Pertunjukan harus tetap berjalan. Itu pula yang membuat Sudarto tetap semangat meski kena PHK. Pascakehilangan pekerjaan itu, Sudarto melihat di kampungnya di Yogyakarta ada potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, yakni rempeyek. Sudarto pun terjun ke bisnis ini dan dia jadi makin yakin ada duit di balik rempeyek.
Pengalaman pahit adalah pemicu semangat yang paling besar. Pengalaman pahit ini pula yang membuat Sudarto, pria kelahiran Yogyakarta 47 tahun silam, sukses merintis usaha rempeyek.
Sudarto mulanya berstatus karyawan di PT Panasonic Gobel, produsen elektronik yang memiliki kantor cabang di Yogyakarta. Namun pada 2004 silam, Sudarto harus rela menjalani pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bagi sebagian besar orang di-PHK itu ibarat menelan pil pahit. Bagi PHK-wan dunia seolah-olah runtuh dan hidup tak bisa berlanjut.
Namun, bagi Sudarto pil PHK itu ternyata tak pahit-pahit amat. Justru pil itu menjadi obat kuat untuk semakin bersemangat mencari rezeki buat keluarganya.
Sudarto menjadikan pemecatan itu sebagai pintu masuk ke ekonomi yang lebih baik. Lihat saja, usai dipecat, ia memutuskan untuk berwiraswasta dengan memproduksi rempeyek. Kebetulan saat itu, di daerah asalnya di Dusun Pelemadu, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta, banyak usaha rempeyek yang dikembangkan rumah tangga.
Namun, usaha rempeyek tidak berkembang baik karena kurang promosi. Nah, Sudarto tak mau melakukan kesalahan yang sama. Ia tetap memproduksi rempeyek namun juga melakukan promosi dan pemasaran yang benar untuk rempeyeknya itu.
Pada 2006, bersama sahabatnya, Sudarto bertekad bulat berbisnis rempeyek khas Yogya. Selain memproduksi sendiri, ia juga melakukan pengemasan rempeyek dengan apik. "Rempeyek itu makanan tradisional favorit orang Jawa," ujarnya.
Selain menyiapkan kemasan yang apik, tak lupa Sudarto juga melakukan survei kecil-kecilan tentang kebutuhan rempeyek di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang. Kesimpulannya, "Kebutuhan rempeyek masih tinggi," ujar Sudarto. Kesimpulan lainnya, banyak warga kota besar yang ternyata lebih suka rempeyek kampung.
Hasil survei itu terbukti benar, penjualan rempeyek Sudarto berkembang pesat di kota besar. Setelah berjalan sekian waktu, kini ia telah memproduksi 3.000 sampai 4.000 kemasan atau setara dengan 1 ton rempeyek per hari dengan harga jual Rp 2.500 per kemasan. "Pesanan terbesar dari di Jakarta," kata pemilik merek rempeyek Nyak Sus itu.
Sesampai di Jakarta, rempeyek yang diproduksi Sudarto bisa dijual hingga Rp 5.000 per kemasan. "Rempeyek ternyata bisnis yang menguntungkan di Jakarta," pungkasnya.
Untuk memikat konsumen, Sudarto sengaja memproduksi lima jenis rempeyek. Mulai dari rempeyek kacang tanah, kedelai hitam, kedelai putih, teri, dan rempeyek udang rebon. Namun, rempeyek yang best seller adalah rempeyek kacang tanah.
Selain pasar ibu kota, ternyata rempeyek milik Sudarto juga laris hingga Sumatra dan Kalimantan. Khusus rempeyek kedelai hitam dan rempeyek kedelai putih laku keras di Sumatera.
Dari hasil penjualan itu saban bulan Sudarto mengantongi omzet Rp 300 juta. Bahkan kini ia sudah punya 36 karyawan yang ia bayar dengan sistem kerja borongan. Dengan sistem borongan itu, ia membayar jerih payah karyawan sesuai pekerjaan yang mereka hasilkan.
Usaha rempeyek Sudarto ikut bergoyang ketika gempa melanda Yogyakarta pada 2006 silam. Namun, Sudarto tak mau menghentikan produksi. Baginya, gempa ini juga peluang karena saat itu Yogyakarta dibanjiri relawan dari segala penjuru Tanah Air. Ini menjadi peluang emas baginya berpromosi agar rempeyeknya makin terkenal.
Sudarto memang tak pernah menyesal atas PHK yang menimpa dirinya. Sebaliknya, dia malah bersyukur. Karena PHK itu pula, statusnya berubah 180 derajat. Kalau dulu dia hanya buruh atau karyawan, sekarang dia berstatus sebagai juragan.
Dengan menjadi pengusaha, ia juga bisa mengatur sendiri waktu kerjanya. Yang terpenting, ia bisa mempekerjakan tenaga kerja di sekitar tempat tinggalnya
Satu hal yang dipetik Sudarto saat menjadi karyawan, yakni pengalaman. Dia membayangkan, seandainya tak pernah jadi karyawan, tentu bingung juga menjadi pengusaha. Ilmu saat menjadi karyawan, sekarang benar-benar berguna bagi Sudarto untuk menjalankan usaha rempeyek ini. "Saya jadi punya ilmu marketing dan sekaligus bagaimana mempraktikkan ilmu itu," ujar Sudarto.
Dengan ilmu pemasaran itu pula, Sudarto memutar modal yang cuma sebesar Rp 5 juta. Awalnya, ia menjalankan usaha bekerja sama dengan para ibu-ibu pengasong untuk memasarkan rempeyek dari pintu ke pintu atau tempat-tempat yang banyak didatangi orang. "Awalnya saya ingin membuka toko, namun ternyata cara door to door ini lebih efektif," ungkap Sudarto.
Bagi pengasong, pola jualan seperti itu memang lebih menguntungkan, karena pengasong bisa mengambil untung lebih banyak. Adapun bagi Sudarto, ia selalu menerima pembayaran tunai.
Namun saat pasar rempeyek mulai meluas, produksi sempat terganggu, bahkan terhenti, selama tiga minggu akibat gempa bumi melanda Yogyakarta pada 2006. Saat gempa mengguncang, rumah tempat produksi rempeyek rata dengan tanah. Sudarto pun merugi puluhan juta.
Tapi, Sudarto pantang meratapi nasib. Ia pun kembali bangkit dan memanggil semua karyawan untuk bekerja dan memproduksi rempeyek seperti semula.
Justru setelah gempa itu usaha rempeyeknya makin melebar. Waktu itu banyak relawan yang datang ke Yogyakarta dan memberikan bantuan. Nah, saat hendak menyerahkan bantuan ke Sudarto, lelaki ini malah mempromosikan rempeyeknya kepada para relawan itu. "Mereka datang dari berbagai kota di luar Jawa, sehingga saya bisa sekalian promosi," tegasnya.
Meski saat itu ia belum bisa mengirim dalam jumlah besar kepada para pemesan karena ada bencana, setidaknya ia bisa meyakinkan bahwa produk rempeyeknya sangat berkualitas.
Setelah gempa itu, produksi rempeyek Sudarto pelan namun pasti normal kembali. Bahkan beberapa bulan setelah gempa, produksinya sudah mencapai 2.000 bungkus per hari. "Jumlahnya memang masih sedikit, namun responsnya bagus," pungkasnya.
Sebagai strategi pemasaran, Sudarto memutuskan untuk lebih fokus menjual rempeyeknya di luar Yogyakarta. Karena ia sadar bahwa produsen rempeyek di Yogyakarta sudah cukup banyak. Kini, hampir semua produksinya dikirim ke Jakarta dan sekitarnya karena pasarnya masih sangat menjanjikan. Untuk mengirimkan rempeyek dari Bantul ke Jakarta, ia menggunakan truk yang ditutup dengan terpal dengan frekuensi pengiriman seminggu dua kali.
Untuk urusan ini, ia sudah memiliki langganan armada truk sehingga mereka sudah mengetahui teknis mengangkut rempeyek agar kondisinya tidak hancur dan tetap bagus sampai di ibu kota. "Mereka rata-rata sudah pengalaman lebih dari 10 tahun menjadi sopir angkutan barang makanan," ujar Sudarto.
Ke depannya, Sudarto masih punya ambisi bisa menguasai pasar di Kalimantan. Karena selama ini baru sekitar 5% dari total produksi rempeyeknya yang sampai di Kalimantan.
Padahal kota-kota seperti Pangkalanbun, Sampit, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Balikpapan sangat besar permintaannya. "Saat ini, kendalanya, produksi rempeyek masih kurang untuk memenuhi seluruh permintaan," ujarnya.
Kebetulan, ia juga sudah memiliki beberapa konsumen lama yang siap menjadi agen penyalur rempeyeknya ke kota-kota di Kalimantan. Sehingga ia bisa memastikan bahwa produk rempeyeknya aman sampai ke tangan konsumen. Karena ia menyadari bahwa kendala utama dalam bisnis ini adalah masalah distribusi.
Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1323939217/85315/Sudarto-Rempeyek-makin-renyah-pascagempa-2
2 comments:
memang PHK bagi sebagian besar adalah momok yang paling menakutkan, dengan berdagang semoga kita bisa menemukan rizki yang halal dan barokah untuk anak istri kita di rumah, saat kecil kebanyakan kita di didik untuk menjadi dan bercita cita sebagai karyawan, dan mental kita belum terbiasa untuk menjadi pedagang / pengusaha. Makasih sharing nya, sangat menginspirasi
salam
keren banget ceritanya
Post a Comment