Pertengahan Juni 2011. Suasana di Grand Ballroom Hotel Mulia, Senayan, malam itu begitu semarak. Di ruang tengah dilangsungkan peragaan tata rias komestik menampilkan berbagai tren warna terkini. Setidaknya ada 26 ahli tata rias yang memamerkan kreasi mereka menggunakan tren kosmetik terbaru. Di antara mereka ada ahli tata rias avant garde, pengantin internasional, fancy, modifikasi serta lukis tubuh yang sudah dikenal secara nasional. Mereka mengusung tema untuk musim semi/panas 2011 yang berkisar pada warna-warna oranye, merah muda, emas, cokelat ungu, dan koral pada eyeshadow, blush on dan lipstik. Semua ahli tata rias malam itu menggunakan kosmetik yang sama: La Tulipe dan LT Pro.
Kemeriahan acara peragaan tata rias komestik itu tak lain merupakan bagian dari event PT Rembaka untuk memberikan apresiasi kepada para ahli tata rias yang telah menggunakan produknya secara terus-menerus. Selain itu, ajang tersebut juga menjadi manifesto sukses perjalanan produsen kosmetik asal Surabaya itu dalam mengarungi bisnis kosmetik yang begitu ketat persaingannya. Mereka berhasil membesarkan nama La Tulipe di kalangan konsumen, khususnya pengguna produk make-up dan skin care.
Dalam konteks ilmu pemasaran, mungkin La Tulipe bisa dirujuk sebagai contoh tepat sebuah merek yang sukses menasional dengan model penetrasi flanking strategy: dimulai dari daerah pinggiran, kemudian merangsek ke pusat. Ia dimulai dari sebuah home industry kecil di Surabaya, lalu pelan-pelan melebarkan pasar dari daerah ke daerah hingga kemudian berkembang, dan kini sudah menjadi merek nasional yang total melibatkan 5.000 karyawan.
Usaha kosmetik berbendera PT Rembaka ini dirintis Indro Handojo (almarhum), seorang dokter bidang patologi klinik yang belajar autodidak tentang ilmu dermatologi di Surabaya. “Papa suka mencoba hal-hal baru, selain tekun dan rajin. Beliau ingin mendirikan perusahaan kosmetik sendiri, makanya tahun 1980-an memulai dari home industry. Ngracik sendiri,” tutur Anthonius Prabowo Handojo (33 tahun), putra Indro yang kini didapuk menjadi Manajer Operasional PT Rembaka.
Produk kosmetik yang pertama dibuat adalah pembersih dan penyegar. Setelah itu, menyusul produk pelembab. Proses produksinya belum memakai mesin alias manual. Indro – wafat awal 2011 – dibantu lima anak buah yang bekerja dengan peralatan seadanya, yang penting higienis. “Papa mengulek dan meracik sendiri resep agar sesuai dengan kulit orang Indonesia,” Anthonius yang lulusan University of Wollongong Australia ini menceritakan kiprah ayahnya. Untuk itu, ayahnya rajin membaca literatur tentang kosmetik dan sering mengikuti seminar dan kongres tentang kulit. Pada tahap awal, produksinya tidak banyak. Sebulan kira-kira memproduksi 1 boks (50 botol).
Dalam memasarkan produknya, sejak awal Indro sudah menggunakan merek La Tulipe. Tulip adalah nama bunga dari Belanda, sebagai penanda kecantikan wanita negeri itu. Sementara kata “La” berasal dari bahasa Prancis yang artinya sama dengan “the” dalam bahasa Inggris. “Pakai bahasa Prancis, karena Prancis merupakan barometer kecantikan dunia,” Anthonius, yang biasa dipanggil Thoni, menjelaskan sejarah merek perusahaan keluarganya.
Cara komunikasi pemasaran saat itu masih sederhana. Di sela-selah praktik dokter di rumah — Jl. Raya Gubeng 61, Surabaya — Indro memperkenalkan produknya ke calon pelanggan yang datang. Rupanya, cara promosi dari mulut ke mulut itu cukup manjur. Terbukti, tak sedikit kaum Hawa yang mengonsultasikan masalah kulit wajah kepadanya. Tidak hanya itu, kebanyakan dari mereka ternyata juga cocok dengan produk hasil racikannya. Tak mengherankan, pelanggan makin banyak, juga jumlah produksinya. Karyawan bertambah menjadi 10-an orang pada 1982-an. Bahkan pada 1985, berhasil memindah tempat produksi ke lahan yang lebih layak di daerah Prapen (Surabaya). Meski demikian, status tanahnya belum hak milik, masih sewa.
Russy Nikawati, karyawan yang bekerja di PT Rembaka sejak 1985, menjelaskan, meski pindah ke Prapen, lokasinya tetap masih kecil. Produksi menempati rumah tipe 120 dengan 10-an karyawan. Di Prapen, awalnya belum memproduksi menggunakan mesin. “Kami akrab semua di sana. Kalau ada bahan baku timun datang, ya kami makan sebagian ha-ha-ha…. Begitu pula kalau ada tomat atau bengkuang. Kami sering rujakan bersama-sama,” Russy menceritakan suasana sederhana di awal perintisan bisnis. Untuk pemasaran, waktu itu mengandalkan toko di Pasar Atom Surabaya dan dua tenaga beautycian yang melakukan demo promosi.
Setelah beberapa tahun melakukan produksi di Prapen, Indro akhirnya bisa membeli mesin sendiri walau bukan mesin baru. “Kami beli mesin kosmetik second dari Taiwan dan Jerman, dari salah seorang pengusaha di Surabaya,” kata Thoni. Dari situ produksi juga mulai bisa ditingkatkan untuk memenuhi permintaan. Rata-rata per bulan bisa memproduksi sebanyak 1 mobil boks. Selain itu, juga menambah 1-2 varian produk baru, yakni skin care, produk tata rias panggung, tata rias wajah dan tata rias fantasi.
Cara promosi juga mulai ditingkatkan dengan merambah program yang belum dilakukan. Antara lain, mengikuti lomba tata rias, baik taraf nasional maupun internasional. “Kami pernah meraih gelar sebagai Juara Umum Lomba Tata Rias Tingkat Nasional 1987 dan Juara Tingkat ASEAN 1987,” ujar Thoni. Promosi juga dilakukan dengan demo produk di instansi pemerintah, ibu-ibu Dharma Wanita dan Bhayangkari, serta organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Cakupan pasarnya masih mayoritas di Surabaya dan sekitarnya.
Yang membuat segenap pengelola optimistis usahanya bisa berkembang, mereka melihat respons pasar cukup baik. “Terus terang kami sendiri tidak tahu apa penyebab produk buatan Papa kok begitu diserap pasar. Yang saya dengar, produk-produknya cocok untuk kulit di daerah tropis. Inilah yang menjadikan permintaan terus meningkat. Produk kami benar-benar bermanfaat sehingga makin lama makin dicari orang,” ungkap Thoni.
Karena penjualan terus meningkat, akhirnya tempat produksi di Prapen tidak mencukupi lagi. Lebih-lebih, saat itu Indro sudah berencana mendatangkan mesin langsung dari Jerman dan Inggris. Lokasi produksi di Prapen menjadi terlalu sempit, tak mencukupi untuk ukuran mesin baru. Karena itu, pada 1990-an, pabrik beralih ke tempat baru, yakni di Jl. Rungkut Industri VIII/26-28, Surabaya (Kawasan Industri), dengan menyewa. Pada waktu itu juga mulai dipakai nama PT Rembaka. Kata Rembaka diambil dari bahasa jawa yang berarti “berkembang bersama”.
Sejak berproduksi di Jl. Rungkut Industri, boleh disebut usaha ini sudah mulai bergeser dari skala industri rumahan menjadi industri menengah. Sejak itu, skala usahanya terus berkembang. Otomatis, dari hasil penjualan bisa menabung untuk menambah kapasitas produksi dan menyiapkan memiliki pabrik sendiri, bukan sewa. Tahun 1995 sudah bisa membeli tanah sendiri untuk mendirikan pabrik, di Jl. Berbek Industri VII/4, Surabaya.
Dewi Fortuna rupanya mendekat. Pada waktu krisis moneter 1998, bisnis La Tulipe justru mendapatkan keuntungan. “Kami blessing. Kenapa? Karena, sebelum krismon orang kelas atas membeli kosmetik dari luar, namun begitu nilai rupiah goyang, mereka ramai-ramai membeli La Tulipe. Akhirnya, produk kami malah laku keras. Penjualan kami naik sampai 100% lebih. Ini benar-benar di luar dugaan,” Russy mengenang. Karena itu pula, Rembaka bisa mendirikan pabrik sendiri yang mulai dipakai sejak tahun 2000. Pada tahun itu pusat produksi diboyong dari Rungkut ke lokasi sekarang, di Jl. Berbek.
Sejak di Berbek, modernisasi produksi dilakukan hampir di semua proses produksi. Mulai dari mixer sampai filling. Filling, misalnya, dulu dilakukan satu demi satu, kini sekali produksi bisa langsung lima unit selesai. “Kebanyakan mesin berasal dari Jerman, namun juga yang dari Inggris (lipstik) dan Korea (proses penyaringan). Dalam keadaan tertentu, kalau memungkinkan, kami modifikasi mesin agar hasil produksi lebih optimal,” Thoni menerangkan.
Cakupan pasarnya juga bukan semata-mata di Jawa Timur, tetapi terus diperluas menjadi wilayah nasional, termasuk ke kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, bahkan kota-kota di Sulawesi, Kalimantan dan Papua.
Salah satu fondasi penting yang dibangun Indro, membentuk bagian riset dan pengembangan (R&D) agar bisa menelurkan produk-produk yang bukan hanya sesuai dengan tren, tetapi menciptakan tren. Karena itu, meski Indro telah wafat, tim R&D tetap dikembangkan. Mereka siap meluncurkan produk untuk melayani pasar pada masa mendatang kalau-kalau ada perubahan. “Kami memiliki list produk untuk masa mendatang, yang kalau pasar sudah siap, kami akan luncurkan,” kata Thoni. Soal cara kerja tim R&D, pihaknya tidak memasang target tertentu, misalnya sebulan harus menciptakan satu produk baru. “Tidak begitu. Kami biarkan mereka berkreasi seoptimal mungkin supaya hasil benar-benar bagus,” dia menjelaskan kiatnya.
Distribusi Rembaka saat ini sudah mencakup seluruh wilayah Indonesia, menggandeng tiga distributor. Berdasarkan penelusuran SWA, salah satu distributor yang digandeng adalah PT Dos Ni Roha, salah satu distributor besar Indonesia. Guna memudahkan pengelolaan distribusi, Rembaka kemudian membagi area dalam dua wilayah: barat dan timur. Barat meliputi Sumatera, Jawa Barat, Jakarta dan Pontianak. Adapun timur, dari Jawa Tengah hingga Papua. Para distributor itu dikelola terus-menerus. “Kami jaga mereka, bisa melalui berbagai bonus, penghargaan, gathering-gathering, ataupun tour-tour,” katanya.
“Kami juga memiliki konter-konter sendiri di beberapa kota. Atau, bekerja sama dengan toko kosmetik tertentu untuk memasarkan produk,” lanjut Thoni. Kalau ditotal, gerai sendiri mencapai 30-an. Rembaka juga memasok serta melatih tenaga pemasar dan tenaga kecantikan sendiri guna ditempatkan pada konter dan toko-toko tertentu yang memiliki potensi penjualan. Sementara itu, untuk mengendalikan harga, Rembaka mengatur dengan pola Harga Eceran Tertinggi (HET). Dengan cara itu, para distributor dan peritel hanya diberi kesempatan bermain di diskon. “Mereka mau melempar produk ke pasar pada harga berapa, itu terserah mereka, yang penting tak melebihi HET,” ujar Thoni.
Pekerjaan promosi juga digenjot, tak semata-mata getok tular. Saat ini promosi dilakukan terintegrasi, dari below the line (BTL) hingga above the line (ATL). Untuk ATL, sebagian besar dilakukan melalui majalah dan media elektronik. “Tapi itu hanya sebagian kecil promosi kami sehingga cenderung tidak kelihatan. Bagi kami, yang terutama adalah dengan cara BTL, seperti bekerja sama dengan berbagai instansi dan organisasi,” tutur Thoni. Selain itu, melakukan pendekatan dengan para ahli tata rias. “Kami tidak ada kontrak eksklusif dengan mereka. Mereka percaya kami. Dari situ kami support kebutuhan mereka,” katanya lagi. Selain itu, cara lama seperti menggarap ibu-ibu PKK, melakukan demo dan mengikuti pameran juga terus dilakukan. “Pokoknya, semua sisi kami garap.”
Pada posisi saat ini, omset terbesar disumbang produk-produk skin care dan dekoratif. Untuk merek, jelas La Tulipe menjadi tulang punggung, menyumbang 75% penjualan, sisanya dari penjualan second brand, LT Pro. Menariknya, perusahaan ini sekarang juga mulai masuk ke pasar Singapura dan Brunei, tepatnya pada akhir 2009. Ceritanya, ada salah seorang karyawan yang menikah dengan warga Singapura dan kemudian menetap di sana. Dia lalu melakukan order sekaligus memasarkan untuk area Singapura. Untuk pasar Brunei, Rembaka bahkan punya salon sendiri untuk mulai menggarap pasar di sana. “Tahun 2010 kami dipercaya menjadi sponsor acara Kementerian Kebudayaan Belia dan Suka Brunei untuk pemilihan penyanyi dan penari cilik,” cerita Thoni.
Bambang Irawan, pengamat bisnis dari Surabaya, melihat perjalanan La Tulipe banyak
diwarnai sikap pemilik yang benar-benar sabar dan bermental ulet. Sabar dalam arti melakukan strategi disesuaikan dengan kondisi perusahaan. “Kalau masih kecil, dia bersabar untuk bersikap sebagai perusahaan kecil dan terus-menerus melakukan inovasi, guna memanfaatkan peluang yang ada. Quality yang cukup bisa diandalkan, walaupun melalui proses improvement ‘learning by doing’,” kata Bambang.
Dalam pandangan Bambang, La Tulipe adalah buah kesabaran dan ketekunan sehingga jadilah sebuah produk yang matang baik dari segi produksi maupun pemasaran. Dari sisi perubahan manajemen, Rembaka pun bisa melakukannya dengan baik. Termasuk, dengan membentuk tim profesional dalam R&D. “Saya kira mereka sudah masuk dalam era matang dan kepercayaan konsumen tidak goyah walau pendiri telah tiada. Brand sudah terbentuk,” Bambang menyimpulkan.
Russy yang kini menjabat sebagai Manajer General Affairs & HRD mengakui kini perusahaan tempatnya bekerja telah berkembang dengan baik. “Dulu agak berat karena tidak memakai media komunikasi apa pun. Kami masih kecil sehingga belum memiliki dana. Kami kenalkan produk melalui getok tular,” ujarnya mengenang. Dia pernah mengalami hal tidak enak ketika mendapat tugas membuka gerai Melawai Plaza Blok M Jakarta. Waktu mencoba mengajak kerja sama dengan menawarkan model in store (titip jual), pemilik toko meragukan. “’Ini produk dari mana ini? Cocok nggak dengan kulit orang Indonesia?’, tentu saja kami sempat down. Tapi kami tetap meyakinkan bahwa produk kami bukan sembarang produk,” katanya.
Russy juga melihat, pendiri perusahaan ini, Indro, sangat pandai mengelola anak buah, menjaga kedekatan, serta memberi penghargaan kepada karyawan. “Ya, kami membangun bisnis ini dengan prinsip kekeluargaan. Baik kepada karyawan, distributor, outlet, maupun karyawan. Kalau ada senang, kami rasakan bersama. Begitu pula kalau lagi susah,” Thoni menyambung. Selain kesabaran, sesungguhnya inilah values yang menjadi tulang punggung membesarnya La Tulipe.(*) (oleh : Sudarmadi)
Reporter: Suhariyanto (Surabaya)
sumber: http://swa.co.id/2011/09/keuletan-di-balik-sukses-la-tulipe/
1 comment:
Saya mau buka toko kosmetik di bali,salah satunya la tulipe,bole nggak saya dikirimkan alamat distributor la tulipe di bali,thks
Post a Comment