Sunday, April 14, 2013

Ujang Sasmita, Tamatan STM yang Kini Sukses Bisnis Timah dengan Omzet Hingga Rp 300 juta per Minggu

Ujang Sasmita, Bisnis Timah Tanpa Kredit Macet

 

Membeli dan menjual dengan tunai,

itulah rahasia keberhasilan bisnis

timahnya hingga bero1eh omzet hingga

Rp 300 juta per minggu. Padahal,

di awal ia justru harus bergulat

membayar utang yang ditinggalkan

usaha ayahnya.

 

 

EMPAT buah mobil pribadi dan sebuah truk

di garasi rumahnya menjadi salah satu bukti

 

keberhasilannya menjalani bisnis ini.

 

Di masa kecilnya, Ujang Sasmita ikut

 

mengerjakan pesanan timah dari bisnis

 

ayahnya hingga mengantar barang dari

 

desanya di Cisaat, Sukabumi ke Jakarta.

Setelah menyelesaikan Sekolah Teknik

 

Menengah (STM, sekarang namanya menjadi

SMK-Sekolah Menengah Kejuruan) tahun 1979,

 

ia hanya sempat menjalani kuliah selama

 

satu tahun. Sebagai anak tertua, Ujang

 

mengalah demi adik-adiknya yang berjumlah

10 orang. Mundur dari bangku kuliah, Ujang

 

langsung terjun membantu usaha ayahnya.

 

“Toh, kuliah nanti ujung-ujungnya cari duit

juga,” cetus Ujang yang tak pernah terpikir ingin

menjadi pegawai seperti kebanyakan orang.

Usaha timah keluarganya belum juga terbilang

 

sukses. Malah pada tahun 2000, usaha

itu terlilit utang yang cukup besar. Ujang pula

yang harus menanggungnya. Dalam waktu

4 bulan, dia berhasil melunasi utang usaha

ayahnya. Namun, kejadian ini membuat Ujang

mulai berpikir untuk membuat usaha sendiri,

memisahkan diri dari bisnis keluarga. Apalagi

dia pun sudah memiliki keluarga sendiri.

Penghasilan Rp 10 ribu per hari dari menjalani

usaha timah dengan ayahnya dirasa tidak cukup

untuk menghidupi keluarga.

Kesulitan yang sering dialami ayahnya

hingga terlilit utang menjadi pelajaran yang

amat berharga. Dia tidak menerapkan cara

yang pernah dilakukan ayahnya dulu. Uang

pemasukan yang seharusnya diputar kembali

untuk usaha, malah dipakai untuk kebutuhan

keluarga, sehingga yang terjadi adalah besar

pengeluaran ketimbang pemasukan. Namun dia

 

mengerti, saat itu ayahnya tidak bisa berbuat

banyak, mengingat anaknya cukup banyak.

Dengan pinjaman dari bank bjb, Ujang

memutar uangnya untuk membayar utang,

menambah modal, juga membiayai kebutuhan

keluarganya. Dengan kegigihannya, Ujang

 

berhasil memiliki rumah yang layak tahun 2008,

yang ditinggali bersama istri dan 3 putranya.

Bahkan tahun 2010, Ujang bersama sang istri

bisa beribadah haji ke Tanah Suci.

MEMBUAT BISNIS SENDRI

Kegigihan Ujang menyelesaikan utang ayahnya

Itulah yang menarik minat bank bjb memberikan

pinjaman awal Rp 17 juta pada tahun 2002 untuk

membuka usahanya sendiri. Ujang mendapat

waktu setahun untuk melunasi utang berikut

bunganya. Dengan modal pengalaman bekerja

dengan ayahnya dan pinjaman dari bank bjb,

mulailah Ujang membuka usaha timah yang

diberi nama Agung Sejahtera.

Awal tahun 2002, Ujang menerima order

bandul pemberat alat pancing dari seorang

 

distributor di Pasar Ikan, Jakarta. Distributor

ini pun menjadi tempat pemasaran utama

batu alat pancing Ujang. Distributor tersebut

meminta Ujang eksklusif menjual hanya kepadanya,

 

dan selanjutnya distributor tersebut yang

mengedarkan ke agen atau toko, baik di Jakarta,

Pulau Jawa, hingga ke daerah-daerah di Pulau

Sumatera dan Kalimantan.

Setiap minggu Ujang mengirim 10 ton timah

untuk menyuplai distributor itu. Namun selain ke

 

Pasar Ikan, Ujang juga menyuplai pesanan dari

Glodok dan beberapa pusat pertokoan. “Cuma

yang paling continue adalah timah bandulan

buat kebutuhan nelayan ke laut, yang nerimanya

itu grosir,” kisahnya. Tapi Ujang sudah membuat

patokan, melayani 3 tempat saja sudah cukup.

 

“Segitu juga saya sudah kenyang,” cetusnÿa.

Dalam seminggu dia minimal mengantongi Rp

150 juta untuk penjualan batu alat pancing.

Pada tahun pertamanya, Ujang mendulang

sukses. Order untuk membuat bandul timah alat

pancing sangat banyak. Dalam seminggu, ia bisa

membeli 15 ton timah, yang kemudian diolahnya

menjadi barang sesuai keinginan pemesan.

Utangnya pun bisa dilunasi tepat waktu, hingga

pinjaman terus dikucurkan oleh bank bjb.

 

Pinjamannya meningkat menjadi Rp 35 juta,

 

kemudian naik menjadi Rp 75 juta, dan tahun 2011

Ujang beroleh pinjaman hingga Rp 300 juta.

Ujang memulai usahanya dengan bekerja

sendiri. Mulai dari menerima order, melakukan

pencetakan, hingga memasarkannya. Pengalaman

 

bekerja dengan bapaknya menjadi modal

penting, sehingga dia tahu semua ‘jeroan’ bisnis

timah ini.

THE STOCK IS READY!

Namun, bandul pemberat alat pancing bukan

satu-satunya produk yang dihasilkan dari usaha

timah Ujang. Dia juga menerima order apa pun,

sesuai yang diinginkan pemesan. Misalnya

saja, dia pernah menerima pesanan timah segel

listrik dari PLN ketika terjadi gempa Padang

yang menghancurkan instalasi listrik di sana.

 

Dan, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi

dengan cepat dari Ujang.

Rupanya Ujang memiliki kelebihan dari

perajin timah lainnya, yakni selalu menyediakan

stok timah. Ketika order datang, Ujang tidak

perlu lagi mencari-cari bahan. Dan dalam waktu

2 bulan, order tersebut segera dikirim ke PLN di

Sunter. Dari situ, Ujang mendapat omzet Rp 700

juta. “Waktu itu saya punya 25 ton timah keluar

semua. Uang pun langsung dapat,” ujar pria

berusia 53 tahun ini dengan senang.

Untuk mendapatkan bahan baku timah, Ujang

tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya,

Ujang tidak hanya memegang satu supplier

saja. Ada 3 penyuplai timah yang menjadi

supplier-nya, yakni dari daerah Cinangeng

Bogor, Tangerang, dan Buah Batu-Bandung.

Ketiga supplier ini didapatnya berdasarkan

pengalaman sewaktu bekerja dengan ayahnya,

juga informasi dari sesama perajin timah.

Harga yang didapatnya dari ketiga supplier

ini pun cukup kompetitif. Jika harga pasar Rp 22

ribu, Ujang bisa mendapatkannya dengan harga

Rp19.500. Paling tinggi seharga Rp19.750. Namun

untuk mendapatkan harga yang ‘manis’ itu, sistem

pembayaran yang dilakukan Ujang juga harus

‘manis’: ia tidak pernah berutang. Bahkan, Ujang

berusaha untuk selalu membayar di muka.

 

“Saya main di uang, bukannya sombong,

ya. Tapi saya lebih suka sistem cash untuk

bayar, bukan sistem bon. Jadi dia punya

barang, saya punya uang. Kalau main timah

kita secara bon harganya bisa beda, walaupun

jeda pembayarannya cuma seminggu. Makanya

saya selalu bayar tunai. Ada perbedaan Rp300—

Rp400 saja, kalau saya bayarnya cash, harga bisa

ditekan,” terang Ujang yang bisa mendapatkan

keuntungan dari selisih harga bahan baku Rp

1 juta untuk setiap 4 ton baku timah. Dia juga

 

menyebut hal ini sebagai salah satu rahasia

usahanya, dibandingkan dengan perajin timah

lainnya.

Khusus untuk bandul pemberat alat pancing,

Ujang bisa memproduksi hingga berbagai bentuk

dan ukuran. Menurut catatannya, ada sekitar

l00 jenis bandul, mulai dari bandul sebesar

pentol korek api hingga seberat 1 kilogram.

Setiap jenis harus memiliki matres atau cetakan

masing-masing.

Untuk mendapatkan cetakan ini, Ujang harus

merogoh kocek yang tidak sedikit. Dia harus

 

membayar setidaknya Rp 1 juta untuk satu cetakan.

Sementara untuk 1 ukuran bandul saja, Ujang

harus memiliki antara 7 hingga 10 cetakan. Bisa

dibayangkan, berapa dana tunai yang harus

 

dikeluarkan untuk itu. Cetakan tersebut memang

wajib dimiliki karena akan mempermudah,

 

mempercepat pembuatan, juga menghasilkan ukuran

barang yang tepat sesuai pesanan.

“Tapi, saya membelinya secara bertahap.

Begitu ada uang, beli matres. Enggak langsung

semua, saya bisa babak belur,” kelakarnya.

Investasi Ujang di matres memang tidak main-

main. Menurut catatannya, ada yang dibeli

dengan harga Rp 1 miliar. Setelah empat tahun,

barulah ia memiliki seluruh matres yang di

perlukan.

 

Meskipun sederhana, matres adalah salah satu

bentuk teknologi yang mempermudah usahanya.

Karena itu Ujang tak segan mengeluarkan uang.

Demikian pula ia terus menambah teknologi

untuk mendukung produksinya, salah satunya

dengan membeli mesin injection baru. Ia pun

merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti

dengan teknologi yang semakin canggih.

SIMBIOSIS MUTUALISME

Bisnis pada dasarnya merupakan pertukaran

yang sama-sama menguntungkan. Ujang

 

mengikuti hal ini. Ia hanya akan membuat barang

 

berdasarkan pesanan pelanggan. “Dalam hal produk,

sih, saya bukannya sombong. Selama ini setiap

ada pesanan, apa pun bentuk dan modelnya, saya

bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa

pun,” ujar Ujang. Yang penting baginya adalah

mengikuti keinginan pasar.

Ujang juga amat pintar menyenangkan para

langganannya. Apa pun pesanan distributor,

dia bisa membuat dengan hasil bagus dan

memuaskan. Selain itu dia tidak pernah ingkar

janji soal waktu. Jika dijanjikan barangnya

selesai dalam 3 hari, maka dalam 3 hari itu pun

barang sudah dikirim. Baginya, permintaan

pelanggan, baik berupa bentuk maupun waktu,

merupakan tantangan yang harus diatasinya.

 

Dan untungnya, dia tidak pernah mendapatkan

kendala yang berarti. “Kalau sampai membuat

pelanggan kecewa, saya bakalan enggak jualan

timah lagi, jualan pisang saja,” ujarnya serius.

Karena itu, soal ketepatan waktu dan janji amat

dipegangnya.

Hal itu juga berlaku pada janjinya kepada

distributor di Pasar Ikan bahwa Ujang tidak

menyuplai ke agen-agen atau toko-toko kecil.

Ujang sudah merasa sangat cukup hanya dengan

mendapat order dari distributor tersebut.

Namun, ada pula imbal balik yang dimintanya

dari distributor tersebut: Pembayaran dilakukan

 

secara tunai, tidak utang. Dengan cara demikian

uang yang diputar kembali untuk bisnisnya

berjalan dengan lancar dan risikonya dimitigasi

menjadi nol. “Saya membeli timah dari supplier

secara tunai, menjual pun harus dibayar tunai,”

tandasnya.

Untuk sistem pembayaran, Ujang lebih memilih

 

mentransfer dana. “Jarang saya kasihkan

uang, misalnya l00 juta, ya main transfer aja.

Paling cuma kasih Rp 20 juta sampai Rp 30

juta tunainya,” terang Ujang, yang menilai

pembayaran dengan cash amat memperlancar

usahanya, sehingga tidak ada ‘kredit macet’.

 

Ujang berkeyakinan, usahanya tidak akan

mati. Apalagi suplai timah diyakininya akan

terus ada. Selain itu, banyak pula produk

yang membutuhkan timah, seperti aki mobil.

Jadi, selama mobil terus diproduksi, maka

kebutuhan akan timah pun terus ada. Apalagi,

dari pengalamannya selama ini, dalam bisnis

timah tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan

ampas atau abu timah buangan produksi pun

bisa laku dijual. Dalam sebulan, hasil penjualan

abu timah ini saja mencapai Rp 15 juta hingga

Rp 16 juta.

Akan halnya keberadaan perajin timah lain,

bagi Ujang hal itu dapat menyehatkan usahanya.

Pasalnya, ia jadi bisa mempelajari perbedaan

 

pengelolaan usaha timah. Misalnya, salah satu

perajin timah di Jakarta yang bahan bakunya

menggunakan timah bekas atau timah rongsok.

Sementara, Ujang cenderung memanfaatkan timah

 

batangan atau timah bekas aki yang bobotnya

 

berkisar 22-35 kilogram per batang.

“Saya memutuskan untuk berani berspekulasi

di bahan baku. Mahal sedikit, enggak masalah.

Makanya saya punya stok timah dari aki

batangan cukup banyak,” terang Ujang, “Orang

lain mah ngandalin timah-timah yang bekas,

rongsok. Kan, itu terbatas. Kalau timah dari

aki ngecor banyak yang punya, asal kita berani

bayar harga, ikutin pasar, banyak barangnya.”

Ketidakterbatasan bahan baku itu membuat

 

usaha Ujang terus maju. Dia tidak pernah sepi

order karena bahan baku pun selalu ada, ready

stock, tanpa bingung mencari terlebih dulu jika

ada order.

Untuk memenuhi pesanan, saat ini Ujang

mempekerjakan 16 orang, plus seorang mandor.

Ujang berupaya memberdayakan tenaga kerja

yang tinggal di wilayah sekitarnya, yakni para

 

tetangga. “Biasanya sih keluarga saya yang

 

merekomendasikan. Kalau orangnya jujur dan baik,

biasanya saya terima,” ujarnya. Bagi Ujang, cara

ini akan membantu menyejahterakan tetangga-

tetangganya. Selain itu, banyak keuntungan

yang didapatnya. Misalnya saja, jika mendapat

pesanan mendadak, para karyawannya bisa

segera datang.

Jika ada tetangga yang berminat bekerja di

tempatnya, Ujang akan langsung menyuruh

mereka praktik. Jika hasilnya bagus, mereka akan

langsung direkrut dan selanjutnya mendapatkan

bimbingan langsung darinya. Setelah mahir akan

langsung diterjunkan untuk produksi. Ujang

tetap memberikan pelatihan langsung, hingga

 

semua karyawannya mahir mengerjakan

semua tahap produksi. Ia tidak mau proses

produksi terganggu karena ketergantungan pada

karyawan-karyawan tertentu saja.

 

Mengingat mereka memiliki keahlian sama

dan harus bisa melakukan semua tahapan

produksi, Ujang menggaji karyawannya dengan

nilai yang sama rata. Pembayaran biasanya

dilakukan setiap minggu, tapi bagi yang sudah

berkeluarga, “Mereka dibayar per bulan, supaya

uangnya enggak langsung habis,” kelakarnya.

Urusan karyawan yang dibajak juga pernah

dialami Ujang. Namun dia tidak terlalu khawatir

dengan persoalan itu, sebab biasanya mereka

kembali ke tempatnya lagi karena merasa tidak

cocok dengan si pembajak. Bagi Ujang, semua itu

ada hikmahnya. Demikian pula dengan usaha

ayahnya yang kini dipegang oleh sang Adik.

Ujang tidak menganggapnya sebagai pesaing,

justru masih sering memberikan bantuan stok

kepada adiknya.

Demi mendapatkan barang sesuai dengan yang

diinginkan pemesan, Ujang selalu mengawasi

 

pekerjaan anak buahnya. Untuk hal ini dia di

bantu salah satu kerabatnya yang dikenal jujur.

Dengan pengalamannya mengerjakan pesanan

sendiri, Ujang tahu mana barang yang tidak layak

atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Kalau

sudah begitu, tak ayal lagi Ujang lebih memilih

untuk membuat ulang pesanan itu.

BERSIAP UNTUK ESTAFET

Ujang sudah mulai menurunkan ilmu bisnisnya

kepada anak tertuanya yang kini sudah berusia

26 tahun. Dia melihat potensi besar putra

sulungnya itu, terutama ketika Ujang berangkat

haji dan menyerahkan cek Rp l00 juta, uang

tunai Rp 150 juta, dan stok timah 40 ton. Selama

40 han Ujang beribadah, si sulung berhasil

mengolah ‘modal’ tersebut hingga mendapatkan

omzet Rp 1 miliar dan untung sekitar Rp 300

juta.

 

“Saya audit lagi, stok timah malah nambah.

Saya pikir, anak ini jujur. Yang saya kagum, selain

tenang beribadah, ternyata pembukuannya juga

beres,” ujarnya bangga. Belum lagi dari penjualan

abu timah, putra sulungnya itu mendapatkan Rp

12,8juta.  Ujang berencana menurunkan usahanya

ini kepada putra-putranya. Dia menggembleng

langsung Dede dan Heri untuk terjun ke bisnis ini,

juga mendukung anaknya yang sedang menjajaki

perluasan usaha di Kebumen, Jawa Tengah.

Nantinya, Ujang berharap anak-anaknya dapat

mengelola usahanya secara lebih profesional,

 

sebab hingga saat ini Ujang menjalankannya

 

hanya bermodalkan intuisi semata. Urusan

 

manajemennya pun masih ditanganinya sendiri.

 

Jika putra-putranya sudah mumpuni, Ujang berniat

melebarkan sayap membuka cabang di Pulau

Sumatera karena cukup banyak bisnis timah di

daerah tersebut yang menginduk ke tempat Ujang.

Selain perluasan bisnis, Ujang berencana

 

memproduksi timah plat yang saat ini sedang

dibuat cetakannya. Timah plat yang berbentuk

seperti kertas timah di bungkus rokok ini juga

ditujukan untuk mempermudah para nelayan

sehingga tidak perlu menggunakan bandul

pemberat alat pancing lagi. Timah plat cukup

dilipat-lipat saja untuk kemudian dipasangkan

di mata pancing sebagai pemberat.

Menurut perhitungannya, dari satu kilogram

timah akan didapatkan sekitar 12 lembar timah

plat berukuran 20 x 20 cm. Harganya sekitar

Rp 40 ribu, jauh lebih mahal ketimbang bandul

pemberat yang dijualnya di kisaran Rp 26 ribu

hingga Rp 27 ribu. “Hanya saja saat ini saya

 

sedang proses bikin matresnya dulu untuk nipisin

timahnya,” ujarnya, yang berharap tahun ini

mesin tersebut sudah siap digunakan.

Pasalnya, timah plat ini sudah banyak yang

memesan, sehingga lambatnya pembuatan mesin

 

membuat Ujang agak kelabakan. Padahal,

Ujang amat enggan membuat pelanggannya

kecewa karena terlalu lama menunggu. Itu

bertentangan dengan kunci sukses usahanya.

“Kalau janji mesti tepat, itu termasuk kunci

sukses,” tegasnya di akhir pertemuan.

 

Catatan Rhenald Kasali

KESULITAN YANG DIALAMI orangtua tidak selalu diturunkan kepada anak-anaknya

 

dalam bentuk kesulitan-kesulitan baru. Anak-anak yang menyaksikan kesedihan

 

dapat berontak, dan satu di antara mereka akan memberikan ‘perlawanan

 

positif’. Dendam. Anak itu tidak mengambil sisi yang negatif melainkan

 

berikrar. “Jlka aku sudah dewasa akan kubuat anak-anakku tersenyum.

 

Aku pedih merasakannya, melihat orang bolak-balik menagih utang dengan

 

penuh ancaman. Melihat Ayah tak bisa berkata apa-apa. Pedih merasa putus

 

asa, tidak ada makanan di meja makan. Pedih melihat ibu menangis melindungi

 

anak-anaknya.”

Anak itu bergerak dan mempelajari apa yang harus dihindarkan kalau ingin

 

lebih berhasil dari ayahnya. Ilmu itu adalah sebuah refleksi yang

 

menghasilkan ilmu mitigasi risiko, yaitu mengurangi segala resiko yang akan

 

berujung pada kebangkrutan. Saya bertemu beberapa usahawan muda yang

 

dulunya, kecílnya mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami Ujang.

Dari situlah mereka belajar mengambil celah, membayar tunai—mendapatkan

 

marjin lebih besar dengan menciptakan keunggulan-keunggulan, merekrut

 

pegawai bukan berdasarkan kecerdasan melainkan kejujuran, dan menuntut

 

pembayaran tunai. Bisnis, selain ada untung-rugi, selalu ada risiko-

 

risikonya. Maka hadapilah, atasilah, bertarunglah, dan buatlah mekanisme

 

untuk mengatasìnya.

Pertama, jangan mendiamkan. Bisnis menjadi rusak karena Anda diamkan. Kalau

 

sudah turun, bisnis akan turun terus kalau Anda diamkan. Maka carilah

 

langkah-langkah baru. Yang jelas jangan didiamkan. Kedua, cari cara-cara

 

baru. Hampir mustahil Anda mendapatkan hasil yang berbeda kalau cara yang

 

Anda tempuh sama dengan yang dilakukan generasi pendahulu Anda. Cara yang

 

ditempuh para pendahulu adalah cara yang oocok dilakukan kala tak ada

 

persaingan, dengan selera pasar yang masih sederhana. Oleh karena zaman

 

yang Anda hadapi berbada, maka gunakanlah cara berbeda.

Ketiga, latihlah diri Anda membaca hal-hal yang kasat mata namun tak

 

terlihat oleh banyak orang. Caranya, bangun kepedulian. Hanya orang-orang

 

yang peduli menjadi manusia yang sensitif terhadap suara-suara alam.

Dengarkanlah gejolak-gejolak suara alam yang keluar dari mulut dan gerakan

 

tubuh manusia. Niscaya dari situ Anda akan mengenali kebutuhan-kebutuhan

 

mereka dan mengenal perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya manusia yang

 

cepat menangkap gejolak-gejolak perubahan itulah yang adaptif dan mampu

 

membaca peluang.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

1 comment:

Unknown said...

KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [1216] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI DARSA,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 770 JUTA , wassalam.