Perhelatan Java Jazz Festival 2011 pada awal Maret lalu di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, bisa dibilang sukses besar. Sebab, ajang ini dihadiri sejumlah bintang jaz kelas dunia, seperti Santana, George Benson, Kenny Logins, Joey De Francesco, Charlie Hadden, Roy Ayers, Maria Schneider, Sondra Lerche, dan Corinne Bailey Rae. Tiket pertunjukannya pun diserbu penggemar.
Di balik ingar-bingar pelaksanaannya, ada satu mitra pendukung penting yang patut mendapat apresiasi, khususnya di bidang sound system, yakni Silver Crest. Merek lokal inilah yang berperan menyediakan sistem amplifier di ajang jaz dunia ini, lewat produk andalannya, Java Jazz Series Amplifier. Amplifier ini menjadi produk lokal satu-satunya yang dipercaya mendukung suksesnya pelaksanaan ajang musik jaz itu. Silver Crest sendiri sudah terlibat sebagai mitra pendukung di ajang ini sejak 2009.
Perusahaan pemilik dan pengelola merek Silver Crest bermarkas di Bandung. Pabriknya ada di empat lokasi yaitu di Kopo (dua lokasi), Padalarang (Jawa Barat), dan Soekarno-Hatta (Bandung) – dengan total karyawan mencapai 95 orang. Menurut Sufun, karyawan Divisi Pembelian MG Sports & Music, di jaringan gerainya, Silver Crest merupakan satu dari dua produk lokal terbesar yang paling diminati konsumen. “Kelebihannya, harganya kompetitif dan kualitasnya bagus,” ujarnya.
Produk Silver Crest saat ini meliputi amplifier untuk gitar, amplifier bas, amplifier keyboard, dan professional audio system. Produknya sudah terdistribusi, dari Medan hingga Papua. Bahkan, sejak 2010 produk ini telah dipasarkan di Singapura, Thailand dan Filipina. Kini Silver Crest sedang dipersiapkan untuk diekspor ke pasar Eropa (Belanda dan Jerman). Peter Gontha, sang komandan ajang Java Jazz, juga ingin membawa produk buatan Silver Crest ke Los Angeles, Amerika Serikat. Total ekspor produk Silver Crest hingga saat ini baru 10% dari total produksi.
Produk amplifier dan audio system Silver Crest yang istimewa itu lahir dari tangan dingin pria berrpostur tinggi besar dan berkacamata minus bernama Remy Joe. Padahal, lulusan Universitas Parahyangan (Bandung) Jurusan Administrasi Niaga (angkatan 1980) ini mengaku tak bisa bermain satu alat musik pun dan tak mengerti banyak soal elektronik. Pengalaman terbesar pria low profile dan ramah ini adalah bekerja di ranah musik. Memang sejak tahun 1984, di usia 23 tahun, Remy bekerja di perusahaan (pabrik) alat musik terbesar di Indonesia saat itu, PT Tiga Negeri Raya (TNR). Di sini ia memulai karier dari staf biasa, hingga mencapai posisi vice president, dan ia memutuskan keluar pada1992.
Menurut pria kelahiran Sukabumi 50 tahun lalu ini, kontribusi terbaik yang pernah ia lakukan di TNR adalah menjadikannya sebagai salah satu perusahaan teladan dalam penilain Bapeksta/P4BM. Selain itu, ia berhasil menjadikan produk TNR dengan merek Prince sebagai market leader untuk pasar Indonesia di kategori amplifier, gitar akustik dan elektrik, drum, dan speaker. Bahkan, TNR saat itu merupakan satu-satunya perusahaan alat musik yang produknya ikut tampil di panggung internasional seperti Nan Show di AS dan Frankfurt Messe di Jerman. Tak heran, Remy mengaku belajar banyak hal di perusahaan ini mulai dari masalah industrinya hingga seluk-beluk impor.
Bergelut 12 tahun di industri alat musik, membuat pria bernama asli Remigio Jualim ini jenuh. Ia pun mencoba pekerjaan lain yaitu di PT Boga Rejeki yang berkiprah di bisnis department store, supermarket dan distributor air. Ia langsung menduduki posisi direktur pemasaran. Namun, tak seperti sebelumnya, di perusahaan ini ia hanya bertahan satu tahun. Pada 1993 ia pindah ke PT Irama Nada Agung (sekarang Bahana Nada), perusahaan importir dan distributor alat musik dan sound system, dengan posisi sebagai direktur pengelola.
Lagi-lagi, ia tak bertahan cukup lama dan memutuskan keluar pada 1997. Kali ini alasannya karena ingin membangun usaha sendiri. Berdirilah pada tahun itu, perusahaan bernama Intermusik Relasi Abadi yang juga bergerak di bidang alat musik dan sound system.
Tahun 2002, Remy meluncurkan merek Silver Crest di bawah bendera Sinergi Musik. “Silver Crest itu merek milik saya sendiri,” ujar pria kelahiran 8 Maret 1961 ini. Menurut Remy, nama Silver Crest terinspirasi dari merek Crest Audio yang tahun 2002 terkenal dengan power amplifier-nya. “Orang kita kan masih luar negeri minded,” katanya beralasan.
Keputusan Remy memproduksi amplifier dengan merek Silver Crest, sebenarnya juga lantaran pemain pentingnya, TNR, bangkrut. Pada 2002, Remy mengaku tak lagi melihat produk TNR di pasar. “Saya langsung melihat itu sebagai peluang,” ujarnya. Dan tanpa pikir panjang ia memutuskan untuk mendirikan pabrik amplifier.
Alhasil, Remy jadi punya dua perusahaan, yakni Intermusik yang mengurusi distribusi, dan Sinergi Musik untuk bisnis manufakturnya. Jika sebelumnya ia hanya membuat produk dengan merek sendiri, mulai 2011 Silver Crest juga melayani permintaan outsourcing untuk produksi (maklun) selaku OEM. Total investasi pembangunan pabriknya mencapai sekitar Rp 6 miliar, dengan kapasitas terpakai 90%.
Dari waktu ke waktu, produksi Sinergi Musik terus tumbuh. Pada awal berdirinya, total produksi hanya 200 unit/bulan atau 2.500-3.000 unit per tahun. Namun saat ini produksinya telah mencapai 10 ribu unit per tahun, yang 80% merupakan produk amplifier dan 20% speaker. “Saya coba seimbangkan persentasenya, mungkin akan menjadi 60%-40%.” Harga produk Silver Crest bervariasi, mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 3 juta per unit. Remy mengklaim, harga yang disodorkan perusahaannya ini lebih murah 40%-50% dibanding produk impor sejenis.
Latar belakang Remy memang bukan dari kalangan penggemar elektronik. Sebaliknya ia mengaku malah menyukai dunia pemasaran. Karena itu, untuk menggali pengetahuan seputar amplifier model terbaru atau yang paling diminati, ia kerap menyurvei ke toko musik (diler), musisi dan juga mencari lewat Internet. “Saya sering mengobrol dengan para diler dan musisi. Saya dapat anugerah dari Tuhan kalau saya punya banyak ide. Contohnya, Pak Peter, tidak menyangka saya akan membuatnya (Java Jazz Series Amplifier) dari rotan,” katanya bangga.
Sesekali, Remy merasa perlu pergi ke pameran di luar negeri. Dari sini ia mendapat gambaran utama mengenai desain dan tingkat kemajuan teknologi mereka. Yang juga penting adalah faktor harga. Yang jelas, dari segi model dan teknologi, menurut Remy, Indonesia berkiblat ke AS dan Eropa.
Dari sisi pemasaran, jika sebelumnya target pasar Silver Crest kalangan menengah-bawah, sekarang Remy menyiapkan produk untuk kalangan atas. “Kami sudah membuat ampli yang khusus (custom amplifier). Ini bukan produksi massal tapi satuan untuk orang perorangan,” ujarnya. Contohnya, acara Budjana Series by Silver Crest diperuntukkan bagi Budjana. Menurut Remy, ia bekerja sama dengan pemilik merek dalam bentuk pemberian royalti ketika produknya terjual di pasaran.
Remy berpendapat, punya lini produk kelas atas penting sekali untuk membangun citra, meskipun dari segi kuantitas masih kecil, yaitu 10%-15% saja. Ia pun menggunakan kalangan musisi top sebagai endorser. Ia menjelaskan, biasanya endorser dipakai oleh produk luar. “Karena itu, mereka (musisi) biasanya sudah pasang tarif.” Tarifnya tentu tergantung kelasnya. “Nah, saya tidak ingin seperti itu karena rasa memiliki mereka jadi tidak ada. Saya buat pemikiran, jangan mempersoalkan berapa uang yang dibayarkan, tapi saya cuma ingin coba ampli ini. Kalau mau, harus dipakai,” Remy memberikan ulasan panjang lebar.
Untuk pemasaran produknya, Remy mengaku hanya memanfaatkan strategi dari mulut ke mulut (WOMMarketing). Ia berusaha meyakinkan kalangan musisi atau para pengarah musik. Selain itu, ia bersama stafnya pun terjun langsung ke toko musik bertemu pemiliknya sembari membawa produk contoh untuk didemokan.
Remy kini boleh berbangga, karena hingga saat ini ada 160-an diler yang memasarkan produk Silver Crest. Menurut Remy, potensi pasar musik di Indonesia sangat besar, karena pasar yang digarap hingga sekarang baru mencapai 15%. Itulah sebabnya, ia sangat optimistis dengan industri ini.
Lalu bagaimana dengan persaingan? “Produk saya saat ini ada di tiga besar, karena lumayan berat persaingannya,” katanya mengklaim. Remy menjelaskan, pasar amplifier merupakan pasar yang crowded, terutama di kelas bawah. “Banyak yang asal bunyi dan asal kencang suaranya.” Kisaran harga amplifier murah ini Rp 200-500 ribu per unit. “Sedangkan kami bermain di pasar profesional, sehingga mementingkan kualitas,” ujarnya tegas.
Komitmennya pada kualitas mendorongnya menjalin jejaring perkawanan dengan berbagai pihak. Contohnya, Peter Gontha. Dua tahun lalu (2009), ia diminta Peter mendisplai amplifier SC di Java Jazz Festival. Tahun 2010, SC mendapat panggung untuk melengkapi aksi band luar (asing). Dan pada Oktober 2010 Peter membuat kontrak dengannya untuk membuat Java Jazz Series. Awalnya, pada produk ini tak dicantumkan merek Silver Crest. Namun Peter sendiri yang memutuskan untuk memakai merek tersebut.
Ternyata produk yang menggunakan casing dari rotan ini sudah masuk ke Istana. Bahkan Presiden SBY sudah mencobanya. Menurut Remy, ia sengaja menggunakan bahan rotan pada produk yang berharga Rp 4 juta per unit ini karena ia ingin menunjukkan sisi khas Indonesia.
Menonjolkan kekhasan Indonesia dan kampanye produk dalam negeri menjadi poin penting bagi produk amplifier Java Jazz Series. Itulah sebabnya ia juga gencar memperkenalkan produknya ke berbagai kalangan terutama para pejabat pengambil keputusan. Dengan bangga ia mengaku Menteri Perindustrian M.S. Hidayat sudah memberi tanda tangan di produknya. Saat ini, amplifier merek Silver Crest memang sudah termasuk salah satu produk lokal yang direferensikan dalam Program Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri. (oleh : Yuyun Manopol)
sumber: http://swa.co.id/2011/10/perjuangan-remy-joe-usung-silver-crest-ke-panggung-dunia/
No comments:
Post a Comment