Sekilas, rumah yang berlokasi di tepi Jalan Ring Road Barat Yogyakarta ini terlihat seperti bangunan rumah tinggal biasa. Tidak ada yang istimewa, bentuk bangunannya pun terbilang sederhana, laiknya rumah tinggal lainnya. Namun, siapa yang menyangka bahwa dari rumah tersebut setiap hari dihasilkan ratusan tas buatan tangan yang dipasarkan dengan harga yang relatif mahal.
Rumah di kawasan Gamping, Sleman, DIY itu memang difungsikan sebagai pabrik tas berbahan alami dengan merek Gendhis. Tas Gendhis tak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga sudah merambah pasar mancanegara – meski di luar negeri tidak menggunakan merek Gendhis.
Adalah pasangan suami-istri Indro Pranomo dan drg.Ferry Yuliana yang berada di balik kesuksesan Gendhis. Ketekunan mereka dalam membangun bisnis tas sejak 2002 kini telah menunjukkan hasil yang sangat positif.
Tas Gendhis awalnya merupakan hasil kreasi Ferry yang berusaha mengisi waktu sambil menunggu kelahiran buah hatinya. Ferry sebelumnya bekerja di perusahaan tas yang cukup dikenal di Yogya. Karena hamil, ia memutuskan berhenti bekerja. Iseng-iseng ia membuat tas dari bahan-bahan alami. Ferry membuat desain yang selanjutnya diteruskan kepada para perajin untuk mengerjakannya.
Melihat hasil produknya cukup bagus, Ferry merasa sayang bila hanya dikoleksi sendiri. Ia pun mencoba menawarkan ke beberapa koleganya. Ternyata, sambutannya cukup bagus. Para kolega tertarik membeli produk tas Ferry. “Mereka menilai produk istri saya layak jual,” kata Indro.
Dari situlah, Ferry kemudian memulai serius menangani bisnis pembuatan tas tersebut. Nasib baik agaknya sedang berpihak kepadanya. Ketika pada masa awal menekuni pembuatan tas tersebut, ia telah memberanikan diri mengikuti pameran Inacraft. Karena merasa yakin bahwa produknya akan diminati, ia memproduksi dalam jumlah yang lumayan banyak.
Menjelang pameran, Indro masih kebingunan menentukan merek yang akan digunakan pada pameran tersebut. Mereka memutar otak untuk mencari ide. Nama itu baru didapat ketika Indro dan istrinya sedang duduk di kafe sebuah hotel. Ide itu tiba-tiba muncul tatkala melihat kemasan gula pasir yang dibungkus kertas kecil dengan tulisan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. “Tiba-tiba saya teringat istilah bahasa Jawa dari gula, yakni gendhis,” ujar Indro.
Setelah diucapkan beberapa kali ternyata kata “gendhis” terasa akrab. Selain dari pengucapan yang dirasa enak, gendhis memiliki makna filosofis tersendiri. Mereka berharap, dengan menggunakan nama Gendhis akan membuahkan hasil yang manis. “Kami akhirnya sepakat menggunakan merek Gendhis,” ucap Indro.
Ternyata, mereka memang tidak salah memilih nama merek. Dengan merek Gendhis, usaha mereka terus merangkak naik. Perkembangan cukup signifikan mulai dirasakan setelah mereka mengikuti Inacraft di Jakarta, meskipun untuk mengikuti pameran tersebut mereka sampai menggadaikan sebuah sepeda motor untuk membayar biaya stand. “Waktu itu saya menggadaikan motor senilai Rp 5 juta,” ungkap Indro.
Hasil pameran berbuah manis. 400 item produk tas yang disiapkan habis dalam waktu beberapa hari pameran. Dari pameran ini, Ferry mengaku mendapat uang Rp 50 juta yang dia gunakan untuk mengambil motor ke pegadaian dan membayar utang. Selebihnya dia gunakan untuk modal kerja.
Selama dua tahun pertama, Ferry nyaris kerja sendiri. Maklum sang suami juga memiliki usaha sendiri sebagai dealer komputer. Baru pada 2004 Indro total bergabung untuk membesarkan bisnis yang dirintis sang istri. Setelah ditangani berdua, perkembangan Gendhis semakin bagus.
Suami-istri ini berbagi peran. Sang istri konsentrasi pada pengembangan produksi, sedangkan sang suami lebih fokus ke pemasaran. Selain rajin mengikuti pameran, Indro juga mulai mem-branding produknya lewat Internet. Ketika jejaring sosial mulai berkembang di dunia maya, ia tak mau ketinggalan. Segala lini jejaring dia masuki, mulai dari Multiply, Facebook hingga Twitter.
Perjalanan pasangan suami-istri tersebut dalam menekuni bisnis tas mirip dengan yang dialami Novita Yunus. Wanita berusia 39 tahun ini pada November 2009 memutuskan lebih banyak di rumah mengurus anak-anaknya. Dunia perbankan yang telah 12 tahun ia geluti ia tinggalkan. Ia mundur dari posisinya sebagai Kepala Cabang Bank DBS Pondok Indah. “Saya ingin lebih banyak di rumah, jadi terpikir akan buka konsultan atau jadi agen asuransi,” ujar Novita.
Setelah mendapat uang pesangon, ibu tiga anak ini ingin menghadiahi dirinya karena telah bekerja keras selama 12 tahun dengan sebuah tas. Saat sedang berbelanja, ia tertarik melihat sebuah tas seharga Rp 25 juta. Namun, ia terpaksa mengurungkan niatnya membeli tas tersebut karena sadar bahwa ia tidak punya penghasilan seperti dulu lagi. Lalu terpikir olehnya, “Mengapa tidak buat tas sendiri saja,” gumannya dalam hati.
Iseng-iseng Novita membuat sebuah tas batik. Kebetulan, ia punya saudara yang mempunyai pabrik pembuatan tas. Ia lalu meminta dibuatkan tas dari kain batik yang ia miliki. “Batik cari sendiri, kulit juga aku yang paduin, totally my design,” katanya mengenang. Tas idaman jadi, ia pakai, lalu fotonya iseng-iseng ia pajang di Facebook. Tak dinyana, banyak temannya yang tertarik. Mereka minta dibuatkan juga. “Di bulan pertama itu terima pesanan teman-teman yang minta dibuatkan sampai sekitar 50 tas, dari situ saya pikir, oh ini something serious,” ungkapnya.
Novita begerak cepat. Januari 2010 ia mulai berburu bahan batik, kulit, dan tukang yang akan membantunya membuat tas batik. Februari ia punya dua tukang. April 2010, ia buka toko di Plaza Kemang 88, Jl. Kemang Raya, Jakarta Selatan.
Kendati tidak punya latar belakang desain dan tidak pandai menggambar, sampai sekarang Novita sendiri yang mendesain produknya. Pada setiap koleksi yang ia keluarkan, ia mencoba tematik berdasarkan jenis batiknya. Misalnya, mengangkat batik Tuban, maka semua koleksi yang ia keluarkan dalam periode itu menggunakan bahan dasar batik Tuban. Selain batik Tuban, beberapa batik yang pernah angkat adalah batik Lasem, batik Bakaran, batik Sidoarjo, batik Solo, batik Yogya, batik Indramayu, batik Cirebon, batik Jambi, batik Madura, batik Garut dan batik Papua.
Dalam mendesain tasnya, ia berusaha modelnya sesederhana mungkin. “Saya ingin menonjolkan batiknya,” ujar sarjana Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini. Ia putuskan menyasar segmen menengah-atas. Harga tas dibanderol Rp 600-800 ribu per buah. Nama mereknya Batik Chic – yang belakangan disebut dengan BC (baca: bi-si). Kata “Chic” dipilih untuk menunjukkan batik bisa gaya dikenakan ke mana saja.
Awalnya, Novita memasarkan produknya dengan menggunakan media jejaring sosial Facebook. Namun, ia sadar bahwa tak banyak temannya yang online. Karena itu, ia berpikiran menggunakan reseller yang membantunya menjual produk. Februari 2010, ia punya dua reseller yang notabene adalah teman-temannya.
Kini ia punya sekitar 10 reseller di Jakarta, juga di Bandung, Balikpapan dan Bandung. Di luar negeri, ia punya reseller di Sydney, Kuala Lumpur dan Brunei Darussalam. Jika dirata-rata, tiap reseller di dalam negeri bisa menjual 20 tas/bulan. Di luar negeri, penjualan di Brunei yang terbesar bisa 30 tas/bulan.
Selain di gerainya di Kemang, ia juga menitipkan sejumlah barangnya di beberapa tempat: Alun-Alun Indonesia di Grand Indonesia, Central Park, Nusa Dua Bali, JW Marriot, Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta, dan tiga butik personal milik temannya.
Gendhis juga menempuh strategi yang sama. Selain membuka gerai khusus di mal dan hotel, mereka juga memiliki gerai independen dan jaringan dealer di berbagai kota besar di Indonesia. Gerai-gerai tas Gendhis saat ini bisa ditemukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Balikpapan, Solo dan Bali. Kecuali yang di Semarang, semua gerai yang dimiliki secara eksklusif hanya memajang produk Gendhis. “Yang di Semarang memang perkecualian karena mereka juga menjual produk fashion lain, tapi bukan tas,” kata Indro.
Indro dan istrinya saat ini tengah menikmati manisnya rezeki dari produksi tas Gendhis. Saat ini, setiap bulan mereka bisa memproduksi ribuan tas dengan aneka model dan bentuk. Hasil produk mereka terbilang bukan barang murahan lagi. Sebelumnya hasil produk mereka dijual Rp 100-400 ribu, tahun ini mereka memperkenalkan produk yang harganya di atas Rp 1 juta. “Kami memang sengaja memilih konsumen middle-up yang mengutamakan kualitas,” ujar Ferry yang menggunakan berbagai bahan alami seperti rotan, pandan, mendong, enceng gondok, agel, kain batik dan benang nilon untuk tas buatannya.
Seperti dituturkan Ferry, sekarang memang muncul kecenderungan perempuan mapan justru memilih produk asli Indonesia. Bukan sekadar peduli produk dalam negeri, tetapi karena banyaknya kasus pembajakan merek tas-tas branded. “Daripada memakai produk bermerek yang belum tentu asli, mereka memilih tas dalam negeri yang benar-benar jelas produsennya,” kata perempuan yang selalu mengenakan busana muslim itu.
Menurut Ferry, ceruk tas wanita untuk kalangan menengah-atas di Indonesia masih terbuka lebar. Untuk membidik pasar ini, selain menyediakan produk yang berkualitas, ia juga hanya menjual di tempat-tempat khusus. Untuk pasar modern, yang dia incar hanya pasar modern yang memang dikenal untuk kalangan menangah-atas, seperti Sogo, Sarinah, Centro dan Alun-Alun Indonesia, “Karena itulah, kami tidak membuka outlet di sembarang pusat perbelanjaan modern,” imbuh ibu dua anak kelahiran 18 Juli 1974 ini.
Untuk tetap memikat selera konsumen, pasangan suami-istri ini menerapkan prinsip inovasi setiap hari. Artinya, setiap hari mereka selalu melakukan ekplorasi untuk menemukan desain baru yang diprediksi meledak di pasaran. Mereka juga bertekad menjadi trendsetter dengan melahirkan motif-motif baru.
Bagi mereka, membuat tas bukan sekadar merangkai bahan-bahan tertentu untuk kemudian terbentuk menjadi benda yang berfungsi sebagai tas semata. Akan tetapi, setiap tas yang diproduksi harus “bernyawa”. Di dalamnya mengandung sesuatu yang mengesankan bagi pecintanya. Karena itulah, setiap desain memiliki tema tertentu. Dan demi menjaga eksistensi, setiap bulan minimal ada dua motif baru yang diluncurkan. Jika ada event akbar seperti Inacraft, dimunculkan puluhan motif baru ke pasar.
Indro mengatakan, untuk menimbulkan kesan eksklusif, setiap desain baru yang diluncurkan hanya diproduksi dalam jumlah tertentu, maksimal 25 buah, terkadang lima buah saja. “Kami juga melayani konsumen yang minta dibuatkan tas dengan desain khusus,” ujar pria kelahiran 1 Agustus 1973 itu.
Meski terbilang produktif melahirkan desain baru, ternyata Gendhis belum memiliki SDM yang memadai. Sampai kini tugas mendesain tas hingga memili bahan, motif dan aksesori masih dilakukan Ferry sendiri, sementara proses pengerjaannya diserahkan kepada para perajin yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY dan Kalimantan. Tahap finishing kembali dilakukan di dua rumah produksi yang ada Yogya. “Kini, jumlah tenaga kerja di bagian finishing mencapai 80-an orang,” ujar Indro yang bertekad akan terus meningkatkan kualitas SDM dan manajemen produksi agar tas Gendhis makin berkibar di pasar internasional. (oleh : Taufik Hidayat)
Reportase: Gigin W. Utomo dan Wini Angraeni
sumber: http://swa.co.id/2011/07/gairah-bisnis-tas-etnik-yang-menjanjikan/
No comments:
Post a Comment