kelinci
menjadi abon kelinci. "Sekitar
lima kali gagal tapi sejauh ini
100 toples atau 50 kilogram
abon kelinci bisa saya olah,"
katanya.

Menurut Puji, hasil olahannya
itu pernah mengikuti pameran
Kredit Usaha Mikro dan Kecil
(KUMK) di Bandung.
Selain ke Bandung, Puji
mengirim abon kelinci ke
Semarang, Jawa Tengah. Satu
toples berisi setengah kilogram
abon kelinci dilabeli harga Rp
20.000. Sebagian abon kelinci,
Puji titipkan di sebuah toko
makanan di Cirebon.
Menurutnya, pembuatan Abon
bertujuan memperkenalkan
daging kelinci ke masyakarat
umum.

Puji berharap para ibu rumah
tangga tertarik untuk membuka
usaha ternak kelinci. Menurut
Puji, keuntungan beternak
kelinci terbilang bagus. Lima
ekor kelinci setara seekor sapi
atau dua ekor kelinci setara
seekor kambing atau domba.
Saat itu, Puji menjadi pengurus
di Kelompok Wanita Tani
Srikandi Melati. (Tribun Jabar/
tom)

sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/12/17/10012170/puji.berjaya.berkat.kelinci

Pernah Ditolak dan Diremehkan, Kini Tas Kamera 'Artrek' Buatan Rahmansyah Diminati Fotografer Dunia

KOMPAS.com - Nekat, mau belajar, dan mampu membangun jaringan menjadi kunci sukses Rahmansyah dalam memperkenalkan tas kamera merek Artrek. Produk ini termasyhur di kalangan fotografer profesional tanah air maupun mancanegara. Sukses bisa datang dari kenekatan. Paling tidak, itulah yang dialami oleh Rahmansyah, produsen tas kamera bermerek Artrek. Meski awalnya tak bisa dan tidak pernah ikut kursus menjahit, dia mampu meraih sukses berbisnis tas kamera yang diproduksi sendiri. Tas produksi Rahmansyah atau yang akrab disapa Manca ini tersohor di kalangan pecinta fotografi di Tanah Air. Bukan itu saja, fotografer dunia seperti John Stanmeyer yang merupakan salah satu pendiri VII Photo Agency dan James Nachtwey, seorang fotografer perang ternama, juga pernah mampir ke gerai produksi Manca di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Dengan dibantu belasan karyawan, Manca memproduksi lebih dari 1.200 tas kamera berbagai model setiap bulan. Tas buatannya disukai karena dengan kualitas yang tak kalah bagus ketimbang tas kamera merek terkenal buatan luar negeri, harga yang ditawarkan Manca lebih terjangkau. Ia membanderol harga jual tas Rp 50.000–Rp 350.000 per unit. Manca bilang, apa yang dia raih saat ini memang buah dari kenekatan. “Saya tidak bisa menjahit. Tapi karena ada peluang di bisnis ini, mau tidak mau saya belajar menjahit sendiri,” terang lelaki kelahiran Jakarta, 8 Juli 1973 ini. Semangat Manca untuk belajar serta jaringan yang kuat membuat suami dari Dyah Sevie Rispiandini ini mampu cepat memperkenalkan tas kameranya di kalangan fotografer profesional. Manca bercerita, semasa SMA, dia sudah aktif di kegiatan pecinta alam. Setelah lulus SMA, dia menjadi sukarelawan di Gunung Gede, Jawa Barat, dari tahun 1991 hingga 1996. Tahun 1994, ia sempat menyambi bekerja di toko alat berat. “Cuma bertahan satu setengah tahun. Kemudian, saya menjadi karyawan di perusahaan ekspor impor selama tiga bulan,” kata lelaki berkepala plontos ini. Manca mengakui memang tidak betah bekerja ikut orang. “Ya, mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan wiraswasta di keluarga, tidak bisa diatur orang,” terangnya. Asal tahu saja, orang tua Manca memiliki usaha perkayuan. Berbekal semangat itu, Manca memilih usaha pembuatan dompet meski saat itu dia tidak bisa menjahit. Bermodal mesin jahit milik ibunya dan uang Rp 300.000 dari hasil menjual sepeda motor, ia memulai usahanya. Dompet yang diproduksi dikasih merek Artrek. Bukan hanya dompet, Manca juga memproduksi tas outdoor. Lantaran banyak temannya di kalangan pecinta alam membutuhkan tas, ia juga membuatkannya. Ia menjual tas dan dompetnya secara door to door. “Yang beli awalnya teman sendiri,” katanya. Seiring dengan penambahan kapasitas produksi, ia pun merekrut karyawan hingga 20 orang. Ditolak dan diremehkan Di saat krisis moneter tahun 1997–1998, penjualan tas Manca justru meningkat. “Sebab, harga barang impor, termasuk tas impor, sangat tinggi. Nah, tas saya diminati karena kualitasnya tidak kalah bersaing dan harganya terjangkau,” tuturnya. Tahun 2000, persaingan bisnis tas outdoor semakin ketat. Manca memutar otak untuk menyelamatkan bisnisnya. Dia mencoba membuat tas kamera. “Tas kamera itu mahal karena rata-rata impor, saya tertarik untuk membuat tas berkualitas bagus dengan harga terjangkau,” katanya. Mengingat jaringan pertemanannya dengan fotografer di Tanah Air cukup bagus, Manca pun memilih fokus memproduksi tas kamera pada tahun 2002. “Saya ingin membangun merek. Kalau mau tas kamera, ya, Artrek. Tas jenis lain saya layani tapi hanya berdasarkan pesanan,” jelasnya. Meski sudah memiliki jaringan, Manca sempat kesulitan ketika memperkenalkan tas kameranya ke toko-toko. “Mungkin bagi pelanggan saya, Artrek sudah familiar, tapi bagi pemilik toko, merek saya belum terkenal,” katanya. Alhasil, ketika mencoba menawarkan produknya ke toko-toko aksesori, tas kamera buatan Manca lebih sering ditolak. Namun, berkat kegigihannya, perlahan-lahan Artrek mulai dikenal dan Manca pun tak kesulitan memasok produk ke toko. “Itu berkat teman-teman fotografer yang menyebarkannya dari mulut ke mulut,” ujarnya. Hal itu juga dipengaruhi oleh booming kamera digital yang ikut mengerek permintaan tas kamera. Artrek pun kebagian rezeki. Peminat tasnya bukan hanya dari kalangan profesional, melainkan juga pemula. Selain memasok ke sejumlah toko aksesori, Manca juga memiliki mitra di sejumlah wilayah di Indonesia. Sedikitnya, dia memiliki 15 mitra yang selalu dipasok secara rutin. “Kalau untuk ekspor memang belum. Sebab, prosedurnya agak sulit. Saat ini, saya masih mempelajari dulu,” katanya. Meski begitu, nama Artrek perlahan mulai dikenal di kalangan pengguna tas kamera di dunia. Sebab, tidak sedikit pembeli dari Australia, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan yang singgah ke gerai sekaligus tempat produksinya yang seluas 80 meter persegi itu. (Fransiska Firlana/ Kontan ) sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/07/08023478

Tuesday, January 29, 2013

Bisnis Kostum Karakter Film dengan Laba Menggiurkan ala Antoni dan Devi

Selain alur cerita, masih banyak
unsur lain yang turut menentukan
sukses atau tidaknya pertunjukan
film atau pementasan drama. Salah
satunya adalah pemilihan pakaian
atau kostum.
Makanya, dalam pertunjukan seni
peran seperti film, kostum
merupakan faktor penunjang yang
cukup penting. Kostum dapat
mendukung pemain memerankan
karakter yang diinginkan.

Lebih dari itu, kostum juga harus
tampak unik agar menarik perhatian
penonton.Contohnya, tokoh-tokoh
super hero, seperti superman,
batman, dan lain-lain yang
digambarkan memiliki kostum
khusus nan unik.
Lantaran butuh kreativitas tertentu,
kostum ini tidak bisa dibuat di
penjahit biasa. Fenomena ini tentu
saja mendatangkan peluang bisnis
bagi sekelompok orang yang
memiliki keahlian membuat kostum
khusus film maupun drama.

Salah satunya adalah Antoni Db,
pemilik Simple Production di
Surabaya, Jawa Timur. Antoni
mengaku, sejak awal memang hobi
membuat kostum-kostum dengan
desain yang unik dan menarik.

Lantaran keahliannya itu, Antoni
kemudian sering diminta merancang
kostum tertentu untuk acara-acara
drama menjelang perayaan Natal
dan Paskah di gereja. Dari situ, ia
kemudian sering mendapat order
dari beberapa perusahaan event
organizer. "Sejak itu, saya mulai
terjun ke dunia pembuatan kostum
film," ujarnya.
Antoni mulai mendapat pesanan
kostum film dan drama sejak tahun
2000. Selain dari kalangan gereja, ia
kini banyak mendapat order dari
rumah produksi atau production
house (PH) dan stasiun televisi
swasta.

Antoni mengklaim, banyak
pelanggan menyukai kostum
buatannya karena unik dan
harganya tergolong murah. Apalagi,
ia selalu menggarap setiap pesanan
secara total dan tidak setengah-
tengah. "Saya tidak mengejar
uangnya, tapi rasa puas yang
muncul ketika kostum desain saya
itu sudah jadi dan dipakai,"
ungkapnya.

Ada beragam kostum film dan
drama yang pernah dibuatnya. Di
antaranya, kostum seperti jubah
Sun Go Kong atau lebih dikenal
Kera Sakti, jubah raja dan
permaisuri kaisar China, Spiderman,
kostum-kostum film terbaru, dan
pelbagai jubah drama dan
sejenisnya.

Antoni mematok biaya pembuatan
per kostum berbeda-beda,
tergantung bahan dan tingkat
kesulitan pembuatannya. Untuk
pembuatan jubah biasa dibutuhkan
waktu sekitar dua hari, dengan
harga sekitar Rp 200.000.

Paling mahal adalah membuat
kostum Sun Go Kong yang
dihargainya Rp 33 juta. Antoni
bilang, pembuatan kostum ini
paling sulit dan butuh waktu satu
tahun. Pasalnya, sebagian bahan
harus didatangkan langsung dari
China, seperti bulu-bulu.
Sementara, kulit sapi dan kulit
harimau yang dipakai tidak
gampang dicari. "Untuk kulit
harimau, saya harus cari dari para
kolektor," katanya. Namun, secara
rata-rata, kostum film buatannya
dibanderol harga di atas Rp 1 juta.
Selain dari dirinya sendiri, ide
pembuatan kostum datang dari
konsumen. Rata-rata kebutuhan
kain untuk membuat kostum antara
1 meter (m) hingga 20 m.
Dalam sebulan, Antoni bisa
mendapatkan order pembuatan
lebih dari 10 kostum dengan omzet
sekitar Rp 30 juta. Namun, omzet
itu tidak menentu, terkadang
melampaui Rp 30 juta. "Semuanya
tergantung permintaan," katanya.

Pemain lainnya adalah Devi Yuliana
Sidarto di Jakarta. Ia menyediakan
aneka kostum, mulai kostum
profesi, kostum pelbagai negara,
tokoh kerajaan dan sebagainya.
Pemilik website kostumku.com dan
supermarketkostum.com ini bisa
menghasilkan ratusan kostum per
bulan.
Devi bilang, peluang bisnis ini
cukup menjanjikan. Selain
pemainnya belum terlalu banyak,
permintaan juga cukup tinggi.
Devi sendiri melayani pesanan
kostum untuk perorangan maupun
untuk acara khusus, seperti
pementasan drama. Untuk acara
seperti pementasan drama,
pemesanan kostum biasa dibuat per
grup.

Setiap grup biasanya berjumlah
mulai 50 kostum hingga 200
kostum. "Kostum sebanyak itu
terbagi untuk beberapa orang
pemeran utama, dan penari latar
atau pemeran pembantu," ujarnya.

Lantaran banyak, penggarapan
kostum drama ini butuh waktu
hingga tiga bulan. Lamanya
pengerjaan karena Devi juga harus
mematangkan konsep.
Sementara untuk pembuatan
kostum perorangan bisa selesai
dalam dua hari. Namun, pelanggan
biasanya diminta menunggu 14 hari
karena pesanan cukup banyak.

Menurut Devi, dalam satu minggu
hingga dua minggu, ia dan
konsumen akan bolak-balik
mematangkan konsep rancangan
sebelum menjahitkan kostum
pesanan. Proses ini dijalani lantaran
ia tidak ingin ada salah persepsi
dalam pembuatan konsep.
Selain itu, pengukuran badan
pemeran utama pun penting.

Sementara, bagi pemeran latar, ia
biasa mengategorikan dalam ukuran
umum, seperi ukuran kecil (s),
sedang (m), dan besar (l).
Menurut Devi, tantangan utama
menjalani bisnis ini adalah
merealisasikan keinginan pelanggan
dalam bentuk nyata sampai hal-hal
terkecil. Ia pernah harus keluar
masuk toko untuk memperoleh
motif kain yang diinginkan
pemesan.
"Saya mencari hampir di semua
toko tidak ada. Akhirnya, saya dapat
di sebuah toko pelosok di pinggiran
kota," jelasnya.
Namun, ada kepuasan tersendiri
saat mampu membuat kostum
terbaik. Supaya kostum makin
menarik, Devi juga bekerja sama
dengan pembuat aksesori.

Devi membanderol harga
pembuatan setiap satu kostum
mulai Rp 350.000-Rp 2 juta. Ia juga
menyediakan jasa sewa kostum
dengan tarif Rp 100.000 per hari.
Dalam sebulan, Devi bisa
mengantongi omzet hingga ratusan
juta.( Marantina, Noverius Laoli,
Revi Yohana )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/bisnis-besar-di-balik-kostum-properti-film/2013/01/29

Tuesday, January 1, 2013

Dengan Inovasi, Rima Sukses Mengembangkan Bisnis Salon Warisan Menjadi Banyak Gerai

Kebutuhan wanita untuk tampil
cantik tidak mengenal hari libur.
Demikian prinsip Rima Wira Sakti
dalam mengembangkan Itje Her
Hair and Beauty Salon. Berkat moto
itu, Rima mengembangkan usaha
warisan menjadi lima gerai salon
modern.

Rima berkenalan dengan usaha
salon sejak berstatus siswa SMP.
Sebagai satu-satunya anak
perempuan dari Itje Herdjadiono,
pendiri Itje Her Hair, Rima kebagian
tanggung jawab untuk mengurusi
keuangan dan administrasi salon
ibundanya.
Itje, sang Ibunda Rima, merintis
usaha salon di tahun 1980-an,
dengan memanfaatkan satu ruangan
di rumahnya. Kesederhanaan salon
Itje saat itu terlihat dari minimnya
perabot yang tersedia, hanya empat
meja, kursi tunggu pelanggan, serta
satu kaca.

Saat pertama kali beroperasi, Itje
sendiri yang langsung mengerjakan
seluruh perawatan bagi konsumen,
seperti potong rambut, sanggul,
make up, hingga creambath.
Konsep Itje Her Hair, yang lokasi
pertamanya di Cilandak itu, adalah
salon rumahan khusus perempuan
dan tidak tutup di hari libur.
Konsep sederhana yang diterapkan
sang ibu, menurut Rima,
merupakan kunci sukses yang masih
ia pegang hingga sekarang. Ia
menjelaskan, salon cuma menyasar
perempuan, sesuai dengan
permintaan Herdjadiono, suami
Itje. Waktu Itje yang lowong
memungkinkannya untuk
mengoperasikan salon, di hari libur
sekali pun.
Selain mengurus administrasi dan
uang, tentu, Rima juga mendapat
warisan ilmu tata rias dari sang ibu.

Melihat minat sang anak, Itje dan
suami lantas mengarahkan Rima
sebagai penerus usaha salon.
Langkah yang disiapkan adalah
menyekolahkan sang putri ke
Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen Universitas Indonesia.

Ketika masih berada di tangan
generasi pertama, Itje Her Hair
telah berkembang menjadi dua
salon, yang masih berkonsep
rumahan. Tapi, jumlah karyawan
sudah sekitar 20 orang. “Salon
kedua menempati rumah warisan
nenek,” tutur Rima.

Rima baru memegang kendali
pengelolaan Itje Her Hair setelah
lulus kuliah, tahun 1999. Melihat
jam magang Rima sebagai pengelola
salon yang sudah panjang, Itje yakin
sang putri mampu, kendati baru
lulus kuliah. Rima sendiri sudah tak
sabar mengubah salon, yang saat
itu sudah berumur 10 tahunan itu,
menjadi salon modern.

Tanpa iklan

Agenda modernisasi salon yang
digulirkan perempuan berusia 36
tahun itu adalah memisahkan
pengeluaran kedua salon, dari
pengeluaran pribadi dan keluarga.
Rima menilai, penyatuan “dapur”
salon dan keluarga sebagai kendala
ekspansi bisnis salon.
Jika kedua Itje Her Hair di masa
ibundanya berdiri di daerah
perumahan, Rima berhasrat
membangun salon di daerah bisnis.

Tiga salon yang dibidani Rima
terletak di daerah bisnis: Cipete
Raya dan Bintaro Raya, Jakarta
Selatan.
Kedua salon lama tidak luput dari
renovasi. Rima mengubah bangunan
salon menjadi semacam ruko
berlantai empat. Untuk ekspansi
itu, ia harus membeli dua rumah
tetangganya serta sisa lahan yang
diwariskan sang nenek.

Rima juga melakukan regenerasi
karyawan untuk mengimbangi bisnis
yang terus berlanjut. Sebagai
pelatih karyawan baru, Rima
meminta sang ibunda turun gunung,
serta seorang karyawan yang sudah
bekerja selama 20 tahun.

Untuk menjadi salon modern, Itje
Her Hair tentu membutuhkan
standar layanan. Bentuk perawatan
yang ditawarkan pun bertambah.

Itje Her Hair kini menawarkan
aneka perawatan, dari kepala
sampai kaki, baik yang klasik
maupun modern. Perawatan klasik
itu maksudnya seperti cuci dan
potong rambut serta creambath.
Adapun perawatan modern seperti
manicure, pedicure, pewarnaan
rambut, pijat, lulur, dan cukur bulu
seluruh badan, totok aura, atau rias
pengantin. “Ada puluhan treatment
saat ini. Tarif mulai dari Rp 25.000
sampai ratusan ribu,” tambah Rima.

Modernisasi tak berarti Rima
melupakan kunci sukses salon, yakni
buka lebih awal, tutup lebih akhir,
dan buka saat hari libur. Itje Her
Hair beroperasi sejak jam tujuh pagi
hingga delapan malam, dan hanya
libur di hari pertama dan kedua
Lebaran.

Konsep salon khusus untuk wanita
dan mempergunakan karyawan
kecantikan wanita juga tetap
dipertahankan. Rima beralasan,
masih banyak wanita yang merasa
lebih nyaman jika mendapat
perawatan dari sesama wanita juga.
“Masih banyak yang risih kalau
harus campur satu ruangan dengan
tamu pria,” ujar wanita yang
memiliki tiga putra ini.

Itje Her Hair, yang kini membidik
masyarakat kelas menengah ke atas,
memiliki rata-rata pengunjung
5.000 orang per minggu di kelima
gerainya. Jumlah pengunjung salon
Itje Her Hair, sejak di tangan Rima,
meningkat hingga 50 kali lipat.
Padahal, selama hampir 20 tahun
beroperasi, Itje Her Hair cuma
mengandalkan promosi dari mulut
ke mulut. Salon tersebut cuma
sekali beriklan di media masa.
“Waktu itu saya mendapat jatah
beriklan satu halaman penuh di
Femina dan Gadis, sebagai sponsor
tata rias untuk program Wajah
Femina dan Gadis Sampul,” tutur
Itje.

Terbukti, kan, bisnis estafet dari
orang tua bisa dikembangkan
dengan ide-ide baru?( Melati Amaya Dori)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/rima-mencampur-jurus-modern-dan-resep-sederhana/2013/01/21