KOMPAS.com - Bihun jagung,
mungkin, hanya produk
sederhana. Namun, ternyata,
pengolah produk ini mampu
meraih sukses besar. Adalah
Teddy Tjokrosaputro tokoh
yang berhasil mengenalkan
produk olahan sederhana ini ke
khalayak di Tanah Air.
Jatuh tak jauh dari pohonnya.
Demikian pula dengan kisah
perjalanan bisnis Teddy
Tjokrosaputro, Direktur Utama
PT Subafood Pangan Jaya. Kakek
dan neneknya adalah pengusaha
batik ternama bermerek Batik
Keris. Sebagai generasi ketiga,
ia memilih tidak melanjutkan
usaha tekstil meski tetap
mewarisi darah bisnis dari
kakek dan neneknya. Teddy
lebih memilih menggeluti bisnis
makanan ketimbang batik.
Melalui PT Subafood Pangan
Jaya, ia berhasil menjadi
produsen bihun jagung yang
sukses. “Produk bihun jagung
ini merupakan yang pertama di
Indonesia, bahkan di dunia.
Boleh dibilang, kami pionir di
bisnis ini,” katanya. Tak heran
bila Subafood berhasil meraih
beberapa penghargaan berkat
inovasi produk pangan ini.
Bukan itu saja, setiap tahun,
kapasitas produksi sekaligus
penjualan bihun jagung selalu
naik 100 persen. Saat ini,
kapasitas produksi Subafood
sebanyak 1.200 ton per bulan
atau sekitar 14.400 ton per
tahun. Adapun market share
bihun jagung Subafood sudah
20 persen. “Dengan harga
eceran tertinggi (HET) rata-rata
Rp 11.000 per kilogram, bihun
jagung kami bisa menembus
pasar dan diminati,” kata Teddy.
Bihun ini pun sudah
didistribusikan ke 25 provinsi
dengan lebih dari 30.000 gerai.
Uniknya, Teddy justru
mengawali karier bisnisnya
bidang properti, bukan
makanan. Setelah menyelesaikan
pendidikan di University of
Southern California, Los
Angeles, Amerika Serikat, tahun
1995, dia pulang ke Indonesia
dan membantu orang tuanya
mengurus bisnis keluarga di
bidang properti. “Saya belajar
menjalankan bisnis melalui
perusahaan keluarga sekitar dua
hingga tiga tahun,” kata suami
Shelly Verywan ini.
Saat krisis moneter 1997–1998,
perusahaan keluarga Teddy
terpukul. “Waktu itu, hampir
semua bisnis gulung tikar,
termasuk bisnis properti,”
katanya. Meski begitu, ia tidak
kapok menjajal bisnis properti.
Sekitar tahun 1999, lelaki
kelahiran Solo, Jawa Tengah, 18
Agustus 1974 ini kembali
merintis usaha di bidang
properti. Kali ini, dia
menjalankan usaha secara
pribadi. Dengan mengibarkan
bendera PT Andalan
Propertindo, Teddy menggarap
sebuah proyek trade center di
Solo, Jawa Tengah. “Isi trade
center ini rata-rata pedagang
batik. Usaha ini masih berjalan
hingga sekarang,” kata bapak
dua anak ini.
Ternyata, Teddy tidak puas
hanya memiliki bisnis di bidang
properti. Tahun 2004, ia
merambah bisnis makanan
dengan mendirikan PT Subafood
Pangan Jaya. Pilihannya jatuh
pada usaha pengolahan jagung.
“Saya memilih jagung karena
merupakan tanaman pangan
kedua setelah beras. Itu saja.
Namun, saya juga berpikir,
jagung ini cocoknya diolah jadi
apa. Tidak mungkin, kan, kita
jualan jagung bakar,” jelasnya.
Lantas, Teddy mengumpulkan
tim untuk memikirkan olahan
jagung yang bisa disukai
masyarakat. Akhirnya, tercetus
ide untuk mengolah pati jagung
menjadi bihun. “Masyarakat kita
sudah dekat dengan olahan
pangan jenis mi ini. Nah,
dengan bihun jagung ini, kami
pikir bisa terserap masyarakat
dengan mudah,” katanya.
Selama setahun, Teddy bersama
tim melakukan penelitian.
Butuh edukasi
Akhirnya berdirilah pabrik
olahan jagung di daerah
Tangerang, Banten, pada bulan
Juni 2005. Tahun 2006,
Subafood mulai memproduksi
bihun jagung dengan kapasitas
100 ton per bulan. “Tidak
semulus yang dibayangkan.
Kami cukup bekerja keras untuk
melakukan edukasi ke
masyarakat. Maklum, waktu itu,
kan, belum ada produk bihun
jagung di pasaran. Yang ada
bihun beras,” jelasnya. Seiring
dengan pengenalan masyarakat
terhadap produk, kapasitas dan
penyerapan bihun jagung
Subafood terus meningkat
setiap tahun.
Teddy bilang, sejauh ini,
usahanya itu banyak mengalami
kendala. “Harga jagung cukup
fluktuatif,” katanya. Bila harga
sedang tinggi, tentu kondisi ini
menyusahkan lantaran bihun
jagung merupakan produk yang
membidik semua kalangan.
Harga jualnya tidak mungkin
tinggi. Terkadang, Subafood
juga mengalami kendala
pasokan bahan baku yang
kurang rutin. Tapi, Teddy
bilang, persoalan itu masih bisa
dihadapi.
Dalam perjalanannya, Teddy
tidak hanya mengandalkan
bihun jagung. Dia mulai
melakukan inovasi produk.
Antara lain dengan
memunculkan produk bihun
jagung instan aneka rasa,
sorgum, mi kering, dan
makaroni jagung. Selain itu, ia
juga mulai memproduksi olahan
di luar bahan baku jagung,
seperti terasi dan merica
bubuk.
Bihun jagung yang diproduksi
Subafood juga mengundang
banyak pengekor. “Bila tahun
2006 hanya ada dua produsen
bihun jagung, sekarang sudah
ada 23 produsen,” jelas Teddy.
Teddy pun tak tinggal diam. Dia
terus melakukan ekspansi.
Selain memunculkan produk
baru, Subafood juga
memperluas pasar. Mulai tahun
2010, Subafood mengekspor
aneka produk olahan dari
jagung ke Belanda, Malaysia,
dan terakhir ke Brunei
Darussalam. (Fransiska
Firlana/ Kontan )
sumber: bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/14/15184382/teddy..cucu.pengusaha.batik.yang.sukses.di.bihun.jagung
Saturday, December 29, 2012
Friday, December 28, 2012
Suryadi, Mantan Penjaga Toko yang Sukses di Bisnis Pakaian Dalam 'Wacoal'
KOMPAS.com - Jalan Suryadi Sasmita menuju sukses terbilang panjang. Maklumlah, resep sukses Suryadi terbilang sederhana: kerja, kerja, dan kerja. Ketekunan Suryadi selama puluhan tahun tidak sia- sia jika melihat popularitas merek pakaian dalam Wacoal. Di balik nama besar pakaian dalam wanita ini ada kerja keras Suryadi Sasmita. Memulai usaha dari nol, Suryadi kini menikmati penjualan Wacoal yang selalu naik 30 persen per tahun. Wacoal kini memiliki lebih dari 50 gerai. Angka itu belum termasuk ratusan gerai Wacoal yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan. “Kalau soal aset, sudah tentu bertambah bila dibandingkan dengan awal menjalankan usaha,” kata Suryadi, yang menyandang status sebagai Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal. Ayah dari tiga orang ini kini memiliki sepuluh perusahaan di bidang garmen. Namun, kesuksesan itu tidak datang dengan mudah. Maklum, pria kelahiran Jakarta 12 April 1948 ini berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Suryadi menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus mengurus kelima adiknya. Faktor itulah yang menuntutnya untuk bekerja keras. Bersama sang ayah, dia membuka usaha konveksi tas. Sayang, usaha itu harus gulung tikar karena bangkrut. Lulus SMA, Suryadi bekerja di toko tekstil di Pasar Pagi, Jakarta, sebagai penjaga toko. Untuk mendapatkan penghasilan lebih, ia bekerja hingga dua sif. Sikap kerja kerasnya ini menarik perhatian bosnya. Suryadi pun dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara. Sambil kuliah, ia tetap bekerja. Bahkan lebih keras bekerja, akibatnya dia tidak berkonsentrasi untuk kuliah. Baru enam bulan duduk di bangku kuliah, Suryadi memilih keluar dan fokus bekerja. Maklum, ia harus membantu menghidupi keluarganya. Dari hasil bekerja di toko, Suryadi mampu membeli toko kecil di daerah Jembatan Lima. Toko itu dikelola oleh anggota keluarganya, sementara Suryadi tetap bekerja di Pasar Pagi. Setelah empat tahun bekerja sebagai penjaga toko, Suryadi pindah jalur menjadi karyawan di pabrik perusahaan tekstil asal Jepang, C. Itoh. Di perusahaan tekstil kelas dunia itulah, Suryadi mengawali karier sebagai pengantar dokumen. “Saya merasa gaji saya terlalu besar kalau hanya bekerja sebagai pengantar dokumen. Saya pun memberanikan diri menghadap ke pimpinan perusahaan dan meminta pekerjaan saya ditambahi. Saya minta diizinkan berjualan benang,” tutur dia. Permintaan Suryadi dipenuhi sang atasan. Ia pun merangkap tugas. Dari pagi hingga sore, ia menjadi pengantar dokumen. Begitu matahari beranjak ke barat hingga malam hari, Suryadi menjadi salesman . “Target penjualan setahun bisa saya penuhi dalam setengah tahun. Saya pun diangkat menjadi salesman ,” tutur dia. Bersamaan dengan karier yang melesat, jaringan Suryadi kian luas. Sekitar tahun 1976, Suryadi mampu mendirikan perusahaan trading bernama Moritex Trading Company. Tahun berikutnya, ia membuka usaha rajut (knitting ) bernama Moritex Knitting. “Keduanya saya kelola bersamaan dan hanya saya cek di sore hari. Selama pagi hingga sore, saya masih bekerja sebagai sales representative di C. Itoh,” kenang dia. Menjalin pertemanan Baru setelah delapan tahun bekerja di C.Itoh, Suryadi mundur dan fokus ke perusahaannya. “Tiba-tiba, ada pelanggan saya yang menawarkan usaha lain. Pada 1980, dia menawarkan lisensi Wacoal yang diperolehnya,” ujar Suryadi. Menjadi salesman merupakan kesempatan Suryadi membuka jaringan yang seluas-luasnya. “Prinsip saya, sales itu jangan hanya berdagang yang ada di kepala. Tapi, bagaimana memberikan informasi produk yang benar ke calon klien dan membangun pertemanan. Kalau mereka merasa puas, pasti akan pesan,” kata dia. Dari jaringan itu, Suryadi dipercaya seorang pelanggannya untuk mengelola perusahaan pakaian dalam wanita asal Jepang bermerek Wacoal. “Dia menilai saya pekerja keras, jadi dia percaya jika saya yang pegang lisensi Wacoal,” ucapnya. Ia pun menutup usaha trading dan knitting, serta fokus mengelola Wacoal. “Ternyata tidak mudah. Dalam lima tahun pertama, saya rugi,” kenangnya. Hal itu dikarenakan sulitnya memasarkan produk pakaian dalam yang harganya jauh lebih mahal daripada harga produk sejenis yang sudah ada. Apalagi, saat itu, belum banyak department store. Suryadi pun mengerahkan keluarga dan jaringannya untuk mempromosikan Wacoal. Nama Wacoal perlahan terdengar. Di tahun ke enam, Wacoal akhirnya meraup untung. “Sepuluh tahun pertama, kami harus kerja keras memperkenalkan Wacoal. Hingga akhirnya di sepuluh tahun kedua, Wacoal mampu dipasarkan secara nasional,” terang Suryadi. Memasuki dekade ketiga atau sekitar tahun 2000, Wacoal buatan Indonesia masuk ke pasar luar negeri. Dari pabrik seluas 2,7 ha, produk Wacoal kini mengalir ke sembilan negara. Masing-masing Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, Hong Kong, Taiwan, Jepang, China, dan Amerika Serikat. (Fransiska Firlana/ Kontan ) Editor: Erlangga Djumena sumber: bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/19/16262998/Suryadi.Mantan.Penjaga.Toko.yang.Sukses.di.Bra
Kategori:
Fashion
Thursday, December 27, 2012
Kodir, Profil Pengusaha Sukses dari Usaha Cemilan Konghui yang Beromzet3 Jt/Hari
KOMPAS.com - Kalau Aceng
yang ini bukan nama Bupati
Garut yang sedang bermasalah.
Aceng yang ini adalah profil
pekerja keras yang berjuang
dari bawah dan akhirnya sukses
dalam wirausaha di bisnis ubi
kayu atau singkong.
Aceng Kodir menganggap
singkong adalah jalan hidupnya.
Jika dahulu singkong hanya
dikenal sebagai makanan orang
kampung, tidak demikian saat
ini. Beragam makanan olahan
berbahan dasar singkong justru
disukai orang kota yang
modern.
Seperti makanan olahan
berbahan singkong yang
diciptakan Aceng Kodir, warga
Gang Pancatengah I, Batujajar
Kabupaten Bandung Barat.
Makanan olahan yang dia namai
crispy singkong dan crispy
konghui itu laku keras di
pasaran. Bahkan, pria 42 tahun
itu mampu meraup omzet tak
kurang dari Rp 3 juta per hari
dari penjualan kedua jenis
makanan tersebut.
Crispy singkong dan crispy
konghui buatan Aceng
merupakan makanan ringan.
Crispy singkong berbahan dasar
singkong, sementara crispy
konghui merupakan perpaduan
antara singkong dan hui (ubi,
dalam bahasa Indonesia). Ubi
yang dipilih adalah ubi
berwarna ungu.
Ditemui dalam acara UKM di
Kampus Unpad, Jalan Dipati
Ukur, Bandung, pekan lalu,
Aceng menuturkan jika
bisnisnya sudah dimulai sejak
tiga tahun lalu.
Ketika itu, dia merasa prihatin
terhadap petani singkong yang
ada di sekitar tempat
tinggalnya. Meski bertahun-
tahun menanam singkong,
petani tidak pernah menikmati
hasilnya lantaran harga jual
singkong sangat murah, tak
lebih dari Rp 400 per kilogram.
"Saya berpikir bagaimana agar
petani singkong tidak terpuruk,
dan yang paling penting adalah
agar mereka tetap semangat
menanam singkong karena
singkongnya terjual dengan
harga wajar," ujar Aceng.
Aceng pun memutar otak.
Tercetuslah ide membuat
singkong crispy. Dengan modal
Rp 200.000, ia membeli
beberapa kilogram singkong
dari tetangga. Tak ketinggalan,
bahan untuk singkong crispy
pun dibelinya, termasuk minyak
goreng. Sementara alat untuk
mengepres adonan singkong
agar benar-benar tipis,
digunakan alat pembuatan
molen.
Aceng mengaku, ketika pertama
kali membuat crispy singkong,
dia tidak langsung menjualnya.
Dia tawarkan produk buatannya
itu kepada tetangga, dan
belakangan ke Ketua RT, RW,
Kepala Desa, Camat, sampai
Bupati. Dari situlah, produknya
dikenal dan disukai banyak
orang. Akhirnya Aceng pun
menjual crispy singkong
buatannya.
Setelah crispy singkong banyak
yang minat, Aceng membuat
crispy konghui. Penganan
tersebut terbuat dari singkong
dan ubi ungu. Ubi didapatnya
dari daerah Jawa Timur, namun
belakangan dirinya
membudidayakan ubi ungu di
kampungnya.
Kedua makanan ringan buatan
Aceng diterima pasar dengan
baik. Bahkan pasarnya adalah
wisatawan dalam maupun luar
negeri. Kedua camilan itu pun
dijual di Kartikasari dan Circle
K. Sebungkus crispy singkong
dijual Rp 19.000, sedangkan
crispy konghui dibanderol Rp
20.000. Satu bungkus isi bersih
250 gram.
Sehari, Aceng bisa membuat
250 bungkus crispy singkong
dan crispy konghui. Dia
menjualnya Rp 12.500 per
bungkus ke reseller, atau jika
dihitung omzetnya Rp 3 juta
per hari.
Untuk peralatan, Aceng
mengaku tidak kesulitan.
Demikian pula bahan baku dan
tenaga perajin. Areal
perkebunan singkong terhampar
luas di daerahnya. Aceng
membeli singkong dari petani
Rp 1.000 per kilogram.
Sementara sejumlah tetangga
menjadi pekerja pembuatan
crispy singkong dan konghui
buatannya, di rumah produksi
bernama Rumah Crispy. ( Ida
Romlah/Tribun Jabar)
sumber: m.kompas.com/news/read/2012/12/21/14580183/Singkong.Crispy.Aceng.Beromzet.Rp.3.Juta.Per.hari--bisniskeuangan
yang ini bukan nama Bupati
Garut yang sedang bermasalah.
Aceng yang ini adalah profil
pekerja keras yang berjuang
dari bawah dan akhirnya sukses
dalam wirausaha di bisnis ubi
kayu atau singkong.
Aceng Kodir menganggap
singkong adalah jalan hidupnya.
Jika dahulu singkong hanya
dikenal sebagai makanan orang
kampung, tidak demikian saat
ini. Beragam makanan olahan
berbahan dasar singkong justru
disukai orang kota yang
modern.
Seperti makanan olahan
berbahan singkong yang
diciptakan Aceng Kodir, warga
Gang Pancatengah I, Batujajar
Kabupaten Bandung Barat.
Makanan olahan yang dia namai
crispy singkong dan crispy
konghui itu laku keras di
pasaran. Bahkan, pria 42 tahun
itu mampu meraup omzet tak
kurang dari Rp 3 juta per hari
dari penjualan kedua jenis
makanan tersebut.
Crispy singkong dan crispy
konghui buatan Aceng
merupakan makanan ringan.
Crispy singkong berbahan dasar
singkong, sementara crispy
konghui merupakan perpaduan
antara singkong dan hui (ubi,
dalam bahasa Indonesia). Ubi
yang dipilih adalah ubi
berwarna ungu.
Ditemui dalam acara UKM di
Kampus Unpad, Jalan Dipati
Ukur, Bandung, pekan lalu,
Aceng menuturkan jika
bisnisnya sudah dimulai sejak
tiga tahun lalu.
Ketika itu, dia merasa prihatin
terhadap petani singkong yang
ada di sekitar tempat
tinggalnya. Meski bertahun-
tahun menanam singkong,
petani tidak pernah menikmati
hasilnya lantaran harga jual
singkong sangat murah, tak
lebih dari Rp 400 per kilogram.
"Saya berpikir bagaimana agar
petani singkong tidak terpuruk,
dan yang paling penting adalah
agar mereka tetap semangat
menanam singkong karena
singkongnya terjual dengan
harga wajar," ujar Aceng.
Aceng pun memutar otak.
Tercetuslah ide membuat
singkong crispy. Dengan modal
Rp 200.000, ia membeli
beberapa kilogram singkong
dari tetangga. Tak ketinggalan,
bahan untuk singkong crispy
pun dibelinya, termasuk minyak
goreng. Sementara alat untuk
mengepres adonan singkong
agar benar-benar tipis,
digunakan alat pembuatan
molen.
Aceng mengaku, ketika pertama
kali membuat crispy singkong,
dia tidak langsung menjualnya.
Dia tawarkan produk buatannya
itu kepada tetangga, dan
belakangan ke Ketua RT, RW,
Kepala Desa, Camat, sampai
Bupati. Dari situlah, produknya
dikenal dan disukai banyak
orang. Akhirnya Aceng pun
menjual crispy singkong
buatannya.
Setelah crispy singkong banyak
yang minat, Aceng membuat
crispy konghui. Penganan
tersebut terbuat dari singkong
dan ubi ungu. Ubi didapatnya
dari daerah Jawa Timur, namun
belakangan dirinya
membudidayakan ubi ungu di
kampungnya.
Kedua makanan ringan buatan
Aceng diterima pasar dengan
baik. Bahkan pasarnya adalah
wisatawan dalam maupun luar
negeri. Kedua camilan itu pun
dijual di Kartikasari dan Circle
K. Sebungkus crispy singkong
dijual Rp 19.000, sedangkan
crispy konghui dibanderol Rp
20.000. Satu bungkus isi bersih
250 gram.
Sehari, Aceng bisa membuat
250 bungkus crispy singkong
dan crispy konghui. Dia
menjualnya Rp 12.500 per
bungkus ke reseller, atau jika
dihitung omzetnya Rp 3 juta
per hari.
Untuk peralatan, Aceng
mengaku tidak kesulitan.
Demikian pula bahan baku dan
tenaga perajin. Areal
perkebunan singkong terhampar
luas di daerahnya. Aceng
membeli singkong dari petani
Rp 1.000 per kilogram.
Sementara sejumlah tetangga
menjadi pekerja pembuatan
crispy singkong dan konghui
buatannya, di rumah produksi
bernama Rumah Crispy. ( Ida
Romlah/Tribun Jabar)
sumber: m.kompas.com/news/read/2012/12/21/14580183/Singkong.Crispy.Aceng.Beromzet.Rp.3.Juta.Per.hari--bisniskeuangan
Kategori:
Kuliner
Saturday, November 17, 2012
Wulan, Sukses di Usia Muda Jadi Jutawan Berkat Bisnis 'Miulan' Hijab
Jakarta - Hijab saat sudah menjadi
salah satu trend mode di tanah air
sehingga wanita tidak bosan
mengenakan penutup aurat yang
itu-itu saja. Melihat peluang
tersebut, Tsummadana Wulan (22)
merintis karir dengan mendesain
hijab dan menjualnya via online.
Bahkan saat ini produknya sudah
dipakai puluhan artis tanah air.
Di sebuah butik kecil bernama
Miulan di samping rumahnya di Jl
Kedung Batu Selatan no.88
Semarang atau tepat di belakang
Klenteng Sam Po Kong, Wulan dan
tujuh karyawan mengemas puluhan
hijab dan busana muslim yang siap
dikirim ke penjuru tanah air
bahkan luar negeri.
"Mau dikirim ke luar Jawa.
Pelanggan juga ada dari Singapura,
Brunei Darusalam dan yang paling
sering Hongkong," kata Wulan di
butiknya, Sabtu (17/11/2012).
Dengan menjual hijab dan baju
muslim, saat ini Wulan sudah bisa
mewujudkan keinginannya untuk
Umroh, jalan-jalan ke luar negeri
dan membeli barang yang
diinginkannya. Ia pun
menceritakan kisah suksesnya saat
ditemui detikcom.
Awalnya ia hanya mahasiswi biasa
di Fakultas TekniK Informatika
Universitas Dian Nuswantoro
(Udinus) Semarang hingga
akhirnya dosen memberikan tugas
kewirausahaan yaitu membuat
usaha tanpa modal. Gadis cantik
ini pun memutar otak dan
mengawalinya dengan menjual
pakaian pantas pakai miliknya.
"Dari penjualan itu akhirnya dapat
modal dan membuat pernak
pernik asesoris buatan sendiri
misalnya gelang, kalung, cincin
dan lainnya," tandasnya.
Untuk menyokong usahanya,
Wulan juga menjadi anggota salah
satu Multi Level Marketing (MLM)
hingga akhirnya dia bisa
membangun toko. Tapi tidak
seperti yang diharapkan, tokonya
tidak dipenuhi pengunjung bahkan
tergolong sepi. Lagi-lagi Wulan
harus memutar otak agar usahanya
sukses.
"Lalu dibantu Ibu, saya mendisain
hijab dari referensi internet dan
dijual via online. Dari situ ternyata
banyak peminatnya, maka
terlahirlah Miulan bulan
November 2011 lalu," ujar Wulan
bangga.
"Sebulan setidaknya membuat
empat desain baru," imbuhnya.
Lama-kelamaan, usahanya semakin
berkembang, Wulan pun bisa
mempekerjakan tujuh karyawan.
Bahkan ibu-ibu di sekitar tempat
tinggalnya juga ikut kebagian rejeki
dengan membantu memotong dan
menjahit kain yang akan dijadikan
hijab.
"Ibu-ibu di sini ikut membantu,
sedangkan karyawan di butik
tinggal melakukan finishing dan
packing. Ya istilahnya bagi-bagi
rezeki, lah," tutur Wulan.
Selain dijual per buah, hijab
buatan Wulan juga dijual dengan
sistem Distributor dengan minimal
pembelian 100 buah, Agen dan
Reseller dengan minimal
pembelian 20 buah yang akan
mendapatkan diskon khusus.
"Ada diskon 40 persen dan 20
persen. Harga hijabnya antara Rp
30-95 ribu," katanya.
Yang menjadi ciri khas hijab dari
Wulan hingga banyak diminati
adalah karena bahannya yang
terbuat dari kain kaos, serta disain
minimalis dengan asesoris bunga
berwarna soft yang terkadang
saling bertabrakan namun tetap
menjadi kombinasi yang baik.
"Karena desain saya, jadi saya beri
nama sesuka hati misalnya
Cottonia Flowering Shawl (CfO),
Classy Shawl (CS), dan Hoodie Vest
Two Face . Tapi saat ini desain
juga mengikuti permintaan pasar,"
tutur dara kelahiran 23 Desember
1990 tersebut.
Dari usahanya yang baru berdiri
setahun itu, Wulan saat ini
memiliki pendapatan bersih hingga
jutaan rupiah perbulan, omsetnya
pun hingga seratus juta rupiah.
Selain itu dengan memanfaatkan
twitter, ia berhasil membuat
produknya dipakai oleh beberapa
artis untuk dipakai dalam
pengambilan gambar film.
"Misalnya Julia Peres, Lyra Virna,
Lia Ananta, Asti Ananta, Sheza
Idris dan masih banyak lagi".
Sementara itu menurut Wulan,
lebih efektif untuk menjual
produknya lewat jejaring sosial
karena pasar anak muda sekarang
lebih condong menggunakannya.
Dengan akun www.facebook.com/
miulan.hijab , Wulan memperoleh
pelanggan berlimpah bahkan tak
ayal ada orang yang meniru desain
bahkan namanya.
"Itu tidak masalah, yang penting
kita saat menjual saling percaya
saja. Menggunakan panggilan
akrab seperti 'sist dan cint'
ternyata efektif membuat
pelanggan merasa nyaman untuk
berbelaja," kata Wulan sambil
tersenyum.
Salah satu pelanggan Miulan, Dwi
Putri Normasari mengaku senang
dengan desain hijab yang
dihasilkan Wulan, ia pun selalu
menyempatkan diri membeli hijab
saat melewati butik Miulan.
"Disainnya lucu, harganya juga
terjangkau. Saya selalu mampir
dulu kalau lewat sini," katanya.
( Angling Adhitya Purbaya )
Sumber: http://m.detik.com/news/read/2012/11/17/150757/2093283/608/tsummadana-wulan-sukses-di-usia-muda-berkat-bisnis-hijab
salah satu trend mode di tanah air
sehingga wanita tidak bosan
mengenakan penutup aurat yang
itu-itu saja. Melihat peluang
tersebut, Tsummadana Wulan (22)
merintis karir dengan mendesain
hijab dan menjualnya via online.
Bahkan saat ini produknya sudah
dipakai puluhan artis tanah air.
Di sebuah butik kecil bernama
Miulan di samping rumahnya di Jl
Kedung Batu Selatan no.88
Semarang atau tepat di belakang
Klenteng Sam Po Kong, Wulan dan
tujuh karyawan mengemas puluhan
hijab dan busana muslim yang siap
dikirim ke penjuru tanah air
bahkan luar negeri.
"Mau dikirim ke luar Jawa.
Pelanggan juga ada dari Singapura,
Brunei Darusalam dan yang paling
sering Hongkong," kata Wulan di
butiknya, Sabtu (17/11/2012).
Dengan menjual hijab dan baju
muslim, saat ini Wulan sudah bisa
mewujudkan keinginannya untuk
Umroh, jalan-jalan ke luar negeri
dan membeli barang yang
diinginkannya. Ia pun
menceritakan kisah suksesnya saat
ditemui detikcom.
Awalnya ia hanya mahasiswi biasa
di Fakultas TekniK Informatika
Universitas Dian Nuswantoro
(Udinus) Semarang hingga
akhirnya dosen memberikan tugas
kewirausahaan yaitu membuat
usaha tanpa modal. Gadis cantik
ini pun memutar otak dan
mengawalinya dengan menjual
pakaian pantas pakai miliknya.
"Dari penjualan itu akhirnya dapat
modal dan membuat pernak
pernik asesoris buatan sendiri
misalnya gelang, kalung, cincin
dan lainnya," tandasnya.
Untuk menyokong usahanya,
Wulan juga menjadi anggota salah
satu Multi Level Marketing (MLM)
hingga akhirnya dia bisa
membangun toko. Tapi tidak
seperti yang diharapkan, tokonya
tidak dipenuhi pengunjung bahkan
tergolong sepi. Lagi-lagi Wulan
harus memutar otak agar usahanya
sukses.
"Lalu dibantu Ibu, saya mendisain
hijab dari referensi internet dan
dijual via online. Dari situ ternyata
banyak peminatnya, maka
terlahirlah Miulan bulan
November 2011 lalu," ujar Wulan
bangga.
"Sebulan setidaknya membuat
empat desain baru," imbuhnya.
Lama-kelamaan, usahanya semakin
berkembang, Wulan pun bisa
mempekerjakan tujuh karyawan.
Bahkan ibu-ibu di sekitar tempat
tinggalnya juga ikut kebagian rejeki
dengan membantu memotong dan
menjahit kain yang akan dijadikan
hijab.
"Ibu-ibu di sini ikut membantu,
sedangkan karyawan di butik
tinggal melakukan finishing dan
packing. Ya istilahnya bagi-bagi
rezeki, lah," tutur Wulan.
Selain dijual per buah, hijab
buatan Wulan juga dijual dengan
sistem Distributor dengan minimal
pembelian 100 buah, Agen dan
Reseller dengan minimal
pembelian 20 buah yang akan
mendapatkan diskon khusus.
"Ada diskon 40 persen dan 20
persen. Harga hijabnya antara Rp
30-95 ribu," katanya.
Yang menjadi ciri khas hijab dari
Wulan hingga banyak diminati
adalah karena bahannya yang
terbuat dari kain kaos, serta disain
minimalis dengan asesoris bunga
berwarna soft yang terkadang
saling bertabrakan namun tetap
menjadi kombinasi yang baik.
"Karena desain saya, jadi saya beri
nama sesuka hati misalnya
Cottonia Flowering Shawl (CfO),
Classy Shawl (CS), dan Hoodie Vest
Two Face . Tapi saat ini desain
juga mengikuti permintaan pasar,"
tutur dara kelahiran 23 Desember
1990 tersebut.
Dari usahanya yang baru berdiri
setahun itu, Wulan saat ini
memiliki pendapatan bersih hingga
jutaan rupiah perbulan, omsetnya
pun hingga seratus juta rupiah.
Selain itu dengan memanfaatkan
twitter, ia berhasil membuat
produknya dipakai oleh beberapa
artis untuk dipakai dalam
pengambilan gambar film.
"Misalnya Julia Peres, Lyra Virna,
Lia Ananta, Asti Ananta, Sheza
Idris dan masih banyak lagi".
Sementara itu menurut Wulan,
lebih efektif untuk menjual
produknya lewat jejaring sosial
karena pasar anak muda sekarang
lebih condong menggunakannya.
Dengan akun www.facebook.com/
miulan.hijab , Wulan memperoleh
pelanggan berlimpah bahkan tak
ayal ada orang yang meniru desain
bahkan namanya.
"Itu tidak masalah, yang penting
kita saat menjual saling percaya
saja. Menggunakan panggilan
akrab seperti 'sist dan cint'
ternyata efektif membuat
pelanggan merasa nyaman untuk
berbelaja," kata Wulan sambil
tersenyum.
Salah satu pelanggan Miulan, Dwi
Putri Normasari mengaku senang
dengan desain hijab yang
dihasilkan Wulan, ia pun selalu
menyempatkan diri membeli hijab
saat melewati butik Miulan.
"Disainnya lucu, harganya juga
terjangkau. Saya selalu mampir
dulu kalau lewat sini," katanya.
( Angling Adhitya Purbaya )
Sumber: http://m.detik.com/news/read/2012/11/17/150757/2093283/608/tsummadana-wulan-sukses-di-usia-muda-berkat-bisnis-hijab
Kategori:
Fashion
Thursday, November 8, 2012
Dulu Anton Mulai Usaha Kecap 'Nasional' Bermodal Ribuan, Kini Beromzet Miliaran
Tekad kuat mengantarkan Anton
Tanuwidjaya menjadi juragan kecap.
Di bawah merek Kecap Nasional,
bisnisnya bertahan hingga lebih
dari tiga dasawarsa dan mampu
bersaing dengan pemain besar lain.
Omzetnya sampai Rp 40 miliar
sebulan.
Sering makan bakso atau mi ayam
di pinggir jalan? Anda pasti sangat
familier dengan Kecap Nasional.
Merek kecap ini memang lebih
banyak dipasarkan untuk memenuhi
kebutuhan hotel, restoran, dan
katering (horeka) yang porsinya
sampai 80% dari total distribusi
Kecap Nasional.
Kecap Nasional adalah merek lokal
yang diproduksi di bawah bendera
PD Sari Sedap Indonesia,
perusahaan yang kantor pusatnya
di Bekasi, Jawa Barat. Selain
Nasional, Sari Sedap juga
memproduksi dua merek lain, yakni
Masa dan Cabe Gunung. Produknya
bukan hanya kecap, ada juga saus
dan sirop. Namun, kecap,
khususnya Kecap Nasional menjadi
andalan.
Menurut pemilik Sari Sedap, Anton
Tanuwidjaya, dari sisi volume
penjualan, saus justru menempati
porsi 65%-70% dari total produksi
Sari Sedap. Namun, lantaran harga
saus lebih murah ketimbang kecap,
kontribusi pendapatan dua produk
ini relatif sama. “Omzet per bulan
Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar
pria berumur 67 tahun ini.
Anton merasa sangat bersyukur
terhadap pencapaiannya saat ini
dan tak pernah membayangkan
bakal sesukses sekarang. Sebab,
saat mengawali usaha, dia hanya
ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Maklum, pria yang hanya
mengenyam pendidikan sampai
tingkatan sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) ini adalah perantau
asal Kalimantan Barat.
Lahir dan besar di Pontianak, Anton
semula bekerja sebagai pedagang
ayam di pasar. Kedua orang tuanya
berdagang bawang. Anak pertama
dari 11 bersaudara ini sadar bahwa
kehidupan di kota yang kala itu
belum maju tidak akan
membuatnya sukses. “Tahun 1971,
saya diajak saudara bekerja di
pabrik kertas di daerah Kota,
Jakarta,” katanya.
Bekerja di pabrik kertas dengan
upah minim memang membuat
Anton tidak cukup puas. Hingga,
suatu kali, dia bertemu dengan
kenalan yang mengajarkan cara
membuat kecap yang baik dan
enak. Kebetulan, di dekat pabrik
kertas tersebut, ada pabrik kecap.
Anton melihat pabrik itu sangat
maju. Dia punya keinginan untuk
masuk ke bisnis kecap.
Dengan modal awal dari tabungan
pribadi dan pinjaman saudara
sebesar Rp 3.000, dia keluar dari
pabrik kertas dan memberanikan
diri membuka usaha pembuatan
kecap pada tahun 1974. Anton
membikin sendiri resep kecap.
Awalnya, kapasitas produksinya
hanya 30 lusin botol ukuran 625
mililiter (ml) dalam sehari.
Merek perdana yang dipakai Anton
adalah Cabe Gunung dan Cap
Mangkok di bawah bendera usaha
Sari Sedap. Ia mendistribusikan
produk ini sendiri dengan
mengendarai sepeda, keliling
Jakarta.
Meski tak langsung berkembang
besar, bisnis kecap Anton cukup
stabil. Tahun 1978, dia
memindahkan usahanya ke Bekasi
lantaran pabriknya di Kota akan
kena gusur. Berlokasi di pabrik
baru ini, merek yang diproduksi
Sari Sedap makin beragam. Ada dua
merek baru: Nasional dan Masa.
Kapasitas produksinya juga mulai
naik menjadi 6.000–7.000 lusin
botol ukuran 625 ml per bulan.
Anton mengungkapkan, titik awal
geliat usahanya justru terjadi sejak
tahun 1997. Kala itu, kondisi
ekonomi Tanah Air sedang morat-
marit. Banyak perusahaan kecap,
baik skala besar maupun kecil,
gulung tikar. Akibatnya, banyak
produk kecap yang hilang di pasar.
Padahal, kebutuhan akan penyedap
masakan ini tetap ada, meski krisis
menghantam.
Berkah datang justru saat
musibah
Di tengah kondisi pasar seperti itu,
Sari Sedap bisa tetap bertahan
lantaran memiliki jaringan bisnis
yang kuat. Tak ayal, saat yang lain
susah, Sari Sedap justru kebanjiran
pesanan. “Stok kecap untuk tiga
bulan ke depan sampai ludes dan
saya harus menambah kapasitas
produksi serta para tenaga
penjual,” beber Anton.
Soal jaringan bisnis yang kuat,
Anton punya rahasia. Dia lebih
mengejar penjualan dalam sisi
volume ketimbang margin. “Saya
lebih memilih mendapat untung
tiga dari 10 pembeli ketimbang
untung tiga dari tiga pembeli,”
katanya memberikan gambaran.
Menurutnya, bisnis akan lebih kuat
berpijak jika besar pada sisi
volume.
Tak heran, harga jual produk kecap
buatan Anton bisa lebih miring
hingga 60% ketimbang kompetitor.
Meski harga lebih miring, dia
berani menantang kompetitor soal
kualitas.
Saat ini, kapasitas produksi Kecap
Nasional mencapai 100.000 lusin
botol ukuran 625 ml dan 30.000
lusin isi ulang (refill) per bulan.
Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang
seluas 15 hektare (ha) menyerap
hingga 1.600 karyawan. Hebatnya,
sejak dua tahun lalu, produk Sari
Sedap bahkan sudah diekspor ke
pasar mancanegara, seperti
Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Vancouver,
Kanada, dengan merek Sari Sedap
Indonesia.
Tahun ini, Sari Sedap berencana
meluncurkan produk kecap baru
yang kelasnya lebih premium.
Anton menjanjikan, kualitas produk
ini makin bagus. “Kami ingin
menyasar pasar ritel,” ungkapnya. (Anastasia Lilin Y )
sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/xml/dulu-anton-mulai-berusaha-bermodal-ribuan-kini-beromzet-miliaran-1
Tanuwidjaya menjadi juragan kecap.
Di bawah merek Kecap Nasional,
bisnisnya bertahan hingga lebih
dari tiga dasawarsa dan mampu
bersaing dengan pemain besar lain.
Omzetnya sampai Rp 40 miliar
sebulan.
Sering makan bakso atau mi ayam
di pinggir jalan? Anda pasti sangat
familier dengan Kecap Nasional.
Merek kecap ini memang lebih
banyak dipasarkan untuk memenuhi
kebutuhan hotel, restoran, dan
katering (horeka) yang porsinya
sampai 80% dari total distribusi
Kecap Nasional.
Kecap Nasional adalah merek lokal
yang diproduksi di bawah bendera
PD Sari Sedap Indonesia,
perusahaan yang kantor pusatnya
di Bekasi, Jawa Barat. Selain
Nasional, Sari Sedap juga
memproduksi dua merek lain, yakni
Masa dan Cabe Gunung. Produknya
bukan hanya kecap, ada juga saus
dan sirop. Namun, kecap,
khususnya Kecap Nasional menjadi
andalan.
Menurut pemilik Sari Sedap, Anton
Tanuwidjaya, dari sisi volume
penjualan, saus justru menempati
porsi 65%-70% dari total produksi
Sari Sedap. Namun, lantaran harga
saus lebih murah ketimbang kecap,
kontribusi pendapatan dua produk
ini relatif sama. “Omzet per bulan
Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar
pria berumur 67 tahun ini.
Anton merasa sangat bersyukur
terhadap pencapaiannya saat ini
dan tak pernah membayangkan
bakal sesukses sekarang. Sebab,
saat mengawali usaha, dia hanya
ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Maklum, pria yang hanya
mengenyam pendidikan sampai
tingkatan sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) ini adalah perantau
asal Kalimantan Barat.
Lahir dan besar di Pontianak, Anton
semula bekerja sebagai pedagang
ayam di pasar. Kedua orang tuanya
berdagang bawang. Anak pertama
dari 11 bersaudara ini sadar bahwa
kehidupan di kota yang kala itu
belum maju tidak akan
membuatnya sukses. “Tahun 1971,
saya diajak saudara bekerja di
pabrik kertas di daerah Kota,
Jakarta,” katanya.
Bekerja di pabrik kertas dengan
upah minim memang membuat
Anton tidak cukup puas. Hingga,
suatu kali, dia bertemu dengan
kenalan yang mengajarkan cara
membuat kecap yang baik dan
enak. Kebetulan, di dekat pabrik
kertas tersebut, ada pabrik kecap.
Anton melihat pabrik itu sangat
maju. Dia punya keinginan untuk
masuk ke bisnis kecap.
Dengan modal awal dari tabungan
pribadi dan pinjaman saudara
sebesar Rp 3.000, dia keluar dari
pabrik kertas dan memberanikan
diri membuka usaha pembuatan
kecap pada tahun 1974. Anton
membikin sendiri resep kecap.
Awalnya, kapasitas produksinya
hanya 30 lusin botol ukuran 625
mililiter (ml) dalam sehari.
Merek perdana yang dipakai Anton
adalah Cabe Gunung dan Cap
Mangkok di bawah bendera usaha
Sari Sedap. Ia mendistribusikan
produk ini sendiri dengan
mengendarai sepeda, keliling
Jakarta.
Meski tak langsung berkembang
besar, bisnis kecap Anton cukup
stabil. Tahun 1978, dia
memindahkan usahanya ke Bekasi
lantaran pabriknya di Kota akan
kena gusur. Berlokasi di pabrik
baru ini, merek yang diproduksi
Sari Sedap makin beragam. Ada dua
merek baru: Nasional dan Masa.
Kapasitas produksinya juga mulai
naik menjadi 6.000–7.000 lusin
botol ukuran 625 ml per bulan.
Anton mengungkapkan, titik awal
geliat usahanya justru terjadi sejak
tahun 1997. Kala itu, kondisi
ekonomi Tanah Air sedang morat-
marit. Banyak perusahaan kecap,
baik skala besar maupun kecil,
gulung tikar. Akibatnya, banyak
produk kecap yang hilang di pasar.
Padahal, kebutuhan akan penyedap
masakan ini tetap ada, meski krisis
menghantam.
Berkah datang justru saat
musibah
Di tengah kondisi pasar seperti itu,
Sari Sedap bisa tetap bertahan
lantaran memiliki jaringan bisnis
yang kuat. Tak ayal, saat yang lain
susah, Sari Sedap justru kebanjiran
pesanan. “Stok kecap untuk tiga
bulan ke depan sampai ludes dan
saya harus menambah kapasitas
produksi serta para tenaga
penjual,” beber Anton.
Soal jaringan bisnis yang kuat,
Anton punya rahasia. Dia lebih
mengejar penjualan dalam sisi
volume ketimbang margin. “Saya
lebih memilih mendapat untung
tiga dari 10 pembeli ketimbang
untung tiga dari tiga pembeli,”
katanya memberikan gambaran.
Menurutnya, bisnis akan lebih kuat
berpijak jika besar pada sisi
volume.
Tak heran, harga jual produk kecap
buatan Anton bisa lebih miring
hingga 60% ketimbang kompetitor.
Meski harga lebih miring, dia
berani menantang kompetitor soal
kualitas.
Saat ini, kapasitas produksi Kecap
Nasional mencapai 100.000 lusin
botol ukuran 625 ml dan 30.000
lusin isi ulang (refill) per bulan.
Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang
seluas 15 hektare (ha) menyerap
hingga 1.600 karyawan. Hebatnya,
sejak dua tahun lalu, produk Sari
Sedap bahkan sudah diekspor ke
pasar mancanegara, seperti
Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Vancouver,
Kanada, dengan merek Sari Sedap
Indonesia.
Tahun ini, Sari Sedap berencana
meluncurkan produk kecap baru
yang kelasnya lebih premium.
Anton menjanjikan, kualitas produk
ini makin bagus. “Kami ingin
menyasar pasar ritel,” ungkapnya. (Anastasia Lilin Y )
sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/xml/dulu-anton-mulai-berusaha-bermodal-ribuan-kini-beromzet-miliaran-1
Kategori:
Kuliner
Thursday, November 1, 2012
Bisnis Mobil-mobilan Kayu Pak Marsa'ad Ini Sudah Menembus Hingga Eropa
Jakarta - Hampir semua bocah
laki-laki menyukai mainan mobil-
mobilan. Siapa sangka jika hampir
semua mainan mobil-mobilan kayu
yang dijual di pasar DKI Jakarta,
merupakan hasil kerajinan tangan
pabrik U.D Senang Anak milik Pak
Marsa'ad.
"Saya mulai usaha ini tahun 1977.
Awalnya iseng-iseng karena
kerjaan saya sebelumnya
bangkrut," ujar Marsa'ad ketika
ditemui detikFinance di tokonya,
Kalibata, Jakarta, Minggu
(3/8/2008).
Inspirasi pria berusia 57 tahun ini
datang dari keinginannya untuk
membuat usaha yang dapat
menyenangkan anak-anak.
"Saya pikir, siapa sih yang tidak
suka mainan mobil-mobilan," ujar
Marsa'ad.
Dengan modal sekedarnya,
pengusaha yang memiliki nama
asli Umar ini mulai membuka
usaha ini. Ia kemudian bekerja
sama dengan pemilik lahan di
Kalibata untuk membuka toko
disana.
"Jadi saya kerjasama dengan
pemilik lahan. Dia sediakan lahan,
saya produknya. Sistem
pembagiannya dengan bagi hasil,"
jelas Marsa'ad.
Pabrik mainan ini terletak di
wilayah Karawang. Pabriknya pun
bukan pabrik besar dengan
teknologi canggih, melainkan
pabrik industri rumahan.
"Jadi di Karawang, saya
menerapkan sistem pesan
borongan pada pabrik-pabrik
rumahan disana," ujar Marsa'ad.
Sistem pesan borongan yang
dimaksud Marsa'ad adalah sistem
beli berdasarkan unit, dan
pembayaran dilakukan berdasarkan
jumlah unit yang dibuat. Dalam
terminologi modern, sistem beli
putus ala pak Marsa'ad ini mirip
dengan sistem outsourcing.
"Karena kalau pakai sistem gaji
agak repot. Kalau mereka lagi
malas, hasil unitnya sedikit, saya
tetap harus menggaji mereka,"
jelas Marsa'ad.
Mekanisme produksi yang tidak
terintegrasi inilah yang
dipertahankan oleh Marsa'ad
selama 30 tahun lebih. Dalam
perjalanannya, rupanya dengan
mekanisme seperti itu, usaha pak
Marsa'ad pernah mengalami
kejayaan.
"Jumlah pengrajin kami pernah
mencapai 200 orang. Ketika itu
produksi sangat banyak sekali,
bahkan sampai diekspor ke
Belanda, Jerman, Australia dan
Jepang," papar Marsa'ad.
Ketika itu pun produk kerajinan
ala pak Marsa'ad ini dijual di
berbagai kota di Indonesia seperti
Bekasi, Bogor, Tangerang,
Palembang, Cirebon hingga
Semarang.
"Sampai sekarang pun sebenarnya
permintaan masih sangat tinggi,
namun tidak bisa kami penuhi
karena pengrajin kami saat ini
jumlahnya tinggal 40 orangan,"
ujar Marsa'ad.
Menurut pak Marsa'ad, kondisi
ekonomi menjadi faktor utama
yang menyebabkan penyusutan
jumlah tenaga kerja pabriknya.
Jika dulu U.D Senang Anak mampu
memproduksi 37 tipe mobil-
mobilan, kini berkurang separuh
menjadi 18 tipe saja.
Penyusutan jumlah pengrajin juga
memangkas produksi mainan
mobil-mobilan menjadi maksimal
500 unit saja satu bulannya.
"Padahal, permintaan dari Belanda
atau Jerman misalnya, mereka
biasanya minta 200 unit sekaligus
per negara," ujar Marsa'ad.
Masalah tenaga kerja rupanya
cukup menghambat pengembangan
usaha pak Marsa'ad. Sistem pabrik
tidak terintegrasi yang telah
berjalan selama 30 tahun lebih
mulai dipertanyakan oleh pak
Marsa'ad.
"Dengan keadaan seperti ini, saya
berpikir untuk bikin pabrik.
Namun modalnya cukup besar
sekitar Rp 300-500 jutaan. Modal
tersebut untuk membeli gudang,
mesian dan sebagainya," ujar
Marsa'ad.
Seandainya pabrik terintegrasi
sudah terwujud, tentu masalah-
masalah ketenagakerjaan dapat
lebih dikendalikan. Apalagi
menurut Pak Marsa'ad, dari segi
permintaan jumlahnya sangat
tinggi, jadi prospek usaha ini ke
depan bukanlah suatu hal yang
perlu dikhawatirkan.
"Buktinya, di tengah kenaikan
BBM seperti ini, ketika kami
menaikkan harga jual, permintaan
tidak berkurang," ujar Marsa'ad.
Saat ini harga jual produk pak
Marsa'ad berkisar antara Rp 35
ribu hingga Rp 175 ribu per
unitnya. Modal yang dibutuhkan
berkisar antara Rp 23 ribu hingga
Rp 125 ribu per unit.
"Namun untuk bikin pabrik, kami
terbentur modal. Ingin
mengajukan ke bank, tapi kami
tidak punya agunan. Lagipula bank
juga tidak percaya dengan usaha
ini," ujar Marsa'ad.
Meski memiliki pabrik masih
menjadi impian, namun ia
berharap dapat mewujudkan cita-
citanya suatu hari nanti, entah
dengan modal sendiri maupun
bekerja sama dengan pemodal
pihak luar.( Indro Bagus SU)
Tertarik investasi disini:
Hubungi:
U.D Senang Anak
Jl Raya Pasar Minggu No 46,
Kalibata Timur, Jakarta Selatan.
Marsa'ad alias Umar
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/04/083338/982261/480/
laki-laki menyukai mainan mobil-
mobilan. Siapa sangka jika hampir
semua mainan mobil-mobilan kayu
yang dijual di pasar DKI Jakarta,
merupakan hasil kerajinan tangan
pabrik U.D Senang Anak milik Pak
Marsa'ad.
"Saya mulai usaha ini tahun 1977.
Awalnya iseng-iseng karena
kerjaan saya sebelumnya
bangkrut," ujar Marsa'ad ketika
ditemui detikFinance di tokonya,
Kalibata, Jakarta, Minggu
(3/8/2008).
Inspirasi pria berusia 57 tahun ini
datang dari keinginannya untuk
membuat usaha yang dapat
menyenangkan anak-anak.
"Saya pikir, siapa sih yang tidak
suka mainan mobil-mobilan," ujar
Marsa'ad.
Dengan modal sekedarnya,
pengusaha yang memiliki nama
asli Umar ini mulai membuka
usaha ini. Ia kemudian bekerja
sama dengan pemilik lahan di
Kalibata untuk membuka toko
disana.
"Jadi saya kerjasama dengan
pemilik lahan. Dia sediakan lahan,
saya produknya. Sistem
pembagiannya dengan bagi hasil,"
jelas Marsa'ad.
Pabrik mainan ini terletak di
wilayah Karawang. Pabriknya pun
bukan pabrik besar dengan
teknologi canggih, melainkan
pabrik industri rumahan.
"Jadi di Karawang, saya
menerapkan sistem pesan
borongan pada pabrik-pabrik
rumahan disana," ujar Marsa'ad.
Sistem pesan borongan yang
dimaksud Marsa'ad adalah sistem
beli berdasarkan unit, dan
pembayaran dilakukan berdasarkan
jumlah unit yang dibuat. Dalam
terminologi modern, sistem beli
putus ala pak Marsa'ad ini mirip
dengan sistem outsourcing.
"Karena kalau pakai sistem gaji
agak repot. Kalau mereka lagi
malas, hasil unitnya sedikit, saya
tetap harus menggaji mereka,"
jelas Marsa'ad.
Mekanisme produksi yang tidak
terintegrasi inilah yang
dipertahankan oleh Marsa'ad
selama 30 tahun lebih. Dalam
perjalanannya, rupanya dengan
mekanisme seperti itu, usaha pak
Marsa'ad pernah mengalami
kejayaan.
"Jumlah pengrajin kami pernah
mencapai 200 orang. Ketika itu
produksi sangat banyak sekali,
bahkan sampai diekspor ke
Belanda, Jerman, Australia dan
Jepang," papar Marsa'ad.
Ketika itu pun produk kerajinan
ala pak Marsa'ad ini dijual di
berbagai kota di Indonesia seperti
Bekasi, Bogor, Tangerang,
Palembang, Cirebon hingga
Semarang.
"Sampai sekarang pun sebenarnya
permintaan masih sangat tinggi,
namun tidak bisa kami penuhi
karena pengrajin kami saat ini
jumlahnya tinggal 40 orangan,"
ujar Marsa'ad.
Menurut pak Marsa'ad, kondisi
ekonomi menjadi faktor utama
yang menyebabkan penyusutan
jumlah tenaga kerja pabriknya.
Jika dulu U.D Senang Anak mampu
memproduksi 37 tipe mobil-
mobilan, kini berkurang separuh
menjadi 18 tipe saja.
Penyusutan jumlah pengrajin juga
memangkas produksi mainan
mobil-mobilan menjadi maksimal
500 unit saja satu bulannya.
"Padahal, permintaan dari Belanda
atau Jerman misalnya, mereka
biasanya minta 200 unit sekaligus
per negara," ujar Marsa'ad.
Masalah tenaga kerja rupanya
cukup menghambat pengembangan
usaha pak Marsa'ad. Sistem pabrik
tidak terintegrasi yang telah
berjalan selama 30 tahun lebih
mulai dipertanyakan oleh pak
Marsa'ad.
"Dengan keadaan seperti ini, saya
berpikir untuk bikin pabrik.
Namun modalnya cukup besar
sekitar Rp 300-500 jutaan. Modal
tersebut untuk membeli gudang,
mesian dan sebagainya," ujar
Marsa'ad.
Seandainya pabrik terintegrasi
sudah terwujud, tentu masalah-
masalah ketenagakerjaan dapat
lebih dikendalikan. Apalagi
menurut Pak Marsa'ad, dari segi
permintaan jumlahnya sangat
tinggi, jadi prospek usaha ini ke
depan bukanlah suatu hal yang
perlu dikhawatirkan.
"Buktinya, di tengah kenaikan
BBM seperti ini, ketika kami
menaikkan harga jual, permintaan
tidak berkurang," ujar Marsa'ad.
Saat ini harga jual produk pak
Marsa'ad berkisar antara Rp 35
ribu hingga Rp 175 ribu per
unitnya. Modal yang dibutuhkan
berkisar antara Rp 23 ribu hingga
Rp 125 ribu per unit.
"Namun untuk bikin pabrik, kami
terbentur modal. Ingin
mengajukan ke bank, tapi kami
tidak punya agunan. Lagipula bank
juga tidak percaya dengan usaha
ini," ujar Marsa'ad.
Meski memiliki pabrik masih
menjadi impian, namun ia
berharap dapat mewujudkan cita-
citanya suatu hari nanti, entah
dengan modal sendiri maupun
bekerja sama dengan pemodal
pihak luar.( Indro Bagus SU)
Tertarik investasi disini:
Hubungi:
U.D Senang Anak
Jl Raya Pasar Minggu No 46,
Kalibata Timur, Jakarta Selatan.
Marsa'ad alias Umar
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/04/083338/982261/480/
Thursday, October 25, 2012
Ermey, Dulu Awal Usaha Toko 'Dapur Cokelat' Punya 3 Karyawan, Kini Menjadi 300 Karyawan
Bermula dari kegemaran terhadap
cokelat, Ermey Trisniaty sukses
membangun toko Dapur Cokelat. Ia
rela melepas pendidikannya untuk
membangun bisnisnya ini. Dengan
delapan toko, kini, omzet Dapur
Cokelat bisa ratusan juta rupiah per
bulan.
Katakan dengan cokelat. Begitulah,
sekarang, banyak orang
memanfaatkan cokelat sebagai
ungkapan kasih sayang dan
perhatian mereka. Cokelat diberikan
bukan cuma di saat event khusus
seperti valentine, tapi juga saat
orang sakit, melahirkan,
ulangtahun, dan perayaan
keagamaan.
Salah satu gerai cokelat ternama di
Ibukota adalah Dapur Cokelat.
Berdiri sejak 10 tahun silam, Dapur
Cokelat adalah pionir toko cokelat
di Indonesia. Kini, Dapur Cokelat
memiliki delapan gerai di Jakarta
dan Surabaya. Setiap hari, total
penjualan semua gerai mencapai
3.000 kilogram (kg) cokelat, baik
berupa pralin atau kue.
Di balik sukses Dapur Cokelat ada
nama Ermey Trisniaty. Sejak kecil,
ia memang suka cokelat, entah
dalam bentuk permen atau kue.
“Zaman dulu, kan, cokelat-cokelat
itu sudah enak sekali,” kenangnya.
Saking gemarnya, perempuan yang
biasa disapa Eyi ini kerap
menyimpan cokelat di bawah bantal
supaya bisa ia makan sebelum
tidur. Ia tidak bisa tidur sebelum
makan cokelat. “Tapi, saya tidak
pernah sakit gigi, tuh,” ujarnya
sambil tergelak.
Kini, kegemaran Ermey itu
dicurahkan ke bisnis cokelat melalui
Dapur Cokelat. Dengan menjual
permen cokelat (praline), kue (cake)
ulangtahun, dan wedding cake
seharga Rp 2.500–Rp 250.000,
Dapur Cokelat mampu meraup
omzet Rp 500 juta lebih setiap
bulan.
Ermey menempuh jalan terjal yang
cukup panjang sebelum menggapai
sukses seperti sekarang. Sejak kecil,
perempuan kelahiran Jakarta 2 Mei
1975 ini memang sudah hobi
memasak. Ia sering membantu sang
ibu memasak di dapur.
Kegemaran memasak itu Ermey
pertajam dengan bersekolah di
National Hotel Institute, Bandung.
Meski belajar ilmu memasak dengan
aneka menu, ia tetap mencoba
membuat makanan berbahan
cokelat. Saat kuliah itulah, untuk
pertama kalinya, ia mencoba
membuat kue berbahan cokelat.
Jenis kue yang dibikin Ermey adalah
cake cokelat. Keluar dari oven,
cake -nya langsung diserbu dan
dinikmati kawan-kawan kosnya di
Bandung. Melihat teman-temannya
sangat menyukai cake buatannya,
tekadnya untuk memproduksi aneka
kue cokelat semakin bulat. “Saya
langsung bersemangat, mencoba
membuat inovasi permen cokelat,”
ujarnya.
Dengan modal Rp 10.000 untuk
membeli bahan baku, Eyi mencoba
membuat praline. Ia memanfaatkan
kompor kecil di dapur kosnya untuk
mengolah bahan baku cokelat. Kala
itu, ia membuat praline hanya
untuk coba-coba dan iseng.
Lulus dari kuliah di Bandung, di
tahun 1994, Ermey melanjutkan
kuliah di Jurusan Agrobisnis Institut
Pertanian Bogor (IPB). Sambil
kuliah, ia bertekad memulai usaha
berjualan kue supaya bisa mendapat
penghasilan. Sang ayah memang
selalu mengajarkannya untuk
berusaha mendapatkan uang dengan
usaha sendiri. “Modal awal berasal
dari ayah sebesar Rp 200.000.
Tadinya buat beli handphone ,” kata
perempuan yang pernah bekerja di
hotel dan menjadi awak redaksi di
majalah Selera ini.
Dengan modal Rp 200.000 itu,
Ermey menjajal keberuntungannya
di bisnis kue cokelat. Tidak sampai
seminggu, ia sudah meraup Rp
500.000, dua kali lipat lebih
modalnya. Saat itu, ia segera
mengembalikan duit ayahnya dan
sekaligus membeli handphone.
Sukses di bisnis kue, ia semakin
yakin bahwa bisnis ini menjanjikan.
Tapi, lantaran tak bisa sambil
kuliah, ia melepas pendidikannya di
IPB. “Harus ada yang saya
korbankan. Tapi, saya tidak
menyesal,” katanya.
Cokelat menyatukan
Di 2001, bersama Okky Dewanto
yang kemudian menjadi suaminya,
Ermey mulai serius membangun
toko cokelat berjuluk Dapur
Cokelat. Benih-benih cintanya
dengan Okky tak lepas dari unsur
cokelat. Alkisah, Ermey meminta
Okky mencicipi kue buatannya.
Okky yang sudah lebih dulu
bergerak di bisnis pastry terpikat
kue Ermey. “Wah enak, nih, kita
jual, yuk!” kata Ermey menirukan
ajakan kekasihnya waktu itu.
Sekali mendayung, dua tiga pulau
terlampaui. Ermey mendapatkan
tambatan hatinya sekaligus memulai
cikal bakal usaha Dapur Cokelat-
nya. Dengan modal Rp 75 juta hasil
patungan dengan Okky dan seorang
teman, Ermey membangun toko di
Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta
Selatan. Hampir 50% modalnya
habis untuk investasi peralatan dan
sewa lahan. Sisanya untuk membeli
bahan baku cokelat dari produsen
lokal. Ia hanya mempekerjakan tiga
orang untuk membantu proses
produksi di dapur.
Ermey punya cara promosi unik. Ia
mengumpulkan nama orang dan
alamat-alamat yang tidak ia kenal
sebelumnya. “Saya kirim 1.500
kertas promosi Dapur Cokelat
menggunakan perangko seadanya,”
katanya.
Usahanya itu membuahkan hasil.
Pelan-pelan, pengunjung mulai
datang. Dari semula sekadar coba-
coba, belakangan, makin banyak
dari mereka yang menjadi
pelanggan tetap. Kini, dengan
delapan gerai Dapur Cokelat, Ermey
sudah memiliki 300 karyawan.
( Diade Riva Nugrahani)
Sumber: http//mobile.kontan.co.id//news/ermey-penggemar-cokelat-yang-sukses-membangun-gerai-cokelat-ternama-1
cokelat, Ermey Trisniaty sukses
membangun toko Dapur Cokelat. Ia
rela melepas pendidikannya untuk
membangun bisnisnya ini. Dengan
delapan toko, kini, omzet Dapur
Cokelat bisa ratusan juta rupiah per
bulan.
Katakan dengan cokelat. Begitulah,
sekarang, banyak orang
memanfaatkan cokelat sebagai
ungkapan kasih sayang dan
perhatian mereka. Cokelat diberikan
bukan cuma di saat event khusus
seperti valentine, tapi juga saat
orang sakit, melahirkan,
ulangtahun, dan perayaan
keagamaan.
Salah satu gerai cokelat ternama di
Ibukota adalah Dapur Cokelat.
Berdiri sejak 10 tahun silam, Dapur
Cokelat adalah pionir toko cokelat
di Indonesia. Kini, Dapur Cokelat
memiliki delapan gerai di Jakarta
dan Surabaya. Setiap hari, total
penjualan semua gerai mencapai
3.000 kilogram (kg) cokelat, baik
berupa pralin atau kue.
Di balik sukses Dapur Cokelat ada
nama Ermey Trisniaty. Sejak kecil,
ia memang suka cokelat, entah
dalam bentuk permen atau kue.
“Zaman dulu, kan, cokelat-cokelat
itu sudah enak sekali,” kenangnya.
Saking gemarnya, perempuan yang
biasa disapa Eyi ini kerap
menyimpan cokelat di bawah bantal
supaya bisa ia makan sebelum
tidur. Ia tidak bisa tidur sebelum
makan cokelat. “Tapi, saya tidak
pernah sakit gigi, tuh,” ujarnya
sambil tergelak.
Kini, kegemaran Ermey itu
dicurahkan ke bisnis cokelat melalui
Dapur Cokelat. Dengan menjual
permen cokelat (praline), kue (cake)
ulangtahun, dan wedding cake
seharga Rp 2.500–Rp 250.000,
Dapur Cokelat mampu meraup
omzet Rp 500 juta lebih setiap
bulan.
Ermey menempuh jalan terjal yang
cukup panjang sebelum menggapai
sukses seperti sekarang. Sejak kecil,
perempuan kelahiran Jakarta 2 Mei
1975 ini memang sudah hobi
memasak. Ia sering membantu sang
ibu memasak di dapur.
Kegemaran memasak itu Ermey
pertajam dengan bersekolah di
National Hotel Institute, Bandung.
Meski belajar ilmu memasak dengan
aneka menu, ia tetap mencoba
membuat makanan berbahan
cokelat. Saat kuliah itulah, untuk
pertama kalinya, ia mencoba
membuat kue berbahan cokelat.
Jenis kue yang dibikin Ermey adalah
cake cokelat. Keluar dari oven,
cake -nya langsung diserbu dan
dinikmati kawan-kawan kosnya di
Bandung. Melihat teman-temannya
sangat menyukai cake buatannya,
tekadnya untuk memproduksi aneka
kue cokelat semakin bulat. “Saya
langsung bersemangat, mencoba
membuat inovasi permen cokelat,”
ujarnya.
Dengan modal Rp 10.000 untuk
membeli bahan baku, Eyi mencoba
membuat praline. Ia memanfaatkan
kompor kecil di dapur kosnya untuk
mengolah bahan baku cokelat. Kala
itu, ia membuat praline hanya
untuk coba-coba dan iseng.
Lulus dari kuliah di Bandung, di
tahun 1994, Ermey melanjutkan
kuliah di Jurusan Agrobisnis Institut
Pertanian Bogor (IPB). Sambil
kuliah, ia bertekad memulai usaha
berjualan kue supaya bisa mendapat
penghasilan. Sang ayah memang
selalu mengajarkannya untuk
berusaha mendapatkan uang dengan
usaha sendiri. “Modal awal berasal
dari ayah sebesar Rp 200.000.
Tadinya buat beli handphone ,” kata
perempuan yang pernah bekerja di
hotel dan menjadi awak redaksi di
majalah Selera ini.
Dengan modal Rp 200.000 itu,
Ermey menjajal keberuntungannya
di bisnis kue cokelat. Tidak sampai
seminggu, ia sudah meraup Rp
500.000, dua kali lipat lebih
modalnya. Saat itu, ia segera
mengembalikan duit ayahnya dan
sekaligus membeli handphone.
Sukses di bisnis kue, ia semakin
yakin bahwa bisnis ini menjanjikan.
Tapi, lantaran tak bisa sambil
kuliah, ia melepas pendidikannya di
IPB. “Harus ada yang saya
korbankan. Tapi, saya tidak
menyesal,” katanya.
Cokelat menyatukan
Di 2001, bersama Okky Dewanto
yang kemudian menjadi suaminya,
Ermey mulai serius membangun
toko cokelat berjuluk Dapur
Cokelat. Benih-benih cintanya
dengan Okky tak lepas dari unsur
cokelat. Alkisah, Ermey meminta
Okky mencicipi kue buatannya.
Okky yang sudah lebih dulu
bergerak di bisnis pastry terpikat
kue Ermey. “Wah enak, nih, kita
jual, yuk!” kata Ermey menirukan
ajakan kekasihnya waktu itu.
Sekali mendayung, dua tiga pulau
terlampaui. Ermey mendapatkan
tambatan hatinya sekaligus memulai
cikal bakal usaha Dapur Cokelat-
nya. Dengan modal Rp 75 juta hasil
patungan dengan Okky dan seorang
teman, Ermey membangun toko di
Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta
Selatan. Hampir 50% modalnya
habis untuk investasi peralatan dan
sewa lahan. Sisanya untuk membeli
bahan baku cokelat dari produsen
lokal. Ia hanya mempekerjakan tiga
orang untuk membantu proses
produksi di dapur.
Ermey punya cara promosi unik. Ia
mengumpulkan nama orang dan
alamat-alamat yang tidak ia kenal
sebelumnya. “Saya kirim 1.500
kertas promosi Dapur Cokelat
menggunakan perangko seadanya,”
katanya.
Usahanya itu membuahkan hasil.
Pelan-pelan, pengunjung mulai
datang. Dari semula sekadar coba-
coba, belakangan, makin banyak
dari mereka yang menjadi
pelanggan tetap. Kini, dengan
delapan gerai Dapur Cokelat, Ermey
sudah memiliki 300 karyawan.
( Diade Riva Nugrahani)
Sumber: http//mobile.kontan.co.id//news/ermey-penggemar-cokelat-yang-sukses-membangun-gerai-cokelat-ternama-1
Kategori:
Kuliner
Nur Handiah, Berbekal Kreatif dan Inovatif, Kerajinan Kerang-nya Sukses Tembus Hingga ke Empat Benua
Jakarta - Jangan anggap sebelah mata produk Industri Kecil Menengah (IKM) buatan Indonesia. Bukan tak mungkin produk IKM bisa mengalahkan produk perusahaan besar. Misalnya produk hiasan kerang asal Cirebon, produk bernuansa etnik ini telah diekspor ke berbagai benua antaralain Eropa, Asia, Afrika hingga Amerika. "Awalnya dari bahan bakunya saja (kerang) diekspor karena ada temannya suami saya dari luar negeri pesan kerang. Saya penasaran buat apa, akhirnya saya nggak mau kirim bahan bakunya saja. Saya buat barangnya," ungkap Pemilik CV Multi Dimensi Shell Craft Manufacturer and Exporter, Nur Handiah J Taguba kepada detikFinance di acara Trade Expo Indonesia di JIExpo Kemayoran Jakarta, Kamis (18/10/12). Ia menceritakan usahanya dimulai pada tahun 2000, CV ini berdiri di Cirebon di atas lahan seluas 1.000 meter persegi dan mempekerjakan sekitar 60 orang yang diantaranya adalah para tetangganya. "Harganya mulai dari Rp 5000 untuk gantungan kunci, pembatas buku, bunga. Dan yang paling mahal itu Rp 24 juta, itu untuk lampu dan juga ada yang 1 set furnitur yaitu kursi, meja dan cerminnya, lampunya," paparnya. Saat ini, produk yang ditawarkanpun memiliki inovasi yang lebih maju, mulai dari hiasan, hingga lampu kristal terbuat dari kerang. "Seiring berjalannya waktu, sekarang ada 32.000 m2, kapasitas produksi kita hingga 8 kontainer (per bulan)," katanya. Ia mengatakan, saat ini usaha yang sudah ditekuni sejak 12 tahun lalu ini sudah banyak merambah pasar dunia. Sebut saja negara Eropa seperti Jerman, Spanyol, Italia. Sedangkan untuk pasar Asia, ke Singapura, Jepang, Korea. Timur tengah, Amerika Latin hingga Afrika Selatan menjadi pelanggan produk kerang ini. "Kirimnya 5-6 kontainer (per bulan) untuk ekspor, pasar dalam negeri kita kurang. Kita punya toko di Jogja, Bali, Jakarta dan Cirebon, tapi yang beli tetap turis asing," jelasnya. Perusahaan milik Nur ini setiap bulan bisa menjual produknya hingga senilai Rp 2 miliar. "Nggak tentu sih, kalau lagi rame bisa sampai Rp 1 miliar lebih. Bisa sampai Rp 2 miliar," pungkasnya. ( Zulfi Suhendra) Sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/10/18/184329/2066485/480/kerang-made-in-cirebon-terbang-hingga-ke-eropa-amerika
Tuesday, October 23, 2012
Jody Brotosuseno, Pemilik Waroeng Steak and Shake, Awalnya Jual Motor untuk Modal, Kini Punya 1000 Karyawan
Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha
kulinernya telah mencapai 50
outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap
gerai. Lantas, apa hubungannya
dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?
Mendengar kata steak akan teringat
makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku
di “Waroeng Steak and Shake”.
Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka
macam steak pun dapat dinikmati
dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng
Steak and Shake buka pada saat jam
makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang
telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan,
tak jarang sebagian di antaranya
rela antri untuk mendapatkan
tempat duduk.
Seiring dengan berputarnya waktu,
usaha ini semakin melaju. Jika
tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai
dengan mempekerjakan 1.000
karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group
tidak lepas dari keuletan dan
tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan
bakat wirausaha yang dimilikinya,
sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam
usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos
partai. Untung dan rugi pun pernah
ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat
mengurusi usaha “Obonk Steak”
milik orangtuanya. Ia diminta
menangani Obonk Steak dan
memasarkannya ke teman-teman
kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak
ada yang datang, karena harganya
cukup mahal dan tidak terjangkau
oleh kantong mahasiswa,”
ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang
memberi inspirasi untuk membuat
usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai
memikirkan cara menekan harga
steak yang sejatinya memang
mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan
Waroeng Steak and Shake
dibutuhkan modal awal yang cukup
besar. Beruntung ia memiliki
sepeda motor pemberian orangtua,
yang akhirnya dijual untuk modal
usaha.
“Dari penjualan motor, saya
gunakan untuk sewa tempat di
daerah Demangan Yogyakarta,
sebagian lagi untuk peralatan
usaha, dan sisanya untuk membeli
motor tua sebagai alat
transportasi,” ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah
awal berdirinya Waroeng Steak and
Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody
memilih nama Waroeng sebagai
brand usaha kulinernya untuk
memberi kesan murah kepada
konsumen.
“Di mana-mana yang namanya steak
itu mahal, makanya saya memberi
nama Waroeng untuk memberi
kesan murah,” kata Jody.
Mengingat pangsa pasarnya anak
muda dan mahasiswa, maka warna
yang digunakannya pun dibuat
ngejreng, dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna
putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan
perjuangan bagi Jody. Dengan lima
meja, sepuluh hot plate dan tiga
menu utama (Sirloin, Tenderlon,
dan Chicken Steak) yang disediakan
Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya
daripada sukanya. Namun, usaha
ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya
melayani tamu sekaligus menjadi
kasir, dan dua karyawannya
menangani tugas lainnya.
“Alhamdulillah, di tahun pertama
masih bisa menggaji karyawan dan
memenuhi kebutuhan keluarga,
meski pas-pasan,” jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan
masukan yang dilontarkan mereka
membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat
daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang,
banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai
menampakkan hasil.
Pengunjungnya
semakin stabil, bahkan tidak
mampu melayani seluruh
pengunjung. Maka ia pun mengajak
keluarganya untuk berinvestasi
mengembangkan usaha ini, mulai
dari ayah, ibu, saudara, paman,
dan keluarga lainnya diajak
berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7
dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya
Jody mampu mendanai sendiri
gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.
Belakangan, Jody lebih senang
mengajak investor dari kalangan
ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di
Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut
saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz
Edi Mustofa, dan Ustadz Endang
ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke
berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H.
Slamet, dan Festival Kuliner
(Feskul).
“Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini
dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka,”
terang Jody saat ditemui Suara
Hidayatullah di Rumah Tahfizh
miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan
bukanlah hal mudah, dan itulah
yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut
memberdayakan karyawannya yang
berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan budaya tersebut.
Awalnya, Jody hanya berpikir
praktis dengan mengikutkan hampir
seluruh karyawannya training ESQ.
Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat
Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat
sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual
Company ini terdiri dari dakwah
dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui
olahraga, kegiatan sosial, infaq
karyawan, dan seni budaya. “Untuk
pendidikan Islamnya yakni
pengadaan tausiyah rutin di outlet-
outlet dan kantor, buletin bulanan,
dan belajar membaca al-Qur`an
bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di
kantor Waroeng Group Timoho
Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz
Syamsuri, telah disusun secara
sistematis berikut tema-temanya.
Misalnya bulan Maret lalu bertema
Shalat Tepat Waktu, maka seluruh
gerai di Jawa, Bali dan Sumatera
harus menyelenggarakan tausiyah
untuk karyawan dengan tema yang
sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya
meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan
sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan
yang dilaksanakan setiap pekan,
Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan,
pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta
setiap bulan, dengan tema kegiatan
“Dari Waroeng untuk Umat”.
Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai
menawarkan program menarik bagi
karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal
empat surah pilihan akan diikutkan
umrah dan haji gratis.
“Ternyata banyak karyawan yang
bisa menghafal empat surah, dan
terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya,”
kata Jody.
Sebagai bagian dari Spiritual
Company, Jody menerapkan aturan
ketat kepada karyawannya. Bila
tahun 2009 larangan merokok
ditujukan kepada seluruh
menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang
merokok.
Kini, selain sibuk mengurus
usahanya, Jody pun aktif
mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk
menghafal al-Qur`an.
“Saat ini sudah berdiri empat
Rumah Tahfizh yang mengasuh 83
santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah
Tahfizh Waroeng Group.
Alhamdulillah, usaha saya terbukti
semakin meningkat, ”ungkap Jody
yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah
APRIL 2011
sumber: http//majalah.hidayatullah.com/?p=2497
kulinernya telah mencapai 50
outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap
gerai. Lantas, apa hubungannya
dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?
Mendengar kata steak akan teringat
makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku
di “Waroeng Steak and Shake”.
Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka
macam steak pun dapat dinikmati
dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng
Steak and Shake buka pada saat jam
makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang
telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan,
tak jarang sebagian di antaranya
rela antri untuk mendapatkan
tempat duduk.
Seiring dengan berputarnya waktu,
usaha ini semakin melaju. Jika
tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai
dengan mempekerjakan 1.000
karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group
tidak lepas dari keuletan dan
tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan
bakat wirausaha yang dimilikinya,
sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam
usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos
partai. Untung dan rugi pun pernah
ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat
mengurusi usaha “Obonk Steak”
milik orangtuanya. Ia diminta
menangani Obonk Steak dan
memasarkannya ke teman-teman
kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak
ada yang datang, karena harganya
cukup mahal dan tidak terjangkau
oleh kantong mahasiswa,”
ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang
memberi inspirasi untuk membuat
usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai
memikirkan cara menekan harga
steak yang sejatinya memang
mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan
Waroeng Steak and Shake
dibutuhkan modal awal yang cukup
besar. Beruntung ia memiliki
sepeda motor pemberian orangtua,
yang akhirnya dijual untuk modal
usaha.
“Dari penjualan motor, saya
gunakan untuk sewa tempat di
daerah Demangan Yogyakarta,
sebagian lagi untuk peralatan
usaha, dan sisanya untuk membeli
motor tua sebagai alat
transportasi,” ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah
awal berdirinya Waroeng Steak and
Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody
memilih nama Waroeng sebagai
brand usaha kulinernya untuk
memberi kesan murah kepada
konsumen.
“Di mana-mana yang namanya steak
itu mahal, makanya saya memberi
nama Waroeng untuk memberi
kesan murah,” kata Jody.
Mengingat pangsa pasarnya anak
muda dan mahasiswa, maka warna
yang digunakannya pun dibuat
ngejreng, dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna
putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan
perjuangan bagi Jody. Dengan lima
meja, sepuluh hot plate dan tiga
menu utama (Sirloin, Tenderlon,
dan Chicken Steak) yang disediakan
Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya
daripada sukanya. Namun, usaha
ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya
melayani tamu sekaligus menjadi
kasir, dan dua karyawannya
menangani tugas lainnya.
“Alhamdulillah, di tahun pertama
masih bisa menggaji karyawan dan
memenuhi kebutuhan keluarga,
meski pas-pasan,” jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan
masukan yang dilontarkan mereka
membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat
daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang,
banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai
menampakkan hasil.
Pengunjungnya
semakin stabil, bahkan tidak
mampu melayani seluruh
pengunjung. Maka ia pun mengajak
keluarganya untuk berinvestasi
mengembangkan usaha ini, mulai
dari ayah, ibu, saudara, paman,
dan keluarga lainnya diajak
berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7
dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya
Jody mampu mendanai sendiri
gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.
Belakangan, Jody lebih senang
mengajak investor dari kalangan
ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di
Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut
saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz
Edi Mustofa, dan Ustadz Endang
ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke
berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H.
Slamet, dan Festival Kuliner
(Feskul).
“Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini
dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka,”
terang Jody saat ditemui Suara
Hidayatullah di Rumah Tahfizh
miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan
bukanlah hal mudah, dan itulah
yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut
memberdayakan karyawannya yang
berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan budaya tersebut.
Awalnya, Jody hanya berpikir
praktis dengan mengikutkan hampir
seluruh karyawannya training ESQ.
Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat
Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat
sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual
Company ini terdiri dari dakwah
dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui
olahraga, kegiatan sosial, infaq
karyawan, dan seni budaya. “Untuk
pendidikan Islamnya yakni
pengadaan tausiyah rutin di outlet-
outlet dan kantor, buletin bulanan,
dan belajar membaca al-Qur`an
bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di
kantor Waroeng Group Timoho
Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz
Syamsuri, telah disusun secara
sistematis berikut tema-temanya.
Misalnya bulan Maret lalu bertema
Shalat Tepat Waktu, maka seluruh
gerai di Jawa, Bali dan Sumatera
harus menyelenggarakan tausiyah
untuk karyawan dengan tema yang
sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya
meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan
sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan
yang dilaksanakan setiap pekan,
Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan,
pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta
setiap bulan, dengan tema kegiatan
“Dari Waroeng untuk Umat”.
Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai
menawarkan program menarik bagi
karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal
empat surah pilihan akan diikutkan
umrah dan haji gratis.
“Ternyata banyak karyawan yang
bisa menghafal empat surah, dan
terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya,”
kata Jody.
Sebagai bagian dari Spiritual
Company, Jody menerapkan aturan
ketat kepada karyawannya. Bila
tahun 2009 larangan merokok
ditujukan kepada seluruh
menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang
merokok.
Kini, selain sibuk mengurus
usahanya, Jody pun aktif
mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk
menghafal al-Qur`an.
“Saat ini sudah berdiri empat
Rumah Tahfizh yang mengasuh 83
santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah
Tahfizh Waroeng Group.
Alhamdulillah, usaha saya terbukti
semakin meningkat, ”ungkap Jody
yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah
APRIL 2011
sumber: http//majalah.hidayatullah.com/?p=2497
Kategori:
Kuliner
Badroni Yuzirman, Jatuh Bangun di Bisnis Garmen, Hingga Keberhasilannya Mendirikan Komunitas Tangan Di Atas
Sesuai namanya, komunitas Tangan
di Atas (TDA) terus menanamkan
nilai saling memberi dan berbagi
ilmu kepada anggotanya. Mereka
percaya, dengan berbagi kepada
sesama, rezeki akan semakin
berlimpah. Semangat itulah yang
membuat jumlah anggota TDA terus
berkembang pesat. Kini sekitar 20
ribu orang berjiwa entrepreneur
tergabung dalam komunitas yang
didirikan pada 2006 tersebut.
BADRONI Yuzirman tak pernah
mengira kegagalannya menjalankan
bisnis garmen di Pasar Tanah Abang
ternyata berbuah sangat manis.
Tidak hanya berhasil bangkit
dengan memanfaatkan toko online,
kini pria yang akrab disapa Roni itu
juga sukses menyebarkan virus
entrepreneurship kepada anak-anak
muda yang ingin sukses
membangun kerajaan bisnis.
Ya, Roni "panggilan Badroni" yang
kini menekuni bisnis pakaian
busana muslim di Jakarta tersebut
adalah pendiri komunitas TDA.
"Sebenarnya angka 20 ribu itu
jumlah anggota yang keluar masuk
di TDA karena memang pintunya
banyak. Ada yang masuk lewat
milis, blog, Twitter, Facebook, dan
lainnya," katanya saat ditemui di
rumahnya, kawasan Ulujami Jaksel,
Kamis (26/7).
Kini, kata Roni, TDA berupaya
menertibkan seluruh anggotanya
dengan membuat kartu anggota
resmi. Sampai saat ini, sudah
sekitar 2 ribu anggota yang
memiliki kartu anggota. Anggotanya
pun terdiri atas berbagai latar
belakang. Mulai entrepreneur di
bidang IT yang bisnisnya
berhubungan dengan alat-alat
canggih hingga pengusaha makanan
yang sekelas warteg (warung tegal).
"Pokoknya, di sini pengusaha yang
omzetnya miliaran sampai
pengusaha yang masih nol ada
semua," ujarnya lantas tertawa.
Di TDA-lah mereka yang sudah
merasakan sukses dan mapan harus
menyebarkan ilmu serta resep
kesuksesannya. Setidaknya mereka
bisa bertukar pengalaman antara
satu dan lainnya untuk menambah
jaringan bisnis di antara mereka.
Sejak 2009, TDA mulai
mengembangkan diri dan membuka
"cabang" di berbagai daerah.
Hingga kini, TDA tercatat ada di 30
kota/kabupaten. Setiap wilayah
memiliki program serta kegiatan
tersendiri.
"Awalnya kami terpusat di Jakarta.
Tapi, karena jumlah orang yang
bergabung semakin banyak dan dari
berbagai wilayah, akhirnya kami
membuka di wilayah-wilayah yang
sudah siap," imbuh bapak dua anak
itu.
Meski menjadi orang penting di
antara ribuan pengusaha sukses,
Roni tetap hidup sederhana.
Rumahnya yang cukup luas
didesain simpel dan minimalis.
Halamannya dibiarkan hijau dengan
ditumbuhi rumput yang tertata
rapi. Di sudut halaman, Roni
membangun arena bermain untuk
anak-anaknya yang masih kecil.
Ruang tamu di rumah tersebut juga
tak kalah sederhana. Di sana hanya
ada sebuah sofa mungil serta
beberapa kursi. Sebuah lemari kecil
dan beberapa hiasan rumah
menyambut tamu yang berkunjung.
Saat menemui Jawa Pos, Roni
bergaya santai dengan mengenakan
batik ungu yang dipadu blue jeans.
Roni mengaku, saat ini dirinya
memang mengutamakan kualitas
hidup. Sehari-hari dirinya tidak
hanya menghabiskan waktu untuk
mengembangkan bisnis, tapi juga
berupaya mendekatkan diri dengan
keluarga.
Dia lantas menceritakan awal mula
merintis komunitas TDA. Lulusan
Jurusan Manajemen Trisakti
tersebut menggeluti bisnis pakaian
muslim sejak 2001. Kala itu, dia
menyewa kios di Pasar Tanah
Abang. Letaknya di Blok F yang
memang khusus pakaian.
Nah, karena Roni mengutamakan
kualitas dan pelayanan kepada
pelanggan, bisnisnya cepat maju.
Perlahan-lahan dia terus
menambah kios. "Puncak bisnis
saya tahun 2003. Saya menyewa
tiga kios," katanya.
Seiring dengan pesatnya
perkembangan bisnisnya, Roni juga
mendapat banyak "gangguan". Di
antaranya, dirinya berselisih
dengan pengelola pasar. Dia merasa
diperlakukan tidak adil. "Saya
termasuk salah seorang pedagang
yang vokal melawan perlakuan
pengelola yang saat itu tidak adil,"
kenangnya.
Perselisihan tersebut tak kunjung
selesai hingga 2004. Bahkan
semakin runcing. Akhirnya, 3 Maret
2004, Roni diusir dari Pasar Tanah
Abang. Dia diminta keluar dan tidak
lagi diizinkan untuk berdagang di
pasar besar itu. Roni awalnya ingin
melawan melalui jalur hukum. Tapi,
setelah berpikir dua kali, dia
memilih untuk mengalah.
Dia lantas mengontrak rumah kecil
di kawasan padat penduduk
Kemandoran, Jaksel. "Di sana, saya
benar-benar memulai usaha dari
nol lagi. Tapi, saya tetap yakin bisa
kembali bangkit," imbuhnya.
Di kontrakan tersebut, Roni
memanfaatkan garasi untuk
merintis usahanya. Lantaran
tempatnya yang kurang strategis
dibanding kiosnya di Tanah Abang,
mau tidak mau Roni harus terus
memutar otak. Akhirnya, dia
"menemukan" solusi dengan
berbisnis via online.
Dia lalu membuat situs
www.manetvision.com yang
merupakan lapak busana muslimnya
di dunia maya. "Saya sebenarnya
iseng. Sebab, saat itu kalau berbau
www.com dianggap sudah keren.
Apalagi saat itu belum banyak toko
online," tuturnya lantas tertawa.
Sejak saat itu Roni kerap
menghubungi teman-temannya,
jaringan, serta para pelanggan
untuk memberi tahu agar membuka
lapaknya di internet. Dia terus
berusaha mengenalkan lapak itu
secara luas. Tak diduga, keisengan
tersebut berbuah manis. Jualannya
laris. Bahkan, Roni mengaku
bisnisnya terus berkembang dan
semakin maju. Keuntungan yang
diraup dari berjualan online tidak
kalah dibanding berjualan di tiga
kiosnya di Tanah Abang.
"Bayangkan, di Tanah Abang saya
harus menghabiskan Rp 200 juta
setiap tahun untuk sewa tiga kios.
Tapi, di kontrakan kecil itu, saya
hanya membayar Rp 12 juta untuk
sewa," ungkapnya.
Sejak merasakan sukses di bisnis
online, Roni ingin membagi
pengalaman dan ilmunya kepada
orang lain. Caranya masih tetap via
dunia maya. Dia membuat blog
roniyuzirman.com pada 2
November 2005. Di blog itulah dia
menceritakan semua
pengalamannya jatuh bangun
menjalankan bisnis, mulai di Pasar
Tanah Abang hingga sukses
menempuh jalur toko online.
Curahan pengalaman di blog yang
sebenarnya juga iseng itu ternyata
banyak dibaca orang. Tidak sedikit
yang akhirnya mengirim komen
atau bertanya jawab dengan Roni.
Dari situ, Roni kemudian
memutuskan untuk membuat milis
yang dikhususkan untuk orang-
orang yang biasa berdiskusi di
blognya.
Milis bisnis online itu pun sangat
ramai. Karena itu, pada 22 Januari
2006, Roni memberanikan diri
untuk kopi darat dengan para
anggota. "Saat itu jumlahnya masih
40 orang," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Roni
mengajak seorang pengusaha Pasar
Tanah Abang yang sangat sukses.
Pengusaha itu akrab disapa Haji
Alay. Dia punya puluhan kios di
Pasar Tanah Abang. Haji Alay
diminta menjadi narasumber.
Pertemuan tersebut membicarakan
berbagai pengalaman masing-
masing anggota dalam berbisnis,
mulai mengikrarkan niat hingga
memulai usaha. Ternyata,
pertemuan itu tidak berhenti
sampai di situ. Mereka lalu
melanjutkan dalam diskusi serta
seminar yang mengundang
pengusaha-pengusaha kondang
sebagai pembicara.
Para anggota komunitas tersebut
menyadari pentingnya sebuah
wadah untuk berbagi di antara
mereka yang ingin menjadi
pengusaha sukses. Karena itu, lalu
dipilihkan kata Tangan di Atas
sebagai nama komunitas.
Tahun demi tahun kelompok
tersebut terus berkembang hingga
jumlah anggotanya mencapai
ribuan. "TDA bisa besar bukan
karena kecanggihan teknologi. Tapi,
kami memiliki nilai lebih. Yaitu,
saling memberi. Kami mengajak
member untuk selalu berbagi.
Kami
percaya, alam semesta ini
berlimpah dan akan makin
berlimpah meski setiap hari kita
bagi," tutur suami Ely Febrita itu.
Kini TDA sudah menyerupai
perusahaan. Mereka memiliki
pengurus di pusat dan wilayah.
Roni menjadi ketua Majelis Wali
Amanah yang dalam struktur
perusahaan biasa disebut
komisaris. "Seluruh pengurus tidak
dibayar. Sebab, prinsip kami untuk
berbagi," imbuhnya.
Eksistensi TDA yang militan menarik
perhatian Menteri BUMN Dahlan
Iskan. Kementerian BUMN akan
menjadikan TDA sebagai mitra
kerja. Sebagian CSR (corporate
social responsibility) perusahaan-
perusahaan BUMN akan disalurkan
melalui TDA.
"Pak Dahlan sudah menyatakan
ingin menjadi mitra kerja TDA.
Kami sangat menyambut,"
tegasnya. (*/c5/ari)( THOMAS KUKUH)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/07/29/135159/Kerja-Keras-Badroni-Yuzirman-Membangun-Komunitas-Tangan-di-Atas-
di Atas (TDA) terus menanamkan
nilai saling memberi dan berbagi
ilmu kepada anggotanya. Mereka
percaya, dengan berbagi kepada
sesama, rezeki akan semakin
berlimpah. Semangat itulah yang
membuat jumlah anggota TDA terus
berkembang pesat. Kini sekitar 20
ribu orang berjiwa entrepreneur
tergabung dalam komunitas yang
didirikan pada 2006 tersebut.
BADRONI Yuzirman tak pernah
mengira kegagalannya menjalankan
bisnis garmen di Pasar Tanah Abang
ternyata berbuah sangat manis.
Tidak hanya berhasil bangkit
dengan memanfaatkan toko online,
kini pria yang akrab disapa Roni itu
juga sukses menyebarkan virus
entrepreneurship kepada anak-anak
muda yang ingin sukses
membangun kerajaan bisnis.
Ya, Roni "panggilan Badroni" yang
kini menekuni bisnis pakaian
busana muslim di Jakarta tersebut
adalah pendiri komunitas TDA.
"Sebenarnya angka 20 ribu itu
jumlah anggota yang keluar masuk
di TDA karena memang pintunya
banyak. Ada yang masuk lewat
milis, blog, Twitter, Facebook, dan
lainnya," katanya saat ditemui di
rumahnya, kawasan Ulujami Jaksel,
Kamis (26/7).
Kini, kata Roni, TDA berupaya
menertibkan seluruh anggotanya
dengan membuat kartu anggota
resmi. Sampai saat ini, sudah
sekitar 2 ribu anggota yang
memiliki kartu anggota. Anggotanya
pun terdiri atas berbagai latar
belakang. Mulai entrepreneur di
bidang IT yang bisnisnya
berhubungan dengan alat-alat
canggih hingga pengusaha makanan
yang sekelas warteg (warung tegal).
"Pokoknya, di sini pengusaha yang
omzetnya miliaran sampai
pengusaha yang masih nol ada
semua," ujarnya lantas tertawa.
Di TDA-lah mereka yang sudah
merasakan sukses dan mapan harus
menyebarkan ilmu serta resep
kesuksesannya. Setidaknya mereka
bisa bertukar pengalaman antara
satu dan lainnya untuk menambah
jaringan bisnis di antara mereka.
Sejak 2009, TDA mulai
mengembangkan diri dan membuka
"cabang" di berbagai daerah.
Hingga kini, TDA tercatat ada di 30
kota/kabupaten. Setiap wilayah
memiliki program serta kegiatan
tersendiri.
"Awalnya kami terpusat di Jakarta.
Tapi, karena jumlah orang yang
bergabung semakin banyak dan dari
berbagai wilayah, akhirnya kami
membuka di wilayah-wilayah yang
sudah siap," imbuh bapak dua anak
itu.
Meski menjadi orang penting di
antara ribuan pengusaha sukses,
Roni tetap hidup sederhana.
Rumahnya yang cukup luas
didesain simpel dan minimalis.
Halamannya dibiarkan hijau dengan
ditumbuhi rumput yang tertata
rapi. Di sudut halaman, Roni
membangun arena bermain untuk
anak-anaknya yang masih kecil.
Ruang tamu di rumah tersebut juga
tak kalah sederhana. Di sana hanya
ada sebuah sofa mungil serta
beberapa kursi. Sebuah lemari kecil
dan beberapa hiasan rumah
menyambut tamu yang berkunjung.
Saat menemui Jawa Pos, Roni
bergaya santai dengan mengenakan
batik ungu yang dipadu blue jeans.
Roni mengaku, saat ini dirinya
memang mengutamakan kualitas
hidup. Sehari-hari dirinya tidak
hanya menghabiskan waktu untuk
mengembangkan bisnis, tapi juga
berupaya mendekatkan diri dengan
keluarga.
Dia lantas menceritakan awal mula
merintis komunitas TDA. Lulusan
Jurusan Manajemen Trisakti
tersebut menggeluti bisnis pakaian
muslim sejak 2001. Kala itu, dia
menyewa kios di Pasar Tanah
Abang. Letaknya di Blok F yang
memang khusus pakaian.
Nah, karena Roni mengutamakan
kualitas dan pelayanan kepada
pelanggan, bisnisnya cepat maju.
Perlahan-lahan dia terus
menambah kios. "Puncak bisnis
saya tahun 2003. Saya menyewa
tiga kios," katanya.
Seiring dengan pesatnya
perkembangan bisnisnya, Roni juga
mendapat banyak "gangguan". Di
antaranya, dirinya berselisih
dengan pengelola pasar. Dia merasa
diperlakukan tidak adil. "Saya
termasuk salah seorang pedagang
yang vokal melawan perlakuan
pengelola yang saat itu tidak adil,"
kenangnya.
Perselisihan tersebut tak kunjung
selesai hingga 2004. Bahkan
semakin runcing. Akhirnya, 3 Maret
2004, Roni diusir dari Pasar Tanah
Abang. Dia diminta keluar dan tidak
lagi diizinkan untuk berdagang di
pasar besar itu. Roni awalnya ingin
melawan melalui jalur hukum. Tapi,
setelah berpikir dua kali, dia
memilih untuk mengalah.
Dia lantas mengontrak rumah kecil
di kawasan padat penduduk
Kemandoran, Jaksel. "Di sana, saya
benar-benar memulai usaha dari
nol lagi. Tapi, saya tetap yakin bisa
kembali bangkit," imbuhnya.
Di kontrakan tersebut, Roni
memanfaatkan garasi untuk
merintis usahanya. Lantaran
tempatnya yang kurang strategis
dibanding kiosnya di Tanah Abang,
mau tidak mau Roni harus terus
memutar otak. Akhirnya, dia
"menemukan" solusi dengan
berbisnis via online.
Dia lalu membuat situs
www.manetvision.com yang
merupakan lapak busana muslimnya
di dunia maya. "Saya sebenarnya
iseng. Sebab, saat itu kalau berbau
www.com dianggap sudah keren.
Apalagi saat itu belum banyak toko
online," tuturnya lantas tertawa.
Sejak saat itu Roni kerap
menghubungi teman-temannya,
jaringan, serta para pelanggan
untuk memberi tahu agar membuka
lapaknya di internet. Dia terus
berusaha mengenalkan lapak itu
secara luas. Tak diduga, keisengan
tersebut berbuah manis. Jualannya
laris. Bahkan, Roni mengaku
bisnisnya terus berkembang dan
semakin maju. Keuntungan yang
diraup dari berjualan online tidak
kalah dibanding berjualan di tiga
kiosnya di Tanah Abang.
"Bayangkan, di Tanah Abang saya
harus menghabiskan Rp 200 juta
setiap tahun untuk sewa tiga kios.
Tapi, di kontrakan kecil itu, saya
hanya membayar Rp 12 juta untuk
sewa," ungkapnya.
Sejak merasakan sukses di bisnis
online, Roni ingin membagi
pengalaman dan ilmunya kepada
orang lain. Caranya masih tetap via
dunia maya. Dia membuat blog
roniyuzirman.com pada 2
November 2005. Di blog itulah dia
menceritakan semua
pengalamannya jatuh bangun
menjalankan bisnis, mulai di Pasar
Tanah Abang hingga sukses
menempuh jalur toko online.
Curahan pengalaman di blog yang
sebenarnya juga iseng itu ternyata
banyak dibaca orang. Tidak sedikit
yang akhirnya mengirim komen
atau bertanya jawab dengan Roni.
Dari situ, Roni kemudian
memutuskan untuk membuat milis
yang dikhususkan untuk orang-
orang yang biasa berdiskusi di
blognya.
Milis bisnis online itu pun sangat
ramai. Karena itu, pada 22 Januari
2006, Roni memberanikan diri
untuk kopi darat dengan para
anggota. "Saat itu jumlahnya masih
40 orang," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Roni
mengajak seorang pengusaha Pasar
Tanah Abang yang sangat sukses.
Pengusaha itu akrab disapa Haji
Alay. Dia punya puluhan kios di
Pasar Tanah Abang. Haji Alay
diminta menjadi narasumber.
Pertemuan tersebut membicarakan
berbagai pengalaman masing-
masing anggota dalam berbisnis,
mulai mengikrarkan niat hingga
memulai usaha. Ternyata,
pertemuan itu tidak berhenti
sampai di situ. Mereka lalu
melanjutkan dalam diskusi serta
seminar yang mengundang
pengusaha-pengusaha kondang
sebagai pembicara.
Para anggota komunitas tersebut
menyadari pentingnya sebuah
wadah untuk berbagi di antara
mereka yang ingin menjadi
pengusaha sukses. Karena itu, lalu
dipilihkan kata Tangan di Atas
sebagai nama komunitas.
Tahun demi tahun kelompok
tersebut terus berkembang hingga
jumlah anggotanya mencapai
ribuan. "TDA bisa besar bukan
karena kecanggihan teknologi. Tapi,
kami memiliki nilai lebih. Yaitu,
saling memberi. Kami mengajak
member untuk selalu berbagi.
Kami
percaya, alam semesta ini
berlimpah dan akan makin
berlimpah meski setiap hari kita
bagi," tutur suami Ely Febrita itu.
Kini TDA sudah menyerupai
perusahaan. Mereka memiliki
pengurus di pusat dan wilayah.
Roni menjadi ketua Majelis Wali
Amanah yang dalam struktur
perusahaan biasa disebut
komisaris. "Seluruh pengurus tidak
dibayar. Sebab, prinsip kami untuk
berbagi," imbuhnya.
Eksistensi TDA yang militan menarik
perhatian Menteri BUMN Dahlan
Iskan. Kementerian BUMN akan
menjadikan TDA sebagai mitra
kerja. Sebagian CSR (corporate
social responsibility) perusahaan-
perusahaan BUMN akan disalurkan
melalui TDA.
"Pak Dahlan sudah menyatakan
ingin menjadi mitra kerja TDA.
Kami sangat menyambut,"
tegasnya. (*/c5/ari)( THOMAS KUKUH)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/07/29/135159/Kerja-Keras-Badroni-Yuzirman-Membangun-Komunitas-Tangan-di-Atas-
Kategori:
Fashion
Aghnia Nabila, Masih Mahasiswi tapi Sudah Mampu Raup Omzet Puluhan Juta Lewat L'Risoles
KOMPAS.com - Usia muda tak
menghalangi cita-cita seseorang
untuk mengembangkan diri dan
keinginan untuk menjadi
wirausahawan yang sukses.
Meskipun masih berstatus
mahasiswa semester enam
fakultas hukum di Universitas
Padjajaran, Bandung, Aghnia
Nabila sudah punya tekad yang
kuat untuk berbisnis.
"Saya sangat suka makan, jadi
saya memutuskan untuk bisnis
di bidang makanan," tukas
Aghnia kepada Kompas
Female, di sela-sela kompetisi
Young Caring Professional
Award 2012 (YCPA) di Djakarta
Theater, Jakarta, Sabtu
(16/6/2012) lalu.
Berbekal kecintaan pada
makanan, ia memutuskan untuk
mulai berjualan risoles keju
berdasarkan pesanan teman-
teman kampusnya. Lama-
kelamaan, ia memberanikan diri
untuk membuka sebuah outlet
bernama L'Risoles di Bandung.
Dalam perkembangannya, usaha
ini menghasilkan lima reseller
di Bandung, dan dalam sebulan
ia mampu meraup omset
sampai Rp 30 juta. Ia pun sudah
memiliki empat pegawai yang
semuanya diambil dari para
tuna karya di sekitar rumahnya.
Selain bisnis dan kuliah,
perempuan kelahiran Bandung,
5 Desember 1991 ini juga
masih mengikuti beragam
aktivitas keorganisasian di
kampusnya. Bahkan ia tercatat
sebagai anggota BEM FH Unpad
sebagai kader pengembangan
sumber daya manusia (PSDM)
dan menjadi salah satu pendiri
Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Perguruan
Tinggi Unpad, sebagai ketua
divisi kewirausahaan.
"Ini sebagai salah satu wujud
kepedulian saya untuk
membangkitkan semangat
wirausaha para generasi muda,"
ungkapnya.
Semua kesibukan itu ternyata
tak membuat prestasinya
menurun. Buktinya, baru-baru
ini Aghnia terpilih menjadi
finalis mahasiswa berprestasi di
Unpad tahun 2011. Saat
penjurian YCPA di Hotel
Morrisey, Jakarta Pusat, Jumat
(15/6/2012) lalu, para juri
terkagum-kagum dengan
semangat kewirausahaan
Aghnia, yang diikuti dengan
prestasinya di kampus dalam
waktu bersamaan. Ketika
disinggung tentang
kepiawaiannya mengatur waktu,
ia hanya menjawab bahwa ia
tidak memiliki metode khusus.
"Yang saya lakukan hanya fokus
pada berbagai hal yang sedang
saya lakukan. Saat kuliah saya
benar-benar konsentrasi pada
pelajaran, karena saya sadar
saya tidak punya banyak waktu
senggang," bebernya.
Prestasi, usia muda, dan
semangat wirausaha inilah yang
membuatnya terpilih sebagai
salah satu perempuan inspiratif
dan kreatif YCPA. Kepada
Kompas Female , Aghnia
mengaku tak berani berharap
untuk jadi pemenang karena
memiliki 18 saingan yang
sangat kuat. "Namun,
mengingat usia saya yang paling
muda di antara yang lain, saya
optimis menang," ungkap
perempuan yang mengakui
Nilam Sari (salah satu
pemenang YCPA lainnya) sebagai
salah satu pesaing terberatnya.
Muda dan menginpirasi
Terpilihnya Aghnia sebagai salah
satu pemenang termuda YCPA
diungkapkan Fira Basuki (salah
satu juri) sebagai keputusan
yang tepat. "Salah satu kriteria
penentuan pemenang bukanlah
dari penampilan fisik. Akan
tetapi kemampuan mereka
untuk bisa berpikir kreatif dan
menginspirasi orang lain," tukas
Fira kepada Kompas Female.
Menurut Fira Basuki dan
desainer Era Soekamto (juga
menjadi juri), salah satu nilai
lebih Aghnia terletak pada
kemampuannya untuk
menorehkan prestasi di kampus,
dan kesuksesan bisnisnya dalam
waktu yang bersamaan.
"Selain itu, ia juga mampu
menginspirasi generasi muda
lainnya untuk bisa menjadi
pengusaha sukses selagi kuliah.
Ini terbukti dari kemampuannya
untuk memberdayakan
mahasiswa lainnya menjadi
reseller usahanya," beber Era.
Tak hanya itu, para juri juga
menilai Aghnia mampu menjadi
contoh karena punya
kepedulian yang tinggi terhadap
masyarakat di sekitarnya, yaitu
dengan membuka lapangan
pekerjaan sebagai pegawai di
L'Risoles.
(CHR)
Editor: Dini
Sumber: http://female.kompas.com/read/2012/06/18/19552565/Aghnia.Nabila.Wirausahawan.Muda.yang.Inspiratif.
menghalangi cita-cita seseorang
untuk mengembangkan diri dan
keinginan untuk menjadi
wirausahawan yang sukses.
Meskipun masih berstatus
mahasiswa semester enam
fakultas hukum di Universitas
Padjajaran, Bandung, Aghnia
Nabila sudah punya tekad yang
kuat untuk berbisnis.
"Saya sangat suka makan, jadi
saya memutuskan untuk bisnis
di bidang makanan," tukas
Aghnia kepada Kompas
Female, di sela-sela kompetisi
Young Caring Professional
Award 2012 (YCPA) di Djakarta
Theater, Jakarta, Sabtu
(16/6/2012) lalu.
Berbekal kecintaan pada
makanan, ia memutuskan untuk
mulai berjualan risoles keju
berdasarkan pesanan teman-
teman kampusnya. Lama-
kelamaan, ia memberanikan diri
untuk membuka sebuah outlet
bernama L'Risoles di Bandung.
Dalam perkembangannya, usaha
ini menghasilkan lima reseller
di Bandung, dan dalam sebulan
ia mampu meraup omset
sampai Rp 30 juta. Ia pun sudah
memiliki empat pegawai yang
semuanya diambil dari para
tuna karya di sekitar rumahnya.
Selain bisnis dan kuliah,
perempuan kelahiran Bandung,
5 Desember 1991 ini juga
masih mengikuti beragam
aktivitas keorganisasian di
kampusnya. Bahkan ia tercatat
sebagai anggota BEM FH Unpad
sebagai kader pengembangan
sumber daya manusia (PSDM)
dan menjadi salah satu pendiri
Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Perguruan
Tinggi Unpad, sebagai ketua
divisi kewirausahaan.
"Ini sebagai salah satu wujud
kepedulian saya untuk
membangkitkan semangat
wirausaha para generasi muda,"
ungkapnya.
Semua kesibukan itu ternyata
tak membuat prestasinya
menurun. Buktinya, baru-baru
ini Aghnia terpilih menjadi
finalis mahasiswa berprestasi di
Unpad tahun 2011. Saat
penjurian YCPA di Hotel
Morrisey, Jakarta Pusat, Jumat
(15/6/2012) lalu, para juri
terkagum-kagum dengan
semangat kewirausahaan
Aghnia, yang diikuti dengan
prestasinya di kampus dalam
waktu bersamaan. Ketika
disinggung tentang
kepiawaiannya mengatur waktu,
ia hanya menjawab bahwa ia
tidak memiliki metode khusus.
"Yang saya lakukan hanya fokus
pada berbagai hal yang sedang
saya lakukan. Saat kuliah saya
benar-benar konsentrasi pada
pelajaran, karena saya sadar
saya tidak punya banyak waktu
senggang," bebernya.
Prestasi, usia muda, dan
semangat wirausaha inilah yang
membuatnya terpilih sebagai
salah satu perempuan inspiratif
dan kreatif YCPA. Kepada
Kompas Female , Aghnia
mengaku tak berani berharap
untuk jadi pemenang karena
memiliki 18 saingan yang
sangat kuat. "Namun,
mengingat usia saya yang paling
muda di antara yang lain, saya
optimis menang," ungkap
perempuan yang mengakui
Nilam Sari (salah satu
pemenang YCPA lainnya) sebagai
salah satu pesaing terberatnya.
Muda dan menginpirasi
Terpilihnya Aghnia sebagai salah
satu pemenang termuda YCPA
diungkapkan Fira Basuki (salah
satu juri) sebagai keputusan
yang tepat. "Salah satu kriteria
penentuan pemenang bukanlah
dari penampilan fisik. Akan
tetapi kemampuan mereka
untuk bisa berpikir kreatif dan
menginspirasi orang lain," tukas
Fira kepada Kompas Female.
Menurut Fira Basuki dan
desainer Era Soekamto (juga
menjadi juri), salah satu nilai
lebih Aghnia terletak pada
kemampuannya untuk
menorehkan prestasi di kampus,
dan kesuksesan bisnisnya dalam
waktu yang bersamaan.
"Selain itu, ia juga mampu
menginspirasi generasi muda
lainnya untuk bisa menjadi
pengusaha sukses selagi kuliah.
Ini terbukti dari kemampuannya
untuk memberdayakan
mahasiswa lainnya menjadi
reseller usahanya," beber Era.
Tak hanya itu, para juri juga
menilai Aghnia mampu menjadi
contoh karena punya
kepedulian yang tinggi terhadap
masyarakat di sekitarnya, yaitu
dengan membuka lapangan
pekerjaan sebagai pegawai di
L'Risoles.
(CHR)
Editor: Dini
Sumber: http://female.kompas.com/read/2012/06/18/19552565/Aghnia.Nabila.Wirausahawan.Muda.yang.Inspiratif.
Kategori:
Kuliner
Bisnis Juga Untuk Berbagi, Dini Sisihkan 20% dari Omzet Jutaan per Hari dari Bisnis Bakso Mawut-nya Untuk Sedekah
MAGELANG, KOMPAS.com -
Siapa tak suka bakso? Hampir
semua orang tahu dan
menyukai makanan yang satu
ini. Saat ini bakso juga sudah
banyak ragam rasa dan makin
inovatif. Seperti Bakso Mawut
yang ada di Kota Magelang
Jateng, unik dan bikin nagih.
Dalam Bahasa Jawa, kata
"mawut" artinya tumpah, yang
artinya dalam satu mangkuk ada
banyak isinya. Antara lain bakso
urat, bakso isi telur, bakso alus,
iga sapi, mie, tahu, hingga
sayuran dan tentu kuah yang
gurih.
"Saking kompletnya seperti mau
tumpah," ujar Nuri Ikhsanida,
pemilik Bakso Mawut Magelang,
Jumat (8/6/2012).
Kata "mawut" sengaja dipilih
Dini, panggilan akrabnya,
karena diharapkan banyak
pembeli yang datang sehingga
bisa memberi rezeki yang
tumpah melimpah. Bahkan,
agar tidak dijiplak nama Bakso
Mawut sudah dipatenkan di
Dirjen HKI Kemenhumham RI
sejak 16 Mei lalu.
Rahasia kelezatan bakso ini
terletak pada pemilihan bahan
baku dagingnya. Dini sengaja
memilih jenis daging sapi segar
yang kualitas super, meski
tergolong mahal namun kualitas
rasa dijamin tidak
mengecewakan. Berbeda dengan
bakso pada umumnya, daging
dalam bakso ini benar-benar
dominan. "Banyak penjual
bakso yang mencampurkan
lebih banyak tepung ketimbang
daging. Namun bakso kami
benar-benar lebih banyak
dagingnya, penggunaan tepung
kanji hanya sebagai pengikat
saja itu pun dalam jumlah yang
sedikit," imbuh alumni jurusan
Apoteker UAD Yogyakarta ini.
Ia juga sama sekali tidak
mencampurkan bahan-bahan
kimia berbahaya seperti boraks
dan pengawet. Oleh karena itu,
Dini beserta tiga karyawannya
setiap pagi harus belanja dan
masak. "Itu sebabnya kenapa
kami mulai buka jam 11.00,
karena kami bena-benar ingin
meyajikan bakso yang fresh,"
kata gadis berjilbab ini.
Untuk menarik pelanggan, Dini
membuat program-program
khusus yang menarik, seperti
pengunjung yang kebetulan
memakai baju sama dengan
warna seragam karyawan maka
gratis minum es teh, atau yang
kebetulan memiliki nama Dini
juga bakal dapat gratis minum
es teh. Istimewanya lagi, jika
pengunjung pada saat membeli
merayakan ultah, maka gratis
makan bakso sepuas dan
sekeyang-kenyangnya.
"Syaratnya hanya menunjukkan
KTP," katanya.
Karena itu tak heran, meski
usaha yang dirintisnya baru
berjalan dua bulan, namun
sudah memliki banyak
pelanggan, mulai dari orang tua
hingga anak kecil. Kedainya
yang terletak di Jalan
Panembahan Senopati No. 17C
Kota Magelang ini tak pernah
sepi pengunjung terutama pada
jam makan siang dan sore hari.
Harga yang dipatok pun relatif
terjangkau, mulai dari Rp 7.000
hingga Rp 10.000 per porsi.
Harga tergantung jumlah dan
jenis bakso, pengunjung bebas
memilih mau yang mawut
uratnya, mawut ndog/telurnya,
mawut alusannya atau komplet
plus daging iga sapi. "Semuanya
nikmat dengan atau tanpa
kecap, saus dan sambel,"
katanya.
Dalam sehari rata-rata Dini
bisa menghabiskan daging 7 kg,
urat 3 kg dan iga hingga 5 kg.
Jika dirupiahkan omzetnya bisa
mencapai Rp 1-2 juta per hari.
Namun demikian tak membuat
Dini sombong, setiap hari
Jumat ia selalu menyisihkan 20
persen dari omzetnya untuk
bersedekah. Menurutnya, usaha
tersebut tidak hanya semata
untuk memperkaya diri namun
juga ingin memberi manfaat
bagi sesama. "Jadi pengunjung
yang membeli bakso pada hari
Jumat juga turut bersedekah,"
tutur warga Perumahan Depkes
Kramat Magelang ini.
( Penulis: Kontributor Magelang,
Ika Fitriana)
Editor: I Made Asdhiana
Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/06/09/07421537/Ini.Dia.Bakso.Mawut
Siapa tak suka bakso? Hampir
semua orang tahu dan
menyukai makanan yang satu
ini. Saat ini bakso juga sudah
banyak ragam rasa dan makin
inovatif. Seperti Bakso Mawut
yang ada di Kota Magelang
Jateng, unik dan bikin nagih.
Dalam Bahasa Jawa, kata
"mawut" artinya tumpah, yang
artinya dalam satu mangkuk ada
banyak isinya. Antara lain bakso
urat, bakso isi telur, bakso alus,
iga sapi, mie, tahu, hingga
sayuran dan tentu kuah yang
gurih.
"Saking kompletnya seperti mau
tumpah," ujar Nuri Ikhsanida,
pemilik Bakso Mawut Magelang,
Jumat (8/6/2012).
Kata "mawut" sengaja dipilih
Dini, panggilan akrabnya,
karena diharapkan banyak
pembeli yang datang sehingga
bisa memberi rezeki yang
tumpah melimpah. Bahkan,
agar tidak dijiplak nama Bakso
Mawut sudah dipatenkan di
Dirjen HKI Kemenhumham RI
sejak 16 Mei lalu.
Rahasia kelezatan bakso ini
terletak pada pemilihan bahan
baku dagingnya. Dini sengaja
memilih jenis daging sapi segar
yang kualitas super, meski
tergolong mahal namun kualitas
rasa dijamin tidak
mengecewakan. Berbeda dengan
bakso pada umumnya, daging
dalam bakso ini benar-benar
dominan. "Banyak penjual
bakso yang mencampurkan
lebih banyak tepung ketimbang
daging. Namun bakso kami
benar-benar lebih banyak
dagingnya, penggunaan tepung
kanji hanya sebagai pengikat
saja itu pun dalam jumlah yang
sedikit," imbuh alumni jurusan
Apoteker UAD Yogyakarta ini.
Ia juga sama sekali tidak
mencampurkan bahan-bahan
kimia berbahaya seperti boraks
dan pengawet. Oleh karena itu,
Dini beserta tiga karyawannya
setiap pagi harus belanja dan
masak. "Itu sebabnya kenapa
kami mulai buka jam 11.00,
karena kami bena-benar ingin
meyajikan bakso yang fresh,"
kata gadis berjilbab ini.
Untuk menarik pelanggan, Dini
membuat program-program
khusus yang menarik, seperti
pengunjung yang kebetulan
memakai baju sama dengan
warna seragam karyawan maka
gratis minum es teh, atau yang
kebetulan memiliki nama Dini
juga bakal dapat gratis minum
es teh. Istimewanya lagi, jika
pengunjung pada saat membeli
merayakan ultah, maka gratis
makan bakso sepuas dan
sekeyang-kenyangnya.
"Syaratnya hanya menunjukkan
KTP," katanya.
Karena itu tak heran, meski
usaha yang dirintisnya baru
berjalan dua bulan, namun
sudah memliki banyak
pelanggan, mulai dari orang tua
hingga anak kecil. Kedainya
yang terletak di Jalan
Panembahan Senopati No. 17C
Kota Magelang ini tak pernah
sepi pengunjung terutama pada
jam makan siang dan sore hari.
Harga yang dipatok pun relatif
terjangkau, mulai dari Rp 7.000
hingga Rp 10.000 per porsi.
Harga tergantung jumlah dan
jenis bakso, pengunjung bebas
memilih mau yang mawut
uratnya, mawut ndog/telurnya,
mawut alusannya atau komplet
plus daging iga sapi. "Semuanya
nikmat dengan atau tanpa
kecap, saus dan sambel,"
katanya.
Dalam sehari rata-rata Dini
bisa menghabiskan daging 7 kg,
urat 3 kg dan iga hingga 5 kg.
Jika dirupiahkan omzetnya bisa
mencapai Rp 1-2 juta per hari.
Namun demikian tak membuat
Dini sombong, setiap hari
Jumat ia selalu menyisihkan 20
persen dari omzetnya untuk
bersedekah. Menurutnya, usaha
tersebut tidak hanya semata
untuk memperkaya diri namun
juga ingin memberi manfaat
bagi sesama. "Jadi pengunjung
yang membeli bakso pada hari
Jumat juga turut bersedekah,"
tutur warga Perumahan Depkes
Kramat Magelang ini.
( Penulis: Kontributor Magelang,
Ika Fitriana)
Editor: I Made Asdhiana
Sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/06/09/07421537/Ini.Dia.Bakso.Mawut
Kategori:
Kuliner
Awalnya Usaha Skala Kecil, Kini Hinda Bisa Hasilkan Omset Ratusan Juta dari Usaha Dodol Garut-nya
KOMPAS.com - Berawal dari
bantu-bantu bisnis orangtua,
Hinda Japar kini sukses menjadi
pengusaha dodol di Garut, Jawa
Barat. Dari usaha ini ia meraup
omzet hingga Rp 400 juta per
bulan.
Ada banyak variasi olahan
makanan khas Kota Garut yang
dipasarkannya dengan merek
Pusaka dan Pusaka JS. Dodol
Garut Pusaka merupakan bisnis
yang dirintis oleh orang tua
Hinda sejak tahun 1970-an.
Awalnya dodol Pusaka
merupakan usaha rumahan
dengan skala kecil. Hinda
kemudian mengambil alih bisnis
orangtuanya itu pada 2005.
Hingga saat ini, Hinda menjabat
Direktur Perusahaan Dodol
Garut Pusaka.
Dalam sehari, pabrik dodol
milik Hinda bisa memproduksi
rata-rata 1 ton dodol. Harga
dodol di tingkat pabrik Rp
16.500 – Rp 17.000 per
kilogram (kg). “Jadi, omzet saya
dalam sebulan mencapai Rp 400
juta,” kata Hinda.
Selain pabrik, Hinda juga
memiliki dua toko untuk
memasarkan produk dodol
buatannya itu. Di dua toko itu,
ia menjual pelbagai varian
dodol, seperti dodol dengan
rasa buah-buahan dan rujak
dodol.
Pria 43 tahun ini sudah mulai
membantu bisnis orang tuanya
sejak tamat dari bangku SMA
pada tahun 1989. Tapi, baru
tahun 2005 ia memegang
tampuk kepemimpinan di
perusahaan keluarga itu.
Saat mulai dikendalikannya,
usaha warisan orang tua ini
memiliki kelemahan di bidang
pemasaran. Ketika itu, Dodol
Pusaka hanya dipasarkan di
wilayah Garut. Namun, setelah
beberapa tahun dikelola Hinda,
wilayah pemasarannya meluas
hingga ke Jakarta, Bandung,
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Kalimantan.
Kebanyakan, konsumennya
merupakan pedagang makanan
di daerahnya masing-masing.
Biasanya, mereka menjual lagi
dodol buatannya dengan harga
Rp 30.000 hingga Rp 60.000
per kotak.
Menurut Hinda, pelanggannya
di Kalimantan ada yang
memasok dodolnya ke beberapa
pusat perbelanjaan. Sementara
pelanggannya di Jawa Timur ada
yang memasok ke toko oleh-
oleh di beberapa tempat wisata.
---
Hinda Japar sudah ikut
membantu kedua orang tuanya
mengelola usaha pembuatan
dodol sejak masih duduk di
bangku sekolah dasar (SD).
Tepatnya sejak tahun 1970-an.
"Saya hanya bertugas
membantu produksi di pabrik
kecil milik orang tua," katanya.
Sebagai anak pertama di
keluarganya, Hinda memang
dipersiapkan untuk meneruskan
bisnis orang tuanya ini. Di
tahun 1970-an itu, menurut
Hinda, bisnis dodol Pusaka
milik orang tuanya masih skala
kecil.
Baru di tahun 1990-an, merek
dodol Pusaka dikenal oleh
masyarakat Jawa Barat. Sejak
saat itu, dodol Pusaka
diproduksi dalam jumlah besar.
Makanya, ketika lulus sekolah
menengah atas (SMA) pada
1989, Hinda memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolah. Ia
memilih fokus membantu orang
tuanya membesarkan usaha.
Oleh orang tuanya, ia diberi
tugas mengurus produksi dan
pemasaran dodol Pusaka. Pada
tahun 2005, usaha dodol ini
baru diwariskan ke Hinda.
Langkah pertama yang
dilakukannya saat menerima
usaha ini adalah memperkuat
produksi. "Saat itu saya
langsung membangun pabrik
sendiri," ujarnya.
Hinda sempat mengalami
kekurangan dana untuk
membangun pabrik. Pasalnya, ia
butuh pabrik skala besar yang
bisa memproduksi dodol dalam
jumlah banyak. Selain biaya
buat membangun pabrik, ia juga
perlu biaya lumayan besar buat
membeli tanah.
Untungnya, kekurangan dana
bisa tutup dari pinjaman dari
bank. “Karena usaha orang tua
saya ini sudah terkenal, bank
percaya saja meminjamkan uang
kepada saya,” ucapnya.
Kini, pabrik barunya itu mampu
memproduksi dodol sebanyak 1
ton per hari. Setelah pendirian
pabrik selesai, ia terus mencari
strategi untuk mengembangkan
pemasaran dodol Pusaka.
Salah satunya dengan rajin
mengikuti pameran kuliner di
Jakarta. Dari pameran ini,
produk dodolnya semakin
dikenal luas. Selain di Jawa
Barat, ia sekarang sering
mendapat pesanan dari daerah-
daerah.
Hingga saat ini, Hinda terus
berupaya untuk memperluas
pemasaran dodol Pusaka.
Menurutnya, tidak cukup hanya
mengandalkan penjualan dari
toko. Soalnya, penjualan toko
sangat bergantung kepada
musim liburan.“Biasanya baru
ramai pembeli kalau libur
sekolah dan banyak yang
berkunjung ke Garut saja,”
katanya.
Apalagi, sekarang di Garut
semakin banyak kompetitor di
bidang usaha yang sama.
Bahkan, di daerahnya itu kini
banyak muncul produsen dodol
dengan kualitas rendah yang
merusak pasar.
---
Sukses di bisnis dodol Garut
dengan omzet ratusan juta, tak
membuat Hinda Japar cepat
puas. Ia masih berambisi untuk
terus membesarkan usaha
pembuatan dodol Garut
peninggalan orang tuanya itu.
Hinda mengaku, ingin sekali
mengekspor produk dodol
Garut merek Pusaka buatannya
ke luar negeri. Ia menargetkan,
rencana ekspor itu bisa
terwujud tahun ini juga. Hinda
mengaku, saat masih menjadi
mitra binaan PT Krakatau Steel
pernah mengekspor dodol
Pusaka ke Dubai, Uni Emirat
Arab.
Ekspor ke Dubai itu berlangsung
sekitar tahun 2000-an. Namun,
ekspor terpaksa dihentikan
karena keterbatasan
manajemen. Pengalaman itu
juga yang mendorongnya untuk
mencoba kembali melakukan
ekspor.
Ia optmistis, keinginan untuk
ekspor tahun ini bisa
terealisasi. "Soalnya, sekarang
ini saya sudah mendapatkan
satu calon buyer dari
Singapura," katanya.
Namun, rencana ekspor ini
bukannya tanpa halangan. Salah
satunya di bidang kemasan.
Untuk ekspor diperlukan
kualitas kemasan agak bagus.
Namun, biayanya tentu besar.
Nah, ia khawatir ongkos
produksi bakal membengkak.
Makanya, sekarang ia sedang
mencari cara untuk
menurunkan ongkos produksi
ini. Tidak hanya itu, ia juga
masih merasa perlu melakukan
inovasi produk. Menurutnya,
varian dodol Pusaka masih
kurang beragam. Sejak
meluncurkan varian rujak dodol
tahun lalu, ia belum
menemukan lagi varian baru
untuk dikembangkan.
Sampai saat ini ia masih terus
berusaha menemukan resep
baru untuk produk dodolnya
tersebut. Lantaran perhatiannya
masih terfokus kepada usaha
dodolnya, ia mengaku belum
berencana merambah bisnis
lain.
Bagi Hinda, bisnis dodol sendiri
penuh dengan tantangan.
Selama mengelola usaha ini, ia
pernah beberapa kali dirugikan
oleh agen, terutama agen-agen
kecil.
Soalnya, mereka ini sering telat
melakukan pembayaran.
Bahkan, ada juga yang tidak
melakukan pembayaran sama
sekali. Padahal, produk sudah
terlanjur dikirim.
Agen besar juga pernah mangkir
dari kewajiban membayar. Hal
itu pernah dilakukan agen besar
di wilayah Surabaya, Jawa Timur
dan Cianjur, Jawa Barat. "Alasan
mereka saat itu sudah bangkrut,
sehingga tidak memiliki uang
lagi untuk membayar saya,"
ujarnya.
Kini, Hinda lebih berhati-hati
dalam memilih agen yang akan
memasarkan produknya.
(Marantina/ Kontan)
sumber: http//bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/13/22152215/Hinda.Raup.Omzet.Rp.400.Juta.dari.Bisnis.Dodol.Garut.
bantu-bantu bisnis orangtua,
Hinda Japar kini sukses menjadi
pengusaha dodol di Garut, Jawa
Barat. Dari usaha ini ia meraup
omzet hingga Rp 400 juta per
bulan.
Ada banyak variasi olahan
makanan khas Kota Garut yang
dipasarkannya dengan merek
Pusaka dan Pusaka JS. Dodol
Garut Pusaka merupakan bisnis
yang dirintis oleh orang tua
Hinda sejak tahun 1970-an.
Awalnya dodol Pusaka
merupakan usaha rumahan
dengan skala kecil. Hinda
kemudian mengambil alih bisnis
orangtuanya itu pada 2005.
Hingga saat ini, Hinda menjabat
Direktur Perusahaan Dodol
Garut Pusaka.
Dalam sehari, pabrik dodol
milik Hinda bisa memproduksi
rata-rata 1 ton dodol. Harga
dodol di tingkat pabrik Rp
16.500 – Rp 17.000 per
kilogram (kg). “Jadi, omzet saya
dalam sebulan mencapai Rp 400
juta,” kata Hinda.
Selain pabrik, Hinda juga
memiliki dua toko untuk
memasarkan produk dodol
buatannya itu. Di dua toko itu,
ia menjual pelbagai varian
dodol, seperti dodol dengan
rasa buah-buahan dan rujak
dodol.
Pria 43 tahun ini sudah mulai
membantu bisnis orang tuanya
sejak tamat dari bangku SMA
pada tahun 1989. Tapi, baru
tahun 2005 ia memegang
tampuk kepemimpinan di
perusahaan keluarga itu.
Saat mulai dikendalikannya,
usaha warisan orang tua ini
memiliki kelemahan di bidang
pemasaran. Ketika itu, Dodol
Pusaka hanya dipasarkan di
wilayah Garut. Namun, setelah
beberapa tahun dikelola Hinda,
wilayah pemasarannya meluas
hingga ke Jakarta, Bandung,
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Kalimantan.
Kebanyakan, konsumennya
merupakan pedagang makanan
di daerahnya masing-masing.
Biasanya, mereka menjual lagi
dodol buatannya dengan harga
Rp 30.000 hingga Rp 60.000
per kotak.
Menurut Hinda, pelanggannya
di Kalimantan ada yang
memasok dodolnya ke beberapa
pusat perbelanjaan. Sementara
pelanggannya di Jawa Timur ada
yang memasok ke toko oleh-
oleh di beberapa tempat wisata.
---
Hinda Japar sudah ikut
membantu kedua orang tuanya
mengelola usaha pembuatan
dodol sejak masih duduk di
bangku sekolah dasar (SD).
Tepatnya sejak tahun 1970-an.
"Saya hanya bertugas
membantu produksi di pabrik
kecil milik orang tua," katanya.
Sebagai anak pertama di
keluarganya, Hinda memang
dipersiapkan untuk meneruskan
bisnis orang tuanya ini. Di
tahun 1970-an itu, menurut
Hinda, bisnis dodol Pusaka
milik orang tuanya masih skala
kecil.
Baru di tahun 1990-an, merek
dodol Pusaka dikenal oleh
masyarakat Jawa Barat. Sejak
saat itu, dodol Pusaka
diproduksi dalam jumlah besar.
Makanya, ketika lulus sekolah
menengah atas (SMA) pada
1989, Hinda memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolah. Ia
memilih fokus membantu orang
tuanya membesarkan usaha.
Oleh orang tuanya, ia diberi
tugas mengurus produksi dan
pemasaran dodol Pusaka. Pada
tahun 2005, usaha dodol ini
baru diwariskan ke Hinda.
Langkah pertama yang
dilakukannya saat menerima
usaha ini adalah memperkuat
produksi. "Saat itu saya
langsung membangun pabrik
sendiri," ujarnya.
Hinda sempat mengalami
kekurangan dana untuk
membangun pabrik. Pasalnya, ia
butuh pabrik skala besar yang
bisa memproduksi dodol dalam
jumlah banyak. Selain biaya
buat membangun pabrik, ia juga
perlu biaya lumayan besar buat
membeli tanah.
Untungnya, kekurangan dana
bisa tutup dari pinjaman dari
bank. “Karena usaha orang tua
saya ini sudah terkenal, bank
percaya saja meminjamkan uang
kepada saya,” ucapnya.
Kini, pabrik barunya itu mampu
memproduksi dodol sebanyak 1
ton per hari. Setelah pendirian
pabrik selesai, ia terus mencari
strategi untuk mengembangkan
pemasaran dodol Pusaka.
Salah satunya dengan rajin
mengikuti pameran kuliner di
Jakarta. Dari pameran ini,
produk dodolnya semakin
dikenal luas. Selain di Jawa
Barat, ia sekarang sering
mendapat pesanan dari daerah-
daerah.
Hingga saat ini, Hinda terus
berupaya untuk memperluas
pemasaran dodol Pusaka.
Menurutnya, tidak cukup hanya
mengandalkan penjualan dari
toko. Soalnya, penjualan toko
sangat bergantung kepada
musim liburan.“Biasanya baru
ramai pembeli kalau libur
sekolah dan banyak yang
berkunjung ke Garut saja,”
katanya.
Apalagi, sekarang di Garut
semakin banyak kompetitor di
bidang usaha yang sama.
Bahkan, di daerahnya itu kini
banyak muncul produsen dodol
dengan kualitas rendah yang
merusak pasar.
---
Sukses di bisnis dodol Garut
dengan omzet ratusan juta, tak
membuat Hinda Japar cepat
puas. Ia masih berambisi untuk
terus membesarkan usaha
pembuatan dodol Garut
peninggalan orang tuanya itu.
Hinda mengaku, ingin sekali
mengekspor produk dodol
Garut merek Pusaka buatannya
ke luar negeri. Ia menargetkan,
rencana ekspor itu bisa
terwujud tahun ini juga. Hinda
mengaku, saat masih menjadi
mitra binaan PT Krakatau Steel
pernah mengekspor dodol
Pusaka ke Dubai, Uni Emirat
Arab.
Ekspor ke Dubai itu berlangsung
sekitar tahun 2000-an. Namun,
ekspor terpaksa dihentikan
karena keterbatasan
manajemen. Pengalaman itu
juga yang mendorongnya untuk
mencoba kembali melakukan
ekspor.
Ia optmistis, keinginan untuk
ekspor tahun ini bisa
terealisasi. "Soalnya, sekarang
ini saya sudah mendapatkan
satu calon buyer dari
Singapura," katanya.
Namun, rencana ekspor ini
bukannya tanpa halangan. Salah
satunya di bidang kemasan.
Untuk ekspor diperlukan
kualitas kemasan agak bagus.
Namun, biayanya tentu besar.
Nah, ia khawatir ongkos
produksi bakal membengkak.
Makanya, sekarang ia sedang
mencari cara untuk
menurunkan ongkos produksi
ini. Tidak hanya itu, ia juga
masih merasa perlu melakukan
inovasi produk. Menurutnya,
varian dodol Pusaka masih
kurang beragam. Sejak
meluncurkan varian rujak dodol
tahun lalu, ia belum
menemukan lagi varian baru
untuk dikembangkan.
Sampai saat ini ia masih terus
berusaha menemukan resep
baru untuk produk dodolnya
tersebut. Lantaran perhatiannya
masih terfokus kepada usaha
dodolnya, ia mengaku belum
berencana merambah bisnis
lain.
Bagi Hinda, bisnis dodol sendiri
penuh dengan tantangan.
Selama mengelola usaha ini, ia
pernah beberapa kali dirugikan
oleh agen, terutama agen-agen
kecil.
Soalnya, mereka ini sering telat
melakukan pembayaran.
Bahkan, ada juga yang tidak
melakukan pembayaran sama
sekali. Padahal, produk sudah
terlanjur dikirim.
Agen besar juga pernah mangkir
dari kewajiban membayar. Hal
itu pernah dilakukan agen besar
di wilayah Surabaya, Jawa Timur
dan Cianjur, Jawa Barat. "Alasan
mereka saat itu sudah bangkrut,
sehingga tidak memiliki uang
lagi untuk membayar saya,"
ujarnya.
Kini, Hinda lebih berhati-hati
dalam memilih agen yang akan
memasarkan produknya.
(Marantina/ Kontan)
sumber: http//bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/13/22152215/Hinda.Raup.Omzet.Rp.400.Juta.dari.Bisnis.Dodol.Garut.
Kategori:
Kuliner
Ningsih, Sukses Butik Fesyen-nya Bermula dari Dua Potong Pakaian Kreditan
Keinginannya untuk mandiri
sedari dini, membuat
Muktiningsih cerdas membaca
berbagai peluang bisnis. Berawal
dari dua potong pakaian
kreditan, kini ia memiliki butik
megah Mega Fashion dan
sejumlah bisnis lainnya.
Sebuah foto keluarga berukuran
besar tergantung di ruang tamu di
rumahnya yang megah di Jalan
Jagalan Kediri. Mirip. Mirip sekali
dengan penyanyi Cici Paramida.
Semula saya tidak mengira bahwa
foto tersebut adalah milik sang
empunya rumah, pasangan
Muktiningsih dan Agus Purnomo
yang mengapit putri semata
wayangnya Elke.
Di depan rumahnya persis (hanya
dipisahkan gang) berdiri kokoh
butiknya Mega Fashion. Pada lantai
pertama terpajang semua produk
fesyen mulai dari pakaian, tas,
asesoris, parfum dan produk-
produk mode lainnya. Di lantai dua
terhampar ruangan untuk gym,
pelatihan dansa dan ruangan
layanan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing.
Tak pernah ada yang mengira bisnis
sebesar itu bermula dari dua
potong pakaian.
Muktiningsih, yang akrab disapa
Mbak Ning oleh para pelanggannya,
memulai usaha ketika duduk di
bangku SMA di Kediri. Awalnya ia
membeli dua potong pakaian dari
orangtua temannya yang berjualan
pakaian. “Waktu saya pakai ada
teman lain yang tertarik. Saat itu
pikiran saya langsung bekerja,
kenapa saya tidak berbisnis jual beli
pakaian saja,” ungkap Ning.
Kemampuan menangkap peluang ini
tidak terlepas dari rekaman di
bawah sadar Ning yang diprogram
secara berulang-ulang melalui
pesan-pesan yang berulang-ulang
juga dari orangtuanya. Sebagai anak
pertama dari empat bersaudara di
keluarganya Ning selalu menerima
pesan dari orangtuanya,” Meskipun
kamu seorang wanita, kamu harus
mandiri sehingga suatu saat ketika
kamu membantu adik-adikmu kamu
tidak perlu merepotkan suami
kamu,” ulang Ning tentang pesan
orangtuanya.
Pemograman bahwa sadar tentang
kemandirian inilah yang membuat
Ning memutuskan untuk berjual
beli pakaian saat temannya
mengaku tertarik pakaian yang
dikenakan Ning. Ia membeli
beberapa potong pakaian dari
orangtua temannya dan menjual
lagi ke sejumlah teman lainnya.
Dari jual-beli pakaian di lingkungan
teman-teman sekolah itulah jiwa
bisnis Ning terasah. Rumah
orangtua Ning kebetulan dilewati
ribuan karyawan rokok Gudang
Garam. Pernah suatu waktu ia
melihat sejumlah karyawan antre di
depan toko sembako orangtuanya
untuk membeli keperluan sehari
hari, semisal pasta gigi, shampoo
dan sabun mandi. Ning melihat
ketidakefisienan pelayanan dari
orangtuanya sehingga banyak
pembeli yang tidak terlayani. Oleh
karena itu, Ning membuat
terobosan dengan membungkus
berbagai keperluan sehari-hari
tersebut menjadi satu paket.
Berkat terobosan itu para pembeli
dengan cepat terlayani dan
omsetnya pun membengkak karena
para konsumen tinggal mengambil
paket tanpa harus antre. Bakat
dagang Ning inilah yang
menggerakkan orangtuanya untuk
membangun toko pakaian kecil di
samping toko sembakonya.
Harga kompetitif dan mode yang
up to date adalah dua kunci dari
beberapa kunci sukses berbisnis
pakaian. Itu sebabnya Ning yang
memutuskan diri tidak melanjutkan
kuliah selepas SMA, tidak mau
kulakan pakaian di Kediri,
melainkan ke Kapasan Surabaya.
“Dengan naik kereta api, dua hari
sekali saya pergi ke Kapasan
Surabaya untuk kulakan,” tutur
Ning.
Dalam waktu singkat Ning
mendapat kepercayaan dari grosir
pakaian di Kapasan. Dengan
semakin banyaknya produk pakaian,
Ning mulai memikirkan cara
pemasarannya. Ia mulai
menciptakan reseller di lingkungan
karyawan rokok Gudang Garam.
Satu reseller bisa menghasilkan
omset Rp20 juta hingga Rp25 juta/
bulan. “Pada tahun 1989/1990 saya
memiliki sekitar 20 reseller,”
ujarnya. Berarti Ning bisa
menangguk omset Rp400 juta
hingga Rp500 juta/bulan. Itu belum
termasuk hasil penjualan dari
tokonya sendiri. “Menjelang
lebaran omset toko bisa mencapai
Rp25 juta/hari,” papar Ning.
Namun masa booming langsung
redup ketika perusahaan rokok
Gudang Garam mewajibkan
karyawannya berseragam. Untuk
mempertahankan omset—dibantu
suaminya Agus Purnomo—Ning
membeli satu toko di Pasar
Sonobetek, Kediri. Kejayaan
berjualan pakaian sempat bertahan
hingga beberapa tahun kemudian.
Tetapi ketika di Kediri menjamur
beberapa pusat perbelanjaan,
omset toko pakaian Ning di Pasar
Sonobetek turun drastis.
Di sinilah keberanian dan feeling
bisnis Ning diuji. Keberadaan
sejumlah tempat perbelanjaan di
Kediri, alih-alih menciutkan nyali
Ning, justru wanita kelahiran tahun
1969 ini mengambil langkah besar.
Ia membeli tiga ruko sekaligus di
Jalan Pattimura Kediri. Tiga ruko
tersebut direnovasi dan disatukan
menjadi Butik Mega Fashion.
Menyadari Butik Mega Fashion
tidak berada di tempat strategis,
Ning melancarkan jurus baru dalam
pemasarannya. Ia masuk dan
tergabung dalam sejumlah kegiatan
arisan. Sekalipuan ia bukan istri
dokter, arisan istri-istri dokter pun
ia ikuti. Bahkan bukan hanya arisan
yang anggotanya berlingkup di
Kediri, arisan yang berada di
Surabaya dan pesertanya tersebar
di beberapa kota ia ikuti juga.
“Sambil arisan, saya membawa
produk-produk fesyen. Itulah cara
saya memperkenalkan produk-
produk,” ujarnya.
Tetapi dengan sasaran konsumen
yang berbeda dari sebelumnya ini
membuat Ning rela bolak-balik
Jakarta-Kediri setiap minggunya
untuk kulakan. Itu sebabnya meski
ia berjualan di Kediri tetapi
barometer modenya adalah Jakarta.
“Produk butik saya tidak kalah
dengan tempat-tempat perbelanjaan
mentereng di Kediri. Ini yang
membuat konsumen saya masih
terus berdatangan meski Mega
Fashion tempatnya kurang
strategis,” ungkap Ning tentang
kiatnya mendatangkan pelanggan.
Ketika Ning memperluas usahanya
ke pelatihan aerobik, senam, dansa
dan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing,
jurus mendatangkan pelanggan
dengan masuk ke sejumlah arisan
tetap dilakukan. Hasilnya “orang-
orang penting” di Jalan Doho Kediri
tercatat menjadi konsumen
setianya.
“Dalam berbisnis saya memakai
feeling. Bisnis apa yang menurut
saya prospektif langsung saya
jalankan tanpa menunda-nunda
waktu,” tutur Ning tentang kiat
bisnisnya. Pengakuan Ning sekaligus
mengungkapkan bawah sadarnya
yang sudah terinstall program
Enter, bukan Entar.
( Sukatna Panca M)
Sumber: http//pengusahaindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:finansial-mapan-berkat-dua-potong-pakaian-kreditan&catid=29:profil-pengusaha&Itemid=65
sedari dini, membuat
Muktiningsih cerdas membaca
berbagai peluang bisnis. Berawal
dari dua potong pakaian
kreditan, kini ia memiliki butik
megah Mega Fashion dan
sejumlah bisnis lainnya.
Sebuah foto keluarga berukuran
besar tergantung di ruang tamu di
rumahnya yang megah di Jalan
Jagalan Kediri. Mirip. Mirip sekali
dengan penyanyi Cici Paramida.
Semula saya tidak mengira bahwa
foto tersebut adalah milik sang
empunya rumah, pasangan
Muktiningsih dan Agus Purnomo
yang mengapit putri semata
wayangnya Elke.
Di depan rumahnya persis (hanya
dipisahkan gang) berdiri kokoh
butiknya Mega Fashion. Pada lantai
pertama terpajang semua produk
fesyen mulai dari pakaian, tas,
asesoris, parfum dan produk-
produk mode lainnya. Di lantai dua
terhampar ruangan untuk gym,
pelatihan dansa dan ruangan
layanan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing.
Tak pernah ada yang mengira bisnis
sebesar itu bermula dari dua
potong pakaian.
Muktiningsih, yang akrab disapa
Mbak Ning oleh para pelanggannya,
memulai usaha ketika duduk di
bangku SMA di Kediri. Awalnya ia
membeli dua potong pakaian dari
orangtua temannya yang berjualan
pakaian. “Waktu saya pakai ada
teman lain yang tertarik. Saat itu
pikiran saya langsung bekerja,
kenapa saya tidak berbisnis jual beli
pakaian saja,” ungkap Ning.
Kemampuan menangkap peluang ini
tidak terlepas dari rekaman di
bawah sadar Ning yang diprogram
secara berulang-ulang melalui
pesan-pesan yang berulang-ulang
juga dari orangtuanya. Sebagai anak
pertama dari empat bersaudara di
keluarganya Ning selalu menerima
pesan dari orangtuanya,” Meskipun
kamu seorang wanita, kamu harus
mandiri sehingga suatu saat ketika
kamu membantu adik-adikmu kamu
tidak perlu merepotkan suami
kamu,” ulang Ning tentang pesan
orangtuanya.
Pemograman bahwa sadar tentang
kemandirian inilah yang membuat
Ning memutuskan untuk berjual
beli pakaian saat temannya
mengaku tertarik pakaian yang
dikenakan Ning. Ia membeli
beberapa potong pakaian dari
orangtua temannya dan menjual
lagi ke sejumlah teman lainnya.
Dari jual-beli pakaian di lingkungan
teman-teman sekolah itulah jiwa
bisnis Ning terasah. Rumah
orangtua Ning kebetulan dilewati
ribuan karyawan rokok Gudang
Garam. Pernah suatu waktu ia
melihat sejumlah karyawan antre di
depan toko sembako orangtuanya
untuk membeli keperluan sehari
hari, semisal pasta gigi, shampoo
dan sabun mandi. Ning melihat
ketidakefisienan pelayanan dari
orangtuanya sehingga banyak
pembeli yang tidak terlayani. Oleh
karena itu, Ning membuat
terobosan dengan membungkus
berbagai keperluan sehari-hari
tersebut menjadi satu paket.
Berkat terobosan itu para pembeli
dengan cepat terlayani dan
omsetnya pun membengkak karena
para konsumen tinggal mengambil
paket tanpa harus antre. Bakat
dagang Ning inilah yang
menggerakkan orangtuanya untuk
membangun toko pakaian kecil di
samping toko sembakonya.
Harga kompetitif dan mode yang
up to date adalah dua kunci dari
beberapa kunci sukses berbisnis
pakaian. Itu sebabnya Ning yang
memutuskan diri tidak melanjutkan
kuliah selepas SMA, tidak mau
kulakan pakaian di Kediri,
melainkan ke Kapasan Surabaya.
“Dengan naik kereta api, dua hari
sekali saya pergi ke Kapasan
Surabaya untuk kulakan,” tutur
Ning.
Dalam waktu singkat Ning
mendapat kepercayaan dari grosir
pakaian di Kapasan. Dengan
semakin banyaknya produk pakaian,
Ning mulai memikirkan cara
pemasarannya. Ia mulai
menciptakan reseller di lingkungan
karyawan rokok Gudang Garam.
Satu reseller bisa menghasilkan
omset Rp20 juta hingga Rp25 juta/
bulan. “Pada tahun 1989/1990 saya
memiliki sekitar 20 reseller,”
ujarnya. Berarti Ning bisa
menangguk omset Rp400 juta
hingga Rp500 juta/bulan. Itu belum
termasuk hasil penjualan dari
tokonya sendiri. “Menjelang
lebaran omset toko bisa mencapai
Rp25 juta/hari,” papar Ning.
Namun masa booming langsung
redup ketika perusahaan rokok
Gudang Garam mewajibkan
karyawannya berseragam. Untuk
mempertahankan omset—dibantu
suaminya Agus Purnomo—Ning
membeli satu toko di Pasar
Sonobetek, Kediri. Kejayaan
berjualan pakaian sempat bertahan
hingga beberapa tahun kemudian.
Tetapi ketika di Kediri menjamur
beberapa pusat perbelanjaan,
omset toko pakaian Ning di Pasar
Sonobetek turun drastis.
Di sinilah keberanian dan feeling
bisnis Ning diuji. Keberadaan
sejumlah tempat perbelanjaan di
Kediri, alih-alih menciutkan nyali
Ning, justru wanita kelahiran tahun
1969 ini mengambil langkah besar.
Ia membeli tiga ruko sekaligus di
Jalan Pattimura Kediri. Tiga ruko
tersebut direnovasi dan disatukan
menjadi Butik Mega Fashion.
Menyadari Butik Mega Fashion
tidak berada di tempat strategis,
Ning melancarkan jurus baru dalam
pemasarannya. Ia masuk dan
tergabung dalam sejumlah kegiatan
arisan. Sekalipuan ia bukan istri
dokter, arisan istri-istri dokter pun
ia ikuti. Bahkan bukan hanya arisan
yang anggotanya berlingkup di
Kediri, arisan yang berada di
Surabaya dan pesertanya tersebar
di beberapa kota ia ikuti juga.
“Sambil arisan, saya membawa
produk-produk fesyen. Itulah cara
saya memperkenalkan produk-
produk,” ujarnya.
Tetapi dengan sasaran konsumen
yang berbeda dari sebelumnya ini
membuat Ning rela bolak-balik
Jakarta-Kediri setiap minggunya
untuk kulakan. Itu sebabnya meski
ia berjualan di Kediri tetapi
barometer modenya adalah Jakarta.
“Produk butik saya tidak kalah
dengan tempat-tempat perbelanjaan
mentereng di Kediri. Ini yang
membuat konsumen saya masih
terus berdatangan meski Mega
Fashion tempatnya kurang
strategis,” ungkap Ning tentang
kiatnya mendatangkan pelanggan.
Ketika Ning memperluas usahanya
ke pelatihan aerobik, senam, dansa
dan perawatan kecantikan serta
kesehatan Roemah Cantik Langsing,
jurus mendatangkan pelanggan
dengan masuk ke sejumlah arisan
tetap dilakukan. Hasilnya “orang-
orang penting” di Jalan Doho Kediri
tercatat menjadi konsumen
setianya.
“Dalam berbisnis saya memakai
feeling. Bisnis apa yang menurut
saya prospektif langsung saya
jalankan tanpa menunda-nunda
waktu,” tutur Ning tentang kiat
bisnisnya. Pengakuan Ning sekaligus
mengungkapkan bawah sadarnya
yang sudah terinstall program
Enter, bukan Entar.
( Sukatna Panca M)
Sumber: http//pengusahaindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:finansial-mapan-berkat-dua-potong-pakaian-kreditan&catid=29:profil-pengusaha&Itemid=65
Kategori:
Fashion
Kuntoro, Bisnis Lampu Hias-nya yang Beromzet Puluhan Juta Rupiah Ini Berawal dari Hobi
Jakarta - Menggeluti sebuah bisnis
tak jarang dimulai dari sebuah
hobi ataupun kesukaan seseorang.
Misalnya usaha lampu hias unik
yang ditekuni oleh Kuntoro dan
rekannya.
Berawal dari ketertarikannya
terhadap interior dan lampu hias,
Kuntoro selepas bekerja dari
Amerika Serikat (AS) kemudian
mendirikan usaha lampu dekorasi
buatan tangan yang unik.
"Karena saya suka interior dan
bisanya kalau Natal saya suka yang
warna-warni, dulu waktu saya di
Amerika sering ada acara Natal
ramai meriah jadi saya dasarnya
beli lampu dari luar habis itu
kenapa kok nggak bikin sendiri di
Indonesia. Sudah saya bikin saja,"
ungkapnya ketika berbicang
dengan detikFinance beberapa
waktu lalu.
Usaha yang dijalani Kuntoro
bersama rekannya semenjak April
2009 ini, menjual produk lampu
hias berupa lampu tidur, lampu
gantung, dan lampu korden
dengan membidik pasar untuk
memenuhi keperluan anak-anak
dan home dekor. Sedangkan untuk
penjualannya sendiri dilakukan
melalui offline maupun online.
"Ada online, ada offline ada
reseller juga. Serta galeri-galeri
dari luar (dalam dan luar negeri),"
tambahnya.
Pemuda yang lulusan sekolah
pelayaran di Cikarang dan sempat
bekerja 5 tahun di AS. Saat ini
usahanya telah menghasilkan
omzet penjualan mencapai Rp 40
juta per bulan dengan harga
produknya berkisar Rp 10 ribu
sampai Rp 7 juta.
"Dari Rp 10 ribu sampai paling
mahal kita bikin pohon natal
seharga Rp 7 juta," sambungnya.
Kuntoro juga menunturkan, ketika
memulai usaha, ia hanya bekerja
bersama seorang rekannya dari
proses produksi sampai penjualan.
Tetapi saat ini ia telah
mempekerjakan 20 orang
karyawan yang merupakan ibu-ibu
di sekitar kantornya di Surabaya
untuk terlibat dalam proses
produksi pembuatan lampu hias
ini.
"Dulu dua orang, saya dan partner
saya. Kerja sendiri bikin sendiri
serta dijual sendiri, sekarang tim
ini di kantor saya itu ada 9 orang
dan perajinnya ada 20 orang. Itu
semuanya ibu-ibu yang dirumah
nggak kerja jadi mereka
diberdayakan, diajari kemudian
dikasih bahan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu lah,"
tambahnya.
Sebelum memfokuskan pasarnya
ke dalam negeri, Kuntoro
mengatakan jika di awal usaha,
produknya lebih banyak ditujukan
untuk memenuhi pasar ekspor
daripada pasar dalam negeri.
Kemudian dialihkan ke dalam
negeri karena persyaratan yang
begitu banyak untuk kebutuhan
pasar ekspor.
"Dua tahun lalau kita sempat
ekspor, cuma sekarang kita
membidik lokal karena lokal
banyak sekali minatnya jadi kita
nggak main ekspor karena ekspor
permintaan banyak bermacam-
macam perlu elektrik dan
sertifikatnya jadi kita nggak mau
pecah perhatian kesana. Kita
fokusnya ke lokal ke anak-anak,"
sambungnya.
Usaha yang dijalani oleh Kuntoro
ini bukannya tanpa kendala.
Banyak sekali kendala yang
dihadapinya, mulai dari 'gesekan-
gesekan' sampai sulitnya mengajari
ibu-ibu agar terampil membuat
produk.
"Banyak, ada kendala-kendala, ada
gesekan kanan kiri, mulai usaha
memang nggak gampang tapi
kuncinya terus pantang menyerah
saja, dalam satu masalah pasti ada
jalan keluarnya," sebutnya.
Kuntoro juga tidak pelit berbagai
kunci keberhasilannya. Ia
mengatakan kunci keberhasilannya
yaitu terus berinovasi dan
membentuk tim yang solid. Selain
itu kedepannya dia berencana
membukan pabrik aksesoris Natal.
"Kedepannya mau buka pabrik
aksesoris natal di Surabaya jadi
nanti fokus ke Natal aja soalnya
saya lihat di Indonesia belum
ada," tutupnya.
Jika anda tertarik terhadap produk
dari Light Craft ini anda bisa
datang ke:
Jalan Jaya A2 No. 66 Surabaya
atau mengunjungi www.light-
craft.blogspot.com
( Feby Dwi Sutianto)
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/05/14/125913/1916558/480/
tak jarang dimulai dari sebuah
hobi ataupun kesukaan seseorang.
Misalnya usaha lampu hias unik
yang ditekuni oleh Kuntoro dan
rekannya.
Berawal dari ketertarikannya
terhadap interior dan lampu hias,
Kuntoro selepas bekerja dari
Amerika Serikat (AS) kemudian
mendirikan usaha lampu dekorasi
buatan tangan yang unik.
"Karena saya suka interior dan
bisanya kalau Natal saya suka yang
warna-warni, dulu waktu saya di
Amerika sering ada acara Natal
ramai meriah jadi saya dasarnya
beli lampu dari luar habis itu
kenapa kok nggak bikin sendiri di
Indonesia. Sudah saya bikin saja,"
ungkapnya ketika berbicang
dengan detikFinance beberapa
waktu lalu.
Usaha yang dijalani Kuntoro
bersama rekannya semenjak April
2009 ini, menjual produk lampu
hias berupa lampu tidur, lampu
gantung, dan lampu korden
dengan membidik pasar untuk
memenuhi keperluan anak-anak
dan home dekor. Sedangkan untuk
penjualannya sendiri dilakukan
melalui offline maupun online.
"Ada online, ada offline ada
reseller juga. Serta galeri-galeri
dari luar (dalam dan luar negeri),"
tambahnya.
Pemuda yang lulusan sekolah
pelayaran di Cikarang dan sempat
bekerja 5 tahun di AS. Saat ini
usahanya telah menghasilkan
omzet penjualan mencapai Rp 40
juta per bulan dengan harga
produknya berkisar Rp 10 ribu
sampai Rp 7 juta.
"Dari Rp 10 ribu sampai paling
mahal kita bikin pohon natal
seharga Rp 7 juta," sambungnya.
Kuntoro juga menunturkan, ketika
memulai usaha, ia hanya bekerja
bersama seorang rekannya dari
proses produksi sampai penjualan.
Tetapi saat ini ia telah
mempekerjakan 20 orang
karyawan yang merupakan ibu-ibu
di sekitar kantornya di Surabaya
untuk terlibat dalam proses
produksi pembuatan lampu hias
ini.
"Dulu dua orang, saya dan partner
saya. Kerja sendiri bikin sendiri
serta dijual sendiri, sekarang tim
ini di kantor saya itu ada 9 orang
dan perajinnya ada 20 orang. Itu
semuanya ibu-ibu yang dirumah
nggak kerja jadi mereka
diberdayakan, diajari kemudian
dikasih bahan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu lah,"
tambahnya.
Sebelum memfokuskan pasarnya
ke dalam negeri, Kuntoro
mengatakan jika di awal usaha,
produknya lebih banyak ditujukan
untuk memenuhi pasar ekspor
daripada pasar dalam negeri.
Kemudian dialihkan ke dalam
negeri karena persyaratan yang
begitu banyak untuk kebutuhan
pasar ekspor.
"Dua tahun lalau kita sempat
ekspor, cuma sekarang kita
membidik lokal karena lokal
banyak sekali minatnya jadi kita
nggak main ekspor karena ekspor
permintaan banyak bermacam-
macam perlu elektrik dan
sertifikatnya jadi kita nggak mau
pecah perhatian kesana. Kita
fokusnya ke lokal ke anak-anak,"
sambungnya.
Usaha yang dijalani oleh Kuntoro
ini bukannya tanpa kendala.
Banyak sekali kendala yang
dihadapinya, mulai dari 'gesekan-
gesekan' sampai sulitnya mengajari
ibu-ibu agar terampil membuat
produk.
"Banyak, ada kendala-kendala, ada
gesekan kanan kiri, mulai usaha
memang nggak gampang tapi
kuncinya terus pantang menyerah
saja, dalam satu masalah pasti ada
jalan keluarnya," sebutnya.
Kuntoro juga tidak pelit berbagai
kunci keberhasilannya. Ia
mengatakan kunci keberhasilannya
yaitu terus berinovasi dan
membentuk tim yang solid. Selain
itu kedepannya dia berencana
membukan pabrik aksesoris Natal.
"Kedepannya mau buka pabrik
aksesoris natal di Surabaya jadi
nanti fokus ke Natal aja soalnya
saya lihat di Indonesia belum
ada," tutupnya.
Jika anda tertarik terhadap produk
dari Light Craft ini anda bisa
datang ke:
Jalan Jaya A2 No. 66 Surabaya
atau mengunjungi www.light-
craft.blogspot.com
( Feby Dwi Sutianto)
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2012/05/14/125913/1916558/480/
Nadia, Sukses Jadi Eksportir di Usia Muda Lewat Sepatu Kelom
KOMPAS.com - Saat tinggal di
Jepang untuk mengikuti sang
ayah yang bertugas di sana,
Nadia Mutia Rahma mengikuti
program pendalaman bahasa
Jepang di KAI Japanese
Language School, salah satu
sekolah bahasa Jepang di
Shinjuku, Tokyo. Di sana ia
berkenalan dengan berbagai
siswa dari mancanegara. Di
kelas angkatannya, kebetulan
ada banyak siswa yang berasal
dari wilayah Skandinavia.
Otomatis Nadia selalu mendapat
cerita mengenai kawasan yang
menaungi negara Finlandia,
Swedia, Islandia, Norwegia dan
Denmark. "Saya senang
mendengar cerita seputar
kebudayaan orang-orang
Skandinavia," ujarnya.
Salah satu budaya yang mencuri
perhatiannya adalah tradisi
memakai clog atau kelom. Ia
mengaku jatuh cinta dengan
alas kaki dari kayu tersebut.
"Sebenarnya tradisi memakai
kelom bukan hanya milik orang
Skandinavia. Di Jepang dan
Indonesia juga ada. Di Jawa,
kelom disebut dengan
teklek ,"jelasnya.
Kepincut bisnis sepatu
Usai belajar di KAI, putri
pasangan Nanang Sunarya dan
Noerdiyanti ini lalu mengambil
jurusan Fashion Introduction di
ESMOD Tokyo. Di sini Nadia
banyak belajar mengenai seluk-
beluk dunia fashion, termasuk
sisi bisnisnya. Saat menempuh
kuliah, Nadia sering mengikuti
seminar fashion. Salah satunya
adalah seminar dari Hiko
Mizuno, seorang desainer
sepatu asal Jepang.
Di seminar
tersebut, ditampilkan cara-cara
memproduksi sepatu. Melihat
keseriusan dan ketelitian para
pengrajin sepatu di Jepang yang
dipaparkan dalam seminar
tersebut, Nadia pun tertank
untuk terjun ke bisnis sepatu.
"Di seminar tersebut dijelaskan
sejarah, teknik, dan
pengembangan produk sepatu.
Ternyata sangat menantang.
Saya jadi tertarik
mendalaminya," cerita Nadia.
Karena suka dengan alas kaki
kelom, ia pun bertekad untuk
menciptakan produk kelom
dengan inovasinya sendiri.
Selain karena minat, Nadia
mengaku mempunyai feeling
yang sangat kuat terhadap
bisnis kelom. "Menurut saya,
bisnis itu juga harus
menggunakan feeling . Saya
merasa yakin dengan produk
kelom. Apalagi masih jarang
pengusaha yang berinovasi
dengan kelom di Indonesia,"
tuturnya.
Selain itu, Nadia juga
melakukan survei terhadap
berbagai situs toko online, baik
lokal maupun internasional.
Rupanya produksi kelom masih
terbilang sedikit di Indonesia,
sementara peminatnya cukup
banyak, termasuk dari
mancanegara. "Saya langsung
bertekad untuk fokus juga ke
ekspor. Untungnya ayah saya
seorang importir, jadi saya
belajar banyak mengenai usaha
ekspor-impor melalui beliau,"
cerita Nadia.
Tak punya ijazah
Tanpa menyelesaikan kuliahnya
di ESMOD Jepang, awal tahun
2010 lalu Nadia nekad kembali
ke Indonesia menyusul kedua
orangtuanya yang sudah lebih
dulu kembali. Untuk mendalami
proses produksi sepatu, Nadia
yang berdomisili di Yogyakarta
memutuskan untuk mengambil
pendidikan di ATK (Akademi
Teknologi Kulit), Yogyakarta.
Setelah satu semester
menempuh pendidikan di ATK,
Nadia pun memutuskan keluar.
Untuk mewujudkan bisnis yang
diimpikan, Nadia
mengumpulkan modal sebanyak
Rp 30 juta untuk membeli
bahan baku serta membayar
pengrajin. Menurut Nadia, sulit
mencari pengrajin yang mau
memproduksi kelom sesuai
dengan model yang
dirancangnya. Pasalnya
pengrajin di sekitar Yogyakarta,
biasanya sudah memiliki pakem
sendiri dalam membuat alas
kaki. "Mereka (pengrajin) rata-
rata hanya membuat alas kaki
dengan model yang sudah
umum. Jadi banyak yang
menolak saat saya minta
memproduksi kelom yang saya
desain," tutur anak pertama
dari tiga bersaudara yang lahir
pada 12 Juni 1989 ini.
Kelom rancangan Nadia
memang bukan seperti desain
kelom pada umumnya. Ia
mendesain kelom dengan
sentuhan Eropa, yakni kayu
dipadupadankan dengan
material kulit. Menurut Nadia,
rancangannya ini belum pernah
ada di Indonesia sebelumnya.
"Kelom didesain sedemikian
rupa agar nyaman untuk
pemakaian sehari-hari. Selain
itu, sepatu ini juga serasi
dikenakan dengan berbagai
model busana," katanya.
Setelah mendapatkan pengrajin
yang sesuai, Nadia harus
melakukan berbagai percobaan
terhadap produk kelom sampai
menemukan bentuk yang pas
dan nyaman dipakai.
Bermacam-macam jenis kayu
diuji sebagai material utama
kelom. Tidak seperti kelom-
kelom lain yang menggunakan
kayu mahoni, Nadia
menggunakan kayu sampang.
Kayu ini tumbuh liar di hutan
Jawa dan Sumatra. "Kayu jenis
ini warnanya bersih, bobotnya
ringan, dan awet. Saat dipijak
terasa halus dan nyaman," ujar
perempuan yang juga hobi
membatik ini.
Setelah tiga bulan percobaan,
akhirnya Nadia menemukan
model dan bentuk kelom yang
pas dikenakan. Ia mengaku puas
karena memang telah berusaha
maksimal. Mengusung nama
usaha Kloom (baca: klum),
pemasaran pertama
dilakukannya melalui Facebook
dengan akun Kloom Clogshop
pada bulan September 2010.
Sepasang kelom dijualnya
seharga Rp 200.000. Hasilnya
lumayan, 3-4 pasang kelom
laku per hari.
Namun Nadia tidak puas sampai
di situ. Ia berpikir dalam
menjual produk fashion ia harus
membuat konsumen puas
dengan memperlihatkan
langsung wujud produk
tersebut.
Akhirnya ia menyewa
stan bazaar di mall.
"Responsnya sangat lumayan.
Sebulan omzet-nya mencapai Rp
39 juta," ceritanya.
Ditaksir importir
Selain pasar lokal, Nadia juga
menyasar mancanegara dengan
memasarkan produk melalui
toko online internasional
seperti www.alibaba.com.
Usahanya pun berbuah manis.
Banyak importir Eropa yang
tertarik dengan kreasinya. Salah
satu permintaan ekspor datang
dari Swedia yang memesan
sebanyak 250 pasang kelom.
Dengan suntikan modal dari
sang ayah sebanyak Rp 200
juta, Nadia merekrut puluhan
pekerja dari Yogyakarta dan
Tasikmalaya demi memenuhi
target.
Selanjutnya, ia juga
mendapatkan permintaan dari
supplier di Denmark, Belanda,
dan Yunani, yang meminta
100-200 pasang kelom. Bahkan
sebuah butik di Amerika Serikat
rutin memesan kelom sebanyak
100 pasang setiap bulannya.
Saat ini, selain kelom, Nadia
juga bereksperimen dengan
sandal dan sepatu model
espadrille yang
dipadupadankan dengan batik
tulis hasil desainnya. Selain
batik, ada juga espadrille
dengan sentuhan tenun. Kreasi
ini dilakukannya dengan tujuan
untuk lebih melestarikan tradisi
Indonesia, serta
memaksimalkan penggunaan
bahan baku lokal.
Kendati sudah menjadi produk
ekspor, Nadia menjamin harga
produknya masih sangat
terjangkau. Untuk kelom, harga
yang diberikan mulai dari Rp
175.000 - Rp 425.000.
Sementara untuk model
espadrille , harganya antara Rp
235.000 - Rp 325.000. Ada
puluhan model kelom dan
espadrille yang sudah
diciptakan Nadia. Berkat
inovasinya, baru-baru ini
sepatu kreasinya digaet salah
satu perancang busana asal
Yogyakarta untuk meramaikan
pagelaran Jakarta Fashion Week
2011.
Saat ini Nadia sudah bisa
mempekerjakan 20 orang
pengrajin di Yogyakarta dan
Tasikmalaya. Omzet tetap yang
dihasilkannya mencapai Rp 70
juta sebulan. Itu hanya dari
pameran. Untuk manajemen
bisnis, Nadia dibantu ayah dan
ibunya. "Modal dari ayah sudah
saya kembalikan semua. Semoga
seterusnya usaha ini bisa terus
maju," ucapnya tersenyum.
Kontak Nadia:
Telepon: 0878 324 60900
Website: www.shop-kloom.com
Facebook: facebook.com/
kloomkloom
(Ira Nursita)
Editor: Dini
sumber: http://female.kompas.com/read/2012/01/05/14590134/sukses.jadi.eksportir.di.usia.muda
Jepang untuk mengikuti sang
ayah yang bertugas di sana,
Nadia Mutia Rahma mengikuti
program pendalaman bahasa
Jepang di KAI Japanese
Language School, salah satu
sekolah bahasa Jepang di
Shinjuku, Tokyo. Di sana ia
berkenalan dengan berbagai
siswa dari mancanegara. Di
kelas angkatannya, kebetulan
ada banyak siswa yang berasal
dari wilayah Skandinavia.
Otomatis Nadia selalu mendapat
cerita mengenai kawasan yang
menaungi negara Finlandia,
Swedia, Islandia, Norwegia dan
Denmark. "Saya senang
mendengar cerita seputar
kebudayaan orang-orang
Skandinavia," ujarnya.
Salah satu budaya yang mencuri
perhatiannya adalah tradisi
memakai clog atau kelom. Ia
mengaku jatuh cinta dengan
alas kaki dari kayu tersebut.
"Sebenarnya tradisi memakai
kelom bukan hanya milik orang
Skandinavia. Di Jepang dan
Indonesia juga ada. Di Jawa,
kelom disebut dengan
teklek ,"jelasnya.
Kepincut bisnis sepatu
Usai belajar di KAI, putri
pasangan Nanang Sunarya dan
Noerdiyanti ini lalu mengambil
jurusan Fashion Introduction di
ESMOD Tokyo. Di sini Nadia
banyak belajar mengenai seluk-
beluk dunia fashion, termasuk
sisi bisnisnya. Saat menempuh
kuliah, Nadia sering mengikuti
seminar fashion. Salah satunya
adalah seminar dari Hiko
Mizuno, seorang desainer
sepatu asal Jepang.
Di seminar
tersebut, ditampilkan cara-cara
memproduksi sepatu. Melihat
keseriusan dan ketelitian para
pengrajin sepatu di Jepang yang
dipaparkan dalam seminar
tersebut, Nadia pun tertank
untuk terjun ke bisnis sepatu.
"Di seminar tersebut dijelaskan
sejarah, teknik, dan
pengembangan produk sepatu.
Ternyata sangat menantang.
Saya jadi tertarik
mendalaminya," cerita Nadia.
Karena suka dengan alas kaki
kelom, ia pun bertekad untuk
menciptakan produk kelom
dengan inovasinya sendiri.
Selain karena minat, Nadia
mengaku mempunyai feeling
yang sangat kuat terhadap
bisnis kelom. "Menurut saya,
bisnis itu juga harus
menggunakan feeling . Saya
merasa yakin dengan produk
kelom. Apalagi masih jarang
pengusaha yang berinovasi
dengan kelom di Indonesia,"
tuturnya.
Selain itu, Nadia juga
melakukan survei terhadap
berbagai situs toko online, baik
lokal maupun internasional.
Rupanya produksi kelom masih
terbilang sedikit di Indonesia,
sementara peminatnya cukup
banyak, termasuk dari
mancanegara. "Saya langsung
bertekad untuk fokus juga ke
ekspor. Untungnya ayah saya
seorang importir, jadi saya
belajar banyak mengenai usaha
ekspor-impor melalui beliau,"
cerita Nadia.
Tak punya ijazah
Tanpa menyelesaikan kuliahnya
di ESMOD Jepang, awal tahun
2010 lalu Nadia nekad kembali
ke Indonesia menyusul kedua
orangtuanya yang sudah lebih
dulu kembali. Untuk mendalami
proses produksi sepatu, Nadia
yang berdomisili di Yogyakarta
memutuskan untuk mengambil
pendidikan di ATK (Akademi
Teknologi Kulit), Yogyakarta.
Setelah satu semester
menempuh pendidikan di ATK,
Nadia pun memutuskan keluar.
Untuk mewujudkan bisnis yang
diimpikan, Nadia
mengumpulkan modal sebanyak
Rp 30 juta untuk membeli
bahan baku serta membayar
pengrajin. Menurut Nadia, sulit
mencari pengrajin yang mau
memproduksi kelom sesuai
dengan model yang
dirancangnya. Pasalnya
pengrajin di sekitar Yogyakarta,
biasanya sudah memiliki pakem
sendiri dalam membuat alas
kaki. "Mereka (pengrajin) rata-
rata hanya membuat alas kaki
dengan model yang sudah
umum. Jadi banyak yang
menolak saat saya minta
memproduksi kelom yang saya
desain," tutur anak pertama
dari tiga bersaudara yang lahir
pada 12 Juni 1989 ini.
Kelom rancangan Nadia
memang bukan seperti desain
kelom pada umumnya. Ia
mendesain kelom dengan
sentuhan Eropa, yakni kayu
dipadupadankan dengan
material kulit. Menurut Nadia,
rancangannya ini belum pernah
ada di Indonesia sebelumnya.
"Kelom didesain sedemikian
rupa agar nyaman untuk
pemakaian sehari-hari. Selain
itu, sepatu ini juga serasi
dikenakan dengan berbagai
model busana," katanya.
Setelah mendapatkan pengrajin
yang sesuai, Nadia harus
melakukan berbagai percobaan
terhadap produk kelom sampai
menemukan bentuk yang pas
dan nyaman dipakai.
Bermacam-macam jenis kayu
diuji sebagai material utama
kelom. Tidak seperti kelom-
kelom lain yang menggunakan
kayu mahoni, Nadia
menggunakan kayu sampang.
Kayu ini tumbuh liar di hutan
Jawa dan Sumatra. "Kayu jenis
ini warnanya bersih, bobotnya
ringan, dan awet. Saat dipijak
terasa halus dan nyaman," ujar
perempuan yang juga hobi
membatik ini.
Setelah tiga bulan percobaan,
akhirnya Nadia menemukan
model dan bentuk kelom yang
pas dikenakan. Ia mengaku puas
karena memang telah berusaha
maksimal. Mengusung nama
usaha Kloom (baca: klum),
pemasaran pertama
dilakukannya melalui Facebook
dengan akun Kloom Clogshop
pada bulan September 2010.
Sepasang kelom dijualnya
seharga Rp 200.000. Hasilnya
lumayan, 3-4 pasang kelom
laku per hari.
Namun Nadia tidak puas sampai
di situ. Ia berpikir dalam
menjual produk fashion ia harus
membuat konsumen puas
dengan memperlihatkan
langsung wujud produk
tersebut.
Akhirnya ia menyewa
stan bazaar di mall.
"Responsnya sangat lumayan.
Sebulan omzet-nya mencapai Rp
39 juta," ceritanya.
Ditaksir importir
Selain pasar lokal, Nadia juga
menyasar mancanegara dengan
memasarkan produk melalui
toko online internasional
seperti www.alibaba.com.
Usahanya pun berbuah manis.
Banyak importir Eropa yang
tertarik dengan kreasinya. Salah
satu permintaan ekspor datang
dari Swedia yang memesan
sebanyak 250 pasang kelom.
Dengan suntikan modal dari
sang ayah sebanyak Rp 200
juta, Nadia merekrut puluhan
pekerja dari Yogyakarta dan
Tasikmalaya demi memenuhi
target.
Selanjutnya, ia juga
mendapatkan permintaan dari
supplier di Denmark, Belanda,
dan Yunani, yang meminta
100-200 pasang kelom. Bahkan
sebuah butik di Amerika Serikat
rutin memesan kelom sebanyak
100 pasang setiap bulannya.
Saat ini, selain kelom, Nadia
juga bereksperimen dengan
sandal dan sepatu model
espadrille yang
dipadupadankan dengan batik
tulis hasil desainnya. Selain
batik, ada juga espadrille
dengan sentuhan tenun. Kreasi
ini dilakukannya dengan tujuan
untuk lebih melestarikan tradisi
Indonesia, serta
memaksimalkan penggunaan
bahan baku lokal.
Kendati sudah menjadi produk
ekspor, Nadia menjamin harga
produknya masih sangat
terjangkau. Untuk kelom, harga
yang diberikan mulai dari Rp
175.000 - Rp 425.000.
Sementara untuk model
espadrille , harganya antara Rp
235.000 - Rp 325.000. Ada
puluhan model kelom dan
espadrille yang sudah
diciptakan Nadia. Berkat
inovasinya, baru-baru ini
sepatu kreasinya digaet salah
satu perancang busana asal
Yogyakarta untuk meramaikan
pagelaran Jakarta Fashion Week
2011.
Saat ini Nadia sudah bisa
mempekerjakan 20 orang
pengrajin di Yogyakarta dan
Tasikmalaya. Omzet tetap yang
dihasilkannya mencapai Rp 70
juta sebulan. Itu hanya dari
pameran. Untuk manajemen
bisnis, Nadia dibantu ayah dan
ibunya. "Modal dari ayah sudah
saya kembalikan semua. Semoga
seterusnya usaha ini bisa terus
maju," ucapnya tersenyum.
Kontak Nadia:
Telepon: 0878 324 60900
Website: www.shop-kloom.com
Facebook: facebook.com/
kloomkloom
(Ira Nursita)
Editor: Dini
sumber: http://female.kompas.com/read/2012/01/05/14590134/sukses.jadi.eksportir.di.usia.muda
Kategori:
Fashion
Saturday, October 20, 2012
Nuryanto, Aneka Kerajinan Berbahan Limbah dan Barang Bekas-nya Sukses Tembus Eropa dan Amerika
Bagi Nuryanto (36), tak pernah ada kata mati
dalam berkreasi membuat kerajinan tangan.
Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti
dengan terus menciptakan barang-barang luar
biasa dan barang-barang bekas, limbah yang
tidak “blasa”, seperti stik es krim, sisa kayu .
dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir
memanfaatkan abu dari Gunung Merapi
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun
1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi nama
Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah
memiliki 1.780 jenis karya seni.
Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara
lain miniatur candi, gantungan kunci, dan setir mobil.
Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass
yang kerap dipakai artis penyanyi Maia Estianty,
hingga akhirnya populer dengan nama gelang artis.
Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus
bertambah dan berganti-ganti. Dengan cara itu, dia
pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru orang.
“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena
hampir setiap bulan saya selalu membuat kreasi yang
berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan
bakunya,” ujärnya terkekeh.
Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara
lain adalah flber glass, kayu, limbah kuningan, pasir,
gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia
bisa membuat ribuan jenis benda yang berbeda balk
bentuk maupun fungsinya.
Nuryanto mengatakan, kreativitasnya membuat
aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia masih
kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa
melihat kedatangan turis-turis ke Candi Borobudur
mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah
kaleng susu bekas. “Waktu itu saya bahkan bekerja
sama dengan para pemulung yang berperan sebagai
pemasok kaleng susu bekas,” ujarnya.
Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini
ternyata laku dijual. Setelah itu, dia pun terus berkreasi, bereksperimen
memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga SMA.
Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu pengetahuan tentang seni,
desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai tempat seperti di Ubud
Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta
Semua pelatihan diikutinya dalam waktu singkat.
Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan formal bagi
Nuryanto.
Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang. “Saya hanya ingin
mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya
Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan
dan keterampilan, tahun 1999 dia pun membuka
usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu dua
karyawan.
Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal
Singapura yang datang ke Candi Borobudur, dia pun
mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam
suvenir senilai Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan
dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun sukses
mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.
“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya
terasa mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.
Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga
anak ini pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap
peluang usaha dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.
Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun
mencoba membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi
sebagai tempat buah.
Abu Gunung Merapi
Tidak hanya itu, pikirannya pun terus berputar
untuk memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya
kelihatan tidak berguna. Saat erupsi Merapi dan hujan abu terus turun di
Kabupen Magelang, dia pun berpikir keras untuk memanfaatkan abu yang
Mengganggu, menutup jalan dan halaman di desanya.
“Saat usaha berhenti karena erupsi Merapi selama
sebulan penuh, saya bereksperimen untuk membuat
kerajinan berbahan abu,” ujarnya.
Dari hasil coba-coba itulah, dia mengetahui bahwa
sebelum diolah abu harus digoreng terlebih dahulu
agar benar-benar kering, tidak bercampur air, dan
kadar keasamannya berkurang. Setelah itu, dengan
dicampur getah pinus, abu Merapi bahkan bisa diolah
menjadi hiasan relief dan hiasan meja seperti stupa
dan miniatur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dalam kreativitasnya ini, Nuryanto menghabiskan
ribuan truk abu Merapi untuk menghasilkan jutaan
buah kerajman tangan. Sebagian kerajinan abu ini
dikirim ke Jerman.
Awal membuka galeri, Nuryanto hanya punya dua
karyawan, dan. kini dia telah mempekerjakan 50
karyawan dengan nilal total aset mencapai Rp 2,4 miliar.
Setiap hari, usahanya ini menghasillcan 1.000 barang kerajinan yang
sebagian besar berupa miniatur.
Selain dipasok ke galeri dan toko seni dalam negeri
seperti Mirota Batik, dia pun juga memasok untuk
kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Italia, Jerman,
Be1gia, Austraiia, dan Belanda. Distribusi di dalam
maupun di luar negeri dilakukan dengan menggunakan jasa pedagang perantara
atau eksportir.
Hal ini sengaja dilakukannya agar lebih banyak
orang terlibat. Ini sesuai dengan prinsip hidupnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. “Untuk tertawa saja kita tidak mungkin
tertawa sendirian, apalagi untuk bekerja,” ujarnya
sembari tersenyum.
OLEH: REGINA RUKMORINI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
dalam berkreasi membuat kerajinan tangan.
Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti
dengan terus menciptakan barang-barang luar
biasa dan barang-barang bekas, limbah yang
tidak “blasa”, seperti stik es krim, sisa kayu .
dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir
memanfaatkan abu dari Gunung Merapi
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun
1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi nama
Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah
memiliki 1.780 jenis karya seni.
Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara
lain miniatur candi, gantungan kunci, dan setir mobil.
Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass
yang kerap dipakai artis penyanyi Maia Estianty,
hingga akhirnya populer dengan nama gelang artis.
Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus
bertambah dan berganti-ganti. Dengan cara itu, dia
pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru orang.
“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena
hampir setiap bulan saya selalu membuat kreasi yang
berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan
bakunya,” ujärnya terkekeh.
Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara
lain adalah flber glass, kayu, limbah kuningan, pasir,
gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia
bisa membuat ribuan jenis benda yang berbeda balk
bentuk maupun fungsinya.
Nuryanto mengatakan, kreativitasnya membuat
aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia masih
kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa
melihat kedatangan turis-turis ke Candi Borobudur
mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah
kaleng susu bekas. “Waktu itu saya bahkan bekerja
sama dengan para pemulung yang berperan sebagai
pemasok kaleng susu bekas,” ujarnya.
Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini
ternyata laku dijual. Setelah itu, dia pun terus berkreasi, bereksperimen
memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga SMA.
Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu pengetahuan tentang seni,
desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai tempat seperti di Ubud
Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta
Semua pelatihan diikutinya dalam waktu singkat.
Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan formal bagi
Nuryanto.
Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang. “Saya hanya ingin
mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya
Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan
dan keterampilan, tahun 1999 dia pun membuka
usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu dua
karyawan.
Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal
Singapura yang datang ke Candi Borobudur, dia pun
mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam
suvenir senilai Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan
dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun sukses
mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.
“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya
terasa mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.
Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga
anak ini pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap
peluang usaha dari peristiwa-peristiwa yang
ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.
Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun
mencoba membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi
sebagai tempat buah.
Abu Gunung Merapi
Tidak hanya itu, pikirannya pun terus berputar
untuk memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya
kelihatan tidak berguna. Saat erupsi Merapi dan hujan abu terus turun di
Kabupen Magelang, dia pun berpikir keras untuk memanfaatkan abu yang
Mengganggu, menutup jalan dan halaman di desanya.
“Saat usaha berhenti karena erupsi Merapi selama
sebulan penuh, saya bereksperimen untuk membuat
kerajinan berbahan abu,” ujarnya.
Dari hasil coba-coba itulah, dia mengetahui bahwa
sebelum diolah abu harus digoreng terlebih dahulu
agar benar-benar kering, tidak bercampur air, dan
kadar keasamannya berkurang. Setelah itu, dengan
dicampur getah pinus, abu Merapi bahkan bisa diolah
menjadi hiasan relief dan hiasan meja seperti stupa
dan miniatur Candi Borobudur dan Prambanan.
Dalam kreativitasnya ini, Nuryanto menghabiskan
ribuan truk abu Merapi untuk menghasilkan jutaan
buah kerajman tangan. Sebagian kerajinan abu ini
dikirim ke Jerman.
Awal membuka galeri, Nuryanto hanya punya dua
karyawan, dan. kini dia telah mempekerjakan 50
karyawan dengan nilal total aset mencapai Rp 2,4 miliar.
Setiap hari, usahanya ini menghasillcan 1.000 barang kerajinan yang
sebagian besar berupa miniatur.
Selain dipasok ke galeri dan toko seni dalam negeri
seperti Mirota Batik, dia pun juga memasok untuk
kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Italia, Jerman,
Be1gia, Austraiia, dan Belanda. Distribusi di dalam
maupun di luar negeri dilakukan dengan menggunakan jasa pedagang perantara
atau eksportir.
Hal ini sengaja dilakukannya agar lebih banyak
orang terlibat. Ini sesuai dengan prinsip hidupnya
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. “Untuk tertawa saja kita tidak mungkin
tertawa sendirian, apalagi untuk bekerja,” ujarnya
sembari tersenyum.
OLEH: REGINA RUKMORINI
Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011
Riana, Miliarder Muda yang Semuanya Bermula dari Berani Bermimpi Besar
Mimpi, menumbuhkan tujuan,
dan semangat hidup Merry Riana
(31). Dengan mimpi, semangat,
dan kerja keras, ia menjadi
miliarder di usia muda.
Saat usianya menginjak 20 tahun, Merry
punya mimpi. Dia ingin sebelum berusia 30 tahun sudah mendapatkan
“kebebasan” finansial.
Mimpi itu terwujud. Hanya setahun setelah dia bekerja, tepatnya di usia 23
tahun, Merry sudah berpenghasilan 220.000 dollar
Singapura. Kira-kira sekitar Rp 1,5 miliar
dengan nilai tukar saat ini. Setahun berikutnya,
yaltu pada tahun 2004,dia mendirikan perusahaan Merry Riana Organization
(MRO). Dua tahun berikutnya di usia 26 tahun, penghasilan totalnya
mencapai 1 juta dollar Singapura —sekitar Rp 7 miliar.
Popularitas Merry melesat. Dia banyak diberitakan media massa di
Singapura sebagai miliarder di usia muda. Lho,
Singapura?
Meski lahir di Jakarta dan orangtua yang warga
Indonesia, Merry mengawali karier sebagai konsultan keuangan,
pengusaha, dan menjadi motivator di Singapura. Sejak
lulus SMA, anak pertama dari tiga bersaudara ini
“mengungsi” ke Negeri Singa.
Ketika bertemu di Central Park, Jakarta,
Minggu (10/7), beberapa jam sebelum kembali ke Singapura, Merry
bercerita sambil mengingat kembali perjalanan hidupnya. Pekan lalu,
selama tiga hari, Merry ada di Indonesia untuk menjadi pembicara atas
undangan sebuah perusahaan di Semarang, Jawa Tengah.
“Ya, sudah lama juga saya di Singapura. Meski rencana kembali ke
Indonesia belum terlaksana, setidaknya pada
tahun ini saya lebih sering datang ke Indonesia karena lebih banyak
kegiatan yang dilaksanakan di sini,” kata Merry.
Kerusuhan 1998
Perjalanan hidup Merry di Singapura berawal ketika terjadi kerusuhan besar
di Jakarta tahun 1998. Cita-cita untuk kuliah di
Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti
buyar karena kejadian tersebut. Orangtua
Merry kemudian memutuskan mengirimkan
putrinya ke Singapura dengan alasan keselamatan.
“Waktu itu rasanya seperti ada dalam film perang. Saya di
minta pergi agar saya selamat,” kata Merry merasakan kesedihan yang terjadi
13 tahun lalu.
Tanpa persiapan yang memadai untuk kuliah di luar negeri,
Merry sempat gagal dalam tes bahasa Inggris di Nanyang
Technological University. Tanpa persiapan bekal dana yang memadai pula,
Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura.
Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga
untuk hidup sehari-hari. “Utang saya totalnya 40.000 dollar Singapura,”
kata Merry.
Dengan uang saku hanya 10 dolar per minggu, hidupnya harus
superhemat. Untuk makan, misalnya, Merry lebih sering makan
roti atau mi instan atau bahkan berpuasa.
Ketika menyadari hidupnya tak berubah
meski sudah memasuki tahun kedua kuliah,
Merry mulai membangun mimpi. “Saya
membuat resolusi ketika ulang tahun ke-20.
Saya harus punya kebebasan finansial sebelum usia 30. Dengan kata lain,
harus jadi orang sukses. The lowest point in my life
membuat saya ingin mewujudkan mimpi tersebut,” ujar Merry
Meski sudah ada mimpi dan didukung
semangat, Merry belum menentukan cara
mewujudkannya. Pikirannya baru terbuka
setelah magang di perusahaan produsen semikonduktor.
Dari pengalaman ini, Merry melakukan hitung-hitungan,
seandainya dia menjadi karyawan perusahaan seusai kuliah.
“Dari perhitungan tersebut, ternyata saya baru bisa melunasi utang dalam
waktu 10 tahun, tanpa tabungan. Kalau begitu caranya, mimpi saya
tak akan terwujud,” kata Merry yang akhirnya memutuskan memilih jalan
berwirausaha untuk mencapai mimpinya.
Karena tak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman bisnis, Merry
mengumpulkan informasi dengan mengikuti
berbagai seminar dan melibatkan diri dalam
organisasi kemahasiswaan yang berhubungan dengan dunia bisnis. Merry juga
mencoba praktik dengan terjun ke multi level marketing meski akhirnya rugi
200 dollar.
Merry bahkan pernah kehilangan 10.000
dollar ketika memutar uangnya di bisnis
saham. Mentalnya sempat jatuh meski dalam kondisi tersebut masih bisa
menyelesaikan kuliah.
Tamat kuliah, barulah Merry mempersiapkan diri dengan
matang. Belajar dari pengalaman para pengusaha sukses, dia memulai dari
sektor penjualan di bidang jasa keuangan. Kerja kerasnya menjual berbagai
produk keuangan, seperti tabungan, asuransi, dan kartu kredit, hingga 14
jam sehari mulai membuahkan hasil. Dalam waktu
enam bulan setelah bekerja, Merry bisa melunasi utang pada Pemerintah
Singapura. Tunai!
Kesuksesan lain pun datang. Karena kinerjanya, Merry bisa membentuk tim
Sendiri hingga akhirnya mendirikan MRO. Dengan penghasilan total 1 juta
dollar Singapura di usia 26 tahun, ambisi Merry saat berusia 20
tahun terwujud.
Berbagi
Namun, seiring usia yang kian dewasa, menghasilkan uang hingga jutaan
dollar bukan menjadi satu-satunya tujuan hidup Merry. Pengagum Oprah
Winfrey ini lebih menikmati hidup ketika orang lain memperoleh kesuksesan
seperti dia.
Pengalaman meraih sukses dibagikan kepada orang lain dengan
berbagai cara, seperti menjadi pembicara di seminar, perusahaan,
sekolah, serta melalui media seperti jejaring sosial, media massa, dan
menulis buku.
Bersama timnya di MRO, Merry memiliki
program pemberdayaan perempuan dan anak-anak muda. Anggota timnya di
lembaga ini bahkan tergolong muda, berusia 20-30
tahun. “Saya ingin menampung orang muda yang punya ambisi dan semangat
seperti saya,” katanya.
Keinginannya untuk berbagi ini tak hanya dilakukan di Singapura. Pada ulang
Tahunnya ke-30, Merry membuat resolusi baru, yaitu
memberi dampak positif pada satu juta orang di Asia, terutama di tanah
kelahirannya, Indonesia.
TENTANG MERRY RIANA
• Nama: Merry Riana
• Tempat tangga lahir:
Jakarta, 29 Mei 1980.
. Nama suami:
Alva Tjenderasa (31)
• Nama anak:
Alvernia Mary Liu (2,5)
• Pendidikan:
S-1 Teknik Elektro Nanyang Technological
University, Singapura (1998-2002)
• Pekerjaan:
Group Director Merry Riana Organization
• Penghargaan:
- Salah satu pengusaha terbaik di Singapura dari Menteri Perdagangan dan
Perindustnian Singapura (2008)
- Salah satu wanita paling sukses dan inspiratif dari Menteri Kepemudaan
dan Olahraga Singapura (2010)
- Wanita paling inspiratif pada salah satu majalah bulanan Inspirational
Woman Magazine (2011)
- Salah satu eksekutif paling profesional dari penampilan dan keahlian
berkomunikasi dari surat kabar My Paper, Singapura (2010)
- Duta LG Asia, Watson, dan Canon (2010-2011)
CITA-CITA
Seperti MacGyver
Merry, yang sukses di bidang jasa keuangan dan kian sibuk dengan
kegiatannya menjadi motivator, pernah punya cita-cita lain. Sewaktu kecil,
anak sulung dari Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62) ini pernah
punya keinginan untuk menjadi seperti sang ayah yang seorang insinyur
elektro. “Waktu kecil, kalau ditanya maujadi apa,
saya selalu jawab ingin seperti papa. Saya senang melihat papa mengutak-
atik peralatan elektronik, seperti Mac Gyver,” kata Merry.
Cita-cita ini bahkan melekat hingga lulus SMA. Merry kuliah di Jurusan
Teknik Elektro Nanyang Technological University seteläh sebelumnya bercita-
cita kuliah dengan jurusan yang sama di Universitas Trisakti
Namun, perjalanan hidup Merry berubah. Meski bisa meraih gelar insinyur
dalam waktu empat tahun, ilmu elektro yang dikuasainya tak terpakai dalam
kariernya. “Paling-paling dipakai di rumah. Kalau
TV atau kulkas rusak, saya masih bisa memperbaiki, hehehe. Tetapi, bukan
berarti kuliah saya tak berguna. Semua proses
yang saya jalani selama kuliah, telah membawa saya menjadi seperti sekarang
ini,” kata Merry. (IYA)
OLEH: YULIA SAPTHIANI
Sumber: Harian Kompas cetak, Minggu, 17 Juli 2011
dan semangat hidup Merry Riana
(31). Dengan mimpi, semangat,
dan kerja keras, ia menjadi
miliarder di usia muda.
Saat usianya menginjak 20 tahun, Merry
punya mimpi. Dia ingin sebelum berusia 30 tahun sudah mendapatkan
“kebebasan” finansial.
Mimpi itu terwujud. Hanya setahun setelah dia bekerja, tepatnya di usia 23
tahun, Merry sudah berpenghasilan 220.000 dollar
Singapura. Kira-kira sekitar Rp 1,5 miliar
dengan nilai tukar saat ini. Setahun berikutnya,
yaltu pada tahun 2004,dia mendirikan perusahaan Merry Riana Organization
(MRO). Dua tahun berikutnya di usia 26 tahun, penghasilan totalnya
mencapai 1 juta dollar Singapura —sekitar Rp 7 miliar.
Popularitas Merry melesat. Dia banyak diberitakan media massa di
Singapura sebagai miliarder di usia muda. Lho,
Singapura?
Meski lahir di Jakarta dan orangtua yang warga
Indonesia, Merry mengawali karier sebagai konsultan keuangan,
pengusaha, dan menjadi motivator di Singapura. Sejak
lulus SMA, anak pertama dari tiga bersaudara ini
“mengungsi” ke Negeri Singa.
Ketika bertemu di Central Park, Jakarta,
Minggu (10/7), beberapa jam sebelum kembali ke Singapura, Merry
bercerita sambil mengingat kembali perjalanan hidupnya. Pekan lalu,
selama tiga hari, Merry ada di Indonesia untuk menjadi pembicara atas
undangan sebuah perusahaan di Semarang, Jawa Tengah.
“Ya, sudah lama juga saya di Singapura. Meski rencana kembali ke
Indonesia belum terlaksana, setidaknya pada
tahun ini saya lebih sering datang ke Indonesia karena lebih banyak
kegiatan yang dilaksanakan di sini,” kata Merry.
Kerusuhan 1998
Perjalanan hidup Merry di Singapura berawal ketika terjadi kerusuhan besar
di Jakarta tahun 1998. Cita-cita untuk kuliah di
Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti
buyar karena kejadian tersebut. Orangtua
Merry kemudian memutuskan mengirimkan
putrinya ke Singapura dengan alasan keselamatan.
“Waktu itu rasanya seperti ada dalam film perang. Saya di
minta pergi agar saya selamat,” kata Merry merasakan kesedihan yang terjadi
13 tahun lalu.
Tanpa persiapan yang memadai untuk kuliah di luar negeri,
Merry sempat gagal dalam tes bahasa Inggris di Nanyang
Technological University. Tanpa persiapan bekal dana yang memadai pula,
Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura.
Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga
untuk hidup sehari-hari. “Utang saya totalnya 40.000 dollar Singapura,”
kata Merry.
Dengan uang saku hanya 10 dolar per minggu, hidupnya harus
superhemat. Untuk makan, misalnya, Merry lebih sering makan
roti atau mi instan atau bahkan berpuasa.
Ketika menyadari hidupnya tak berubah
meski sudah memasuki tahun kedua kuliah,
Merry mulai membangun mimpi. “Saya
membuat resolusi ketika ulang tahun ke-20.
Saya harus punya kebebasan finansial sebelum usia 30. Dengan kata lain,
harus jadi orang sukses. The lowest point in my life
membuat saya ingin mewujudkan mimpi tersebut,” ujar Merry
Meski sudah ada mimpi dan didukung
semangat, Merry belum menentukan cara
mewujudkannya. Pikirannya baru terbuka
setelah magang di perusahaan produsen semikonduktor.
Dari pengalaman ini, Merry melakukan hitung-hitungan,
seandainya dia menjadi karyawan perusahaan seusai kuliah.
“Dari perhitungan tersebut, ternyata saya baru bisa melunasi utang dalam
waktu 10 tahun, tanpa tabungan. Kalau begitu caranya, mimpi saya
tak akan terwujud,” kata Merry yang akhirnya memutuskan memilih jalan
berwirausaha untuk mencapai mimpinya.
Karena tak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman bisnis, Merry
mengumpulkan informasi dengan mengikuti
berbagai seminar dan melibatkan diri dalam
organisasi kemahasiswaan yang berhubungan dengan dunia bisnis. Merry juga
mencoba praktik dengan terjun ke multi level marketing meski akhirnya rugi
200 dollar.
Merry bahkan pernah kehilangan 10.000
dollar ketika memutar uangnya di bisnis
saham. Mentalnya sempat jatuh meski dalam kondisi tersebut masih bisa
menyelesaikan kuliah.
Tamat kuliah, barulah Merry mempersiapkan diri dengan
matang. Belajar dari pengalaman para pengusaha sukses, dia memulai dari
sektor penjualan di bidang jasa keuangan. Kerja kerasnya menjual berbagai
produk keuangan, seperti tabungan, asuransi, dan kartu kredit, hingga 14
jam sehari mulai membuahkan hasil. Dalam waktu
enam bulan setelah bekerja, Merry bisa melunasi utang pada Pemerintah
Singapura. Tunai!
Kesuksesan lain pun datang. Karena kinerjanya, Merry bisa membentuk tim
Sendiri hingga akhirnya mendirikan MRO. Dengan penghasilan total 1 juta
dollar Singapura di usia 26 tahun, ambisi Merry saat berusia 20
tahun terwujud.
Berbagi
Namun, seiring usia yang kian dewasa, menghasilkan uang hingga jutaan
dollar bukan menjadi satu-satunya tujuan hidup Merry. Pengagum Oprah
Winfrey ini lebih menikmati hidup ketika orang lain memperoleh kesuksesan
seperti dia.
Pengalaman meraih sukses dibagikan kepada orang lain dengan
berbagai cara, seperti menjadi pembicara di seminar, perusahaan,
sekolah, serta melalui media seperti jejaring sosial, media massa, dan
menulis buku.
Bersama timnya di MRO, Merry memiliki
program pemberdayaan perempuan dan anak-anak muda. Anggota timnya di
lembaga ini bahkan tergolong muda, berusia 20-30
tahun. “Saya ingin menampung orang muda yang punya ambisi dan semangat
seperti saya,” katanya.
Keinginannya untuk berbagi ini tak hanya dilakukan di Singapura. Pada ulang
Tahunnya ke-30, Merry membuat resolusi baru, yaitu
memberi dampak positif pada satu juta orang di Asia, terutama di tanah
kelahirannya, Indonesia.
TENTANG MERRY RIANA
• Nama: Merry Riana
• Tempat tangga lahir:
Jakarta, 29 Mei 1980.
. Nama suami:
Alva Tjenderasa (31)
• Nama anak:
Alvernia Mary Liu (2,5)
• Pendidikan:
S-1 Teknik Elektro Nanyang Technological
University, Singapura (1998-2002)
• Pekerjaan:
Group Director Merry Riana Organization
• Penghargaan:
- Salah satu pengusaha terbaik di Singapura dari Menteri Perdagangan dan
Perindustnian Singapura (2008)
- Salah satu wanita paling sukses dan inspiratif dari Menteri Kepemudaan
dan Olahraga Singapura (2010)
- Wanita paling inspiratif pada salah satu majalah bulanan Inspirational
Woman Magazine (2011)
- Salah satu eksekutif paling profesional dari penampilan dan keahlian
berkomunikasi dari surat kabar My Paper, Singapura (2010)
- Duta LG Asia, Watson, dan Canon (2010-2011)
CITA-CITA
Seperti MacGyver
Merry, yang sukses di bidang jasa keuangan dan kian sibuk dengan
kegiatannya menjadi motivator, pernah punya cita-cita lain. Sewaktu kecil,
anak sulung dari Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62) ini pernah
punya keinginan untuk menjadi seperti sang ayah yang seorang insinyur
elektro. “Waktu kecil, kalau ditanya maujadi apa,
saya selalu jawab ingin seperti papa. Saya senang melihat papa mengutak-
atik peralatan elektronik, seperti Mac Gyver,” kata Merry.
Cita-cita ini bahkan melekat hingga lulus SMA. Merry kuliah di Jurusan
Teknik Elektro Nanyang Technological University seteläh sebelumnya bercita-
cita kuliah dengan jurusan yang sama di Universitas Trisakti
Namun, perjalanan hidup Merry berubah. Meski bisa meraih gelar insinyur
dalam waktu empat tahun, ilmu elektro yang dikuasainya tak terpakai dalam
kariernya. “Paling-paling dipakai di rumah. Kalau
TV atau kulkas rusak, saya masih bisa memperbaiki, hehehe. Tetapi, bukan
berarti kuliah saya tak berguna. Semua proses
yang saya jalani selama kuliah, telah membawa saya menjadi seperti sekarang
ini,” kata Merry. (IYA)
OLEH: YULIA SAPTHIANI
Sumber: Harian Kompas cetak, Minggu, 17 Juli 2011
Kategori:
Finance
Subscribe to:
Posts (Atom)