Diilhami keberhasilan ibunya yang berprofesi sebagai penjahit, semangat kewirausahaan sudah tumbuh di dalam jiwa David B. Santosa sejak ia duduk di bangku sekolah. Sedikit demi sedikit David menyisihkan uang jajannya. Tujuannya hanya satu: bisa mengikuti jejak ibunya menjadi penjahit.
Lulus sekolah, tahun 1977 David akhirnya bisa membeli sebuah mesin jahit bekas. Ia pun lantas menekuni profesi sebagai penjahit. Berkat kerja kerasnya, usaha jahit-menjahit yang awalnya hanya berskala rumahan menjadi semakin besar. Ia akhirnya memiliki perusahaan konveksi di Bandung, di bawah bendera PT Bineksindo. Ia memproduksi hampir semua jenis pakaian dewasa.
Tahun 1988, David mampu mengekspor jaket training hingga ke Eropa dan menjadi pemain besar di Indonesia. Dengan dukungan lebih dari 300 karyawan, Bineksindo setiap bulan mampu menghasilkan beberapa kontainer pakaian yang siap dijual untuk pasar luar negeri. “Omset kami saat itu mencapai Rp 2 miliar,” ungkap David.
Memasuki 1990-an, bisnis konveksi David mulai surut. Pecahnya Perang Teluk memukul bisnisnya secara langsung. Pengiriman barang ke luar negeri terhambat, bahkan terputus. Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia mencoba menjadi pemasok Matahari Dept. Store dengan mengusung merek dagang Andy ‘n Vania ( A n V). Perlahan usahanya kembali bergairah, tetapi tak seagresif tahun-tahun sebelumnya.
Meredupnya bisnis konveksi membuat David harus memutar otak untuk mencari bisnis baru. Tahun 1998, secara kebetulan ia bertemu seorang rekannya yang mengajaknya berdagang kue di Pasar Kue Subuh. Tanpa pikir panjang, ia langsung menerima tawaran tersebut.
Bermodal Rp 75 juta, David memulai usahanya dengan penuh keyakinan. Uang tersebut ia gunakan untuk menyewa rumah, mobil, hingga membeli peralatan produksi. Ia tak bekerja sendiri, tercatat ada lima orang yang membantunya setiap hari. Rekannya lebih banyak mengurusi masalah dapur dan keuangan. Sementara David lebih fokus ke masalah operasional. Di minggu pertama dan kedua, penjualan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kepercayaan David bahwa bisnisnya akan sukses semakin tumbuh. Namun, menjelang bulan kedua, aroma ketidakberesan pengelolaan keuangan menyengat. “Jumlah produksi yang dilaporkan turun drastis. Biasanya 600-700 dus menjadi hanya 300 dus. Omset juga menurun sampai hanya Rp 6 juta sebulan,” tutur David mengenang.
Merasa dibohongi, David akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Namun, obsesinya menjadi pengusaha kue yang sukses tidak begitu saja padam. Apalagi, ia juga membawa semua alat produksi yang dimilikinya ke Kota Kembang. Ia mengatakan, kondisi bisnis garmennya yang semakin tidak menentu membuatnya harus mencari jalan keluar. “Usaha garmen saya hampir kolaps,” ujarnya.
Berkali-kali ia mencoba membuat resep sendiri untuk bisa memulai lagi bisnis kue dari nol. Ratusan eksperimen ia coba. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya ia menemukan resep yang ia cari selama ini. “Resep ini lebih enak daripada resep buatan rekan saya dulu,” ucap David yang mengaku hampir putus asa.
Setelah menemui titik cerah, kepercayaan dirinya perlahan tumbuh kembali. Hal ini juga didorong rekannya, Senjaya Hidayat, yang membantu mengembalikan semangatnya dalam berbisnis. Hasilnya, awal 1999, Mayasari Pastries resmi didirikan di Bandung. Lucunya, nama Mayasari berasal dari nama istri Senjaya, Maya.
Gerai pertama di daerah Kebon Kawung menjadi bukti keseriusan David demi mewujudkan mimpinya menjadi pengusaha kue. Ia mengucurkan dana Rp 125 juta sebagai modal tambahan untuk memulai kembali bisnis kuenya.
Perlahan tapi pasti, Mayasari Pastries mulai tumbuh. Memasuki 2002, bisnis David semakin agresif. Meski mengaku senang, ia tak memungkiri sedikit kewalahan karena banyak tawaran untuk terus membuka gerai di sejumlah tempat. Kondisi tersebut mendorongnya membuka kerja sama dengan pihak kedua dengan sistem beli putus di awal 2004. Di tahun yang sama, bisnis konveksi David karam dan resmi ditutup total. “Saya benar-benar tak kuasa menangani bisnis ini. Makin tumbuh besar, tapi makin sulit diurus,” ujar pria berusia 51 tahun ini.
Bagi David, kerja sama tersebut merupakan salah satu cara terbaik untuk membendung bisnis yang semakin melaju kencang. Kerja sama tersebut menguntungkan kedua belah pihak, baik Mayasari Pastries maupun mitra bisnis. Harga per dus kue dijual 20% lebih murah kepada pihak kedua.
Kini, setelah 12 tahun berdiri, usaha David semakin melaju pesat. Kerja kerasnya dibayar dengan hasil yang maksimal. Saat ini ia memiliki 40 gerai: 30 di Bandung, delapan di Jakarta, serta masing-masing satu di Batam dan Medan. Untuk pembangunan satu gerai dibutuhkan dana Rp 5-8 miliar (bangungan milik sendiri), tetapi untuk yang menyewa harganya jauh di bawah itu. Dari 30 gerai yang berada di Bandung, 10 gerai adalah milik pihak kedua yang menjalin kerja sama dengan sistem beli putus.
Ester Linawati merupakan salah seorang mitra David. Sejak 10 tahun lalu, Ester menjadi mitra Mayasari Pastries dengan membuka cabang di Sumber Sari, Bandung. Ester mengatakan, awalnya banyak warga sekitar yang membicarakan kue pisang bolen buatan David. Tanpa ragu, Ester pun menyambangi David untuk menawarkan kerja sama dengannya. “Prosesnya tak ribet dan cukup mudah. Sejauh ini kami diuntungkan karena produk Mayasari Pastries juga dikenal baik oleh masyarakat,” ujarnya.
Setiap hari Ester memesan 100 dus untuk dijual kembali di tokonya. Tingkat penjualan mencapai 90% setiap hari. Jika memasuki hari libur ataupun akhir pekan, permintaan melonjak.
Kue yang menjadi primadona antara lain pisang bolen rasa duren dan keju. “Pelayanan dari pihak Mayasari Pastries juga tak mengecewakan. Mereka sangat on time mendistribusikan kuenya setiap hari. Jika ada keluhan, kami pun dilayani dengan baik,” katanya.
Saat ini David mempekerjakan lebih dari 200 pegawai yang terbagi dalam dua
shift kerja. Setiap hari Mayasari Pastries mampu memproduksi 2.000-3.000 dus kue (satu dua berisi 12 kue) yang diproduksi di pabrik yang menampati area seluas 1.000 m2 di Sumber Sari, Bandung. Menjelang akhir pekan, kapasitas produksi meningkat hingga 4.000 dus per hari. “Hampir 95% dari kue kami terjual habis setiap hari,” David mengklaim.
Setiap tengah malam, kue didistribusikan ke semua gerai, baik yang di Bandung, Jakarta, maupun Batam dan Medan, menggunakan jasa angkutan penerbangan, Merpati Airlines. Bagi pihak kedua, kue diantarkan selambatnya pukul 2 pagi. Umumnya mereka yang bekerja sama membeli 75-100 dus setiap hari.
Kue yang dijajakan antara lain pisang bolen, kue tar, dan makanan ringan. Kue pisang bolen menjadi andalan Mayasari Pastries. Selain memiliki citarasa yang enak, pisang bolen olahan Mayasari juga dikenal memiliki varian yang sangat beragam, seperti rasa keju, durian, cokelat, kacang, tape dan nanas. Pisang bolen Mayasari merupakan kue yang cukup tersohor di Bandung yang sering dijadikan sebagai oleh-oleh. Jadi jangan heran, nama Mayasari Pastries dengan pisang bolennya begitu sangat digandrungi pencinta pastry dan pelancong.
Harga per dus pisang bolen dijual mulai Rp 26.000 hingga Rp 30.000. Soal harga, kue-kue di Mayasari Pastries bisa dibilang paling kompetitif. Namun, David tidak mau kompromi dalam hal kualitas. Ia tak pernah main-main dalam memilih dan memilah bahan yang digunakan dalam membuat semua kuenya.
Erly Desianti, salah seorang pelanggan setia Mayasari Pastries, mengaku sangat cocok dan puas dengan kualitas Mayasari. Sejak pertama kali mencoba kue di Mayasari delapan tahun silam, paling tidak dua kali dalam sebulan Erly menyambangi gerainya. “Kalau sedang tidak sibuk, bisa seminggu sekali,” ujarnya seraya menyebutkan, makanan favoritnya adalah pisang bolen durian.
Erly menandaskan, soal citarasa, Mayasari Pastries tidak perlu diragukan lagi. “Kalau harga justru di sini yang paling murah. Saya sudah bandingkan dengan kue dari pedagang lain. Pelayanan juga oke,” ungkapnya.
Menurut David, membangun bisnis kuliner, khususnya pastry, sangat menjanjikan. Balik modalnya pun tergolong cepat, yakni tidak lebih dari setahun. “Tidak perlu menunggu lama bagi saya untuk memetik hasil.”
Ia menambahkan, kesuksesan membangun bisnis kue tergantung pada kejelian melihat pasar dan pada pengembangan inovasi produk. Karena itu, ia selalu mencari eksperimen baru guna memperkaya citarasa dan jenis kuenya. Setiap tahun ia terbang ke luar negeri untuk belajar tentang roti dan pastry.
Setibanya di Indonesia, ia praktikkan apa yang ia dapat dari luar negeri. Misalnya, mulai dari adonan yang baik, pemilihan margarin yang sesuai, hingga memasukkan rasa baru pada kuenya. Dengan begitu, orang akan tertarik mencoba kue dengan rasa baru yang ditawarkan.
Kue-kue di Mayasari Pastries tidak menggunakan bahan pengawet sehingga masa kedaluwarsanya sangat pendek, yakni 3-5 hari. “Saya turun dan memantau langsung ketika proses produksi untuk memastikan semuanya sesuai dengan SOP,” ungkap David.
Tak ada strategi khusus yang diterapkan David dalam membesarkan Mayasari Pastries. “Sama seperti produk-produk lainnya,” ujarnya singkat. Pada tahap awal, ia menggunakan iklan di radio untuk memperkenalkan Mayasari Pastries. Ia juga pernah mengeluarkan Rp 200 juta/tahun untuk pemasangan iklan billboard di jalan protokol di Kota Bandung. “Awal-awal memang butuh awareness,” kata ayah Andy Santosa (23 tahun), Vania Christianty (21 tahun) dan Cinthya Christianty (13 tahun) ini.
Untuk meperluas cakupan bisnisnya, ia bekerja sama dengan pengusaha katering di Bandung. Mayasari Pastries menjadi penyumplai kudapan pada pesanan katering yang diperoleh mitranya. Ia juga membidik segmen korporat sebagai salah satu target pasarnya. “Pelanggan korporat saya kebanyakan dari industri perbankan,” ujarnya.
Saat ini, omset Mayasari Pastries mencapai Rp 300 juta/bulan, dengan margin 15%. Kontribusi pendapatan terbesar masih didapatkan dari gerai-gerai di Bandung. Ia menyebutkan, masa menjelang dan sesudah Ramadan merupakan hi-season bagi bisnis ini. Menjelang Ramadan atau tepatnya H-10 penjualan akan naik hingga 50% dari bulan biasa. Adapun pada H+2 penjualan semakin terkerek hingga 200%.
David kini sedang menjajaki untuk membuka gerai di Bali dan beberapa tempat lain di Bandung. Ia tak menargetkan berapa jumlah gerai yang mesti dibangun setiap tahun. Selain akan membuka gerai di beberapa daerah di dalam negeri, ia juga tengah membicarakan rencana membuka gerai di Singapura dan Malaysia tahun depan. Ada beberapa investor yang tertarik bekerja sama dengannya. “Saya masih tarik ulur dengan investor. Saya tak mau begitu saja meng-iya-kan. Karena, saya tak ingin gagal lagi kali ini. Everything must clear and directional,” ujar pria religius ini menandaskan.(*) (oleh : Taufik Hidayat)
Reportase: Ario Fajar/Riset: Dian Solihati
sumber: http://swa.co.id/2011/10/jatuh-bangun-bisnis-raja-bolen/
No comments:
Post a Comment