Jakarta - Hijab saat sudah menjadi
salah satu trend mode di tanah air
sehingga wanita tidak bosan
mengenakan penutup aurat yang
itu-itu saja. Melihat peluang
tersebut, Tsummadana Wulan (22)
merintis karir dengan mendesain
hijab dan menjualnya via online.
Bahkan saat ini produknya sudah
dipakai puluhan artis tanah air.
Di sebuah butik kecil bernama
Miulan di samping rumahnya di Jl
Kedung Batu Selatan no.88
Semarang atau tepat di belakang
Klenteng Sam Po Kong, Wulan dan
tujuh karyawan mengemas puluhan
hijab dan busana muslim yang siap
dikirim ke penjuru tanah air
bahkan luar negeri.
"Mau dikirim ke luar Jawa.
Pelanggan juga ada dari Singapura,
Brunei Darusalam dan yang paling
sering Hongkong," kata Wulan di
butiknya, Sabtu (17/11/2012).
Dengan menjual hijab dan baju
muslim, saat ini Wulan sudah bisa
mewujudkan keinginannya untuk
Umroh, jalan-jalan ke luar negeri
dan membeli barang yang
diinginkannya. Ia pun
menceritakan kisah suksesnya saat
ditemui detikcom.
Awalnya ia hanya mahasiswi biasa
di Fakultas TekniK Informatika
Universitas Dian Nuswantoro
(Udinus) Semarang hingga
akhirnya dosen memberikan tugas
kewirausahaan yaitu membuat
usaha tanpa modal. Gadis cantik
ini pun memutar otak dan
mengawalinya dengan menjual
pakaian pantas pakai miliknya.
"Dari penjualan itu akhirnya dapat
modal dan membuat pernak
pernik asesoris buatan sendiri
misalnya gelang, kalung, cincin
dan lainnya," tandasnya.
Untuk menyokong usahanya,
Wulan juga menjadi anggota salah
satu Multi Level Marketing (MLM)
hingga akhirnya dia bisa
membangun toko. Tapi tidak
seperti yang diharapkan, tokonya
tidak dipenuhi pengunjung bahkan
tergolong sepi. Lagi-lagi Wulan
harus memutar otak agar usahanya
sukses.
"Lalu dibantu Ibu, saya mendisain
hijab dari referensi internet dan
dijual via online. Dari situ ternyata
banyak peminatnya, maka
terlahirlah Miulan bulan
November 2011 lalu," ujar Wulan
bangga.
"Sebulan setidaknya membuat
empat desain baru," imbuhnya.
Lama-kelamaan, usahanya semakin
berkembang, Wulan pun bisa
mempekerjakan tujuh karyawan.
Bahkan ibu-ibu di sekitar tempat
tinggalnya juga ikut kebagian rejeki
dengan membantu memotong dan
menjahit kain yang akan dijadikan
hijab.
"Ibu-ibu di sini ikut membantu,
sedangkan karyawan di butik
tinggal melakukan finishing dan
packing. Ya istilahnya bagi-bagi
rezeki, lah," tutur Wulan.
Selain dijual per buah, hijab
buatan Wulan juga dijual dengan
sistem Distributor dengan minimal
pembelian 100 buah, Agen dan
Reseller dengan minimal
pembelian 20 buah yang akan
mendapatkan diskon khusus.
"Ada diskon 40 persen dan 20
persen. Harga hijabnya antara Rp
30-95 ribu," katanya.
Yang menjadi ciri khas hijab dari
Wulan hingga banyak diminati
adalah karena bahannya yang
terbuat dari kain kaos, serta disain
minimalis dengan asesoris bunga
berwarna soft yang terkadang
saling bertabrakan namun tetap
menjadi kombinasi yang baik.
"Karena desain saya, jadi saya beri
nama sesuka hati misalnya
Cottonia Flowering Shawl (CfO),
Classy Shawl (CS), dan Hoodie Vest
Two Face . Tapi saat ini desain
juga mengikuti permintaan pasar,"
tutur dara kelahiran 23 Desember
1990 tersebut.
Dari usahanya yang baru berdiri
setahun itu, Wulan saat ini
memiliki pendapatan bersih hingga
jutaan rupiah perbulan, omsetnya
pun hingga seratus juta rupiah.
Selain itu dengan memanfaatkan
twitter, ia berhasil membuat
produknya dipakai oleh beberapa
artis untuk dipakai dalam
pengambilan gambar film.
"Misalnya Julia Peres, Lyra Virna,
Lia Ananta, Asti Ananta, Sheza
Idris dan masih banyak lagi".
Sementara itu menurut Wulan,
lebih efektif untuk menjual
produknya lewat jejaring sosial
karena pasar anak muda sekarang
lebih condong menggunakannya.
Dengan akun www.facebook.com/
miulan.hijab , Wulan memperoleh
pelanggan berlimpah bahkan tak
ayal ada orang yang meniru desain
bahkan namanya.
"Itu tidak masalah, yang penting
kita saat menjual saling percaya
saja. Menggunakan panggilan
akrab seperti 'sist dan cint'
ternyata efektif membuat
pelanggan merasa nyaman untuk
berbelaja," kata Wulan sambil
tersenyum.
Salah satu pelanggan Miulan, Dwi
Putri Normasari mengaku senang
dengan desain hijab yang
dihasilkan Wulan, ia pun selalu
menyempatkan diri membeli hijab
saat melewati butik Miulan.
"Disainnya lucu, harganya juga
terjangkau. Saya selalu mampir
dulu kalau lewat sini," katanya.
( Angling Adhitya Purbaya )
Sumber: http://m.detik.com/news/read/2012/11/17/150757/2093283/608/tsummadana-wulan-sukses-di-usia-muda-berkat-bisnis-hijab
Saturday, November 17, 2012
Thursday, November 8, 2012
Dulu Anton Mulai Usaha Kecap 'Nasional' Bermodal Ribuan, Kini Beromzet Miliaran
Tekad kuat mengantarkan Anton
Tanuwidjaya menjadi juragan kecap.
Di bawah merek Kecap Nasional,
bisnisnya bertahan hingga lebih
dari tiga dasawarsa dan mampu
bersaing dengan pemain besar lain.
Omzetnya sampai Rp 40 miliar
sebulan.
Sering makan bakso atau mi ayam
di pinggir jalan? Anda pasti sangat
familier dengan Kecap Nasional.
Merek kecap ini memang lebih
banyak dipasarkan untuk memenuhi
kebutuhan hotel, restoran, dan
katering (horeka) yang porsinya
sampai 80% dari total distribusi
Kecap Nasional.
Kecap Nasional adalah merek lokal
yang diproduksi di bawah bendera
PD Sari Sedap Indonesia,
perusahaan yang kantor pusatnya
di Bekasi, Jawa Barat. Selain
Nasional, Sari Sedap juga
memproduksi dua merek lain, yakni
Masa dan Cabe Gunung. Produknya
bukan hanya kecap, ada juga saus
dan sirop. Namun, kecap,
khususnya Kecap Nasional menjadi
andalan.
Menurut pemilik Sari Sedap, Anton
Tanuwidjaya, dari sisi volume
penjualan, saus justru menempati
porsi 65%-70% dari total produksi
Sari Sedap. Namun, lantaran harga
saus lebih murah ketimbang kecap,
kontribusi pendapatan dua produk
ini relatif sama. “Omzet per bulan
Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar
pria berumur 67 tahun ini.
Anton merasa sangat bersyukur
terhadap pencapaiannya saat ini
dan tak pernah membayangkan
bakal sesukses sekarang. Sebab,
saat mengawali usaha, dia hanya
ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Maklum, pria yang hanya
mengenyam pendidikan sampai
tingkatan sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) ini adalah perantau
asal Kalimantan Barat.
Lahir dan besar di Pontianak, Anton
semula bekerja sebagai pedagang
ayam di pasar. Kedua orang tuanya
berdagang bawang. Anak pertama
dari 11 bersaudara ini sadar bahwa
kehidupan di kota yang kala itu
belum maju tidak akan
membuatnya sukses. “Tahun 1971,
saya diajak saudara bekerja di
pabrik kertas di daerah Kota,
Jakarta,” katanya.
Bekerja di pabrik kertas dengan
upah minim memang membuat
Anton tidak cukup puas. Hingga,
suatu kali, dia bertemu dengan
kenalan yang mengajarkan cara
membuat kecap yang baik dan
enak. Kebetulan, di dekat pabrik
kertas tersebut, ada pabrik kecap.
Anton melihat pabrik itu sangat
maju. Dia punya keinginan untuk
masuk ke bisnis kecap.
Dengan modal awal dari tabungan
pribadi dan pinjaman saudara
sebesar Rp 3.000, dia keluar dari
pabrik kertas dan memberanikan
diri membuka usaha pembuatan
kecap pada tahun 1974. Anton
membikin sendiri resep kecap.
Awalnya, kapasitas produksinya
hanya 30 lusin botol ukuran 625
mililiter (ml) dalam sehari.
Merek perdana yang dipakai Anton
adalah Cabe Gunung dan Cap
Mangkok di bawah bendera usaha
Sari Sedap. Ia mendistribusikan
produk ini sendiri dengan
mengendarai sepeda, keliling
Jakarta.
Meski tak langsung berkembang
besar, bisnis kecap Anton cukup
stabil. Tahun 1978, dia
memindahkan usahanya ke Bekasi
lantaran pabriknya di Kota akan
kena gusur. Berlokasi di pabrik
baru ini, merek yang diproduksi
Sari Sedap makin beragam. Ada dua
merek baru: Nasional dan Masa.
Kapasitas produksinya juga mulai
naik menjadi 6.000–7.000 lusin
botol ukuran 625 ml per bulan.
Anton mengungkapkan, titik awal
geliat usahanya justru terjadi sejak
tahun 1997. Kala itu, kondisi
ekonomi Tanah Air sedang morat-
marit. Banyak perusahaan kecap,
baik skala besar maupun kecil,
gulung tikar. Akibatnya, banyak
produk kecap yang hilang di pasar.
Padahal, kebutuhan akan penyedap
masakan ini tetap ada, meski krisis
menghantam.
Berkah datang justru saat
musibah
Di tengah kondisi pasar seperti itu,
Sari Sedap bisa tetap bertahan
lantaran memiliki jaringan bisnis
yang kuat. Tak ayal, saat yang lain
susah, Sari Sedap justru kebanjiran
pesanan. “Stok kecap untuk tiga
bulan ke depan sampai ludes dan
saya harus menambah kapasitas
produksi serta para tenaga
penjual,” beber Anton.
Soal jaringan bisnis yang kuat,
Anton punya rahasia. Dia lebih
mengejar penjualan dalam sisi
volume ketimbang margin. “Saya
lebih memilih mendapat untung
tiga dari 10 pembeli ketimbang
untung tiga dari tiga pembeli,”
katanya memberikan gambaran.
Menurutnya, bisnis akan lebih kuat
berpijak jika besar pada sisi
volume.
Tak heran, harga jual produk kecap
buatan Anton bisa lebih miring
hingga 60% ketimbang kompetitor.
Meski harga lebih miring, dia
berani menantang kompetitor soal
kualitas.
Saat ini, kapasitas produksi Kecap
Nasional mencapai 100.000 lusin
botol ukuran 625 ml dan 30.000
lusin isi ulang (refill) per bulan.
Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang
seluas 15 hektare (ha) menyerap
hingga 1.600 karyawan. Hebatnya,
sejak dua tahun lalu, produk Sari
Sedap bahkan sudah diekspor ke
pasar mancanegara, seperti
Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Vancouver,
Kanada, dengan merek Sari Sedap
Indonesia.
Tahun ini, Sari Sedap berencana
meluncurkan produk kecap baru
yang kelasnya lebih premium.
Anton menjanjikan, kualitas produk
ini makin bagus. “Kami ingin
menyasar pasar ritel,” ungkapnya. (Anastasia Lilin Y )
sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/xml/dulu-anton-mulai-berusaha-bermodal-ribuan-kini-beromzet-miliaran-1
Tanuwidjaya menjadi juragan kecap.
Di bawah merek Kecap Nasional,
bisnisnya bertahan hingga lebih
dari tiga dasawarsa dan mampu
bersaing dengan pemain besar lain.
Omzetnya sampai Rp 40 miliar
sebulan.
Sering makan bakso atau mi ayam
di pinggir jalan? Anda pasti sangat
familier dengan Kecap Nasional.
Merek kecap ini memang lebih
banyak dipasarkan untuk memenuhi
kebutuhan hotel, restoran, dan
katering (horeka) yang porsinya
sampai 80% dari total distribusi
Kecap Nasional.
Kecap Nasional adalah merek lokal
yang diproduksi di bawah bendera
PD Sari Sedap Indonesia,
perusahaan yang kantor pusatnya
di Bekasi, Jawa Barat. Selain
Nasional, Sari Sedap juga
memproduksi dua merek lain, yakni
Masa dan Cabe Gunung. Produknya
bukan hanya kecap, ada juga saus
dan sirop. Namun, kecap,
khususnya Kecap Nasional menjadi
andalan.
Menurut pemilik Sari Sedap, Anton
Tanuwidjaya, dari sisi volume
penjualan, saus justru menempati
porsi 65%-70% dari total produksi
Sari Sedap. Namun, lantaran harga
saus lebih murah ketimbang kecap,
kontribusi pendapatan dua produk
ini relatif sama. “Omzet per bulan
Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar
pria berumur 67 tahun ini.
Anton merasa sangat bersyukur
terhadap pencapaiannya saat ini
dan tak pernah membayangkan
bakal sesukses sekarang. Sebab,
saat mengawali usaha, dia hanya
ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Maklum, pria yang hanya
mengenyam pendidikan sampai
tingkatan sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) ini adalah perantau
asal Kalimantan Barat.
Lahir dan besar di Pontianak, Anton
semula bekerja sebagai pedagang
ayam di pasar. Kedua orang tuanya
berdagang bawang. Anak pertama
dari 11 bersaudara ini sadar bahwa
kehidupan di kota yang kala itu
belum maju tidak akan
membuatnya sukses. “Tahun 1971,
saya diajak saudara bekerja di
pabrik kertas di daerah Kota,
Jakarta,” katanya.
Bekerja di pabrik kertas dengan
upah minim memang membuat
Anton tidak cukup puas. Hingga,
suatu kali, dia bertemu dengan
kenalan yang mengajarkan cara
membuat kecap yang baik dan
enak. Kebetulan, di dekat pabrik
kertas tersebut, ada pabrik kecap.
Anton melihat pabrik itu sangat
maju. Dia punya keinginan untuk
masuk ke bisnis kecap.
Dengan modal awal dari tabungan
pribadi dan pinjaman saudara
sebesar Rp 3.000, dia keluar dari
pabrik kertas dan memberanikan
diri membuka usaha pembuatan
kecap pada tahun 1974. Anton
membikin sendiri resep kecap.
Awalnya, kapasitas produksinya
hanya 30 lusin botol ukuran 625
mililiter (ml) dalam sehari.
Merek perdana yang dipakai Anton
adalah Cabe Gunung dan Cap
Mangkok di bawah bendera usaha
Sari Sedap. Ia mendistribusikan
produk ini sendiri dengan
mengendarai sepeda, keliling
Jakarta.
Meski tak langsung berkembang
besar, bisnis kecap Anton cukup
stabil. Tahun 1978, dia
memindahkan usahanya ke Bekasi
lantaran pabriknya di Kota akan
kena gusur. Berlokasi di pabrik
baru ini, merek yang diproduksi
Sari Sedap makin beragam. Ada dua
merek baru: Nasional dan Masa.
Kapasitas produksinya juga mulai
naik menjadi 6.000–7.000 lusin
botol ukuran 625 ml per bulan.
Anton mengungkapkan, titik awal
geliat usahanya justru terjadi sejak
tahun 1997. Kala itu, kondisi
ekonomi Tanah Air sedang morat-
marit. Banyak perusahaan kecap,
baik skala besar maupun kecil,
gulung tikar. Akibatnya, banyak
produk kecap yang hilang di pasar.
Padahal, kebutuhan akan penyedap
masakan ini tetap ada, meski krisis
menghantam.
Berkah datang justru saat
musibah
Di tengah kondisi pasar seperti itu,
Sari Sedap bisa tetap bertahan
lantaran memiliki jaringan bisnis
yang kuat. Tak ayal, saat yang lain
susah, Sari Sedap justru kebanjiran
pesanan. “Stok kecap untuk tiga
bulan ke depan sampai ludes dan
saya harus menambah kapasitas
produksi serta para tenaga
penjual,” beber Anton.
Soal jaringan bisnis yang kuat,
Anton punya rahasia. Dia lebih
mengejar penjualan dalam sisi
volume ketimbang margin. “Saya
lebih memilih mendapat untung
tiga dari 10 pembeli ketimbang
untung tiga dari tiga pembeli,”
katanya memberikan gambaran.
Menurutnya, bisnis akan lebih kuat
berpijak jika besar pada sisi
volume.
Tak heran, harga jual produk kecap
buatan Anton bisa lebih miring
hingga 60% ketimbang kompetitor.
Meski harga lebih miring, dia
berani menantang kompetitor soal
kualitas.
Saat ini, kapasitas produksi Kecap
Nasional mencapai 100.000 lusin
botol ukuran 625 ml dan 30.000
lusin isi ulang (refill) per bulan.
Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang
seluas 15 hektare (ha) menyerap
hingga 1.600 karyawan. Hebatnya,
sejak dua tahun lalu, produk Sari
Sedap bahkan sudah diekspor ke
pasar mancanegara, seperti
Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Vancouver,
Kanada, dengan merek Sari Sedap
Indonesia.
Tahun ini, Sari Sedap berencana
meluncurkan produk kecap baru
yang kelasnya lebih premium.
Anton menjanjikan, kualitas produk
ini makin bagus. “Kami ingin
menyasar pasar ritel,” ungkapnya. (Anastasia Lilin Y )
sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/xml/dulu-anton-mulai-berusaha-bermodal-ribuan-kini-beromzet-miliaran-1
Kategori:
Kuliner
Thursday, November 1, 2012
Bisnis Mobil-mobilan Kayu Pak Marsa'ad Ini Sudah Menembus Hingga Eropa
Jakarta - Hampir semua bocah
laki-laki menyukai mainan mobil-
mobilan. Siapa sangka jika hampir
semua mainan mobil-mobilan kayu
yang dijual di pasar DKI Jakarta,
merupakan hasil kerajinan tangan
pabrik U.D Senang Anak milik Pak
Marsa'ad.
"Saya mulai usaha ini tahun 1977.
Awalnya iseng-iseng karena
kerjaan saya sebelumnya
bangkrut," ujar Marsa'ad ketika
ditemui detikFinance di tokonya,
Kalibata, Jakarta, Minggu
(3/8/2008).
Inspirasi pria berusia 57 tahun ini
datang dari keinginannya untuk
membuat usaha yang dapat
menyenangkan anak-anak.
"Saya pikir, siapa sih yang tidak
suka mainan mobil-mobilan," ujar
Marsa'ad.
Dengan modal sekedarnya,
pengusaha yang memiliki nama
asli Umar ini mulai membuka
usaha ini. Ia kemudian bekerja
sama dengan pemilik lahan di
Kalibata untuk membuka toko
disana.
"Jadi saya kerjasama dengan
pemilik lahan. Dia sediakan lahan,
saya produknya. Sistem
pembagiannya dengan bagi hasil,"
jelas Marsa'ad.
Pabrik mainan ini terletak di
wilayah Karawang. Pabriknya pun
bukan pabrik besar dengan
teknologi canggih, melainkan
pabrik industri rumahan.
"Jadi di Karawang, saya
menerapkan sistem pesan
borongan pada pabrik-pabrik
rumahan disana," ujar Marsa'ad.
Sistem pesan borongan yang
dimaksud Marsa'ad adalah sistem
beli berdasarkan unit, dan
pembayaran dilakukan berdasarkan
jumlah unit yang dibuat. Dalam
terminologi modern, sistem beli
putus ala pak Marsa'ad ini mirip
dengan sistem outsourcing.
"Karena kalau pakai sistem gaji
agak repot. Kalau mereka lagi
malas, hasil unitnya sedikit, saya
tetap harus menggaji mereka,"
jelas Marsa'ad.
Mekanisme produksi yang tidak
terintegrasi inilah yang
dipertahankan oleh Marsa'ad
selama 30 tahun lebih. Dalam
perjalanannya, rupanya dengan
mekanisme seperti itu, usaha pak
Marsa'ad pernah mengalami
kejayaan.
"Jumlah pengrajin kami pernah
mencapai 200 orang. Ketika itu
produksi sangat banyak sekali,
bahkan sampai diekspor ke
Belanda, Jerman, Australia dan
Jepang," papar Marsa'ad.
Ketika itu pun produk kerajinan
ala pak Marsa'ad ini dijual di
berbagai kota di Indonesia seperti
Bekasi, Bogor, Tangerang,
Palembang, Cirebon hingga
Semarang.
"Sampai sekarang pun sebenarnya
permintaan masih sangat tinggi,
namun tidak bisa kami penuhi
karena pengrajin kami saat ini
jumlahnya tinggal 40 orangan,"
ujar Marsa'ad.
Menurut pak Marsa'ad, kondisi
ekonomi menjadi faktor utama
yang menyebabkan penyusutan
jumlah tenaga kerja pabriknya.
Jika dulu U.D Senang Anak mampu
memproduksi 37 tipe mobil-
mobilan, kini berkurang separuh
menjadi 18 tipe saja.
Penyusutan jumlah pengrajin juga
memangkas produksi mainan
mobil-mobilan menjadi maksimal
500 unit saja satu bulannya.
"Padahal, permintaan dari Belanda
atau Jerman misalnya, mereka
biasanya minta 200 unit sekaligus
per negara," ujar Marsa'ad.
Masalah tenaga kerja rupanya
cukup menghambat pengembangan
usaha pak Marsa'ad. Sistem pabrik
tidak terintegrasi yang telah
berjalan selama 30 tahun lebih
mulai dipertanyakan oleh pak
Marsa'ad.
"Dengan keadaan seperti ini, saya
berpikir untuk bikin pabrik.
Namun modalnya cukup besar
sekitar Rp 300-500 jutaan. Modal
tersebut untuk membeli gudang,
mesian dan sebagainya," ujar
Marsa'ad.
Seandainya pabrik terintegrasi
sudah terwujud, tentu masalah-
masalah ketenagakerjaan dapat
lebih dikendalikan. Apalagi
menurut Pak Marsa'ad, dari segi
permintaan jumlahnya sangat
tinggi, jadi prospek usaha ini ke
depan bukanlah suatu hal yang
perlu dikhawatirkan.
"Buktinya, di tengah kenaikan
BBM seperti ini, ketika kami
menaikkan harga jual, permintaan
tidak berkurang," ujar Marsa'ad.
Saat ini harga jual produk pak
Marsa'ad berkisar antara Rp 35
ribu hingga Rp 175 ribu per
unitnya. Modal yang dibutuhkan
berkisar antara Rp 23 ribu hingga
Rp 125 ribu per unit.
"Namun untuk bikin pabrik, kami
terbentur modal. Ingin
mengajukan ke bank, tapi kami
tidak punya agunan. Lagipula bank
juga tidak percaya dengan usaha
ini," ujar Marsa'ad.
Meski memiliki pabrik masih
menjadi impian, namun ia
berharap dapat mewujudkan cita-
citanya suatu hari nanti, entah
dengan modal sendiri maupun
bekerja sama dengan pemodal
pihak luar.( Indro Bagus SU)
Tertarik investasi disini:
Hubungi:
U.D Senang Anak
Jl Raya Pasar Minggu No 46,
Kalibata Timur, Jakarta Selatan.
Marsa'ad alias Umar
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/04/083338/982261/480/
laki-laki menyukai mainan mobil-
mobilan. Siapa sangka jika hampir
semua mainan mobil-mobilan kayu
yang dijual di pasar DKI Jakarta,
merupakan hasil kerajinan tangan
pabrik U.D Senang Anak milik Pak
Marsa'ad.
"Saya mulai usaha ini tahun 1977.
Awalnya iseng-iseng karena
kerjaan saya sebelumnya
bangkrut," ujar Marsa'ad ketika
ditemui detikFinance di tokonya,
Kalibata, Jakarta, Minggu
(3/8/2008).
Inspirasi pria berusia 57 tahun ini
datang dari keinginannya untuk
membuat usaha yang dapat
menyenangkan anak-anak.
"Saya pikir, siapa sih yang tidak
suka mainan mobil-mobilan," ujar
Marsa'ad.
Dengan modal sekedarnya,
pengusaha yang memiliki nama
asli Umar ini mulai membuka
usaha ini. Ia kemudian bekerja
sama dengan pemilik lahan di
Kalibata untuk membuka toko
disana.
"Jadi saya kerjasama dengan
pemilik lahan. Dia sediakan lahan,
saya produknya. Sistem
pembagiannya dengan bagi hasil,"
jelas Marsa'ad.
Pabrik mainan ini terletak di
wilayah Karawang. Pabriknya pun
bukan pabrik besar dengan
teknologi canggih, melainkan
pabrik industri rumahan.
"Jadi di Karawang, saya
menerapkan sistem pesan
borongan pada pabrik-pabrik
rumahan disana," ujar Marsa'ad.
Sistem pesan borongan yang
dimaksud Marsa'ad adalah sistem
beli berdasarkan unit, dan
pembayaran dilakukan berdasarkan
jumlah unit yang dibuat. Dalam
terminologi modern, sistem beli
putus ala pak Marsa'ad ini mirip
dengan sistem outsourcing.
"Karena kalau pakai sistem gaji
agak repot. Kalau mereka lagi
malas, hasil unitnya sedikit, saya
tetap harus menggaji mereka,"
jelas Marsa'ad.
Mekanisme produksi yang tidak
terintegrasi inilah yang
dipertahankan oleh Marsa'ad
selama 30 tahun lebih. Dalam
perjalanannya, rupanya dengan
mekanisme seperti itu, usaha pak
Marsa'ad pernah mengalami
kejayaan.
"Jumlah pengrajin kami pernah
mencapai 200 orang. Ketika itu
produksi sangat banyak sekali,
bahkan sampai diekspor ke
Belanda, Jerman, Australia dan
Jepang," papar Marsa'ad.
Ketika itu pun produk kerajinan
ala pak Marsa'ad ini dijual di
berbagai kota di Indonesia seperti
Bekasi, Bogor, Tangerang,
Palembang, Cirebon hingga
Semarang.
"Sampai sekarang pun sebenarnya
permintaan masih sangat tinggi,
namun tidak bisa kami penuhi
karena pengrajin kami saat ini
jumlahnya tinggal 40 orangan,"
ujar Marsa'ad.
Menurut pak Marsa'ad, kondisi
ekonomi menjadi faktor utama
yang menyebabkan penyusutan
jumlah tenaga kerja pabriknya.
Jika dulu U.D Senang Anak mampu
memproduksi 37 tipe mobil-
mobilan, kini berkurang separuh
menjadi 18 tipe saja.
Penyusutan jumlah pengrajin juga
memangkas produksi mainan
mobil-mobilan menjadi maksimal
500 unit saja satu bulannya.
"Padahal, permintaan dari Belanda
atau Jerman misalnya, mereka
biasanya minta 200 unit sekaligus
per negara," ujar Marsa'ad.
Masalah tenaga kerja rupanya
cukup menghambat pengembangan
usaha pak Marsa'ad. Sistem pabrik
tidak terintegrasi yang telah
berjalan selama 30 tahun lebih
mulai dipertanyakan oleh pak
Marsa'ad.
"Dengan keadaan seperti ini, saya
berpikir untuk bikin pabrik.
Namun modalnya cukup besar
sekitar Rp 300-500 jutaan. Modal
tersebut untuk membeli gudang,
mesian dan sebagainya," ujar
Marsa'ad.
Seandainya pabrik terintegrasi
sudah terwujud, tentu masalah-
masalah ketenagakerjaan dapat
lebih dikendalikan. Apalagi
menurut Pak Marsa'ad, dari segi
permintaan jumlahnya sangat
tinggi, jadi prospek usaha ini ke
depan bukanlah suatu hal yang
perlu dikhawatirkan.
"Buktinya, di tengah kenaikan
BBM seperti ini, ketika kami
menaikkan harga jual, permintaan
tidak berkurang," ujar Marsa'ad.
Saat ini harga jual produk pak
Marsa'ad berkisar antara Rp 35
ribu hingga Rp 175 ribu per
unitnya. Modal yang dibutuhkan
berkisar antara Rp 23 ribu hingga
Rp 125 ribu per unit.
"Namun untuk bikin pabrik, kami
terbentur modal. Ingin
mengajukan ke bank, tapi kami
tidak punya agunan. Lagipula bank
juga tidak percaya dengan usaha
ini," ujar Marsa'ad.
Meski memiliki pabrik masih
menjadi impian, namun ia
berharap dapat mewujudkan cita-
citanya suatu hari nanti, entah
dengan modal sendiri maupun
bekerja sama dengan pemodal
pihak luar.( Indro Bagus SU)
Tertarik investasi disini:
Hubungi:
U.D Senang Anak
Jl Raya Pasar Minggu No 46,
Kalibata Timur, Jakarta Selatan.
Marsa'ad alias Umar
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/04/083338/982261/480/
Subscribe to:
Posts (Atom)