Sunday, April 14, 2013

Deden, Sarjana yang Lebih Memilih Mengembangkan Usaha Kecap Ketimbang Jadi PNS, Kini Sukses Raup Omzet Ratusan Juta

Deden Narayanto, Mengincar Tukang Siomay dengan Kecap

Dalam bisnis kecap, namanya cukup

dikenal sebagai pemilik perusahaan

Kecap Segi Tiga yang ternama di

Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Usahanya memang bergerak perlahan

Namun pasti dan tengah merambah

ke Jakarta, Bekasi, dan Bandung.

Harapannya tidak mu1uk-mu1uk, ia hanya

ingin bersentuhan langsung dengan

tukang siomay, tukang sate, dan tukang

bakso yang jumlahnya ribuan.

 

Nama Kecap Segi Tiga mungkin belum

terlalu dikenal jika dibandingkan

dengan kecap-kecap nasional lainnya.

Namun, ini adalah salah satu perusahaan kecap

di Majalengka yang masih bertahan sejak tahun

1958. Kecap Segi Tiga didirikan oleh almarhum

Haji Lukman, kakek Deden, bersama 2 mitranya,

 

yaitu Aman dan Endek. Haji Lukman

tidak memberikan pengelolaan perusahaannya

kepada anaknya, tetapi ke Deden, yang notabene

adalah cucunya.

Hal itu terjadi tahun 2000, setahun setelah

Deden menyelesaikan kuliahnya. Deden tidak

bisa mengelak ketika kakeknya menanyakan

gaji yang dikehendakinya saat hendak melamar

pekerjaan. “Emang mau digaji berapa, gitu? Di

sini ada pekerjaan yang harus dikerjakan, kok

malah mau cari ke luar?’ Ini yang menyentak,

bukan karena berapa nilai gajinya. Tapi makna

pertanyaan itu yang menyentak. Sehingga saya

pun tidak jadi mencari kerja. Jadi, sampai

sekarang saya belum pernah melamar pekerjaan

sama sekali. Melamar ke istri doang,” kenang

 

Deden saat memutuskan untuk melanjutkan usaha

 

kakeknya.

 

MELANJUTKAN TONGKAT ESTAFET

 

Saat berpindah tangan, aset perusahaan tersebut

 

baru bernilai Rp 1 Miliar. Berbekal pengalaman

 

membantu kakeknya sejak duduk di bangku SMP

 

hingga kuliah, Deden melanjutkan usaha itu

 

dengan memperbaiki manajemen, dari tradisional

 

menjadi lebih modern. Deden ingat betul betapa

 

sibuk kakeknya mengurus segala sesuatu

 

untuk mempertahankan usahanya. Berbagai

 

urusan dipikirkan dan dikerjakan sendiri.

 

Manajemen seperti inilah yang menurutnya

 

sulit membuat perusahaan berkembang. Deden

 

memperbaikinya dengan merekrut orang untuk

 

mengurus administrasi, produksi, keuangan,

 

hingga pemasaran. “Jadi bukan hanya pimpinan

 

saja yang harus memikirkan. Tapi ada yang

 

memikirkan bagian-bagiannya. Ini alhamdulillah

 

sudah berjalan,” ucapnya bersyukur.

 

Pabrik yang awalnya berlokasi di rumah,

 

kemudian pindah ke lahan yang kecil pada

 

tahun 1980. Kini, lahan tersebut sudah

diperluas. Pertumbuhan penduduk Majalengka

 

yang cepat membuat Deden pun cepat

bertindak dengan membeli lahan kosong di

 

belakang pabrik tahun 2002. Tujuannya, untuk

melakukan perluasan sehingga kapasitas

 

produksi bisa ditingkatkan. Total karyawan

 

pun diperbesar menjadi 38 orang, kebanyakan

 

diambil dari masyarakat sekitar. Para pemula

biasanya hanya ditempatkan di bagian pengisian

 

kecap. Jika sudah menguasai kemampuan ini,

 

mereka bisa diajarkan keahlian baru, seperti

 

pemasakan. Syarat menjadi pegawainya pun

 

cuma satu, bisa membedakan rasa, mana yang

Kecap Segi Tiga dan mana yang bukan.

Khusus urusan produksi, Deden tidak mau

 

meninggalkan kekhasan Kecap Segi Tiga

yang kental dengan rasa kedelainya. Awalnya

 

Kecap Segi Tiga hanya memproduksi kecap

 

rasa asin dan manis sedang, sebab hanya 2 rasa

itulah yang disukai masyarakat Majalengka.

 

Selain itu, masyarakat Majalengka amat

menyukai kecap dengan rasa kedelai yang kental.

 

Deden memang tidak main-main untuk

urusan rasa. Kecapnya berbahan baku 50 persen

 

kedelai dan gula merah atau gula aren

yang berkualitas. Dan wanginya pun, menurut Deden,

 

masyarakat Majalengka sudah bisa membedakan

 

mana kecap Segi Tiga dan yang bukan.

Deden juga menanggung beban moral untuk

 

mempertahankan tradisi kecap Majalengka yang

 

kian tergusur.

Di tahun 1980-an ada 50-an pengusaha kecap. Namun,

kini tinggal 10 yang bertahan. “Ini sangat

 

mengkhawatirkan, karena kecap adalah produk

unggulan Majalengka juga. Harus benar-benar dijaga.

 

Bayangkan kalau anak cucu kita nanti tidak

 

tahu produk kecap Majalengka,” ujar bapak 2 anak ini.

Belajar dari rontoknya banyak perusahaan kecap yang

dulu tumbuh bersama, Deden menyadari bahwa jika tidak

mengikuti perkembangan pasar, dia akan tergerus oleh

perusahaan-perusahaan kecap besar. Selagi memperbaiki

 

manajemen, Deden pun mulai memikirkan inovasi untuk

ekspansi keluar Majalengka. Deden mulai dengan

 

mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan,

 

meraih SNI, sertifikasi halai, bahkan mendaftarkan

 

hak cipta mereknya. Menurutnya, meskipun UKM,

 

perusahaannya harus mengikuti apa yang menjadi

perhatian masyarakat, termasuk packaging.

 

Selama ini, Kecap Segi Tiga hanya mengandalkan

 

botol bekas pakai yang dicuci dan diisi ulang.

 

Namun seiring waktu, banyak botol yang tidak

 

kembali karena hilang atau pecah.

Maka, mulai pertengahan tahun 2011, dibuat

 

kemasan standing pouch dari bahan plastik

 

dengan volume 225 ml. “Masyarakat

sekarang kan sudah berbeda, walaupun masih

 

ada orang yang pikirannya masih di sana, tapi

 

kan sekarang masyarakat memikirkan kesehatan.

 

Itu harus kita ikuti,” imbuh pria berusia 36

 

tahun ini. Ketika ditanyakan tentang sampah plastik,

Deden mengatakan bahwa plastik bekas tetap

bisa didaur ulang untuk dijadikan barang lain,

sehingga tidak mengotori lingkungan.

DIVERSIFIKASI USAHA

Untuk merambah pasar di luar Majalengka,

Kecap Segi Tiga mulai memproduksi kecap

 

manis. Pengalaman mereka menunjukkan ketika

 

menjual kecap asin dan manis sedang ke

daerah Bandung, produk tersebut ternyata tidak

dilirik sama sekali. Deden pun memperhatikan,

rupanya masyarakat kota besar seperti Jakarta,

Bandung, Bekasi, tidak senang dengan kecap

asin, manis sedang, dan encer. Mereka lebih

suka rasa manis dan kental. Dia pun meminta

kokinya untuk meracik kecap manis khas Kecap

Segi Tiga.

Dengan pengalaman meracik kecap sejak

tahun 1958, kokinya mampu membuat kecap

manis. Kelihaian sang koki sangat teruji. Terbukti

setiap ada kecap terbaru muncul di pasaran

selalu dicicipi, lalu dicoba meracik hingga

mendapatkan rasa yang sama, dan berhasil.

“Alhamdulillah kita bisa mendekati rasa begitu.

Jadi, walaupun tidak didukung keilmuan,

karena pengalaman, dia sudah paham; kurang

ini, kurang itu,” tutur lulusan manajemen teknik

industri Universitas Pasundan Bandung ini.

Selain memproduksi kecap, Deden sempat

melakukan diversifikasi usaha dengan membuat

minuman kemasan. Bahan bakunya dari jambu

merah yang berlimpah di Majalengka. Untuk

meraciknya, dia bekerja sama dengan pihak

ketiga. Sayangnya, ketika pihak ketiga itu jatuh,

perusahaan minumannya pun bangkrut karena

 

Deden tidak mengetahui bahan-bahan yang

perlu diracik. Namun, karena usaha ini dimulai

dari nol, Deden tidak merasa terbebani.

Setelah itu, Deden fokus mengembangkan

usaha kecapnya. Dia menargetkan pada 2013

kecapnya sudah menguasai pasar Jawa Barat.

Mulai dari rasa hingga ukuran akan disesuaikan

dengan produk yang beredar di Jawa Barat. Sejak

awal, produknya memang langsung ditujukan

ke pemakai—yakni langsung ke rumah tangga—

bukan ke toko-toko.

Sementara, pengguna kecap bukan hanya

rumah tangga. Bisnis makanan pun membutuhkan

 

kecap. Misalnya saja tukang siomay,

bakso, dan sate. Pangsa pasar ini belum

tersentuh oleh Kecap Segi Tiga yang berada

pada kisaran harga cukup mahal. Oleh karena

itu, kini Kecap Segi Tiga juga memproduksi

second line yang diberi nama Samara. Di sinilah

suntikan modal dibutuhkan. Sejak tahun 2009,

perusahaannya mendapat pinjaman secara

bertahap mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1,5

miliar dari bank bjb.

Namun, ternyata inovasi tak selalu mulus.

 

Pernah ada kejadian Deden kekurangan bahan

baku. Ia pun mengganti kedelai hitam yang

kurang itu dengan kedelai kuning. Hasilnya

cukup mengejutkan. Para pelanggan setianya

komplain karena mereka tahu rasa kecapnya

berubah. Untung saja perputarannya cepat,

 

sehingga setelah barang habis, Deden langsung

kembali menggunakan bahan-bahan racikan

seperti biasa.

Kejadian lain adalah saat Deden meng-update

label. Karena konsumen setia sudah hafal di

luar kepala label lamanya, maka ketika beredar

label baru, mereka malah mengira itu produk

palsu. Lagi-lagi Deden belajar arti penting

sosialisasi. Dia kemudian menyebar pamfiet dan

mengembalikan label ke model lamanya lagi.

“Namun saya berani berinovasi dan

 

mendiferensiasikan produk. Karena Kecap Segi

Tiga memiliki harga cukup tinggi, saya

membuat label Kecap Samara untuk segmen

di bawahnya. Saat ekonomi terganggu, saya

ciptakan merek Samara untuk mengatasi

masalah harga jual. Konsumen Segi Tiga tidak

terganggu, dan saya mendapat pelanggan

 

baru, termasuk pelanggan Segi Tiga yang

merasa harganya terlalu tinggi,” urai Deden.

Cara ini ternyata berhasil. Dengan menyasar

Pedagang-pedagang kecil, dalam waktu 2 tahun,

omzet Samara sudah menyamai Segi Tiga.

 

Pendekatan dijajaki ke para penjual siomay, bakso,

 

dan sate di Bandung dan Bekasi, bahkan saat

ini sedang menjajaki Jakarta dan Tangerang.

Di Bandung, Kecap Samara bekerja sama

dengan asosiasi tukang sate. Menurut Deden,

seorang tukang sate bisa menghabiskan 20 krat

kecap dalam sebulan. Sementara di Jakarta,

 

Deden sedang menjajaki kerja sama dengan

perkumpulan tukang siomay, yang kebanyakan

memang berasal dari Majalengka.

“Itu sampai ribuan orang. Di satu desa

saja sampai seribu orang yang pergi ke

Jakarta untuk jualan siomay. Sebotol habis

 

dalam 2 hari. Kemarin kita sudah ngobrol,

ternyata mereka tertarik. Selama ini mereka

menggunakan kecap merek terkenal, tapi

jatuhnya mahal. Kita tawarin kecap kita.

Kualitas sama, tetapi harganya lebih murah,”

terang Deden.

 

PRODUKSI & PROMOSI TRADISIONAL

Selain itu, Kecap Segi Tiga juga menggandeng

pengusaha yang memasok ke toko-toko atau ke

warung-warung kecil. Deden berhasil menggaet

seorang pengusaha yang memiliki jaringan toko

dan warung se-Jawa Barat. “Dia punya jaringan

500 outlet di satu kabupaten saja. Jadi kalau di

Jawa Barat ada 26 kabupaten atau kota berarti

kan lumayan,” hitungnya.

Menurut Deden, langkah tersebut dilakukan

mengingat biaya promosi yang sangat minim,

yakni 2 persen saja dari jumlah biaya-biaya

lainnya. Deden menyadari henar bahwa

 

perusahaan kecapnya lemah dari segi promosi.

Mereka hanya promosi di daerah lokal, melalui

radio dan koran. Kalaupun televisi, mereka

masih mencari yang gratis, misalnya dari

liputan media. Kecap Segi Tiga sudah pernah

diliput TVOne dan TPI (Sekarang MNC TV).

Menurutnya, ketimbang beriklan lebih efektif

mengikuti pameran. Misalnya saja pameran

Agro dari Dinas Industri dan Perdagangan.

Deden juga pernah mengikuti 2 kali pameran di

 

Singapura dan mendapat sambutan bagus dari

perusahaan negeri singa itu, sebab kecap di sana

terasa hambar. Namun untuk memasarkan ke

sana, penyalurnya belum didapat.

Pengalaman pahit pun pernah dialami Deden

dalam usahanya ini. Saat mengikuti pameran,

dia pernah mendapat pembeli dari Jakarta yang

memesan langsung 1 truk, dengan pembayaran

giro. Namun setelah kecap dikirim, giro tidak

bisa dicairkan. Selama sebulan menunggu,

hasilnya tetap sama. Ketika didatangi kembali,

kantor tersebut sudah kosong. Deden pun harus

menelan pu pahit, rugi Rp 20 juta.

Selain itu, Kecap Segi Tiga pernah bekerja

sama dengan sebuah pesantren terkenal

binaan dai kondang di Bandung yang banyak

memberikan pelatihan pada tahun 2000.

Deden berani berinvestasi karena pesantren

itu tumbuh pesat sekali. Kecapnya pun banyak

yang memesan, hingga mencapai 100 ribu botol.

Namun sayang, manajemen di dalam pesantren

itu rupanya belum bagus. Infrastruktur di

bawahnya belum siap, yang pada akhirnya malah

 

menimbulkan kekacauan dan harus dihentikan.

Hal itu pun berimbas pada perusahaan Deden.

“Tapi itu tidak membuat kita putus asa,” ucapnya.

Kelemahan bukan hanya dari promosi saja,

melainkan juga dari bagian produksi. Misalnya,

alat produksi yang digunakan masih sangat

tradisional. Untuk pengisian pun belum semi

otomatis. Walaupun sadar bahwa ada proses yang

 

memang tidak bisa dilakukan oleh mesin, seperti

fermentasi, Deden tidak ingin menggunakan

bakteri sintesis. Dia tetap menggunakan jamur

yang biangnya disimpan dalam lemari sejak

tahun 198o—meski prosesnya membutuhkan

waktu sebulan. Menurutnya, penggunaan bahan

sintesis akan mengubah kekhasan rasa kecap

Segi Tiga.

 

“Untuk fermentasi di tong pun bisa saja

kita pakai wadah stainless, tapi rasanya akan

berbeda. Makanya kita tetap pakai tong dari

kayu jati. Pokoknya untuk proses produksi

sebelum digodok itu tetap dipertahankan. Kalau

tidak ada jamur itu, kita tidak bisa produksi.

Karena bahan utamanya di situ,” paparnya.

Untuk bahan baku, Deden mengambil kedelai

hitam dari Jawa Tengah karena kualitasnya

lebih baik ketimbang kedelai impor dari Cina.

Apalagi bahan kedelai yang memakai bahan

pengawet sangat berpengaruh pada kualitas

kecap. Namun, proses mendapatkan bahan baku

ini tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, ketika

petani yang menyuplai kedelai mengalami gagal

panen. Untuk itulah, Deden berencana bermitra

dengan petani Majalengka.

Deden memprediksi bahwa bermitra dengan

petani Majalengka untuk menanam kedelai

hitam di daerah tersebut akan memecahkan

permasalahan. Ongkos produksi otomatis

 

banyak terpangkas. Berdasarkan uji coba,

 

hasilnya memuaskan. Bahkan lebih baik dari kedelai

hitam Jawa Tengah. “Kotoran tanahnya itu

enggak ada karena proses panennya juga beda.

Kalau di sana dirabut sehingga tanahnya ikut.

Kalau di Majalengka diarit,”jelasnya. Sementara

 

untuk gula, Deden mengambil dari beberapa

daerah seperti Bandung, Purwokerto, dan

Ciamis, karena ketiganya merupakan penghasil

gula aren berkualitas.

Dalam sebulan, pabrik kecap Deden menghasilkan

 

30 ribu botol berbagai ukuran, yakni

140 ml, 250 ml, dan 500 ml. Sementara untuk

standing pouch dibuat ukuran 350 ml dan 600

ml. Ukuran lama, yakni 250 ml dan 500 ml

juga tetap diproduksi. Omzetnya berkisar Rp

300-400 juta sebulan. Deden juga memasok

produknya ke koperasi bersama yang berada

di dekat pabriknya, selain menjual ke agen di

Subang, Jakarta, Bandung, dan Bekasi. Untuk

pasar di luar Majalengka itu, pengiriman

dilakukan secara langsung.

MANAJEMEN PERSAINGAN

Di Majalengka sendiri peta persaingan kecap

lokal tidak terlalu ketat, mengingat pelakunya

tinggal 10 perusahaan. Selain itu, tidak ada

pengusaha lokal yang memasuki segmen yang

dibidik oleh Kecap Segi Tiga. Persaingan baru

terlihat pada segmen yang didiami Kecap

Samara. Di sanalah ke-10 produsen yang masih

bertahan memperebutkan segmen yang diambil

Kecap Samara.

 

Namun, persaingan tentu saja muncul

dari merek-merek kecap nasional. Dan, yang

membuat Deden tersanjung, dia sempat diajak

bekerja sama menyuplai produksi untuk

 

memenuhi permintaan pasar mereka. Namun,

tawaran tersebut ditolaknya secara halus, melihat

pengalaman beberapa UKM di sekitarnya yang

berakhir hanya sebagai penyedia produk semata

atau diambil alih.

Menipisnya persaingan membuat Deden

senang bercampur sedih. Senang, karena

 

tidak banyak pesaing. Sedih, karena hal ini

menunjukkan tidak adanya persatuan di antara

pengusaha lokal. Pernah Deden menggagas

asosiasi pengusaha kecap di tahun 2000, namun

yang terjadi hanya penolakan. Dia malah dicap

sebagai pesaing yang akan mengambil lahan

pasar mereka. “Ternyata mereka takut karena

hanya melihat kita sebagai pesaing, takut

lahannya diambil. Itu masih ada yang kayak

gitu. Kalau saya mah, walaupun pesaing masih

teman juga,” sesalnya.

Padahal, misi yang diusung Deden adalah

 

membuat koperasi pemasaran kecap bersama.

Dengan adanya koperasi, masalah tersebut

bisa diatasi lebih mudah. Sesama pengusaha

kecap bisa bahu-membahu mempertahankan

usahanya sehingga tidak mudah gulung tikar.

Apalagi, ada kalanya datang masa-masa suram

musiman untuk pengusaha kecap. Misalnya,

ketika kedelai hitam sulit didapat.

Sejak diterpa badai krisis tahun 2007

hingga kini, kedelai cenderung lebih sulit

dicari. Kalaupun ada, harganya naik hingga

20 persen, sementara harga kecapnya hanya

naik 5 persen setahun sekali, yakni menjelang

Lebaran. Padahal, bahan baku memakan 50

persen ongkos produksi. Jika saat krisis moneter

1997 tetap laris manis dengan keuntungan bisa

mencapai 50 persen, pada krisis global ini

mendapatkan keuntungan 10-20 persen sudah

sangat bagus.

Tak ingin usahanya hanya bermanfaat

untuk keluarga pribadi, Deden menaati ajaran

kakeknya agar perusahaan Kecap Segi Tiga

juga banyak memberi manfaat bagi masyarakat

 

melalui Yayasan Al Lukman. Laba perusahaan

dipakai untuk membangun gedung sekolah (TK

dan Madrasah Diniyah).

Agar semakin menyentuh masyarakat, Kecap

Segi Tiga harus terus mengikuti perkembangan

masyarakat. Seperti kisah terciptanya jenis

kecap rasa manis, ke depannya pun Deden

siap membentuk varian apa saja, jika memang

diinginkan pasar. “Kita mau bikin rasa stroberi.

Enggak ada, kan? Misalkan masyarakat suka,

kenapa kita enggak buat?” cetusnya sambil

tersenyum lebar.

 

Deden juga sudah mulai membiasakan

kedua anaknya berwirausaha, agar jangan

hanya mencari pekerjaan saja. Apalagi

menjadi pegawai negeri sipil (PNS). “Saya

sering dipanggil sharing, sama teman-teman

perguruan tinggi. Kita mencoba membuka

mindset, jangan sampai para kaum terpelajar

hanya terpaku menjadi PNS saja. Dari 10 pintu

rezeki, 9 di antaranya berasal dari usaha. PNS

hanya ada di 1 pintu itu. Jadi, kita harus buka

kemandirian,” demikian tutup pelaku usaha

mikro ini.

 

Catatan Rhenald Kasali

DI SELURUH WILAYAH Nusantara selalu ditemui dua tipe pengusaha. Pengusaha

 

nasional yang berambisi menjadi market leader dengan modal besar dan serbe

 

massal, dan pengusaha lokal yang hanya berambisi mengisi ceruk-ceruk kecil

 

di wilayahnya. Yang partama dibangun dengan kekuatan merek dan televisi,

 

sedangkan yang kedua dibangun dengan kekuatan rasa (produk) dan radio (atau

 

kekerabatan pedagang).

Pengusaha-pengusaha mikro yang bekerja dengan dua hingga tiga orang

 

pekerja, dengan perabotan produksi seadanya, akan punah dengan sendirinya

 

kalau merek tidak mengikuti irama evolusi. Selera pasar akan berubah,

kendati jaringan distribusi tetap diam di tempat dan loyal memasarkan

 

produk-produk buatan mereka. Demikian pula alam semesta ini ikut berubah

 

membuat peta perjalanan dan pasokan bahan baku dan metode pembayaran

berubah. Ini berarti pengusaha-pengusaha mikro dan kecil harus ikut

 

berubah, beradaptasi, dan tentu saja harus naik kelas.

Demikian pulalah dengan produk kecap. Setiap daerah memiliki lidah yang

 

tidak sama karena mereka mengonsumsi makanan-makanan lokal yang berbeda-

 

beda. Di satu daerah seleranya manis, di daerah lain tidak suka yang

 

manis, melainkan pedas, dan daerah lainnya senang yang ada rasa cuka dan

 

seterusnya. Namun, masing-masing mereka bisa mengalami masalah yang sama

 

yaitu serbuan makanan nasional yang dipasarkan melalui jaringan waralaba

 

dan beralihnya kedelai ka tangan produsen-produsen besar.

Dari perjalanan Kecap Segi Tiga kita belajar bahwa usaha mikro memang

 

tangguh dan tahan banting, namun juga ringkih dan mudah gugur kalau

 

fondasinya dibangun di atas pasar yang rapuh. Di masa depan, UMKM (Usaha

Mikro Kecil dan Menengah) memerlukan lebih dari sekadar semangat dan kerja

 

keras, melainkan visi besar, ambisi untuk maju, dan pengetahuan yang

 

memadai untuk memperbaiki produk, melakukan adaptasi, memperbaiki

manajemen, dan seterusnya.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

Uwoh Saepulloh, Anak dari Keluarga Petani yang Sukses Berwirausaha Pembuatan Perangkat dari Logam Beromzet Miliaran

Uwoh Saepulloh, Dari Piala Citra Hingga Rangka Baja

Dua piagam penghargaan dari

Menteri Pariwisata dan Gubernur

Jawa Barat menghiasì ruang kerja

H. Uwoh Saepulloh. Piala Citra,

Panasonic Award, dan Ka1pataru juga

menjadi bukti nyata sentuhan tangan

Uwoh menyulap logam. Inovasi demi

inovasi terus dilakukan Uwoh, tak bisa

berhenti, tak ada pedal rem.

 

GIGIH dan pantang menyerah, itulah

Uwoh Saepulloh, pemilik CV Sumirah

Teknik dan CV Rhodas di Cibatu, Cisaat,

Sukabumi, Jawa Barat. Sejak menjadi karyawan

di sebuah bengkel logam, Uwoh tidak pernah

menyerah atas suatu pesanan pelanggan. Sesulit

apa pun desainnya, tidak ada yang ditolak.

Justru pekerjaan sulit dijadikan tantangan

 

untuk menemukan cara yang lebih hebat.

Dengan bermodalkan kemampuan menguasai

3 jenis mesin—yakni press, scrub, dan bubut—

semua pekerjaan logam dilakukan tanpa kenal

lelah. Kepuasan pelanggan atas hasil kerjanya

menjadi tujuannya. Tak heran jika, selain

 

pelanggan bertambah banyak, kebanyakan dari

mereka juga secara khusus meminta pesanan

mereka dikerjakan oleh Uwoh, bukan yang lain.

Order yang semakin meningkat membuat Uwoh

kewalahan dan banyak pekerjaan yang tidak

dapat ditangani.

Uwoh pun memutar akal. Ia menyiasati

kendala ini dengan mengerjakannya di rumah

sepulang kerja. Tentu saja, ia harus membeli

 

mesin yang kemudian diletakkan di kamarnya.

Uwoh juga membina anak sekolah yang

 

membutuhkan tambahan uang sekolah. Namun,

finishing tetap ditangani Uwoh sendiri.

“Alhamdulillah pekerjaan-pekerjaan itu bisa

 

diatasi. Tapi karena semakin hari pekerjaan

 

itu semakin banyak dan tidak bisa diatasi

perusahaan, saya memutuskan untuk berwiraswasta,”

 

tutur Uwoh yang menjadi karyawan di

bengkel tersebut selama kurang lebih 4 tahun,

sejak 1995. Uwoh kemudian membuka usaha

sendiri, hingga pada tahun 2007 mendirikan CV

Sumirah Teknik dan CV Rhodas dengan modal

Rp 20 juta yang didapatnya dari gaji selama

menjadi karyawan.

GIGIH DAN SUKA TANTANGAN

Meski keluarganya berlatar belakang petani

dan orangtuanya tidak memberi inspirasi

 

tentang wiraswasta kepadanya, namun hal itu

tidak menghambat Uwoh dalam berkarya.

Sikap gigih Uwoh ini jugalah yang di kemudian

hari membuatnya meraih penghargaan sebagai

 

pemimpin koperasi usaha menengah berprestasi

se-Jawa Barat (2007) untuk jenis usaha logam.

Sejak kecil Uwoh memang suka tantangan.

Bila ada hal-hal yang dianggap sulit dalam bidang

apa pun, ia semakin ingin memecahkannya. Jika

orang lain tidak bisa, Uwoh bersemangat agar

bisa. Tapi jika orang lain yang bisa, Uwoh malah

tidak semangat. Hasratnya selalu ingin berbeda

dari yang lain. Suatu saat pernah ada konsumen

yang meminta dibuatkan meja antik dengan

memberikan contoh dari Belanda. Baginya,

menjiplak suatu benda itu justru susah dan tidak

menantang.

“Saya bilang ke orang itu, ‘Kalau saya

menjiplak ini nanti barangnya enggak laku,

pamornya juga kurang bagus, karena orang tahu

ini cuma tiruan, ada barang aslinya. Nah, saya

ubah motifnya menjadi model baru. Jadi nanti

promosinya jelas, yang itu model lama, yang ini

model baru.’ Setelah barang tersebut booming,

dia mendapat acungan jempol. Katanya, saya

kreatif. Sejak itu setiap ada pekerjaan, saya

diundang. Sampai sekarang pun, setiap ada

pekerjaan dia konsultasi. Padahal dia itu

 

insinyur, punya latar belakang pendidikan bagus,

tapi merealisasikannya belum tentu bisa,” kata

Uwoh sambil tersenyum.

Awalnya Uwoh membuat logam untuk peralatan

 

elektronik seperti tape dan televisi.

Namun, usaha ini tidak berkembang sehingga

Uwoh mulai membuat produk mekanik berbahan

baja ringan. Produk yang dihasilkan mulai dari

mesin hingga rangka baja, juga panel pintu

yang digemari para pengembang kontrakan dan

perumahan, seperti Wasa Mitra Engineering,

Indocement, dan United Tractors.

Seluruh mesin yang digunakan, termasuk

mesin cetakan, dibuat dan dirangkai sendiri oleh

Uwoh. Tangan terampilnya tak kaku mengikuti

perkembangan teknologi permesinan. “Saya dulu

 

membuat mesin untuk baja sedang, lalu ada

rekan datang ke tempat saya. Terus dia mau beli

mesin itu karena dikiranya buatan Jepang,” ujar

Uwoh sambil tergelak, “Padahal saya membuat

mesin itu sesuai dengan kebutuhan produksi

saya saja, tanpa pernah melihat mesin yang dia

maksudkan itu.” Inovasi pun dilakukan Uwoh

dengan membuat kusen logam serta genteng

metal berpasir dan berwarna.

MENGEKSPLORASI GENTENG METAL

Pada awalnya Uwoh fokus pada permintaan

genteng metal yang menantang. Meskipun

harga jual genteng metal tidak terlalu mahal,

yakni Rp 55 ribu per meter persegi, permintaan

justru banyak datang dari luar Pulau Jawa.

 

Di Jawa sendiri baru Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon,

Tasik, Ciamis, Serang, Banten, Bekasi, dan Tangerang

 

yang perlahan beralih menggunakan genteng metal.

“Untuk pintu panel, kalau tidak salah baru di sini yang

menciptakan, belum ada tempat lain yang menciptakan dari

logam. Produk ini sudah masuk ke Balikpapan dan Papua,

 

800 unit untuk pintu panel, kusen, rangka atap, plafon,

 

sama genteng rumah. Nilainya Rp 23 miliar,” urai pria yang

memiliki bengkel kerja seluas 5.000 meter persegi ini.

Selain harganya yang lebih murah dari alumunium—pintu

 

dari kayu kamper bisa mencapai Rp 1,4 juta, pintu

dari logam hanya Rp 1 juta sudah termasuk kusen dan

pengecatan-keunggulan produk logam adalah awet dan

 

antirayap. Selain itu juga sifatnya stabil sehingga

 

bentuknya selalu simetris dan tidak mengalami penciutan.

Uwoh pun bisa memberi garansi hingga 20 tahun.

 

Kalaupun tidak dipakai lagi, menurut Uwoh, pintu logam ini

bisa dijual kembali maupun didaur ulang sehingga tidak

menambah sampah. Ya, siapa mengira bahwa inspirasi menciptakan

 

komponen bangunan dari logam ini berawal dari keprihatinan

Uwoh terhadap lingkungan. “Saya teringat waktu saya melihat

 

banyaknya illegal logging di televisi yang menyebabkan

terjadinya bencana di mana-mana, seperti banjir. Dari

situ saya berpikir untuk mencari cara mengatasinya, yaitu

dengan membuat bahan bangunan dari logam, bukan dari

kayu,” paparnya bijak.

Mengingat bahan baku kayu semakin sulit diperoleh,

Uwoh pun menganjurkan masyarakat beralih ke logam.

 

“Berapa pohon yang harus ditebang untuk

membuat panel pintu dan kusen dari kayu?

Mungkin untuk mebel belum bisa dialihkan ke

logam. Tapi kalau panel pintu dan kusen sudah

bisa hingga 50-70 persen,” paparnya yakin.

Pengalaman unik lainnya adalah ketika ia

 

diminta membuat Piala Citra dengan desain

baru pada tahun 2008, dan mendapatkan

 

penghargaan Festival Film Indonesia dari Menteri

Kebudayaan dan Pariwisata atas sumbangsih

dan dedikasi dalam pembuatan Piala Citra baru.

Uniknya, saat mengerjakan piala tersebut Uwoh

hanya mendapat gambar tanpa keterangan

ukuran apa pun.

“Dia itu mungkin sudah keliling ke sana

sini tapi enggak mewujudkan suatu barang.

Akhirnya ada yang ngasih tahu bahwa yang

gini mah mungkin ke saya. Dari gambar itu

saya realisasikan dengan kemampuan saya.

Alhamdulillah terwujud suatu barang dan dapat

 

penghargaan dari menteri,” ucap Uwoh

bangga. Apalagi kemudian order berlanjut untuk

pembuatan handicraft lainnya, seperti Piala

Kalpataru dan Panasonic Award.

INOVASI TANPA HENTI

Saat pintu panel rancangan Uwoh yang

baru hanya memiliki satu macam motif saja,

 

sudah banyak permintaan datang. Menurut

Uwoh, pembeli menyukai rancangannya karena

tampilannya mirip kayu. Sayangnya, Uwoh

mengaku tidak mematenkan rancangannya

karena ia masih ingin mengubah motif, warna,

dan ukuran. “Padahal untuk pintu panel saja

sudah ada 20 motif yang bervariasi, dan prediksi

saya permintaan akan terus meningkat,” ujarnya.

Uwoh kerap didatangi marketing developer

sebuah perumahan untuk dikontrak dan di

fasilitasi mulai dari tempat, mesin, dan material.

 

Uwoh tinggal mengerjakannya, sedangkan

sistem pemasaran dan penjualan dilakukan

oleh rekanan. Dengan demikian ia fokus pada

produksi. Marketing developer perumahan

biasanya ‘mengunci’ produk tertentu melalui

ikatan kontrak eksklusif, sehingga Uwoh tidak

boleh menjualnya ke pihak lain. “Mereka berani

memasarkan ke luar Jawa. Jadi, lebih banyak

lagi yang datang. Yang datang itu developer.

 

Konsumen melihatnya kualitas, bagusan dari

sini dengan yang lain katanya,” jelas Uwoh.

Berkat inovasinya, Uwoh mendapat undangan

untuk menggelar presentasinya di hadapan

Menteri Perindustrian pada awal Mei 2011. Ia

optimis tren penggunaan kayu akan beralih ke

logam. Apalagi pemerintah sudah menggiring

ke arah tersebut untuk menyelamatkan hutan

lindung. Dimulai dengan keharusan agar rangka

atap menggunakan baja ringan. Tidak tanggung

tanggung, sudah ada pesanan dari pemerintah

untuk 8 ribu rumah di Papua. Melihat ini, ia

bisa memastikan penggunaan kayu menurun,

digantikan dengan produk logam buatannya.

Menurut Uwoh, jika tidak bisa berinovasi,

seseorang hanya akan menjadi tamu di negeri

sendiri. Dengan berinovasi, sumber daya lokal

bisa bersaing. “Kalau kita ciptakan, orang lain

meniru, itu berarti sudah nilai positif,” ujar

Uwoh.

Pria yang enerjik ini bahkan tidak sabar

untuk segera menuangkan inovasi-inovasi logam

 

lainnya. Dia sudah merancang ventilasi

 

rumah dari logam yang berfungsi mengatur

aliran udara. Dengan tambahan filter, alat ini

berfungsi untuk mengeluarkan udara kotor dan

memasukkan udara bersih. “Semacam exhaust

fan, namun menggunakan sistem mekanik dengan

 

gerak udara, sehingga tidak perlu tenaga

listrik,” paparnya serius.

Ide membuat pintu panel geser dari logam

dengan sistem elektrik juga sudah menari-nari

dalam benak Uwoh. Dengan rancangannya ini, si

pemilik rumah tinggal menekan remote control,

maka ruangan akan terbuka dan tertutup

sendiri. Komponen bangunan ini akan sangat

berguna untuk ruangan multifungsi, seperti

tempat praktik dokter.

Uwoh juga telah merancang pintu panel

logam yang menggunakan programmable logic

control (PLC) dan memiliki personal

 

identification number (PIN). Jadi, pemilik rumah bisa

membuka dan menutup pintu dari mana saja.

Pintu ini diperkirakan bernilai Rp 100-200 juta.

Untuk inovasinya ini, Uwoh membidik kelas

menengah ke atas. Ia yakin pemilik rumah

 

seharga miliaran rupiah akan membutuhkan

pintu PIN untuk menyelamatkan aset, bukan

hanya sekadar mengandalkan satpam. “Saya

sudah ciptakan ke sana, mudah—mudahan bisa

terwujud. Alhamdulillah jika bisa mewujudkan

suatu barang dan bermanfaat bagi banyak

orang,” kata Uwoh yang memiliki omzet Rp 12

miliar per tahun untuk masing-masing perusahaan

 

yang dikelolanya. Kekuatan inovasi jugalah yang

 

membuat Uwoh tangguh dalam menghadapi persaingan.

Kompetisi bukan hanya pada kualitas, tetapi

 

juga harga. Tahun 2000 Uwoh menciptakan

batako yang cara kerjanya seperti mainan lego,

dengan fungsi yang jauh lebih bagus dari bata

merah. Ini dilakukannya setelah melihat lamanya

 

proses pengerjaan bata merah. Produk batako ini

 

sudah ada permintaan, namun karena

kewalahan, ia mengalihkan ke rekanan lain. Ia

cukup membuatkan mesin untuk menghasilkan

10 jenis batako tersebut.

Inovasi di luar logam juga ada di dalam benak

 

Uwoh, yakni memanfaatkan pohon kelapa

untuk dijadikan lantai. Daun dan rumput juga

 

bisa dijadikan material dan bahan baku, seperti

halnya serbuk kayu gergaji menjadi partikel

board untuk lemari. Demikian juga dengan pohon

 

pisang yang jumlahnya berlimpah ruah,

mudah ditanam, dan cepat tumbuh di Indonesia,

 

untuk bahan pembuat dinding. Ampas

pohon pisang dijadikan bahan material dinding,

 

sedangkan airnya dijadikan lem. Kelebihan dinding

 

jenis ini adalah bisa dipasang

knockdown dan kedua sisinya bisa diberi motif

berbeda dengan wallpaper berbahan vinyl. Dengan

 

dinding seperti ini, rumah bisa dibuat loose

saja. Jika pemilik rumah merasa bosan, dinding

bisa diubah-ubah posisinya maupun motifnya.

“Pohon pisang memang lembek dan basah

kalau belum diolah. Tetapi setelah di-press

bahan ini akan menjadi padat. Setelah dipanasi

dengan suhu 300 derajat akan menjadi keras.

Bahan yang tadinya setebal 10 sentimeter di

padatkan hingga 1 sentimeter kan menjadi keras,”

 

urai Uwoh.

Uwoh meyakini produk ini bisa menjadi alternatif

 

dinding beton yang cukup kuat. Namun

bahan material dari pepohonan tidak bisa

dijadikan pintu karena sifat pintu yang dibuka

tutup, sedangkan dinding tidak. Uwoh berharap

dinding berbahan material pohon tidak keburu

diolah orang lain.

 

Dengan inovasi, hidup menjadi lebih hemat.

Caranya dengan menciptakan produk semudah mungkin,

 

sebagus mungkin, dan semurah mungkin, tanpa

 

mengesampingkan fungsi utamanya. Bahkan, ia

 

tidak pernah puas dengan inovasi yang sudah

 

dilakukan. Targetnya, setiap

tahun harus menciptakan inovasi produk, atau

minimal modifikasi. Menurutnya, setelah sesuatu

 

menjadi produk justru bisa meraih keuntungan besar.

MENGEMBANGKAN USAHA

Menyadari bahwa usahanya maju pesat, Uwoh

pun meminjam uang Rp 2 miliar dari bank bjb

untuk CV Sumirah Teknik pada tahun 2008.

Berkat pinjaman tersebut, Uwoh sekarang sanggup

 

membuat 300 pintu panel hanya dalam

sehari, yang dikerjakan oleh 40 orang pegawai.

Ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan

pengerjaan sebuah pintu kayu, yaitu 2-3 hari

oleh 1 orang.

 

Dalam usahanya ini, Uwoh yang hanya berlatar

 

belakang pendidikan setara SMA melibatkan

 

istrinya untuk mengurus bagian administrasi

 

dan keuangan. Ia juga mengarahkan

anak sulungnya yang sudah kuliah untuk

 

menangani manajemen, sebagai jembatan untuk

melanjutkan usahanya kelak. Meski melibatkan

keluarga, hingga saat ini ia tidak melihat kendala,

 

perselisihan, apalagi kecemburuan dalam

mengembangkan usahanya.

Uwoh juga mempekerjakan orang-orang sekitar.

 

Kriteria utamanya adalah baik, jujur, dan

mau bekerja. “Lebih baik tetangga daripada

orang lain, karena saya sudah kenal. Saya, sih,

lihat kepribadiannya. Yang penting baik dan

mau bekerja itu sudah cukup,” ujarnya.

Meskipun persaingan dengan bisnis yang

sama di daerahnya tidak terlalu keras, tak

urung pembajakan karyawan terjadi juga. Total

jumlah karyawan yang dibajak saingan-saingan

usahanya hingga saat ini bisa mencapai l00

orang. Tentu saja karyawan Uwoh merupakan

sasaran empuk pembajakan karena Uwoh konsisten

 

meningkatkan keterampilan mereka. Selain turun

 

tangan mengajari sendiri, Uwoh juga

bekerja sama dengan institusi pemerintah agar

karyawannya mendapatkan pelatihan teknis.

Kini, Uwoh memiliki 30 orang karyawan

tetap dan 10 orang pegawai honorer. Untuk

 

memudahkan alur pekerjaan, Uwoh menspesifikkan

 

pengerjaan produksi. CV Sumirah

Teknik yang namanya diambil dari nama istrinya,

 

Sumirah, mendapat jatah mengerjakan

panel pintu, kusen, dan genteng. Sedangkan CV

Rhodas menangani permesinan, rangka atap

dan baja ringan, dan kompor. Semua pengerjaan

menggunakan bahan baku logam yang diperoleh

dari distributor perusahaan baja besar di

Indonesia secara inden selama 1 bulan.

Dengan bantuan mesin, produk yang dihasilkan

tetap simetris dan memiliki presisi yang stabil.

Jadi, untuk membuat 1 unit bahkan 1.000 unit pun

hasilnya akan sama karena menggunakan cetakan.

Produk logam pun bisa memiliki bermacam warna

tergantung selera, bahkan 1 produk bisa dibuat 10

warna. Inilah keunggulan lainnya dibandingkan

panel pintu dan kayu.

 

MANAJEMEN USAHA

Meski perjalanan usahanya terhitung lancar,

Uwoh juga pernah mengalami masa surut pada

2010 yang—menurutnya dipicu ketidakstabilan

pemerintah, daya beli pasar, dan persaingan

yang sengit. Tapi, hal ini juga dialami oleh semua

pesaingnya. Untungnya, Uwoh tidak sampai

gulung tikar karena memiliki inovasi yang bisa

diterima pasar dan sulit ditiru.

Selain itu, ia juga pernah menjadi unit

sebuah perusahaan besar. Dengan metode bisnis

ini, ia baru menerima pembayaran setelah 3

bulan. Selanjutnya masih diberikan giro selama

1 bulan, jadi totalnya membutuhkan waktu 4

bulan untuk menerima pembayaran. Menurut

perhitungan Uwoh, keuntungan sebesar 10 persen

 

bisa lenyap kalau dihitung dengan bunga.

“Keuntungan 5 persen dengan pembayaran 4

 

bulan itu sudah minus. Bisnis tidak mungkin

bisa berkembang,” ujarnya. Itu sebabnya Uwoh

tidak ingin lagi menjadi sub perusahaan besar.

Menurut pengalamannya, bukan perusahaan

besar yang membantu perusahaan kecil, tapi

malah sebaliknya.

Tentu saja, Uwoh memiliki mimpi agar usahanya

menjadi besar. Untuk mewujudkan impiannya itu,

Uwoh melakukan berbagai persiapan. “Setelah

Lebaran 2011 ini saya bergabung dengan beberapa

teman yang ingin menjadi distributor produk saya

di beberapa daerah. Untuk produksinya tetap di

saya, mereka hanya marketing atau distributor

saja,” tutur Uwoh.

Perluasan pasar juga dilakukan Uwoh dengan

 

membuka kantor cabang di beberapa

daerah. Targetnya adalah Bandung, Tangerang,

Jambi, Jakarta. Dalam angannya, 5-10 tahun

ke depan ia telah memiliki kantor cabang atau

distributor di setiap daerah. Selain itu, ia juga

 

ingin memiliki lebih dari satu pabrik.

Saat ini Uwoh masih menjalankan perusahaannya

 

mengikuti intuisinya semata dan belum

membangun sistem, baik dalam manajemen

keuangan, rekrutmen, sumber daya manusia,

produksi, maupun pemasaran. “Ada mungkin

pada saat produksi naik karena kantor cabang

banyak, pasti saya akan membuat sistem, termasuk

 

manajemen keuangan, merekrut karyawan, atau

 

dalam bidang marketing,” kata Uwoh.

Di masa depan Uwoh ingin memiliki cabang

yang asetnya 30% dimiliki oleh keluarga dan

70% dimiliki oleh orang lain. “Usaha ini muncul

dari keinginan sendiri, dari kemauan dengan

tekad. Saya ini cuma ingin maju atas nama

daerah. Mudah-mudahan bisa berkembang

untuk orang banyak. Insya Allah usaha ini

membuat tempat yang gelap bisa jadi terang, di

tempat yang terang bisa menjadikan cahaya,”

demikian Uwoh mengakhiri pembicaraan.

 

Catatan Rhenald Kasali

SALAH SATU KELEMAHAN UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan

 

kewirausahaan Indonesia adalah selalu dimulai pada inovasi produk dan

 

berhenti pada produksi. Tanpa inovasi usaha dan membangun sistem, usaha

 

akan berakhir di tangan inovator atau satu generasi di bawahnya. Oleh

 

karena itu inovasi produk harus diikuti dengan sistem dan manajemën usäha

 

yang modern.

Meski demikian, tidak dengan serta merta suatu usaba langsung diawali

 

dengan manajemen modern. Bahkan tidak jarang saya menemukan sebuah usaha

 

yang tidak memiliki visi—misi tertulis meski sudah hidup lebih dari 20

tahun, Namun perusahaan ini memiliki sistem rutin yang balk dan profesional

 

setelah melewati sekitar 4-6 tahun perjalanan usaha.

Dalam 4 tahun pertama seorang wirausahawan akan sibuk membuat mimpinya

 

menjadi kenyataan. Fokusnya adalah pada survival yaitu membuat usahanya

 

hidup ia harus merawat ‘bayi’ basil kandungannya dengan memberi susu

 

memandikan, mengajaknya berbicara, mengajarkan makan, dan berjalan serta

 

membawa ke dokter bila ia demam dan memberikan imunisasi.

Jadi empat tahun pertama adalah masa yang vital, karena usaha baru itu

 

rentan kematian. Usaha harus dijaga siang-malam agar tetap hidup. Usaha

 

memerlukan kepastian pendapatan dan kelancaran arus cash. Setelah urusan

cash lancar dan menjadi rutin, ibarat seorang anak, ia pun harus

 

disekolahkan. Itulah saatnya Anda memberikan sìstem dengan manajemen yang

 

tertata baik.

Akan halnya inovasi yäng dijalannya Uwoh, tentu saja tetap sama.

 

Ia membutuhkan inovasi dan sistem. Tanpa sistem, usahanya akan berakhìr di

 

tangannya atau satu generasi di bawahnya. Itu sebabnya ia membutuhkan

manajemen yang balk saat ini.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

Ujang Sasmita, Tamatan STM yang Kini Sukses Bisnis Timah dengan Omzet Hingga Rp 300 juta per Minggu

Ujang Sasmita, Bisnis Timah Tanpa Kredit Macet

 

Membeli dan menjual dengan tunai,

itulah rahasia keberhasilan bisnis

timahnya hingga bero1eh omzet hingga

Rp 300 juta per minggu. Padahal,

di awal ia justru harus bergulat

membayar utang yang ditinggalkan

usaha ayahnya.

 

 

EMPAT buah mobil pribadi dan sebuah truk

di garasi rumahnya menjadi salah satu bukti

 

keberhasilannya menjalani bisnis ini.

 

Di masa kecilnya, Ujang Sasmita ikut

 

mengerjakan pesanan timah dari bisnis

 

ayahnya hingga mengantar barang dari

 

desanya di Cisaat, Sukabumi ke Jakarta.

Setelah menyelesaikan Sekolah Teknik

 

Menengah (STM, sekarang namanya menjadi

SMK-Sekolah Menengah Kejuruan) tahun 1979,

 

ia hanya sempat menjalani kuliah selama

 

satu tahun. Sebagai anak tertua, Ujang

 

mengalah demi adik-adiknya yang berjumlah

10 orang. Mundur dari bangku kuliah, Ujang

 

langsung terjun membantu usaha ayahnya.

 

“Toh, kuliah nanti ujung-ujungnya cari duit

juga,” cetus Ujang yang tak pernah terpikir ingin

menjadi pegawai seperti kebanyakan orang.

Usaha timah keluarganya belum juga terbilang

 

sukses. Malah pada tahun 2000, usaha

itu terlilit utang yang cukup besar. Ujang pula

yang harus menanggungnya. Dalam waktu

4 bulan, dia berhasil melunasi utang usaha

ayahnya. Namun, kejadian ini membuat Ujang

mulai berpikir untuk membuat usaha sendiri,

memisahkan diri dari bisnis keluarga. Apalagi

dia pun sudah memiliki keluarga sendiri.

Penghasilan Rp 10 ribu per hari dari menjalani

usaha timah dengan ayahnya dirasa tidak cukup

untuk menghidupi keluarga.

Kesulitan yang sering dialami ayahnya

hingga terlilit utang menjadi pelajaran yang

amat berharga. Dia tidak menerapkan cara

yang pernah dilakukan ayahnya dulu. Uang

pemasukan yang seharusnya diputar kembali

untuk usaha, malah dipakai untuk kebutuhan

keluarga, sehingga yang terjadi adalah besar

pengeluaran ketimbang pemasukan. Namun dia

 

mengerti, saat itu ayahnya tidak bisa berbuat

banyak, mengingat anaknya cukup banyak.

Dengan pinjaman dari bank bjb, Ujang

memutar uangnya untuk membayar utang,

menambah modal, juga membiayai kebutuhan

keluarganya. Dengan kegigihannya, Ujang

 

berhasil memiliki rumah yang layak tahun 2008,

yang ditinggali bersama istri dan 3 putranya.

Bahkan tahun 2010, Ujang bersama sang istri

bisa beribadah haji ke Tanah Suci.

MEMBUAT BISNIS SENDRI

Kegigihan Ujang menyelesaikan utang ayahnya

Itulah yang menarik minat bank bjb memberikan

pinjaman awal Rp 17 juta pada tahun 2002 untuk

membuka usahanya sendiri. Ujang mendapat

waktu setahun untuk melunasi utang berikut

bunganya. Dengan modal pengalaman bekerja

dengan ayahnya dan pinjaman dari bank bjb,

mulailah Ujang membuka usaha timah yang

diberi nama Agung Sejahtera.

Awal tahun 2002, Ujang menerima order

bandul pemberat alat pancing dari seorang

 

distributor di Pasar Ikan, Jakarta. Distributor

ini pun menjadi tempat pemasaran utama

batu alat pancing Ujang. Distributor tersebut

meminta Ujang eksklusif menjual hanya kepadanya,

 

dan selanjutnya distributor tersebut yang

mengedarkan ke agen atau toko, baik di Jakarta,

Pulau Jawa, hingga ke daerah-daerah di Pulau

Sumatera dan Kalimantan.

Setiap minggu Ujang mengirim 10 ton timah

untuk menyuplai distributor itu. Namun selain ke

 

Pasar Ikan, Ujang juga menyuplai pesanan dari

Glodok dan beberapa pusat pertokoan. “Cuma

yang paling continue adalah timah bandulan

buat kebutuhan nelayan ke laut, yang nerimanya

itu grosir,” kisahnya. Tapi Ujang sudah membuat

patokan, melayani 3 tempat saja sudah cukup.

 

“Segitu juga saya sudah kenyang,” cetusnÿa.

Dalam seminggu dia minimal mengantongi Rp

150 juta untuk penjualan batu alat pancing.

Pada tahun pertamanya, Ujang mendulang

sukses. Order untuk membuat bandul timah alat

pancing sangat banyak. Dalam seminggu, ia bisa

membeli 15 ton timah, yang kemudian diolahnya

menjadi barang sesuai keinginan pemesan.

Utangnya pun bisa dilunasi tepat waktu, hingga

pinjaman terus dikucurkan oleh bank bjb.

 

Pinjamannya meningkat menjadi Rp 35 juta,

 

kemudian naik menjadi Rp 75 juta, dan tahun 2011

Ujang beroleh pinjaman hingga Rp 300 juta.

Ujang memulai usahanya dengan bekerja

sendiri. Mulai dari menerima order, melakukan

pencetakan, hingga memasarkannya. Pengalaman

 

bekerja dengan bapaknya menjadi modal

penting, sehingga dia tahu semua ‘jeroan’ bisnis

timah ini.

THE STOCK IS READY!

Namun, bandul pemberat alat pancing bukan

satu-satunya produk yang dihasilkan dari usaha

timah Ujang. Dia juga menerima order apa pun,

sesuai yang diinginkan pemesan. Misalnya

saja, dia pernah menerima pesanan timah segel

listrik dari PLN ketika terjadi gempa Padang

yang menghancurkan instalasi listrik di sana.

 

Dan, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi

dengan cepat dari Ujang.

Rupanya Ujang memiliki kelebihan dari

perajin timah lainnya, yakni selalu menyediakan

stok timah. Ketika order datang, Ujang tidak

perlu lagi mencari-cari bahan. Dan dalam waktu

2 bulan, order tersebut segera dikirim ke PLN di

Sunter. Dari situ, Ujang mendapat omzet Rp 700

juta. “Waktu itu saya punya 25 ton timah keluar

semua. Uang pun langsung dapat,” ujar pria

berusia 53 tahun ini dengan senang.

Untuk mendapatkan bahan baku timah, Ujang

tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya,

Ujang tidak hanya memegang satu supplier

saja. Ada 3 penyuplai timah yang menjadi

supplier-nya, yakni dari daerah Cinangeng

Bogor, Tangerang, dan Buah Batu-Bandung.

Ketiga supplier ini didapatnya berdasarkan

pengalaman sewaktu bekerja dengan ayahnya,

juga informasi dari sesama perajin timah.

Harga yang didapatnya dari ketiga supplier

ini pun cukup kompetitif. Jika harga pasar Rp 22

ribu, Ujang bisa mendapatkannya dengan harga

Rp19.500. Paling tinggi seharga Rp19.750. Namun

untuk mendapatkan harga yang ‘manis’ itu, sistem

pembayaran yang dilakukan Ujang juga harus

‘manis’: ia tidak pernah berutang. Bahkan, Ujang

berusaha untuk selalu membayar di muka.

 

“Saya main di uang, bukannya sombong,

ya. Tapi saya lebih suka sistem cash untuk

bayar, bukan sistem bon. Jadi dia punya

barang, saya punya uang. Kalau main timah

kita secara bon harganya bisa beda, walaupun

jeda pembayarannya cuma seminggu. Makanya

saya selalu bayar tunai. Ada perbedaan Rp300—

Rp400 saja, kalau saya bayarnya cash, harga bisa

ditekan,” terang Ujang yang bisa mendapatkan

keuntungan dari selisih harga bahan baku Rp

1 juta untuk setiap 4 ton baku timah. Dia juga

 

menyebut hal ini sebagai salah satu rahasia

usahanya, dibandingkan dengan perajin timah

lainnya.

Khusus untuk bandul pemberat alat pancing,

Ujang bisa memproduksi hingga berbagai bentuk

dan ukuran. Menurut catatannya, ada sekitar

l00 jenis bandul, mulai dari bandul sebesar

pentol korek api hingga seberat 1 kilogram.

Setiap jenis harus memiliki matres atau cetakan

masing-masing.

Untuk mendapatkan cetakan ini, Ujang harus

merogoh kocek yang tidak sedikit. Dia harus

 

membayar setidaknya Rp 1 juta untuk satu cetakan.

Sementara untuk 1 ukuran bandul saja, Ujang

harus memiliki antara 7 hingga 10 cetakan. Bisa

dibayangkan, berapa dana tunai yang harus

 

dikeluarkan untuk itu. Cetakan tersebut memang

wajib dimiliki karena akan mempermudah,

 

mempercepat pembuatan, juga menghasilkan ukuran

barang yang tepat sesuai pesanan.

“Tapi, saya membelinya secara bertahap.

Begitu ada uang, beli matres. Enggak langsung

semua, saya bisa babak belur,” kelakarnya.

Investasi Ujang di matres memang tidak main-

main. Menurut catatannya, ada yang dibeli

dengan harga Rp 1 miliar. Setelah empat tahun,

barulah ia memiliki seluruh matres yang di

perlukan.

 

Meskipun sederhana, matres adalah salah satu

bentuk teknologi yang mempermudah usahanya.

Karena itu Ujang tak segan mengeluarkan uang.

Demikian pula ia terus menambah teknologi

untuk mendukung produksinya, salah satunya

dengan membeli mesin injection baru. Ia pun

merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti

dengan teknologi yang semakin canggih.

SIMBIOSIS MUTUALISME

Bisnis pada dasarnya merupakan pertukaran

yang sama-sama menguntungkan. Ujang

 

mengikuti hal ini. Ia hanya akan membuat barang

 

berdasarkan pesanan pelanggan. “Dalam hal produk,

sih, saya bukannya sombong. Selama ini setiap

ada pesanan, apa pun bentuk dan modelnya, saya

bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa

pun,” ujar Ujang. Yang penting baginya adalah

mengikuti keinginan pasar.

Ujang juga amat pintar menyenangkan para

langganannya. Apa pun pesanan distributor,

dia bisa membuat dengan hasil bagus dan

memuaskan. Selain itu dia tidak pernah ingkar

janji soal waktu. Jika dijanjikan barangnya

selesai dalam 3 hari, maka dalam 3 hari itu pun

barang sudah dikirim. Baginya, permintaan

pelanggan, baik berupa bentuk maupun waktu,

merupakan tantangan yang harus diatasinya.

 

Dan untungnya, dia tidak pernah mendapatkan

kendala yang berarti. “Kalau sampai membuat

pelanggan kecewa, saya bakalan enggak jualan

timah lagi, jualan pisang saja,” ujarnya serius.

Karena itu, soal ketepatan waktu dan janji amat

dipegangnya.

Hal itu juga berlaku pada janjinya kepada

distributor di Pasar Ikan bahwa Ujang tidak

menyuplai ke agen-agen atau toko-toko kecil.

Ujang sudah merasa sangat cukup hanya dengan

mendapat order dari distributor tersebut.

Namun, ada pula imbal balik yang dimintanya

dari distributor tersebut: Pembayaran dilakukan

 

secara tunai, tidak utang. Dengan cara demikian

uang yang diputar kembali untuk bisnisnya

berjalan dengan lancar dan risikonya dimitigasi

menjadi nol. “Saya membeli timah dari supplier

secara tunai, menjual pun harus dibayar tunai,”

tandasnya.

Untuk sistem pembayaran, Ujang lebih memilih

 

mentransfer dana. “Jarang saya kasihkan

uang, misalnya l00 juta, ya main transfer aja.

Paling cuma kasih Rp 20 juta sampai Rp 30

juta tunainya,” terang Ujang, yang menilai

pembayaran dengan cash amat memperlancar

usahanya, sehingga tidak ada ‘kredit macet’.

 

Ujang berkeyakinan, usahanya tidak akan

mati. Apalagi suplai timah diyakininya akan

terus ada. Selain itu, banyak pula produk

yang membutuhkan timah, seperti aki mobil.

Jadi, selama mobil terus diproduksi, maka

kebutuhan akan timah pun terus ada. Apalagi,

dari pengalamannya selama ini, dalam bisnis

timah tidak ada yang terbuang sia-sia. Bahkan

ampas atau abu timah buangan produksi pun

bisa laku dijual. Dalam sebulan, hasil penjualan

abu timah ini saja mencapai Rp 15 juta hingga

Rp 16 juta.

Akan halnya keberadaan perajin timah lain,

bagi Ujang hal itu dapat menyehatkan usahanya.

Pasalnya, ia jadi bisa mempelajari perbedaan

 

pengelolaan usaha timah. Misalnya, salah satu

perajin timah di Jakarta yang bahan bakunya

menggunakan timah bekas atau timah rongsok.

Sementara, Ujang cenderung memanfaatkan timah

 

batangan atau timah bekas aki yang bobotnya

 

berkisar 22-35 kilogram per batang.

“Saya memutuskan untuk berani berspekulasi

di bahan baku. Mahal sedikit, enggak masalah.

Makanya saya punya stok timah dari aki

batangan cukup banyak,” terang Ujang, “Orang

lain mah ngandalin timah-timah yang bekas,

rongsok. Kan, itu terbatas. Kalau timah dari

aki ngecor banyak yang punya, asal kita berani

bayar harga, ikutin pasar, banyak barangnya.”

Ketidakterbatasan bahan baku itu membuat

 

usaha Ujang terus maju. Dia tidak pernah sepi

order karena bahan baku pun selalu ada, ready

stock, tanpa bingung mencari terlebih dulu jika

ada order.

Untuk memenuhi pesanan, saat ini Ujang

mempekerjakan 16 orang, plus seorang mandor.

Ujang berupaya memberdayakan tenaga kerja

yang tinggal di wilayah sekitarnya, yakni para

 

tetangga. “Biasanya sih keluarga saya yang

 

merekomendasikan. Kalau orangnya jujur dan baik,

biasanya saya terima,” ujarnya. Bagi Ujang, cara

ini akan membantu menyejahterakan tetangga-

tetangganya. Selain itu, banyak keuntungan

yang didapatnya. Misalnya saja, jika mendapat

pesanan mendadak, para karyawannya bisa

segera datang.

Jika ada tetangga yang berminat bekerja di

tempatnya, Ujang akan langsung menyuruh

mereka praktik. Jika hasilnya bagus, mereka akan

langsung direkrut dan selanjutnya mendapatkan

bimbingan langsung darinya. Setelah mahir akan

langsung diterjunkan untuk produksi. Ujang

tetap memberikan pelatihan langsung, hingga

 

semua karyawannya mahir mengerjakan

semua tahap produksi. Ia tidak mau proses

produksi terganggu karena ketergantungan pada

karyawan-karyawan tertentu saja.

 

Mengingat mereka memiliki keahlian sama

dan harus bisa melakukan semua tahapan

produksi, Ujang menggaji karyawannya dengan

nilai yang sama rata. Pembayaran biasanya

dilakukan setiap minggu, tapi bagi yang sudah

berkeluarga, “Mereka dibayar per bulan, supaya

uangnya enggak langsung habis,” kelakarnya.

Urusan karyawan yang dibajak juga pernah

dialami Ujang. Namun dia tidak terlalu khawatir

dengan persoalan itu, sebab biasanya mereka

kembali ke tempatnya lagi karena merasa tidak

cocok dengan si pembajak. Bagi Ujang, semua itu

ada hikmahnya. Demikian pula dengan usaha

ayahnya yang kini dipegang oleh sang Adik.

Ujang tidak menganggapnya sebagai pesaing,

justru masih sering memberikan bantuan stok

kepada adiknya.

Demi mendapatkan barang sesuai dengan yang

diinginkan pemesan, Ujang selalu mengawasi

 

pekerjaan anak buahnya. Untuk hal ini dia di

bantu salah satu kerabatnya yang dikenal jujur.

Dengan pengalamannya mengerjakan pesanan

sendiri, Ujang tahu mana barang yang tidak layak

atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Kalau

sudah begitu, tak ayal lagi Ujang lebih memilih

untuk membuat ulang pesanan itu.

BERSIAP UNTUK ESTAFET

Ujang sudah mulai menurunkan ilmu bisnisnya

kepada anak tertuanya yang kini sudah berusia

26 tahun. Dia melihat potensi besar putra

sulungnya itu, terutama ketika Ujang berangkat

haji dan menyerahkan cek Rp l00 juta, uang

tunai Rp 150 juta, dan stok timah 40 ton. Selama

40 han Ujang beribadah, si sulung berhasil

mengolah ‘modal’ tersebut hingga mendapatkan

omzet Rp 1 miliar dan untung sekitar Rp 300

juta.

 

“Saya audit lagi, stok timah malah nambah.

Saya pikir, anak ini jujur. Yang saya kagum, selain

tenang beribadah, ternyata pembukuannya juga

beres,” ujarnya bangga. Belum lagi dari penjualan

abu timah, putra sulungnya itu mendapatkan Rp

12,8juta.  Ujang berencana menurunkan usahanya

ini kepada putra-putranya. Dia menggembleng

langsung Dede dan Heri untuk terjun ke bisnis ini,

juga mendukung anaknya yang sedang menjajaki

perluasan usaha di Kebumen, Jawa Tengah.

Nantinya, Ujang berharap anak-anaknya dapat

mengelola usahanya secara lebih profesional,

 

sebab hingga saat ini Ujang menjalankannya

 

hanya bermodalkan intuisi semata. Urusan

 

manajemennya pun masih ditanganinya sendiri.

 

Jika putra-putranya sudah mumpuni, Ujang berniat

melebarkan sayap membuka cabang di Pulau

Sumatera karena cukup banyak bisnis timah di

daerah tersebut yang menginduk ke tempat Ujang.

Selain perluasan bisnis, Ujang berencana

 

memproduksi timah plat yang saat ini sedang

dibuat cetakannya. Timah plat yang berbentuk

seperti kertas timah di bungkus rokok ini juga

ditujukan untuk mempermudah para nelayan

sehingga tidak perlu menggunakan bandul

pemberat alat pancing lagi. Timah plat cukup

dilipat-lipat saja untuk kemudian dipasangkan

di mata pancing sebagai pemberat.

Menurut perhitungannya, dari satu kilogram

timah akan didapatkan sekitar 12 lembar timah

plat berukuran 20 x 20 cm. Harganya sekitar

Rp 40 ribu, jauh lebih mahal ketimbang bandul

pemberat yang dijualnya di kisaran Rp 26 ribu

hingga Rp 27 ribu. “Hanya saja saat ini saya

 

sedang proses bikin matresnya dulu untuk nipisin

timahnya,” ujarnya, yang berharap tahun ini

mesin tersebut sudah siap digunakan.

Pasalnya, timah plat ini sudah banyak yang

memesan, sehingga lambatnya pembuatan mesin

 

membuat Ujang agak kelabakan. Padahal,

Ujang amat enggan membuat pelanggannya

kecewa karena terlalu lama menunggu. Itu

bertentangan dengan kunci sukses usahanya.

“Kalau janji mesti tepat, itu termasuk kunci

sukses,” tegasnya di akhir pertemuan.

 

Catatan Rhenald Kasali

KESULITAN YANG DIALAMI orangtua tidak selalu diturunkan kepada anak-anaknya

 

dalam bentuk kesulitan-kesulitan baru. Anak-anak yang menyaksikan kesedihan

 

dapat berontak, dan satu di antara mereka akan memberikan ‘perlawanan

 

positif’. Dendam. Anak itu tidak mengambil sisi yang negatif melainkan

 

berikrar. “Jlka aku sudah dewasa akan kubuat anak-anakku tersenyum.

 

Aku pedih merasakannya, melihat orang bolak-balik menagih utang dengan

 

penuh ancaman. Melihat Ayah tak bisa berkata apa-apa. Pedih merasa putus

 

asa, tidak ada makanan di meja makan. Pedih melihat ibu menangis melindungi

 

anak-anaknya.”

Anak itu bergerak dan mempelajari apa yang harus dihindarkan kalau ingin

 

lebih berhasil dari ayahnya. Ilmu itu adalah sebuah refleksi yang

 

menghasilkan ilmu mitigasi risiko, yaitu mengurangi segala resiko yang akan

 

berujung pada kebangkrutan. Saya bertemu beberapa usahawan muda yang

 

dulunya, kecílnya mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami Ujang.

Dari situlah mereka belajar mengambil celah, membayar tunai—mendapatkan

 

marjin lebih besar dengan menciptakan keunggulan-keunggulan, merekrut

 

pegawai bukan berdasarkan kecerdasan melainkan kejujuran, dan menuntut

 

pembayaran tunai. Bisnis, selain ada untung-rugi, selalu ada risiko-

 

risikonya. Maka hadapilah, atasilah, bertarunglah, dan buatlah mekanisme

 

untuk mengatasìnya.

Pertama, jangan mendiamkan. Bisnis menjadi rusak karena Anda diamkan. Kalau

 

sudah turun, bisnis akan turun terus kalau Anda diamkan. Maka carilah

 

langkah-langkah baru. Yang jelas jangan didiamkan. Kedua, cari cara-cara

 

baru. Hampir mustahil Anda mendapatkan hasil yang berbeda kalau cara yang

 

Anda tempuh sama dengan yang dilakukan generasi pendahulu Anda. Cara yang

 

ditempuh para pendahulu adalah cara yang oocok dilakukan kala tak ada

 

persaingan, dengan selera pasar yang masih sederhana. Oleh karena zaman

 

yang Anda hadapi berbada, maka gunakanlah cara berbeda.

Ketiga, latihlah diri Anda membaca hal-hal yang kasat mata namun tak

 

terlihat oleh banyak orang. Caranya, bangun kepedulian. Hanya orang-orang

 

yang peduli menjadi manusia yang sensitif terhadap suara-suara alam.

Dengarkanlah gejolak-gejolak suara alam yang keluar dari mulut dan gerakan

 

tubuh manusia. Niscaya dari situ Anda akan mengenali kebutuhan-kebutuhan

 

mereka dan mengenal perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya manusia yang

 

cepat menangkap gejolak-gejolak perubahan itulah yang adaptif dan mampu

 

membaca peluang.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

Sarini, Srikandi Batik dari Cirebon yang Produknya Sudah Menembus Mancanegara

Sarini, Jepang & Thailand Pelanggan Batik Sarini

 

Popularitas yang menanjak

karena nyaris diklaim sebagai warisan

budaya negeri tetangga justru

membawa berkah bagi para perajin

batik di sini. Begitulah yang dialami

pengusaha batik asal Cirebon ini.

 

BUKAN hal yang aneh jika melihat ada

pejabat penting negara yang berkunjung

ke usaha batik Sarini. Sejak tahun 2005,

batik Sarini memang kerap dikunjungi orang-

orang penting, termasuk Wakil Gubernur Jawa

Barat, Dede Yusuf beserta istri, ibu Negara Ani

Yudhoyono, bahkan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono sendiri. Mereka mendatangi show

room-nya di Weru, Cirebon. Semua itu berkat

kreativitas dalam kegigihannya melestarikan

kain batik.

Usaha Batik Sarini yang dijalani wanita

berusia 57 tahun ini sudah berdiri jauh sebelum

UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya

 

tak benda dari Indonesia. Berawal dari

usaha kedua orangtuanya, Sarini rela berhenti

bersekolah di kelas lima SD demi membantu

usaha orangtuanya.

Saat itu, orangtua Sarini masih berpikiran

bahwa sekolah tidak terlalu penting. Mereka

 

berpendapat tugas utama seorang anak perempuan

adalah membantu orangtua. Maka, Sarini pun

tidak punya pilihan lain. Meski begitu, Sarini

 

mendapat kesempatan belajar menjalankan

usaha batik, hingga memiliki kelihaian dalam

memilih dan mewarnai bahan, lalu menulis dan

mengecap bahan tersebut menjadi kain batik

yang cantik. Keahlian tersebut mendorongnya

berkreasi membuat motif baru yang berbeda

dari perajin batik lain di sekitarnya.

Berbekal pengalamannya itulah Sarini kemudian

 

mulai berpikir untuk memisahkan diri dari

usaha orangtuanya dan membuka usaha batik

sendiri. Pada tahun 1976 keinginannya itu terwujud.

 

Ia mendirikan Usaha Batik Sarini yang

diambil dari namanya sendiri. Modal awal yang

ia miliki ketika itu hanyalah enam lembar kain

dan uang sebesar Rp 500 ribu. Dengan tangannya

sendiri, Sarini mengubah keenam lembar kain

tersebut menjadi kain dan sarung batik tulis

serta cap yang kemudian dipasarkannya melalui

koperasi.

PEMILIK SHOWROOM PERTAMA

Ya, bersama suaminya, Sarini membesarkan

 

usaha batik, awalnya melalui koperasi di

 

sekitar Cirebon. Selain ke koperasi, ia

 

juga menjualnya ke seorang saudagar batik

 

keturunan Tionghoa. Pesanan demi pesanan ia penuhi,

sampai akhirnya Sarini memberanikan diri memasarkan

batiknya ke luar kota seperti

Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.

Di Jakarta, Sarini menetapkan titik penjualannya

 

ke Pasar Tanah Abang, karena menurutnya

 

permintaan kain batik di sana cukup tinggi. Benar

 

saja, tak butuh waktu lama, Sarini mendapatkan

 

kerja sama dengan enam toko batik di pasar Tanah

 

Abang. Sarini pun mengirimkan batiknya ke Pasar

 

Grosir Tanah Abang sekali setiap seminggu.

 

Akibatnya, penjualan ke Jakarta meledak bila

 

dibandingkan dengan penjualan ke Bandung atau

Yogyakarta.

Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun

 

Terus meningkat. Sarini tidak hanya mengirimkan

 

bahan per potong, melainkan per kodi (20 potong kain).

 

Seiring berjalannya waktu Sarini mulai dapat memutar

 

keuntungan yang ia peroleh dan membuka showroom Usaha

 

Batik Sarini di Cirebon tahun 1985.

“Dulu, di Cirebon belum ada banyak showroom, yang ada

hanya koperasi. Sementara saya yang sudah mengenal

 

batik sejak tahun ‘70-an, merasa bahwa batik bisa jadi

 

usaha yang cocok di sini. Akhirnya, sayalah yang

 

pertama kali membuka showroom di daerah sini,”

 

kenang Sarini tentang awal membangun usaha

batiknya.

Kala itu, ikiim usaha batik sedang membaik. Dengan bahan

baku yang terbilang cukup murah, yakni bahan katun seharga Rp

6o ribu per lembar, seorang pengusaha batik mampu menjualnya

dengan harga beberapa kali lipat. Jika seoräng pengusaha batik

memiliki modal sebesar Rp 125 ribu, setelah menjadi kain batik

ia dapat menjualnya dengan harga Rp 350 ribu. Selain masih

sedikitnya perajin batik di daerah Cirebon, showroom yang ia

bangun menjadi daya tarik yang penting.

Ternyata membuat showroom adalah keputusan yang tepat.

Showroom-nya tidak hanya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga

diminati importir dari Jepang. Pada awal usahanya, dia mengirim

batik ke Jepang dengan omzet Rp 15 juta per tahun. Hingga saat

 

ini, hubungan Sarini dengan importir Jepang

tersebut masih berlanjut.

Selain sebagai tempat untuk memproduksi

dan memasarkan produknya, showroom tersebut juga

 

digunakan untuk menampung hasil

batik dari para perajin kecil di sekitar showroom.

 

Sarini membeli produk mereka, kemudian

memasarkan ke langganannya di Jakarta, Bandung,

 

Makassar, dan Lampung.

PAMERAN? AYO SAJA!

Sebagai pengusaha batik, salah satu cara jitu

memasarkan produknya adalah dengan mengikuti

 

pameran. “Saya ikut berbagai pameran.

 

Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran

 

dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak

 

konsumen bertanya kapan ada pameran

lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran

yang sempat diikutinya di Jakarta Convention

Center. Terlebih lagi, Sarini mendapatkan bantuan

 

sebesar Rp 1,5 juta. “Saat pameran di JCC

ada pembeli dari Singapura yang memborong

dagangan saya sejumlah Rp 26 juta. Sedangkan

pelanggan terjauh saya berasal dari Jepang,”

tutur Sarini.

Namun, pada tahun 2005 kehidupan Sarini

dilanda musibah keluarga. Ia memutuskan berpisah

 

dari suaminya dan hal ini mengakibatkan

 

pecahnya kongsi bisnis mereka. Akibatnya Sarini

 

harus memulai usaha batik yang sudah

dirintisnya sejak usia 22 tahun itu dari awal lagi.

Sarini pun mengontrak sebuah rumah, tidak

jauh dari bekas showroom-nya dahulu.

Pada saat itulah Sarini bertemu dengan bank

bjb yang menaruh perhatian pada usahanya

dan memberi suntikan modal sebesar Rp 5 juta.

Dengan modal tersebut, Sarini bangkit dari

 

permasalahannya dan usahanya kembali melesat.

 

Peminatnya kini bukan lagi dari seputar

Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, namun juga

 

dari Surabaya, Lampung, Palembang, dan

Jambi, bahkan Thailand.

Perkembangan usaha Batik Sarini membuat

bank bjb semakin percaya pada kemampuan

usaha Sarini. Pinjaman yang diberikan pun

bertambah, menjadi Rp lo juta, Rp 70 juta, lalu

 

Rp 200 juta di tahun 2011. Pinjaman itu

 

Dimanfaatkan dengan cermat oleh Sarini

 

untuk membangun showroom sendiri, sehingga

 

ia tidak perlu lagi mengontrak. Dia juga

membuka dua cabang, yaitu di Trusmi, Plered,

 

Cirebon dan pusat perbelanjaan batik di

Thamrin City, Jakarta.

Sejak menjadi debitur bank bjb, Sarini pun

 

‘keranjingan’ mengikuti pameran. Bahkan

bisa sebulan sekali. Kocek yang berani ia

 

rogoh pun tidak sedikit. Sekali mengikuti

pameran di JCC, misalnya, dia harus

 

mengeluarkan uang minimal Rp 10 juta. Belum

lagi biaya transportasi dan penginapan.

 

Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp

15 juta untuk setiap pameran.

Meski demikian, tujuan utama Sarini mengikuti

 

pameran bukanlah mencari keuntungan sesaat.

 

Sebab, biasanya hasil penjualan di

 

pameran hanya bisa menutup biaya yang

 

dikeluarkan. Justru pesanan jangka panjang

lah yang menjadi targetnya.

Selama beberapa kali mengikuti pameran,

 

Sarini menyimpulkan bahwa kegiatan ini

terbukti manjur untuk mendapatkan order

 

jangka panjang dan meningkatkan omzet

 

penjualan batiknya. Pesanan yang datang dari

pameran kadang membuatnya kewalahan. Selain

 

tenaga kerja, modal yang terbatas juga

bisa menjadi masalah. Misalnya dengan total

 

order Rp 70 juta, pemesan biasanya hanya

memberikan uang muka Rp 10 juta. Karena itu

 

Sarini kerap meminta bantuan ke bank bjb

sebagai modal kerja untuk menutupi kekurangan

 

biaya membeli bahan baku, seperti kain,

alat membatik, cap, dan pewarna. Setelah

 

produksi selesai dan pesanan dikirim, baru

lah pemesan membayarkan sisa pembayarannya

 

dan Sarini membayar angsuran pinjamannya

 

ke bank dengan penuh disiplin.

MEMBUAT MOTIF SENDIRI

Dalam mengelola usaha, Sarini langsung turun

tangan mengatur penyediaan bahan baku dan

proses produksi. Ia mendapatkan bahan bakunya

 

dari 3 toko di kawasan Pekalongan. Walau

kadang terdapat perbedaan harga, Sarini

 

menganggapnya masih dalam kondisi wajar.

 

Ia hanya tinggal memilih harga yang paling murah dari

ketiga tawaran tersebut. Sarini pun kini tidak

perlu repot datang ke toko tersebut karena sudah

mengenal kualitas bahan yang disediakan.

Tinggal telepon dan transfer, barang pun di

kirim. Bahan yang biasa digunakan adalah

katun dan sutra, namun saat ini bahan katunlah

yang lebih banyak diminati.

Dari kain polos Sarini menjadikannya aneka

produk pakaian batik. Ia mengembangkan

 

beberapa model baju yang dapat diproduksi

 

secara massal. Sementara untuk pesanan khusus,

Sarini menyediakan penjahit tersendiri.

 

Untuk memenuhi pesanan seperti ini biasanya

dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari, dan para

penjahit dibayar antara Rp 40 ribu hingga Rp

125 ribu per baju, tergantung tingkat kesulitan.

 

Batik Sarini memiliki ciri khas pada motifnya

yang unik. Bayangkan saja, ia menciptakan motif

yang tidak biasa untuk kain batik, misalnya,

kupu-kupu, capung, sepeda, payung, kotak,

 

kelereng, dan parang. Bahkan Sarini kini sedang

membuat motif bola basket dan renang. Hal ini

memberi nuansa berbeda dibandingkan batik

Cirebon lainnya. Meski begitu, motif khas mega

mendung (atau motif Garutan) tidak pernah ia

lupakan karena motif ini paling dikenal orang

dan otomatis paling laris.

Sarini biasanya merancang motif batiknya

di atas secarik kertas, kemudian dua orang

pekerjanya yang ahli merancang motif

 

menggambarnya pada selembar kain. Salah satunya

adalah adik kandungnya sendiri. Setelah di

gambar, dilakukan proses mengecap atan menulis.

 

Dari segi waktu pengerjaan, batik cap

memang lebih singkat—hanya dua hari—ketimbang

 

batik tulis yang bisa memakan waktu l-2 bulan.

SELUK BELUK BISNIS KELUARGA

“Ada dua adik saya yang bertugas menggambar,

tapi ada juga yang bertugas mengecap dan lainnya.

 

Total ada sekitar 10 orang keluarga yang

ikut mengembangkan usaha,” papar Sarini.

Mempekerjakan keluarga dalam usaha memang

 

ciri khas usaha kecil dan menengah Indonesia,

namun tentu saja bukan perkara mudah. Sarini

pun mengakui, terkadang timbul perselisihan di

antara mereka. Namun demikian, perselisihan

itu masih dalam batas wajar dan semua bisa

diselesaikan.

Ketika merekrut keluarga sendiri, Sarini

 

bukannya tidak mempertimbangkan segala hal.

Namun, Sarini merasa tidak dapat mengerjakan

semuanya sendiri. Ia membutuhkan bakat dan

keahlian yang turun-temurun telah dimiliki

 

keluarganya, sehingga menjadikan mereka sangat

terampil dan ahli dalam memproduksi kain batik.

Selain itu, beberapa di antara anggota keluarganya

memang membutuhkan pekerjaan.

Selain anggota keluarga, Sarini juga merekrut

Sekitar 30 orang pekerja yang berasal dari

 

warga sekitar. Setiap orang dilatih agar

 

mampu membatik, mengecap, mewarnai, dan mencelup.

 

Setelah dilatih, Sarini mengelompokkan mereka

 

sesuai dengan spesialisasi masing-masing.

 

Misalnya, untuk pekerjaan mengecap diperlukan

 

dua orang, mencelup dibutuhkan tiga orang,

 

sedangkan tim membatik sebanyak 20-an orang.

 

Untuk upah, Sarini membayar secara borongan

 

Berdasarkan pekerjaan yang dihasilkan. Kisarannya

 

untuk pekerja wanita bisa mendapatkan Rp 15-20

 

ribu per hari, sementara pekerja laki-laki Rp 6o

 

ribu per hari.

 

Meski demikian, hambatan tetap saja ada.

Pernah ada karyawannya yang dibajak atau

pindah ke tempat lain, “Tetapi ujung-ujungnya

juga ada yang balik lagi karena lebih merasa

nyaman bekerja di tempat saya,” ujarnya sambil

tersenyum. Untuk menyiasati agar karyawannya

betah, Sarini memberikan mereka bonus dari

batik yang berhasil dijual saat pameran.

Walau usahanya banyak melibatkan keluarga,

 

Sarini mengaku bakal mengalami kesulitan

 

mendapatkan penerus. Pasalnya, dari

ketiga anaknya ia belum melihat ada yang

 

berminat meneruskan bisnis batiknya. Dua anaknya

 

telah menikah dan tinggal di Surabaya.

Anak pertamanya menikah dengan seorang pria

yang memiliki usaha toko emas, anak keduanya

adalah seorang sarjana kehutanan dan bekerja

sebagai pegawai, sementara anaknya ketiga

cenderung tidak berminat bisnis.

Padahal, Sarini beranggapan bahwa menjadi

pengusaha jauh lebih nyaman dibandingkan

menjadi pegawai. “Kalau usaha kita maju,

 

pendapatan yang dihasilkan akan lebih besar dari

gaji bulanan pegawai biasa. Kalau pegawai biasa

naik gaji paling hanya setahun sekali. Menurut

saya, berdagang merupakan pekerjaan yang

memerlukan kreativitas tinggi,” kata Sarini

yang berharap sang Adik akan menjadi penerus

usahanya kelak.

 

PERSAINGAN SHOWROOM BATIK

Dalam persaingan bisnis batik Cirebon, selain

motif, Sarini juga menganggap faktor harga

sebagai hal yang penting. Terutama untuk para

pembeli grosiran. Jika harga satuan kainnya

mencapai Rp 50 ribu, harga grosirannya sebesar

Rp 40 ribu.

Meskipun potongan harga yang diberikan

tidak terlalu banyak, pasti bisa membuat

pesaingnya merasa terancam. “Pernah ada

yang iri, kalau saya ikut pameran mereka suka

membicarakan saya di belakang. Tapi biar

bagaimanapun, namanya juga usaha, kita harus

tetap maju. Hal itu tidak memengaruhi saya,”

ujar Sarini mantap.

 

Kini, dengan menjamurnya showroom batik di

 

Cirebon, Sarini merasakan sengitnya

persaingan. Karena itu ia melakukan ekspansi

dengan membuka kios dan lapak di Thamrin

City, Jakarta. Awalnya, Sarini mendapat kios

tersebut secara cuma-cuma, mengingat pusat

batik di Jakarta itu masih terbilang baru. Namun,

sejak lokasinya ramai, ia harus mengeluarkan

Rp1.050.000 per bulan untuk sewa kios. Tarif

sewa itu menurutnya masih terbilang murah jika

dibandingkan dengan biaya sewa kios di tempat

lain. Di Bandung, misalnya, tarif sewanya bisa

mencapai belasan juta rupiah per bulan.

Dua bulan pertama berada di Thamrin

City, kios Batik Sarini sepi pengunjung. Tiga

 

pekerjanya bahkan sampai tak betah karenanya.

Sarini pun tidak tinggal diam. Ia mengirimkan

sms kepada para pelanggannya yang berada di

Jakarta untuk mengabari bahwa Batik Sarini

juga tersedia di Jakarta. Sarini berharap para

pelanggannya lebih senang karena tidak perlu

jauh-jauh datang ke Cirebon lagi. Voila! Sejak

itu kiosnya ramai pengunjung. Meski baru enam

bulan berjalan, Sarini mampu meraih omzet

hingga Rp 40 juta per bulan.

“Sebagai orang bisnis, kita harus punya tanggung

 

jawab kepada karyawan. Jangan sampai karyawan

 

kita telantar. Itu yang harus kita

perjuangkan untuk bersama-sama mengembangkan

 

usaha,” ujarnya optimis. Karenanya,

Sarini tidak pernah hanya pasif menunggu

pesanan. Jika dari pelanggannya tidak ada kabar,

 

dia aktif menelepon menanyakan apakah

mereka memerlukan bahan batik baru. Dengan

cara ini, pesanan pun rutin datang mengalir.

Menurut perhitungan Sarini, kini total

 

omzetnya bisa mencapai Rp 50 juta-70 juta per

bulan. Dengan keuntungan dari penjualan batik

per potong berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp

125 ribu, setiap bulannya Sarini mampu meraih

keuntungan bersih sebesar Rp 8 juta.

 

MANAJEMEN USAHA

Berjualan batik ternyata juga ada musimnya.

Sama seperti usaha tekstil lainnya, sebulan

sebelum Ramadhan biasanya pesanan bisa

melonjak hingga tiga kali lipat, mencapai ratusan

kodi. Terkadang Sarini merasa kewalahan dengan

 

banjirnya pesanan, mengingat semua

pemesannya meminta cepat, sementara tenaga

pekerjanya tetap. Pesanan biasanya membanjir

dari Jakarta dan Bandung.

Belum lagi jika ada jadwal pameran di waktu

yang sama. Hal tersebut sering kali membuatnya

semakin kewalahan. “Setiap kali mengikuti

pameran kita harus sudah mempersiapkan

barangnya. Jadi produksi harus lebih cepat.

Sementara bagian produksi masih kewalahan

menepati janji pesanan sebelumnya,” tutur

wanita yang dari usaha batiknya ini sudah

menunaikan ibadah haji di tahun 2001 lalu.

Dalam kondisi normal, produksi batik Sarini

mencapai 5-6 kodi pakaian jadi per hari. Jumlah

tersebut terdiri dari batik cap, tulis, serta

kombinasi kedua metode tersebut. Produk yang

dihasilkan berupa rok, kemeja pria, baju pesta,

blus wanita, gamis, dan kerudung. Meskipun

menghasilkan banyak inovasi produk, Sarini

 

paham henar bahwa yang paling digemari

adalah kain batik sepanjang 2 meter dan 2,5

meter, karena konsumen lebih bebas berkreasi

membuat pakaian yang sesuai dengan keinginan

serta kebutuhan mereka. “Saya selalu mengarahkan

 

para sales untuk lebih dulu menjual

produk jadi, agar barang tidak menumpuk,”

papar Sarini.

Selain menyiasati target penjualan, Sarini

juga mengelompokkan harga sesuai produknya.

Kemeja pria dihargai mulai dari Rp 35 ribu

untuk pembelian kodian dan Rp 50 ribu untuk

pembelian satuan. Sementara bahan batik

dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu.

Untuk mempermudah pembayaran, Sarini

 

membuat beberapa sistem pembayaran, seperti

tunai, transfer, atau diangsur. Bagi pembeli yang

mengambil dalam jumlah banyak, ia memberi

keringanan tempo pembayaran selama dua

minggu hingga sebulan. Untuk pembeli dari luar

daerah, Sarini memberikan keringanan ongkos

kirim agar konsumen tetap setia padanya.

Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui

 

inovasi produk secara kontinyu. Sarini

berupa menciptakan model-model baru yang

lebih variatif dengan menggunakan warna yang

banyak digemari, seperti merah dan cokelat.

Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan

tertinggi yang datang ke showroom maupun

cabangnya. Hasilnya, pelanggan menyukai

 

inovasi tersebut dan membuntuti setiap pameran

yang diikutinya. Hal ini memacu Sarini untuk

terus berinovasi dan berjuang mengembangkan

usahanya.

Mengenai teknologi, Sarini merasa tidak begitu

 

memerlukannya. Segalanya dilakukan secara

 

manual, termasuk pencatatan keuangan.

Kalaupun menggunakan teknologi paling-paling

sebatas memiliki akun Facebook Batik Sarini

sebagai sarana promosi. Akun tersebut dikelola

oleh karyawannya karena Sarini tidak begitu

mengerti social network. “Saya lebih mahir

mengatur masalah pameran dibandingkan jika

harus mengurus teknologi,” ungkapnya jujur.

Namun demikian pameran tidak selalu

berbuah manis. Ada masanya pameran yang

diikuti Sarini malah membuatnya rugi karena

sepi pengunjung. Kalau sudah begini, Sarini

harus mencari pinjaman lain untuk menutupi

biaya operasional pameran. Menurut Sarini,

bank bjb sangat kooperatif dan berperan besar

dalam membantu mengembangkan usahanya,

 

baik ketika mengalami masa sulit maupun masa

jaya. Jika pameran yang diikutinya berhasil,

pembayaran pinjamannya ke bank bjb juga

lancar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.

Sedangkan ketika mengalami kerugian, Sarini

diberi kemudahan dengan cara diperbolehkan

hanya membayar bunganya saja.

Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya

 

terpuruk. Dia memilih untuk segera bangkit.

Saat ini, Sarini memusatkan perhatian pada

 

rencana untuk menambah showroom di Bandung.

Sebab, dari pengalamannya mengikuti pameran,

banyak pelanggannya yang menanyakan cabang

Batik Sarini di Bandung. Pembelinya di Cirebon

pun banyak orang Bandung. Selama ini, rencana

tersebut masih terbentur harga sewa kios yang

 

cukup tinggi di Bandung.

“Pendapatannya masih bagus di showroom

yang di sini. Sesekali masih mengikuti pameran di

luar kota. Tapi keinginan saya untuk buka show

room lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada

rezekinya,” ujarnya optimis.

 

Catatan Rhenald Kasali

SELAIN JELI MELIHAT peluang, keuletan dan tahan banting adalah ciri lain

 

seorang wirausaha. Siapakah yang tidak pernah jatuh atau mengalami ujian?

 

Perhatikanlah yang dialami ibu tiga anak dari Cirebon ini. Bercerai dari

 

Suami dan memulainya kembali dari nol, anak-anak tidak ada yang mau

 

meneruskan usaha, cemoohan dari para pesaing saat ía ikut pameran, lokasi

 

usaha yang sepi saat membuka di Tharnnin City, dan seterusnya.

Semua itu dilalui Sarini dari hari ke hari. Namun, yang terpenting bagi

 

setiap usahawan adalah ia bukan telur yang mudah pecah bila jatuh,

 

melainkan membal bak bola tenis. Usaha keluarga memang penuh ujian. Kalau

keluarga berpisah, modal pun berpisah, Kalau di rumah ribut, di warung pun

 

ribut. Sebaliknya juga demikian. Rapat kantor ya rapat keluarga. Semua ikut

mempengaruhi.

Tetapí kalau bukan keluarga siapa lagi yang membantu? Modal tidak besar,

 

tenaga profesional belum bisa dibiayai, produksi belum lancar ya seluruh

 

anggota keluarga harus ikut menopang. Minimal suami atau istri memegang

 

keuangan karena uang butuh kepercayaan. Tetapi juga tak ada jaminan bahwa

 

anggota keluarga tidak berkhianat. Namun, manusia lebih ikhlas bila

 

kepercayaan dipegang keluarga.

Kepercayaan tidak hanya diperlukan kepada anggota keluarga melainkan juga

 

dari pasar. Itu sebabnya Anda tak bisa bermalas-malasan. Setiap saat Anda

 

harus terus memutar otak, berinovasi dan menjembatani produk dengan

 

pelanggan. Maka diperlukan hubungan baik dengan bank. Sebab bank yang

 

percaya akan membantu mereka yang bersungguh-sungguh untuk menjembatani

 

Anda dengan pasar. Usaha keluarga juga memerlukan ‘jendela’, ÿaitu bingkai

 

untuk melihat keluar. Usaha keluarga tak berjendela akan membuat Anda diam

 

di tempat bak dinosaurus, besar namun mudah punah. Itu sebabnya pameran-

 

pameran sangat diperlukan sama halnya dengan showroom. Sebab betapa pun

 

bagusnya karya Anda ‘tanpa jendela’ tak ada interaksi, tak ada kemajuan.

 

Make bukalah jendela, bangun hubungan dengan pelanggan-pelanggan Anda

dan jangan mudah pecah seperti telur.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012

Sanin, Mantan Tukang Becak yang kini Jadi Juragan Garam dengan 50 Karyawan

Sanin, Berkah Garam Seorang Tukang Becak

 

Sepuluh tahun bertekun mengayuh becak

tak membuat Sanin menyerah begitu saja

terhadap nasib. Keringat yang mengucur

akhirnya mengkrista1 bagai garam.

Asinnya garam membuat kehidupan Sanin

tak lagi hambar.

 

 

DARI seorang tukang becak, Sanin meniti

usaha sebagai pembuat garam dapur dan pupuk

yang kini beroleh sukses. CV Sanutra Utama

 

yang didirikannya tahun 1985 dengan

modal awal Rp 1 juta dan dikerjakan sendiri,

 

kini telah memiliki 50 pekerja dan 0mzet

 

Rp 200 juta per bulan. Pemikirannya sederhana

 

saja: di Cirebon sangat banyak dan mudah

 

mencari bahan garam. Lalu, di usia 35 tahun,

 

Sanin pun mendirikan pabrik garam.

Memang bukan perjalanan yang mudah. Kesulitan

 

Modal pun masih dirasakannya hingga sekarang.

 

Namun, kalau sejak dulu ia mudah berputus

asa, mungkin bukan seperti ini hidup yang sekarang

 

digenggamnya.

 

PRODUKSI GARAM YANG BERBUAH MANIS

Selama 5 tahun mengayuh becak di Cirebon, Sanin

 

mengamati Cirebon sebagai sentral garam. Melihat ada

 

peluang untuk memperbaiki kualitas hidupnya, ia pun

 

berganti haluan. Becak ditinggalkan dan beralih menjadi

 

karyawan perusahaan garam sebagai pencetak garam dapur.

 

“Kerja dulu nyetak garam, berguru selama 5 bulan. Setelah

 

bisa, bikin sendiri di rumah. Dulu sama istri nyetak sendiri,

 

manggang sendiri, dipasarkan sendiri, kita kan pakai

 

sepeda dulu,” tutur Sanin. Usaha yang dirintisnya

ini terus bergulir. Sanin pun tak lagi hanya mengandalkan

istrinya. Ia mulai mengambil tetangga sekitarnya untuk

 

bekerja di pabrik garamnya. “Mereka datang sendiri

 

karena butuh pekerjaan,” kenang Sanin.

Mungkin para penduduk di sekitarnya mulai

merasakan pertumbuhan usaha garam Sanin.

Jadi, Sanin pun tak perlu pilih-pilih. “Rata-rata

saya sudah kenal dengan mereka. Jadi ketika

mereka minta pekerjaan, ya saya berikan,”

ujarnya lugas. Kini, ada 8 orang yang bekerja

 

di ladang garam, 30-an orang di pabrik, 6 orang

bagian distribusi, dan 4 orang sales.

Sanin sendirilah yang melatih semua pekerjanya

 

mengenai segala hal pengolahan garam. Ia fasih

 

mengenai pekerjaan di ladang garam, mengumpulkan

 

butir garam hingga menggenjot cetakan, juga

 

memasukkan dalam kemasan yang siap dijual.

 

“Kalau ada pelatihan mengenai pengolahan garam,

 

saya dan anak saya yang datang, sampai pernah ikut

 

pelatihan di Madura,” ujarnya. Lalu, mereka berdualah

yang mengajarkan semua karyawan. Sanin yang berhasil

 

menyekolahkan anak anaknya hingga lulus dari perguruan

 

tinggi negeri ternama di Yogyakarta kemudian melibatkan

anak-anaknya dalam usaha garam ini. Bagi Sanin, anggota

 

keluarganya adalah orang-orang yang paling mengetahui

 

dan memahami kondisi perusahaan. Merekalah orang-orang

 

yang paling tepat untuk membesarkan usaha yang

dirintisnya tersebut. “Selain itu, saya lebih tahu

 

kebiasaan anggota keluarga saya daripada

karyawan lain di luar keluarga,” ujarnya.

Jadi, tiga dari empat anaknya yang notabene

perempuan semua, kini berkecimpung mengurus garam.

 

Tak terkecuali, para suami mereka.

Bahkan salah satu menantunya kini dipercaya

 

mengepalai gudang, mengawasi produksi,

juga mengurus rekrutmen di pabrik. “Ada juga

yang mengurus pengadaan barang,” ujarnya,

“Jadi saya tinggal kontrol dan tanda tangan

untuk menjual BG.” Mungkin, firasat Sanin

tidak keliru. Hingga saat ini semua anggota

 

keluarga yang terlibat tetap rukun dan memiliki

hubungan yang baik.

Dalam benak Sanin, memang ada keinginan

 

untuk mempekerjakan orang-orang yang profesional

 

dalam bidangnya. Namun, melihat kondisi keuangan

 

dan pabrik saat ini, niat tersebut belum bisa

 

terwujud. “Ya, nantilah. Kalau sudah punya modal

 

besar dan pabriknya juga sudah besar. Saat ini kami

 

belum mampu mempekerjakan karyawan profesional,” ujarnya.

MENYIASATI KEUANGAN

Minimnya mengecap bangku sekolah sempat

membuat Sanin mengalami kesulitan saat berurusan

 

dengan pihak bank. Saat membuat bilyet biro (BG)

 

di sebuah bank swasta ternama,

Sanin kagok saat membubuhkan tanda tangan.

Semakin sering mencoba agar tanda tangannya

sama persis, semakin berbeda hasilnya.

Walhasil, Sanin pun ditolak menjadi debitur

bank tersebut, meski memiliki usaha dan mobil

sendiri serta perusahaan atas nama pribadi.

Sulitnya Sanin mencari suntikan modal mendapat

 

jalan keluar saat mulai bisa berutang ke

bank tahun 1997. Namun baru pada tahun 2003,

Sanin mendapat pinjaman sesuai jumlah yang

diinginkannya, yaitu Rp 100 juta dari bank bjb,

dengan jaminan perusahaannya sendiri. Sanin

butuh permodalan banyak, sebab minimal

dalam sehari harus memiliki 6 ton bahan baku

 

garam. Dalam sebulan ia membutuhkan kurang

lebih 200 ton garam, sehingga dalam setahun

minimal ia harus menyediakan 2.000 ton garam.

Apalagi, untuk membeli bahan baku tersebut ia

harus membayar kontan.

Lantaran ingin memiliki uang banyak untuk

membeli 2.000 ton garam sekaligus setiap

tahunnya, Sanin pun rutin meminjam ke bank

dengan jamjnan rumah dan kendaraan. Namun,

agar tertib dan disiplin dalam membayar utang,

Sanin selalu mengambil tempo pinjaman 1 tahun.

Tidak pernah lebih dari itu. “Minimal per bulan

bayar ke bank Rp 45 jutaan, lah. Alhamdulillah

belum pernah ada masalah. Lancar terus. Bulan

tujuh sudah ketutup lagi. Garam murah kami

beli lagi, pinjam lagi, setahun ketutup lagi,”

urai Sanin. Ia pun mengakui bahwa salah satu

yang membuatnya sukses dalam urusan kredit

ini adalah memilih bank yang bunganya paling

rendah.

Dengan menggunakan perputaran uang

pinjaman setahun sekali, Sanin lebih mudah

mengontrol dan mengetahui untung atau rugi

 

usahanya. Setiap menjelang bulan Juli, saat

hendak penutupan pinjaman bank, Sanin

menghitung hitung dana. Setelah utang

tertutupi, jika ada lebih, digunakan untuk

menambah aset seperti ladang garam, tanah

untuk perluasan pabrik garam, rumah, maupun

kendaraan.

Usahanya terus berkembang hingga perlahan

 

tapi pasti Sanin memiliki pabrik

pengolahan garam di Rawa Urip, 6 buah rumah,

serta 9 kendaraan yang terdiri dari truk dan

mobil pribadi. Selain itu, impian Sanin ke Tanah

Suci pun tercapai pada tahun 2000 dan 2010.

Setiap keuntungan yang diraih, dibelikannya

aset secara bertahap. Dengan membeli aset,

Sanin mengaku dapat mengetahui apakah

bisnisnya mendapatkan untung atau justru rugi

di tahun yang sedang berjalan. “Soalnya bisa

 

kelihatan wujudnya,” ujarnya lugu.

Karena setiap keuntungan dibelikan aset,

Sanin harus selalu kembali mengajukan

pinjaman ke bank untuk membeli bahan baku.

Dana yang dipinjam bisa cukup besar bila ia

 

merasa barga bahan baku garam sedang turun

 

dan dia perlu membeli banyak. “Kalau

musim kemarau, garam lokal bisa dibeli dengan

 

harga Rp300,” ujarnya. Setelah itu

disimpannya bahan baku tersebut dan dijual

 

secara bertahap. Harga jualnya bisa

mencapai Rp600, yang berarti dua kali lipat

 

dari harga beli. “Bahkan, kadang bisa saya

jual Rp1.000,” urainya, “Kalau saya jual

 

ke pelosok dengan harga Rp500, untungnya

 

sudah hampir 75 persen.” Dari keuntungan

 

itulah Sanin menutup utang dan membeli aset.

Meskipun berkali-kali meminjam, hingga

saat ini Sanin amat menjaga kepercayaan

agar tidak terjadi masalah ke bank, “Tutup

utang, lalu tahun berikutnya utang lagi!” Sanin

tampaknya tidak sekadar bicara. Pabrik yang

dibeli secara bertahap, sedikit demi sedikit

 

setiap ada keuntungan, juga ladang garam yang

kini mencapai luas 6 hektar adalah saksi bisu

perjalanannya mengolah garam selama hampir

30 tahun.

Sanin melihat kelemahan pengusaha yang

bangkrut dikarenakan manajemen keuangan

yang kurang terkontrol. Keuntungan yang

 

diperoleh tidak disimpan atau diputar kembali

untuk membeli bahan baku atau melunasi utang,

melainkan dibelikan hal-hal yang diinginkan.

Beda halnya dengan Sanin yang disiplin

 

memprioritaskan pelunasan utang bank. “Yang

 

penting adalah mencatat pemasukan dan

 

pengeluaran dengan benar,” demikian tipsnya.

Apalagi, bahan-bahan yang dibelinya harus

dibayar secara kontan. Pada saat diwawancara,

Sanin tengah menunggu dua trailer yang

 

membawa 105 ton bahan mentah garam dari Surabaya.

 

“Seratus lima ton itu harus dibayar Rp 105

juta kontan,” paparnya, “Jadi, kadang-kadang

saya jual BG.”

 

Meski berusaha disiplin dalam hal keuangan,

bukan berarti Sanin tidak pernah menghadapi

masalah keuangan. Ini terjadi pada tahun 2003

saat menantu sulungnya mencalonkan diri dalam

pemilihan kepala desa (Pilkades). Modal untuk

membeli garam yang saat itu harganya masih

murah digunakan untuk biaya pencalonan. Saat

hendak membeli garam pada tahun 2006, harganya

 

ternyata sudah melonjak tinggi. Apesnya

lagi, sang menantu tak memenangkan Pilkades.

Sanin pun berutang hingga Rp 6oo juta. Namun,

Sanin merasa lega dan bersyukur karena pada

tahun 2008, seluruh utang tersebut telah lunas.

“Alhamdulillah, pulih lagi. Malah akhirnya sampai

 

lebih. Sampai susah ngitung lebihnya,” ucap Sanin.

Pelajaran mahal yang dipetik Sanin adalah

tidak mau sembrono memperlakukan BG. Setiap

ada BG segera ditukar agar terus berputar dan

bergulir. Sanin menjaga namanya dengan baik

agar jangan sampai cacat dalam catatan bank.

“Kalau sekali nama kita tercemar, semua bank

akan tahu,” ujarnya, “Nanti kita juga yang jadi

tidak laku. Padahal kita harus bayar plastik ke

Semarang, garam ke Surabaya, banyak sekali!

Jadi, saya pesan benar-benar ke anak-anak,

supaya mereka jangan sampai menunggak.”

Dengan cara tersebut ia berharap kapan pun

membutuhkan pinjaman uang dari bank, ia tidak

 

akan mengalami kesulitan. Sanin yang pernah

dengan mulus meningkatkan pinjaman ke bank

bjb menjadi Rp 150 juta pun berencana menaikkan

 

jumlah utang menjadi Rp 200 juta. Faktor

 

kepercayaan dan tidak pernah menunggak

pembayaran dipegang teguh oleh Sanin.

Karena sudah mendapat kepercayaan, Sanin

 

mengaku tidak lagi sering dikejar-kejar

untuk masalah pembayaran. “Waktu tahun

pertama, telat sehari sudah ditelepon terus,”

kenangnya, “Padahal, saya mah orang usaha.

Kena bunga berapa pun pasti saya bayar. Yang

penting menutup utang di bulan itu.” Sanin

merasa beruntung karena bank bjb memahami

usahanya. “Lebih longgar dan tidak cepat

memberi peringatan,” katanya bersyukur.

PEMASARAN DAN PERLUASAN

Karena menjalankan pabrik berdasarkan intuisi

bisnisnya sendiri, Sanin tidak banyak melakukan

 

inovasi dalam usahanya. Setiap pagi

Sanin dan anak-anaknya menjual garam ke

pasar-pasar yang ada di sekitar tempat tinggal

 

dan pabrik mereka. Penjualan yang dulu

menggunakan sepeda, kini telah menggunakan

mobil yang disopirinya sendiri.

Sementara sore hari, para sales-lah yang

memasarkan garam ke toko-toko yang sebagian

 

besar berlokasi di wilayah 3, yaitu daerah

 

Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu.

 

Kadang mereka juga merambah

Jatibarang hingga Jawa Tengah. Garam dapur

tidak diberikan kepada agen, melainkan ke

pasar langsung, itu sebabnya Sanin langsung

mendapat hasil. Sales juga mendapat fasilitas

mobil sebagai modal untuk mengangkut barang

dagangan. Setiap hari sales-nya bisa membawa

rezeki Rp 3-6 juta. “Jadi, kalau untuk anak

sekolah atau kebutuhan sehari-hari, saya tidak

bingung. Selalu ada dana,” paparnya bangga.

Selain uang, membina karyawan agar bekerja

 

dengan benar dan baik juga menjadi

modal bagi Sanin, terutama untuk para sales.

Karena begitu pentingnya peran sales dalam

usaha garam ini, Sanin berencana menambah

sales yang bisa terjun langsung ke lapangan

 

dalam rangka memperluas pasar hingga seluruh

wilayah Jawa Barat. Sanin juga ingin membuka

cabang di tempat lain, selain di Paliaman yang

berfungsi sebagai distributor.

Tentunya, perluasan pasar tidak dapat dilakukan

 

jika produk yang dihasilkan masih

terbatas. “Saya ingin membuat garam dalam

kemasan botol karena selama ini saya cuma

membuat kemasan plastik yang beratnya

berbeda-beda,” jelasnya. Namun, hal ini pun

masih terkendala dengan kapasitas produksi

 

yang mampu dihasilkan. “Kesulitan memakai

tenaga manusia adalah tidak bisa diberikan

target. Kalau sudah terlalu lelah, hasilnya akan

sangat sedikit,” ucapnya.

Lantas, mengapa tak membeli mesin saja?

“Sebenarnya, kami sangat butuh mesin, tapi

terkendala modal. Mesin itu pembiayaannya

besar,” ujar Sanin. Sanin sendiri mengaku sudah

banyak mempelajari cara kerja mesin-mesin

pembuat garam dari hasil melihat langsung

ke pabrik-pabrik lain tempatnya belajar. Jadi,

 

kalau kelak mampu membeli mesin, ia sudah

 

tahu cara mengoperasikannya. Sanin

kini giat mencari pinjaman dengan bunga

 

rendah untuk mewujudkan mesin-mesin

impiannya. Setidaknya, separuh produksi dilakukan

secara manual, separuh dengan mesin.

GARAM LOKAL VS IMPOR

Langganan masa sulit bagi pengusaha garam adalah

 

ketika turun hujan. Bahkan pada tahun 2010

 

mereka mengalami gagal panen sehingga tidak

 

ada garam lokal. Di musim kemarau, garam bisa

dihasilkan dari ladangnya sendiri maupun

 

membeli dari masyarakat. “Garam lokal lebih murah,”

 

jelas Sanin. Misalnya, dengan harga jual Rp

300, Sanin bisa mendapat keuntungan Rp5o, atau

 

Sekitar 15 persen. Sementara garam impor hanya

 

menghasilkan keuntungan maksimal 10 persen

 

karena modalnya tinggi. Sanin juga

mengambil garam dari Surabaya, yang

 

didatangkan dan Australia dan India.

Sebagai petani garam, ia fasih menceritakan

 

proses pembuatan garam. “Kita seperti bikin

 

kolam yang besar, lalu dipetak-petak,

seperti orang menggarap sawah. Perbedaannya,

 

kalau ladang garam membutuhkan tanah yang

 

halus dan keras. Kalau orang sini

sih memakai silinder, sejenis silinder mesin

 

yang dipakai untuk mengeraskan jalan. Setelah

 

ladangnya bersih, air dipindahkan.

Setelah kering, dipindahkan lagi ke petak lain.

 

Jadi, kalau airnya sudah mengental, kita periksa

 

dengan arometer. Kalau di sini disebut

hipermil. Biasanya kalau udah jadi garam,

 

ukurannya minimal 22 arometer. Ketika masih

 

berupa air laut, ukurannya 0 arometer.

Kalau sudah 22 arometer, baru jadi garam,

 

keluar, dan bertumbuh,” urainya panjang lebar.

Kalau tidak ada hujan, Sanin mengibaratkan

 

garam seperti kumis atau jenggot: hari ini dikeruk,

 

kalau besok panas bisa dikeruk lagi. Perbedaannya

 

dengan garam di Madura, ketebalan

garam di daerah Sanin untuk dikeruk hanya 1 cm.

 

Kalau di Madura, ladang-ladang garam bisa

 

mencapai ketebalan 5 cm karena ditunggui hingga

 

minimal 15 hari. “Kalau di sini tidak

 

bisa begitu. Kalau kena hujan, wah! Istri bisa

ngamuk karena anaknya enggak bisa jajan,”

ujarnya sambil tergelak.

Menurut perhitungan Sanin, nilai murni

garam adalah Rp 500 per kilogram. Kalau sehari

saja pekerja di ladang garam bisa mendapat

sekuintal garam, ia sudah beroleh uang Rp 50

ribu. Padahal, setiap harinya setiap petak bisa

menghasilkan 5 kuintal hingga 1 ton garam.

Untuk menjadi garam balok, bahan garam

dari Australia butuh perlakuan khusus, karena

tidak mengandung air. Prosesnya harus diairi

dulu supaya melekat, dicetak balok, lalu di

masukkan ke dalam oven untuk dipanggang.

Sedangkan garam lokal yang memang sudah

mengandung air bisa langsung dicetak balok.

Sementara untuk garam halus, baik lokal

maupun dari luar negeri bisa langsung di

masukkan ke dalam plastik kemasan.

Diakui Sanin, warna garam dari Australia

lebih putih karena tumbuh seperti gunung di

pinggiran laut. Sedangkan garam lokal berasal

dari air sehingga terkadang ada kotoran debu.

Namun soal rasa, menurut Sanin, garam lokal

lebih enak dan gurih. Ini karena PPN atau

 

kadar keasinan garam lokal paling tinggi 70,

sedangkan garam Australia lebih dari l00.

“Kalau masak pakai garam Australia, saat

dicicipi sudah cukup asin. Tapi begitu masakan

sudah dingin, asinnya luar biasa. Nah, kalau

garam lokal, biarpun masakannya masih panas

atau sudah dingin, rasanya tetap sama. Cuma

kadang-kadang orang kota tuh suka yang putih,

yang putih sekali, padahal enggak enak,” kata

Sanin.

Untuk proses pemanggangan, awalnya Sanin

menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.

Tetapi, pemakaian solar ternyata menjadikan

biayanya lebih tinggi. Karena itu, sejak tahun

ini ia menggunakan elpiji, yang lebih ringan dan

irit.

Selain memproduksi garam dapur, Sanin

mendiversifikasikan usahanya, yakni berjualan

pupuk untuk semua jenis tanaman. Pembuatan

pupuk memerlukan garam hingga 40 persen. “Lalu

ditambah kaptan, bahan kaptul seperti kapur dari

Sukabumi,” urainya. KCI dalam garam dibutuhkan

untuk menguatkan batang. Ia mengirim pupuknya

ke Sumatera karena tanah di sana cenderung

bersifat gambut. “Kalau tidak diberi garam,

 

tanamannya tidak bisa hidup, tidak bisa berbuah,

atau buahnya sedikit,” papar Sanin. Berbisnis

garam sangat menguntungkan bagi Sanin karena

tidak ada garam yang tersisa, “Semua garam

dipakai. Yang kotor dicampur untuk pupuk.”

Penjuaan pupuk pun dalam setahun

mencapai 2 ribu ton, bahkan pernah hingga

3 ribu ton. Tentu saja, garam yang digunakan

adalah jenis yang berbeda. Untuk garam dapur

menggunakan garam putih kualitas 1 dan 2.

Sedangkan untuk pupuk, Sanin menggunakan

garam kualitas 3.

Baik di bidang garam maupun pupuk, Sanin

tidak terlalu memusingkan urusan persaingan.

Ia percaya bahwa rezeki diatur oleh Yang Di Atas.

Apalagi Sanin melihat banyak pesaingnya yang

bangkrut. “Ada bisnis yang sama di daerah ini,

tapi perusahaannya kecil. Bahkan, untuk bahan

baku saja mengambil dari saya. Mereka tinggal

mengemasnya,” ujar Sanin. Bisa jadi, memang

tidak ada pesaing yang berarti di sekitar wilayah

tersebut.

Bagi Sanin, ia hanya beruntung. “Menyekolahkan

 

empat anak sampai jadi sarjana butuh biaya

yang enggak sedikit,” ujarnya. Ia mengisahkan,

anak bungsunya yang menjadi bidan setiap

 

bulan paling sedikit butuh Rp 4-5 juta. “Kalau

tidak mengandalkan usaha, ya repot,” ujarnya

sembari tersenyum.

Ketika ditanya, akan dibawa ke mana bisnis

garam ini, Sanin menjawab, “Saya hanya mau

memperbesar pabrik, menaikkan jumlah

produksi, menambah tenaga kerja, membeli

mesin, dan menambah jumlah armada agar

produksi saya bisa menjangkau seluruh Jawa

Barat. Setelah menggeluti usaha garam dapur

dan pupuk hingga seperempat abad, Sanin

yang kini berusia 60 tahun memercayakan

pengelolaan perusahaan kepada para anak dan

menantunya dengan berbagi tugas. Sanin hanya

tinggal mengontrol agar semuanya berjalan

dengan baik.

Pesan penting pun dibagikan kepada semua

anak dan menantunya, bahkan karyawannya,

dan siapa pun yang hendak terjun ke dalam

dunia usaha, yakni harus sabar dan jujur.

“Susahlah kalau kita berbisnis inginnya

langsung besar. Pelan-pelan saja, begitu.

Jangan sekali-kali kita banyak bohong. Kita

harus jujur. Suatu saat dalam usaha, kejujuran

pasti menjadi kesuksesan kita,” ujarnya

bersahaja.

 

Catatan Rhenald Kasali

SAYA TERTEGUN DENGAN cara Sanin membangun usahanya. Ya, seperti inilah

 

manajamen UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Tumbuhnya perlahan-lahan

 

sacara alamiah. Dan hanya mereka yang tekun jujur, serta disiplinlah yang

 

mampu bertahan dan tumbuh. Bagi Sanin untung itu ditandai dengan

 

membesarnya jumlah aset bukan yang lainnya. Seperti pangusaha lain Sanin

 

juga butuh bantuan cash flow dari bank. Namun cara kerja bank yang mampu

manyederhanakan proses dan membuat usaha UMKM ‘nyaman’ sangat menentukan

 

keberhasilan hubungan antara bank dengan UMKM. Jadi sederhanakanlah semua

 

proses dan mengertilah cara kerja mereka.

Sanin seperti UMKM lainnya adalah sebuah produk dari sebuah proses evolusi.

 

Mereka naik kelas secara alamiah dari bekal kerja keras dan kejujuran. Saya

 

sering menyebutkan, pengusaha-pengusaha kecil modalnya berawal dari sekolah

 

50 senti atau setangah meter. Dari ujung telapak kaki ke atas dengkul.

 

Mulai dari tukang becak sampai menjadi pemilik pabrik garam. Itu pun hanya

 

kecil-kecilan saja. Namun karena tekun, ia bisa berurusan dengan bank dan

 

mampu mencicil pinjaman hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.

Sanin berbeda dangan sarjana-sarjana yang hanya bersekolah lima senti,

 

yaitu hanya mengisi kepalanya dengan teori, namun kaki dan tangannya tidak

 

‘disekolahkan’ di lapangan. Mereka yang demikian hanya menjadi penganggur.

 

beban bagi msyarakat.

Bisnis ‘50 senti’ ini adalah bisnis yang marjinnya besar, namun nilainya

 

kecil dan volumenya besar. Bayangkan 105 ton hanya berharga Rp 105 juta.

 

Bagi para sarjana, nilai seperti itu terlalu kecil. Namun bagi rakyat

 

jelata, nilai seperti itu sudah sangat disyukuri. Apalagi oleh seorang

 

mantan tukang bacak.

Berbeda dengan kebanyakan usaha, bisnis UKM seperti ini mempunyai karakter

 

tunai (sehingga banyak uang recehannya). Karakter tunai yang demikian bisa

 

membuat pelaku usaha kecil terperangkap dalam ‘perilaku pedagang’ yang lupa

 

melakukan inovasi atau perluasan produksi. Setiap mendapat tawaran

 

berutang, mereka hanya berpikir untuk memodali pembelian bahan baku atau

 

barang-barang untuk dijual kembali, bukan untuk membangun pabrik yang lebih

 

besar, lebih efisien, atau lebih produktif.

Kedua, usaha kecil juga sarat dengan godaan-godaan duniawi yang bisa

 

berakhir kalau pemiliknya terperangkap dalam godaan. Secara alamiah kita

 

semua terpanggil untuk menjalankan ibadah ke Tanah Suci, namun semua ada

 

syaratnya yaitu mampu. Godaan pertama adalah ‘merasa mampu’ bukan karena

 

benar-benar mampu, melainkan karena gengsi, ingin terlihat hebat. Kedua,

 

godaan kawin lagi. Dan ketiga, godaan Pilkada. Mereka bisa menjadi besar

 

kalau mampu mengatasi godaan-godaan tersebut dan fokus pada upaya memajukan

 

usaha.

 

Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun:  Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012