Christopher Emille Jayanata sejatinya seorang arsitek lulusan Universitas Parahyangan, Bandung. Begitu pula ketika merintis jalan entrepreneurship di tahun kedua kuliah, ia bergerak di bidang arsitektur dengan mendirikan perusahaan kontraktor dan konsultan arsitektur lanskap PT Essi Cipta Lestari. Namun, perjalanan hidup akhirnya membawa Emil – sapaan akrabnya — menjadi pengusaha ayam organik bermerek Probio Chicken.
Perkenalan dengan bisnis unggas tersebut berawal dari persinggungannya dengan dunia tanaman. Tahun 2000, ayah dua anak kelahiran Bogor, 17 Oktober 1972, ini mulai merintis bisnis sampingan, pupuk cair. Deraan krisis ekonomi 1997 membuat sektor properti — yang menjadi andalan biro arsiteknya — limbung.
Berbekal kecintaannya pada tanaman yang diperoleh dari kedua orang tuanya yang lulusan Institut Pertanian Bogor, Emil mulai bergerak di industri agrokimia itu. Nasib pun membawanya pada perkenalan dengan I Putu Kompyang, seorang Ph.D. yang berstatus Ahli Peneliti Utama di Balai Penelitian Ciawi. “Dia mengembangkan probiotik untuk sapi,” ujarnya.
Probiotik yang sebenarnya merupakan mikroorganisme hidup yang disebut-sebut berefek baik jika dikonsumsi itu telah diuji oleh Kompiang. Dan memang, hasilnya ternyata bisa diaplikasikan tidak hanya untuk hewan, tetapi juga untuk tanaman. Penelitian Kompiang yang diuji lapangan di Dinas Pertanian Garut dan Laboratorium Agroindustri Bogor membuktikan probiotik mampu memperbaiki performa tumbuh tanaman padi dan tomat, serta hewan sapi, kambing, ikan dan ayam.
Tanpa ba-bi-bu, Emil langsung menyambar peluang itu dan melabeli produknya Tumbuh di bawah payung PT Essicipta Lestari. Dari 2001 hingga 2004, dijualnya produk buatan Kompiang itu kepada para petani, petambak dan peternak di Bogor, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sampai Lampung. Sambil jualan, Emil mengaplikasikan barang dagangannya agar konsumen percaya. “Saya terapkan juga di semua sektor pertanian. Di Wonosobo, Malang. Saya terapkan aqua culture di tambak udang dan ikan.”
Emil yakin lidahnya akan pegal-pegal jika mengomunikasikan produknya dengan sebutan probiotik kepada para petani dan pembudidaya. Maka, ia mencari gampangnya. Produknya yang diproduksi 5.000 liter per bulan di rumah Kompiang di Ciawi, Bogor, disebut vitamin untuk tanaman. Kata Emil, Tumbuh mampu mengurangi penggunaan pupuk hingga separuh dan menihilkan penggunaan antibiotik. Hasilnya, peningkatan produksi konsumennya yang telah diujicoba diklaim meningkat 30% dengan kualitas panenan yang lebih baik.
Sayang, manuver Emil membangkitkan macan tidur. Produsen pupuk dan antibiotik kegerahan melihat aksinya. Apalagi, hal itu berdampak pada menurunnya penjualan produk mereka. Para produsen pun membanting harga pupuk dengan cukup signifikan. Emil tersungkur. Maka, pada 2004, ia banting setir. Berbekal modal Rp 10 juta dan hasil ujicoba lapangan selama masa praproduksi ataupun ketika berjualan probiotik, ia memilih fokus di sektor perunggasan, tepatnya ayam, dengan merek Probio Food. Pikirannya simpel: di Jakarta saja warganya mengonsumsi ratusan ribu ekor ayam per hari, yang kini angkanya menurut Emil melonjak hingga 1,2 juta-1,3 juta ekor per hari.
Untuk produksi, ia bekerja sama dengan Hendi Hermawan, sarjana lulusan IPB yang hingga kini masih menjadi mitranya dalam urusan pembudidayaan ayam. Emil fokus di pemasaran sekaligus sebagai pemegang merek. “Pak Hendi mantan profesional 13 tahun di Charoen Phokpand. Selain itu, ada Pak Rio Kunjung juga, yang dulu turut memiliki saham awal kami,” ujar Emil seraya menyebut pada 2007 Rio melepas sahamnya.
Hendi memproduksi ayam dengan nutrisi probiotik dan menggunakan sistem plasma
dengan para peternak, di antaranya di Parung dan Cimanggu, Bogor. Hendi menjadikan rumahnya di Cimanggu sebagai rumah potong hewan berkapasitas 20-30 ekor ayam per hari dengan standar yang baik. “Organik itu tidak cuma di proses pembudidayaannya,” kata Emil. “Tapi juga pemotongannya harus bebas desinfektan, bebas kaporit, air difilter jernih, plus, kami juga pakai standar halal.”
Urusan produksi beres, Emil lantas bergerilya di pasar Jakarta dengan hanya dibantu dua karyawan. Produknya kala itu dilabeli Probio Chicken, merek yang dipakainya hingga sekarang yang diambil dari potongan kata probiotik. Kebetulan ada temannya yang memiliki akses ke supermarket kelas atas Ranch Market di Pejaten, Pasar Minggu. “Saya pilih Ranch Market karena memang yang mampu membeli dengan harga ini hanya kalangan menengah-atas. Waktu itu, hanya bule yang membeli Probio Chicken,” tuturnya. Kala itu, ia bisa memasok hingga 300-400 ekor ayam negeri per bulan ke Ranch Market. Uji coba ini sukses, akhir 2004 jumlah pasokannya meningkat mencapai 500-600 potong.
Namun, Emil mengaku, kala itu bisnisnya hanya mampu mendekati titik impas saja. “Ini produk masa depan. Tidak dipaksakan,” katanya. Prediksinya tepat. Penjualannya kian berkembang. Penyaluran ke Ranch Market selanjutnya tumbuh ke dua toko. Tahun 2007 jumlah ayam yang disalurkan Emil mencapai 800-1.000 potong per bulan.
Tahun 2007, Emil menuturkan, tren makanan sehat dimulai di Jakarta. Sayur organik mulai banyak bermunculan. Tahun itu juga ada Pameran Slow Food di Karawaci, Tangerang. Slow food merupakan konsep tandingan fast food. Dari pameran itu Emil mengetahui produknya ternyata diminati pula oleh para ibu yang anaknya menyandang autisme. Terbuka lagi satu potensi pemasaran.
Selain itu, sejak 2007 pemasarannya menjangkau sebagian gerai Hero, Carrefour, Sogo dan Hypermart.
Probio Chicken yang kini dijual seharga Rp 45 ribu untuk konsumen akhir dan Rp 33 ribu-34 ribu untuk reseller diakuinya memakan biaya produksi yang besar. “Bahkan, untuk pemotongan pun memakan cost Rp 2.000-3.000. Belum lagi, sistem quality control yang kami terapkan dengan membuang ayam tidak layak menjadikan ongkos produksi kian membengkak,” kata Emil.
Dengan meningkatnya permintaan, jumlah peternak yang menjadi plasma otomatis berbiak. Awalnya hanya dua peternak, pada 2007 menjadi lima peternak, pada 2008 meningkat lagi menjadi 15 peternak, dan kini 60 peternak di Parung, Sukabumi, Cianjur, Bandung dan Lampung.
Tahun 2007, investor baru bermunculan untuk memperkuat permodalan. Yakni, Janny Lim, Lim Tjun Ijoeng, Yuke dan Dadang. Emil pun melepas Probio Chicken dari Essicipta Lestari dan menjualnya ke PT Jesshly Mitra Probiotic Organic Indonesia. “Jesshly itu nama para pendiri. Setelah dipikir, nama perusahaan kepanjangan, diubah tahun 2008 jadi PT Pronic Indonesia, he-he-he,” ungkap Emil yang masih menjadi pemegang saham sekaligus Presiden Direktur PT Pronic Indonesia.
Permasalahan lain muncul seiring dengan membengkaknya produksi. Bahkan, akibat tak layak jual maupun salah penanganan, Emil pernah memakamkan massal 1.000 ekor ayamnya di kantor sebelumnya di Pos Pengumben, Jakarta Barat. “Itu benar-benar masa belajar kami. Dengan biaya belajar yang mahal pula,” ujar Emil di kantor barunya di Kebon Jeruk Baru, Jak-Bar, yang ditempatinya sejak April 2010.
Dengan pembenahan manajemen yang lebih fokus, pembagian kerja yang jelas dan pola pemasaran yang terarah, kini Emil merasa perusahaannya telah berada di jalur yang benar. “Kami set up divisi produksi, distribusi, pemasaran dan corporate secretary. Kami juga terapkan pembagian kerja yang pasti. Ada karyawan khusus gudang, karyawan pemasaran supermarket, pemasaran reseller, finance, dan sebagainya,” ujarnya. Total karyawan Pronic kini sekitar 40 orang.
Untuk mengatasi persoalan produk tak terjual atau tak layak jual utuh, sejak 2009 Pronic mengolahnya menjadi nugget, chicken katsu dan karage. Kini penjualan produk olahan mencapai 200 pak seminggu dengan bobot seperempat kilogram per pak.
Selain itu, Pronic juga bekerja sama dengan perusahaan Green Line Care (GLC). “Mereka membuka jalur pemasaran khusus untuk produk hijau,” ujar Emil.
Bimantoro Abimanyu, Direktur Operasional GLC, memaparkan, perusahaannya mulai memasarkan Probio Chicken pada 2009. Targetnya adalah jaringan GLC di industri hotel, restoran dan kafe (horeka) serta 10 ribu alumni pelatihan kewirausahaan GLC di seantero Nusantara. Hingga kini, sekitar 25% produksi ayam Pronic diserap GLC. “Kami punya captive market industri horeka di Bali yang menyerap sampai 20% produksi Probio Chicken,” ungkap Bimantoro yang juga menjadi reseller pribadi Probio Chicken di perumahannya di Vila Cinere Mas dan mampu menjual 90 ekor ayam per minggu.
Selain lewat GLC, pasar dikembangkan dengan mengusung konsep reseller. Namun, Emil menolak sistem waralaba. “Mahal jadinya, kasihan pembeli franchise,” ujarnya. Dengan konsep reseller, pembeli bisa membeli produk Pronic saja atau sekalian dilengkapi dengan pernak-perniknya seperti banner, brosur, seragam dan freezer.
Nunky Koestoer, salah satu reseller Probio Chicken sejak tiga bulan lalu, mengaku tertarik memasarkan setelah membaca di media massa. Hingga kini, Nunky bisa memasarkan 50 ekor ayam Probio per minggu dari rumahnya di kawasan Bintaro Sektor 3, Jakarta Selatan. “Saya yakin bisa menjual karena benar-benar ayam sehat, tanpa antibiotik, tanpa kolesterol,” ujar pensiunan pegawai pemasaran pakan ternak di PT Charoen Phokpand Indonesia Tbk. itu. Nunky juga konsumen rutin produk Pronic. Dia bersama istri dan keempat anaknya mengonsumsi total dua ekor Probio Chicken setiap hari.
Nunky awalnya kesulitan memasarkan Probio Chicken. Dia memulainya dengan hanya 10 ekor per minggu. Akan tetapi, kegigihan Nunky menelepon kenalan dan teman menghasilkan peningkatan bisnis yang cukup signifikan dalam waktu tiga bulan.
Nunky bukan satu-satunya reseller Probio Chicken. Berkat pelebaran bisnis itu, kini
Pronic sudah memiliki sekitar 30 reseller. Katering pun sudah ada yang menggunakan Probio Chicken, yakni My Meal Catering di Gading Serpong. Ada pula resto yang menggunakannya, yaitu Healthy Choice dan Stevan Shop di Serpong, Tangerang Selatan. Tak ketinggalan, ada sekolah internasional yang menjadi pelanggannya seperti sekolah Prancis Lychee International Francois di Cipete, Jak-Sel.
Kini, total penyaluran ayam Probio mencapai 12 ribu ekor per bulan dan menjangkau wilayah Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Lampung dan Balikpapan. Rumah potongnya di Cimanggu pun kini berkapasitas 1.000 potong per hari. Meski demikian, Emil, yang perusahaan arsitekturnya kembali moncer dengan 60 pegawai dan jumlah proyek mencapai 600 buah, hingga kini belum beriklan. Ia lebih banyak bergerak melalui jalur kehumasan dan memasarkan melalui komunitas di Komunitas Organik Indonesia yang terdiri dari 8.000 anggota lepas dan 40 pebisnis.
Andre Vincent Wenas, pengamat dan praktisi bisnis, memaparkan bahwa bisnis Emil berpeluang sangat besar di tengah tumbuhnya kesadaran hidup sehat. Bahkan, Andre mengaku kini keluarganya telah memakai beras merah dan sayur organik. “Orang yang mampu secara ekonomis akan menjadikan hidup sehat sebagai prioritas dan mereka tidak akan berpikir panjang.”
Menurut Andre, pemasaran produk Emil harus disertai chanelling dan penjelasan yang tepat agar terjadi referral. “Dia bisa bekerja sama dengan komunitas yang akan memberikan referral ke lingkungannya. Selain itu, dia bisa membuat komunitas sendiri atau mendompleng komunitas yang sudah ada. Dia juga bisa membangun brand ambassador berpengaruh,” Andre memberi saran.
Emil tak berniat menghentikan langkahnya di kawasan Indonesia saja. “Target kami, 2012 ke Singapura,” ujarnya optimistis.
BOKS
Tonggak Sukses
Christopher Emille Jayanata
Meyakini visinya
Giat mencari lahan bisnis baru kala krisis
Gigih mencari alternatif pemanfaatan produk
Fokus membesarkan merek
Tidak mengincar untung di awal berbisnis
Bersedia merestrukturisasi perusahaan saat kesulitan manajemen
- Tak segan berbagi rezeki dengan mencari investor dan reseller untuk mendukung bisnisnya
Terus berekspansi
oleh : Eddy Dwinanto Iskandar
Eddy Dwinanto Iskandar
Riset: Siti Sumariyati
sumber: http://swa.co.id/2011/11/kegigihan-pelopor-bisnis-ayam-organik/
No comments:
Post a Comment