Wednesday, February 13, 2013

Rajin Ikut Pameran, Monica Dulang Ratusan Juta dari Keeksisan Romantic Cotton

Berawal dari keinginan sang anak
yang ingin punya usaha sendiri,
Monica Subiakto sukses berbisnis
fashion. Ia setia mengikuti pameran
untuk mempromosikan merek
Romantic Cotton. Kini, omzet
ratusan juta rutin dia kantongi
setiap bulan.

Dalam sebuah pameran yang digelar
di Jakarta Convention Center (JCC)
beberapa saat lalu, ada satu stan
yang tampil beda. Dekorasinya
cantik dan elegan. Gaya klasik yang
berpadu dengan warna lembut
mampu memikat banyak mata.
Banyak pengunjung pun singgah
untuk melihat koleksi baju dan
pernik aksesori yang dipajang.
Itulah stan Romantic Cotton, brand
pakaian yang kini lekat dengan
kalangan perempuan kelas atas
Ibukota. Setiap kali mengikuti suatu
pameran, gerai Romantic Cotton
selalu terlihat ramai. Pelanggan
seolah tidak mau melewatkan
koleksi-koleksi terbaru hasil karya
Monica Subiakto.

Monic, panggilan akrab pemilik
Romantic Cotton, memang
mengandalkan pameran sebagai
gerai penjualannya. Berkat
keikutsertaannya di berbagai
pameran inilah, nama Romantic
Cotton banyak dikenal. Bahkan, saat
merintis usahanya empat tahun
silam, Monic juga memanfaatkan
ajang pameran, entah di sekolah
ataupun di lingkungan tempat
tinggalnya.

Monic mengawali usaha garmen ini
berangkat dari keinginan sang anak,
Amanda, untuk memiliki usaha
sendiri. Dengan modal Rp 3 juta,
perempuan yang pernah bekerja di
Danar Hadi dan Matahari
Department Store hingga belasan
tahun ini menjual kaus-kaus impor
asal Bangkok, Thailand. Ia
memperoleh kaus itu dari seorang
temannya.
Melihat respons yang cukup bagus,
kemudian, Monic memberanikan
diri untuk membuat produk sendiri.

Berdagang enam bulan, modalnya
berlipat. Akhirnya, dengan Rp 12,5
juta, Monic memulai usaha garmen
sejak Juli 2008.
Beruntung, ketika masih bekerja, ia
kerap berhubungan dengan
pengusaha konveksi, baik di daerah
maupun di Jakarta. Monic pun
menerapkan strategi maklun atau
cut, make, & trim (CMT). Ia
memberikan contoh beberapa
pakaian jadi kepada para pengusaha
konveksi mitranya. Selanjutnya,
mereka tinggal meniru sekaligus
membuat beberapa ukuran.
Monic memang tak mendesain
sendiri pakaiannya. Desain pakaian
yang menjadi contoh, adakalanya,
merupakan hasil hasil perburuannya
di luar negeri. Tapi, seringkali ide
datang ketika ia tak puas melihat
baju-baju hasil buruannya. “Lantas,
saya ubah bahan, aplikasi, hingga
modelnya,” kata Monic yang
memperoleh inspirasi dari Laura
Ashley, pendiri sekaligus merek
fashion dan interior ternama asal
Inggris.

Untuk membedakan produknya
dengan garmen yang lain, Monic
memilih hanya memakai warna
tertentu, seperti dusty pink, mint
green , dan mustard yellow,
“ Warna-warna yang lembut ini
belum banyak dipakai desainer di
Indonesia,” tuturnya.
Raja katun
Sesuai dengan namanya, Monic pun
sengaja hanya memilih bahan-bahan
katun sejak awal. “Bahan ini sangat
cocok untuk cuaca di Indonesia,”
tuturnya. Ia rela keluar masuk
pasar tradisional untuk berburu
kain katun karena seringkali toko-
toko lama menyimpan stok kain
berkualitas.

Memiliki selera yang baik dan
pandai membaca keinginan
konsumen menjadi kunci sukses
Monic mengembangkan usahanya.
Tak heran, ia pun berhasil masuk ke
pasar fashion kelas atas meski harus
bersaing dengan beberapa brand
yang lebih dulu eksis.
Pada akhirnya, etalase Romantic
Cotton tak hanya di pameran saja.

Selain datang langsung ke
kediamannya di kawasan Kemang
Pratama, pelanggan juga sering
meminta Monic mengirim baju-baju
ke rumah mereka untuk dipilih.
“Biasanya, mereka memborong
beberapa baju sekaligus,” ujar
sarjana ekonomi dari Universitas
Negeri 11 Maret, Solo ini.
Setelah berhasil mengembangkan
merek Romantic Cotton, Monic
ingin membuat produk lain. Ia juga
memanfaatkan kain perca, sisa
produksi baju-bajunya, untuk
disulap menjadi berbagai aksesori
unik. Monic juga memproduksi
produk-produk houseware dan
boneka. “Pokoknya serba katun,
saya ingin menjadi raja katun di
Indonesia,” ujarnya.
Untuk memproduksi pakaian dan
aksesori, Monic telah menggandeng
15 pengusaha konveksi. Mereka
tersebar dari Jakarta, Solo, hingga
Surabaya.
Ia masih setia berkeliling dari satu
pameran ke pameran lainnya.
Bahkan, perempuan ramah ini
sering terlihat ikut melayani
pembeli di stan Romantic Cotton
bersama beberapa karyawannya.
“Boleh dibilang JCC adalah rumah
kedua saya,” tutur Monic.

Dalam sebulan, Monic
menjadwalkan ikut dalam tiga
pameran. Lantaran, nama Romantic
Cotton sudah terkenal, ia tak perlu
repot mencari stan di pameran
karena biasanya penyelenggara
pameran yang akan mengajaknya
untuk ikut dalam pameran mereka.
Tak heran, biasanya, Monic sudah
mengantongi jadwal pameran
setahun ke depan.

Tiap pameran, Monic bisa
mencetak omzet puluhan juta
rupiah. Total, tiap bulan, Monic
bisa mengantongi pendapatan
hingga ratusan juta rupiah.( J. Ani Kristanti )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/rajin-ikut-pameran-monica-eksis-di-bisnis-fashion/2013/01/07

Stanly, Anak Petani yang Kini Jadi Bos Bengkel dan Onderdil Mobil Beromzet Milyaran

Memulai suatu usaha tidaklah
gampang, tapi juga tidak mustahil
untuk sukses. Asal ada tekad dan
kemauan kuat, pasti suatu saat akan
berhasil. Stanly Erungan (40 tahun),
seorang anak petani dari Manado
membuktikan hal itu.
Kini, Stanly sukses menjadi
pengusaha bengkel mobil dengan
omzet di atas Rp 1 miliar per bulan.
Tekad menjadi pengusaha sudah
muncul saat ia masih bekerja di
sejumlah perusahaan besar, seperti
Astra.
Stanly sudah bekerja di Astra sejak
lulus dari Universitas Padjajaran
(Unpad) Bandung tahun 1996. Di
Unpad, ia mengambil jurusan
komputer, khususnya bidang
informasi teknologi.
Lama bekerja di Astra, anak ketiga
dari empat bersaudara ini sudah
menduduki posisi penting di
perusahaan itu. Namun, tekadnya
yang kuat untuk menjadi
pengusaha, tidak menghalangi
niatnya untuk terjun ke dunia
bisnis.
"Sejak dulu, saya sudah
menargetkan bahwa pada usia
menjelang 40 tahun harus
mendirikan usaha sendiri," katanya.
Begitu keluar dari Astra pada 2001,
Stanly tidak langsung terjun ke
dunia bisnis dan mendirikan usaha
sendiri. Saat itu, ia sempat
bergabung dulu di salah satu
perusahaan oli di Jakarta.
Di perusahaan ini, ayah dua anak
ini semakin memiliki jaringan yang
kuat di dunia otomotif. Saat itu, ia
rutin memasok oli ke sejumlah
pengusaha truk, bus, dan kendaraan
lainnya. "Saya akhirnya memiliki
banyak kenalan," kata suami dari
Maria Natalia ini.
Bermodal jaringan itu, pada 2008,
Stanly lantas memilih keluar dari
perusahaan oli dan fokus mengelola
bengkel mobil di bawah bendera
usaha PT Mitra Jaya Agung Motor
yang bermarkas di Cikokol,
Tangerang, Banten.
Stanly mengembangkan usaha
bengkel ini dengan merek Mitra
Service Car (MSC). Bisnis bengkel
sebenarnya sudah dirintis sejak
tahun 2007, saat ia masih di
perusahaan oli. "Namun, saat itu
yang saya dirikan usaha bengkel
motor," ujarnya.
Setelah dua tahun berjalan, bengkel
motor itu kemudian dijualnya pada
2009. Setelah itu, ia fokus
membesarkan usaha bengkel mobil
miliknya. Selain bengkel, ia juga
menyediakan aneka onderdil mobil
dengan merek sendiri, yakni AQ
Genuine.
"Saya beri nama AQ yang artinya
kualitas nomor satu," ujarnya.
Onderdil yang dipasarkannya
kebanyakan khusus buat bus dan
truk. Di bisnis ini, ia juga
memberikan layanan perawatan
onderdil.
Dengan begitu, pelanggan tidak lagi
pusing jika butuh perawatan dan
penggantian onderdil
kendaraannya. Berkat usahanya ini,
Stanly bisa meraup omzet di atas Rp
1 miliar per bulan.
Selain menjual onderdil dengan
merek sendiri, Stanly juga
mengimpor onderdil kendaraan lain
yang umumnya berasal dari Eropa.
Setelah merasa mantap dengan
perkembangan usahanya, pada
tahun 2012, ia resmi membuka
peluang usaha waralaba. Saat ini, ia
telah memiliki enam gerai MSC, dan
lima di antaranya milik
terwaralaba.

Sebelum sukses membesarkan
usaha bengkel mobil dengan merek
Mitra Service Car, Stanly Erungan
pernah bekerja di sejumlah
perusahaan besar.
Salah satunya di Grup Astra. Di
perusahaan ini, Stanly pernah
menangani bagian penjualan. Lepas
dari Astra, ia kemudian bergabung
di sebuah perusahaan oli terkemuka
di Jakarta.
Di perusahaan oli ini, Stanly
menjabat sebagai manajer
pengembangan bisnis. Di posisi ini,
ia bertanggung jawab, mulai
rekrutmen karyawan baru sampai
presentasi kondisi perusahaan.
Bahkan, ia juga diserahi tugas
menarik pelanggan.
Ia pun kerap memasok oli ke
sejumlah perusahaan besar,
khususnya pengelola bus, travel,
dan truk. Dengan pekerjaan itu,
relasi yang dimiliknya di sektor
otomotif semakin kuat.
Pengalaman itu membuat wawasan
dunia pemasarannya semakin luas.
Kendati menempati posisi penting,
keinginan yang kuat untuk memiliki
usaha sendiri mendorong Stanly
untuk mengundurkan diri dari
perusahaan itu.
Pada 2008, Stanly mulai merintis
usaha bengkel dan onderdil mobil.
Berbekal pengalaman kerja di
perusahaan terkemuka, tekadnya
untuk membesarkan usaha sendiri
semakin kuat.
Bisnis bengkel mobil ini merupakan
kelanjutan dari bisnis bengkel
motor yang sudah dirintisnya sejak
2007. Namun, karena prospeknya
kurang bagus, pada 2009, ia
menjual bengkel motor itu. Sejak
itu, ia fokus membesarkan usaha
bengkel mobil. Kini, omzetnya
sudah lebih dari Rp 1 miliar per
bulan.
Saat awal merintis usaha, Stanly
langsung mendekati relasi-relasi
yang dimilikinya, seperti pengelola
bus, travel, dan truk untuk diajak
bekerjasama. Dengan pengalaman
dan latar belakang yang dimilikinya,
tak sulit bagi Stanly untuk
meyakinkan para relasinya itu.
Mirip dengan yang dilakukannya
saat masih bekerja di perusahaan
oli, Stanly pun memasok aneka
onderdil sekaligus jasa
perawatannya ke sejumlah pool bus,
travel, dan truk milik pelanggannya.
Ketika pelanggan membutuhkan
onderdil tertentu, ia tinggal
mengambil barang milik Stanly yang
sudah ditaruh di tempat mereka.
Cara ini termasuk efektif dan efisien
ketimbang baru menyediakan
onderdil ketika pelanggan
membutuhkannya.
Setiap bulan, konsumen tinggal
membayar pemakaian onderdil itu.
Stanly juga menyediakan jasa servis
di setiap pool milik pelanggan.
"Jadi, mulai proses penyediaan
onderdil sampai servis, kami
menyediakan semua," kata Stanly.
Stanly bilang, kunci sukses strategi
pemasaran ini terletak pada
kreativitas yang dikembangkan
terus menerus. Tanpa kreativitas
pemasaran, pelayanan prima, dan
didukung oleh produk berkualitas,
bisnis sulit berkembang.
Selain itu, untuk menjaga kepuasan
pelanggan, Stanly membuat sistem
layanan servis secara online di
setiap bengkelnya.
Dengan cara ini, ia bisa memantau
seluruh proses perawatan
kendaraan di setiap bengkel
miliknya, mulai pada proses
pengecekan  jumlah kendaraan yang
sedang diperbaiki, kinerja montir,
hingga harga yang harus dibayar
konsumen.

Kendati telah sukses membesut
usaha bengkel dan onderdil mobil
di bawah bendera Mitra Service Car
(MSC), insting dan naluri bisnis
Stanly Erungan tidak juga surut.
Terbukti, ia masih terus ekspansi
dengan merambah bisnis baru.
Tahun lalu, misalnya, Stanly
merintis usaha rental atau
penyewaan mobil. Bisnis rental
mobil ini memang masih skala kecil
karena ia baru mengoperasikan tiga
unit mobil.
Ke depan, Stanly bertekad terus
menambah armada mobilnya ini.
Kendati masih fokus membesarkan
bisnis rental mobil, dia mengaku
masih akan melanjutkan ekspansi
dengan merambah sektor-sektor
lain yang menjanjikan peluang dan
keuntungan.
Salah satu yang diliriknya adalah
bisnis jasa ekspedisi pengiriman
barang. Ia berencana mendirikan
usaha ekspedisi tahun ini juga.
Salah satu alasannya masuk bisnis
ini adalah keinginan untuk
melancarkan proses pengiriman
logistik dari perusahaan onderdil
miliknya.
Selama ini, ia kerap kesulitan
melakukan pengiriman barang,
terutama pada malam hari atau
pada saat musim liburan. Berangkat
dari kesulitan itu, ia melihat
peluang di bisnis ekspedisi.
Stanly menargetkan, perusahaan
ekspedisi tersebut sudah berdiri
paling lambat akhir tahun 2013.
Soal perkiraan biaya investasi, ia
mengaku masih menghitungnya.
"Tapi, kami perkirakan butuh modal
kurang lebih Rp 50 miliar untuk
membangun perusahaan logistik
ini," ujarnya. Lantaran butuh biaya
besar, Stanly tidak akan merintis
usaha ini sendirian.
Ia sudah menggandeng sebuah
perusahaan yang akan mendanai
seluruh kebutuhan pendirian
perusahaan tersebut. Stanly sendiri
bakal menjadi pengelola bisnis
tersebut. "Jadi, investor yang akan
masuk hanya menyertakan modal,"
ujarnya.
Stanly akan mengembangkan usaha
ini menjadi terintegrasi dengan
bisnis onderdil dan bengkel
miliknya. Dengan adanya
perusahaan ekspedisi, ia bisa
leluasa melayani pesanan pelanggan
dan mitranya di sejumlah wilayah.
Dalam mengelola usaha ini, Stanly
juga akan membuka layanan selama
24 jam penuh, bahkan tidak ada
hari libur dalam setahun.
Strategi ini diharapkan bisa
memuaskan seluruh pelanggannya,
baik pengguna jasa ekspedisi
maupun konsumen pengguna
onderdil dan bengkelnya. "Dengan
demikian, kami bisa memberikan
pelayanan lebih kepada pelanggan,"
ujarnya.
Stanly optimistis, seluruh unit
usahanya ini kelak akan menjadi
besar dan saling terintegrasi satu
sama lain. Kendati berencana
merambah bisnis lain, Stanly tetap
berambisi membesarkan bisnis
bengkel dan onderdil mobilnya.

Di bisnis ini, ia berharap jaringan
bengkel MSC bisa merambah
pelbagai kota di Indonesia. Selain
lewat jalur waralaba atau
kemitraan, ia juga bakal
mengembangkan usaha bengkelnya
dengan menggandeng pemerintah
daerah.
"Kami akan menawarkan jasa
perawatan dan penjualan onderdil
untuk kebutuhan kendaraan dinas di
daerah -daerah," bebernya.
Lewat kerjasama itu, Stanly
menjamin banyak manfaat yang
didapat pemerintah. Salah satunya
dapat menekan anggaran biaya
pemeliharaan mobil dinas.
Dengan sistem online yang
dikembangkannya, setiap
pemerintah daerah yang
menggunakan jasa bengkelnya bisa
memantau seluruh proses
perawatan kendaraan dinas.
Dengan begitu, setiap bagian
administrasi daerah bisa
mengetahui berapa jumlah
anggaran dan pengeluaran bulanan
buat perawatan kendaraan dinas,
sekaligus mengendalikannya.
(Noverius Laoli)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/setelah-bengkel-stanly-garap-bisnis-ekspedisi-3/2013/01/16

Friday, February 8, 2013

Hendrik, Memulai dari Bawah,Sang Mantan Akuntan Ini Kini Sukses Berjualan Anchor Beromzet Milyaran

Dalam usaha apa pun, jangan
pernah menyepelekan kepercayaan
konsumen. Menganut prinsip itu,
Hendrik Sutjiatmadja sukses
memasarkan produk konstruksi asal
Jerman, Fischer. Omzetnya kini
mencapai Rp 30 miliar per tahun.
Para pelaku bisnis konstruksi yang
menggarap proyek besar tentu tak
asing dengan angkur ( anchor). Alat
serupa mur besar ini berfungsi
sebagai pengikat baja atau beton
pada bangunan dan dinding agar
barang yang dipasang terikat kuat.
Salah satu merek yang terkenal
adalah Fischer, asal Jerman.

Memang, harga aneka produk
angkur Fischer tidak bisa dibilang
murah. Tapi, keandalannya sudah
diakui. Nah, di balik kesuksesan
produk Fischer di bisnis konstruksi
di Indonesia ada nama Hendrik
Sutjiatmadja. Lewat PT Bersama
Bangun Persada, Hendrik menjadi
distributor resmi Fischer di
Indonesia.
Saat ini, banyak proyek properti
prestisius di kota-kota besar seperti
Jakarta menggunakan angkur
Fischer. Contohnya Ciputra World,
Hotel Ritz Carlton-Pacific Place,
Kuningan City, Kemang Village, dan
Belagio Residence. Dari penjualan
dan jasa pemasangan, Hendrik bisa
meraup omzet hingga Rp 30 miliar
per tahun.

Untuk menggapai kesuksesan
seperti sekarang, Hendrik harus
memulai dari bawah. Sekitar 10
tahun silam, ia harus meyakinkan
produsen Fischer di Jerman untuk
masuk ke Indonesia. Maklum, saat
itu, Fisher belum melihat Indonesia
sebagai pasar yang potensial.
“Susah meyakinkan mereka bahwa
kita mampu menjual produk
Fischer,” tuturnya.
Tapi, berbekal keyakinan bahwa
bisnis ini bisa berhasil, akhirnya,
Fischer memberi kepercayaan pada
Hendrik untuk memasarkan
produknya di Indonesia. Saat itu,
target utama Fischer adalah
proyek-proyek besar. Tapi,
belakangan, Fischer juga menyasar
pasar ritel.

Lahir dan dibesarkan dalam
keluarga China Betawi 37 tahun
silam, keluarga Hendrik memiliki
sebuah toko elektronik di Jakarta.
Meski begitu, dari sisi ekonomi,
kehidupan keluarganya relatif pas-
pasan. Orangtuanya menyekolahkan
Hendrik hingga Universitas Trisakti,
Jurusan Akuntansi.
Tapi, Hendrik tak bisa terus-
menerus mengandalkan
keluarganya. Apalagi, bisnis
ayahnya terus turun. Puncaknya,
pada tahun 1998, toko elektronik
itu bangkrut. Hendrik dan
keluarganya mulai membiasakan
diri hidup dengan fasilitas terbatas.
“Dulu, makan saya sampai sempat
dijatah,” kenangnya.
Untuk menyelesaikan kuliah,
Hendrik juga harus memutar otak
untuk mendapatkan tambahan duit.

Di saat seperti ini, kemampuan
bisnisnya kian terasah. Di awal
masa kuliah, ia menjual stiker bola
saat event Piala Dunia di sekeliling
kampus. Dari bisnis ini, ia bisa
mengantungi untung sekitar
Rp 200.000 sebulan.
Saat masih kuliah di semester
enam, Hendrik mulai melamar kerja
di perusahaan konsultan pajak. Di
sana, ia digaji berdasarkan hari
bekerja. Meski gajinya kecil,
hasilnya bisa ia gunakan untuk
biaya transportasi.
Tahun 1996, pria kelahiran 8 Mei
1974 ini melamar sebagai staf
akuntan di Pondok Indah Group.
Dengan gajinya, Hendrik bisa
membiayai kuliah sendiri. Tapi,
lantaran terlalu asyik bekerja, ia
tidak fokus kuliah. Ia butuh enam
tahun untuk mendapatkan gelar
sarjana.

Habis di tahun pertama
Selepas kuliah, di tahun 1998,
bersama tiga kawannya, Hendrik
terjun ke bisnis impor buku kuliah
dengan mendirikan PT Mitra Lestari
Pustaka. Modal awalnya Rp 50 juta.
Tapi, usaha ini tidak bertahan lama
lantaran kurang modal dan kalah
bersaing dengan pemain besar.
Pada tahun 2000, Hendrik
mendapat tawaran dari kakak
iparnya untuk terjun ke bisnis
distributor produk konstruksi.
Kebetulan, sang kakak itu lulusan
Jerman dan pernah bekerja di
bidang konstruksi bangunan selama
tiga tahun.

Dengan modal awal Rp 100 juta,
Hendrik dan saudaranya
mendirikan PT Bersama Bangun
Persada dan menjadi distributor
resmi Fischer. Ia membeli sebuah
rumah di Cakung sebagai kantor
dengan seorang karyawan untuk
mengurusi administrasi. Ia juga
membelanjakan sekitar Rp 6 juta
untuk membeli produk Fischer.

Setahun pertama, modal Hendrik
habis untuk promosi dan seminar
memperkenalkan produk Fischer.
Baru di akhir 2002, sebuah proyek
besar, yakni RS Siloam, Cikarang,
menggunakan Fischer. Nama
perusahaannya pun mulai dikenal.
Dari mulut ke mulut,
perusahaannya mulai menjadi
referensi pemilik proyek maupun
kontraktor.

Mulai tahun 2004, Fischer meminta
Hendrik menggarap pasar ritel.
Karena itu, ia memperkenalkan
merek (brand ) Mr Safety,
kependekan dari Mature, Reliable,
Safety, Achievement, Family,
Efficient, Teamwork, and Youth.
Saat ini, setiap tahun, Hendrik
menggarap puluhan proyek
properti. Nilai satu proyek bisa
mencapai puluhan juta rupiah
hingga Rp 5 miliar. Bahkan,
seringkali proyek tersebut “beranak
pinak” lantaran ada tambahan
bangunan baru.

Saat ini, Hendrik menjadi
distributor untuk tujuh merek,
yaitu Fischer, STO, Intumex,
Promat, Lifeline Descent, Hakken
Brand Series, dan Elco. Sebagian
besar produk itu merupakan
peralatan konstruksi dan
keselamatan.( Diade Riva Nugrahani)

sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/xml/hendrik-sang-mantan-akuntan-yang-sukses-berjualan-angkur-1

Thursday, February 7, 2013

Andika, Umur Masih 23 Produknya Sudah Melanglang Mancanegara dan Omzet Bengkel Modifikasi Motornya Ratusan Juta

Muda dan memiliki kreativitas
tinggi. Itulah yang kira-kira bisa
menggambarkan sosok Andika
Kairuliawan, pemilik bengkel Balu
Oto Work di Yogyakarta. Pria yang
baru berusia 23 tahun ini memiliki
segudang potensi.
Meskipun memiliki latar belakang
Ilmu Teknik Informatika, ia malah
lebih sukses jadi pengusaha
otomotif. Selain menjadi pengusaha
otomotif, sehari-hari Andika juga
bekerja sebagai dosen mata kuliah
Informatika di Universitas Teknologi
Yogyakarta (UTY).
Tidak hanya itu, ia pun tengah
melanjutkan sekolah alias mengejar
gelar master di Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta.
Andika memulai bisnis otomotifnya
sejak tahun 2011. Bengkelnya
memiliki dua divisi, yaitu modifikasi
motor full body dan produksi
kepala motor dari bahan fiber
glass.
Andika bilang, bengkelnya bisa
memodifikasi motor jenis apa pun,
mulai motor bebek sampai motor
gede. Pelanggan hanya perlu
membawa mesin dan rangka motor
ke bengkelnya yang terletak di Jalan
Pramuka, Umbulharjo, Yogyakarta.
Ia menjamin, karyawan bengkelnya
bisa memodifikasi motor sesuai
keinginan pelanggan. "Misalnya, ada
pelanggan punya motor lawas tahun
90-an dan ingin menjadikannya
seperti motor baru, kami bisa bikin
sampai benar-benar jadi," ujarnya.

Untuk modifikasi motor ini, Andika
mematok tarif Rp 7 juta - Rp 9 juta
per motor. Dalam sebulan,
bengkelnya menerima setidaknya 10
pesanan modifikasi.
Setiap pelanggan akan dilayani oleh
satu karyawan secara eksklusif.

Makanya, jika semua karyawan
sedang ada order, ia tidak akan
menerima pelanggan baru.
Meskipun bengkelnya ada di
Yogyakarta, Andika bilang,
pelanggan yang minta motornya
dimodifikasi bisa berasal dari
berbagai pelosok daerah. Pelanggan
luar Yogyakarta biasanya
mengirimkan mesin dan rangka
melalui jasa pengiriman.

Selanjutnya, ia akan berhubungan
via telepon atau email dengan
pelanggan untuk mengetahui
keinginan pelanggan.
Produksi kepala motor dari Balu
Oto Work tidak hanya dikenal
penggemar otomotif dari dalam
negeri.

Andhika sudah menjual kepala
motor berbahan fiber glass hingga
ke mancanegara, seperti Malaysia,
Singapura, dan India. Pasalnya,
kepala motor ini dijual secara
online, salah satunya melalui
Kaskus.
Tapi, ia juga memiliki dealer resmi
di luar negeri, yakni di Malaysia dan
Singapura. Balu Oto Work
memproduksi kepala atau bathok
motor dengan berbagai variasi.
Sebut saja, tokoh Optimus Prime
dari film Transformer, Kamen Rider,
Ghost Rider, hingga Alien. Ia
menjual kepala motor ini dengan
kisaran harga Rp 300.000 - Rp
600.000. Saban bulan, omzet
penjualan kepala motor saja bisa Rp
120 juta-an.

Berkat kreativitas ini, Andika
meraih beberapa penghargaan.
Contohnya, juara I dalam Lomba
Inovasi Bisnis Pemuda Kemenpora
2011, jawara Wirausaha Muda
Mandiri tingkat Jawa Tengah dan
DIY pada 2012.

Terjun ke bisnis modifikasi motor
bukanlah menjadi cita-cita awal
Andika Kairuliawan (23 tahun). Awal
bisnisnya ini dimulai dari rasa
kecewanya atas hasil modifikasi
orang lain yang pernah diorder di
Jakarta.

Andika merasa tidak puas dengan
hasil olahan tangan orang lain itu.
Ia juga mendengar ketidakpuasan
serupa dari teman-temannya yang
suka dengan modifikasi motor. Dari
sinilah, insting bisnisnya keluar.
Ia merasa ada ceruk pasar yang
besar dari bisnis modifikasi motor.
Ia bercita-cita untuk memenuhi
keinginan para penggemar motor
modifikasi.

Andika lantas mulai belajar
membuat kepala motor modifikasi
secara otodidak. Ia belajar
mengikuti pembuatan kepala motor
berbahan fiber glass yang
didapatnya dari situs Youtube.
Hingga akhirnya, ia memberanikan
diri membuka bengkel Balu Oto
Work pada Mei 2011 di Yogyakarta.

Untuk membuka bengkel, Andika
mengeluarkan modal sebesar Rp
800.000. Ia menggunakan modal itu
untuk membeli mesin kompresor
bekas yang digunakan untuk
mengecat bagian yang dimodifikasi.

Cetak kepala motor didapat dari
bahan-bahan yang sudah ada.
Sebagai awalan, Andika memasarkan
produk kepala motor hasil
modifikasinya lewat situs jual beli
online, di antaranya Kaskus.

Ia juga tak berhenti memasarkan
produknya secara langsung dengan
menggunakan ilmu pemasaran yang
didapatkannya dari pekerjaan
sebagai Audience Marketing
Manager untuk Microsoft
Innovation Center di Yogyakarta.
Tidak disangka, hasil olahan
tangannya menuai respon positif.
Pesanan untuk produk modifikasi
motor mulai berdatangan ke Balu
Oto Work. Ia pun harus merekrut
tambahan karyawan untuk
membantunya di bengkel.

Awal berbisnis, omzet Balu Oto
Work hanya mencapai Rp 2 juta per
bulan. Namun, sejak Andika
memenangi Lomba Inovasi Bisnis
Pemuda pada November 2011,
penjualan meningkat pesat.

Ia mulai menambah jumlah
karyawan karena permintaan kepala
motor dan order modifikasi terus
berdatangan. Kini, omzetnya
mencapai ratusan juta.

Andika mengkhususkan bengkelnya
sebagai produsen kepala motor
dengan karakter unik dari beragam
action figure. “Orang boleh
modifikasi motor di bengkel lain,
tapi kalau mencari kepala motor,
biasanya mereka pesan dari sini,”
ujarnya.

Bukan saja langganan kontes
otomotif, Andika juga sering
mengikuti pameran. Salah satunya,
ia menjadi perwakilan Indonesia
untuk International Auto Parts,
Accessories and Equip Exhibition
(INAPA) di JIEXPO Kemayoran pada
2012.

Ketika pameran berlangsung, ia
bertemu dengan warga Singapura
yang tertarik menjual produknya.
Sejak Juli 2012, produk modifikasi
motor Andika ikut dipajang di main
dealer di Singapura. Ia juga
memiliki main dealer di Malaysia.

Bisnis Andika terus berkembang.
Saat ini, ia memperkerjakan 28
karyawan di Balu Oto Work. Sekitar
40% karyawannya merupakan
orang-orang yang putus sekolah. Ia
rela memberikan pelatihan pada
mereka lantaran sulit menemukan
orang-orang yang mengerti betul
soal modifikasi motor.

Dalam perjalanan bisnisnya, Andika
sering menemukan hambatan. Salah
satunya, banyak orang meniru
produk kepala motor buatannya.
Namun, pria yang berprofesi
sebagai dosen itu tidak merasa
khawatir. Ia malah terpacu
menciptakan produk modifikasi
motor yang lebih inovatif dari
orang lain.

usianya yang masih relatif muda,
Andika Kairuliawan (23 tahun)
sukses menjadi pengusaha bengkal
modifikasi motor. Namun, ia tidak
ingin meninggalkan pengabdiannya
sebagai dosen di Universitas
Teknologi Yogyakarta (UTY).

Maklum saja, Andika sudah aktif
mengajar sebagai asisten dosen di
UTY semenjak duduk di semester
dua. Meski bebitu, keinginan
berwirausaha sudah timbul ketika
masih menjadi mahasiswa Teknik
Informatika UTY.

Melalui dukungan dan motivasi
yang diberikan kampusnya, Andika
pun bersemangat menekuni bisnis
otomotif. Meskipun tidak nyambung
dengan latar belakang kuliahnya, ia
mengaku bahwa kampusnya berjasa
dalam membentuk dia menjadi
seorang wirausahawan.

Makanya, semenjak menjadi dosen
di UTY, Andika kembali
menanamkan semangat wirausaha
pada mahasiswanya. "Saya
bersyukur karena UTY yang pertama
kali menanamkan pola pikir
berwirausaha pada saya," kata dia.
Pekerjaan sebagai dosen juga
membantu Andika dalam bisnisnya.

Tidak jarang, ia harus mengajar
mahasiswa yang usianya lebih tua
dari dia. Dari situ, ia belajar untuk
berkomunikasi dengan pelanggan
yang usianya melebihi Andika.
Selain melanjutkan pengabdian
menjadi dosen, Andika pun ingin
produknya lebih dikenal lagi oleh
masyarakat. Salah satunya ialah
dengan mengikuti kompetisi.
Misalnya saja, kompetisi Wirausaha
Muda Mandiri. Kini, ia sudah
berada di jajaran finalis.

Ia berharap dengan ikut kompetisi
itu, kepala motor berbahan fiber
glass yang ia produksi makin
populer. Tidak hanya itu, Andika
berupaya terus berinovasi pada
produksi kepala motor buatannya.
Tahun ini rencananya, semakin
banyak karakter yang akan dijadikan
model kepala motor di Balu Oto
Work. Ia juga mendandani
pengendara motor dengan berbagai
aksesori. Di antaranya dengan
memproduksi sarung tangan dan
rompi.

Mimpi Andika tidak berhenti di situ.
Tahun ini, ia akan membangun 26
diler di beberapa provinsi di
Indonesia, serta lima diler resmi di
luar negeri, seperti Filipina dan
India.
Hal ini untuk memudahkan Andika
untuk memasarkan produknya.
Pasalnya, selama ini ia sendiri yang
menangani urusan pemasaran.
Padahal, orderan datang dari
berbagai daerah.

Andika juga berusaha membuat
pelanggannya merasa istimewa. Di
bengkel seluas 1.000 meter persegi,
ia selalu berusaha menjalin
komunikasi yang baik dengan
pelanggan.
Jika ada pelanggan yang ingin tubuh
motornya dimodifikasi, ia
menggunakan tanah liat sebagai
medium cetakan awal. Jika sudah
selesai, ia selalu membuang cetakan
itu agar tidak ada yang menyamai.
Untuk membuktikan bahwa
kepuasan pelanggan jadi nomor
satu baginya, Andika memberikan
jaminan produk. "Kalau ada
keretakan sedikit pun, apalagi ketika
dipasang, saya akan ganti tanpa
tambahan biaya," ujarnya.

Andika juga tidak membedakan
pelanggan yang memesan eceran
maupun dalam partai besar. Semua
dilayani dengan maksimal. Baginya,
cara ini menjadi kunci sukses
pemasaran, khususnya promosi
getok tular. Ia sadar, pembeli
adalah raja.( Marantina )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/mengembangkan-bisnis-andika-produksi-aksesori-3/2013/01/18

Marcell, Mantan Pegawai Bank Ini Kini Raup Omzet Milyaran dari Bisnis Sapi Perah dan Sapi Potong

Marcell Diaz sudah menekuni bisnis
peternakan sapi perah dan sapi
potong sejak tahun 2008. Dengan
luas lahan peternakan mencapai 20
hektare (ha), ia kini mengantongi
omzet hingga Rp 3 miliar per bulan
dari usaha peternakan ini.
Perkenalannya dengan dunia
peternakan berawal dari
keterlibatannya membenahi
peternakan milik saudara iparnya di
Kalimantan Barat pada tahun 2005.
Kala itu, kondisi peternakan saudara
iparnya itu nyaris bangkrut. "Waktu
saya ke sana, yang tersisa hanya
enam ekor sapi dengan grade C,"
tutur Marcell.

Saudaranya sudah tidak berniat
meneruskan peternakan tersebut
dan hendak menjual. Namun,
Marcell berpikir sayang jika
peternakan tersebut dijual.
Sebagai seorang tenaga ahli
pemasaran di sebuah bank asing
ternama di Jakarta, Marcell pun
membantu membenahi pengelolaan
peternakan sapi tersebut hingga
bisa pulih.
Marcell membantu melakukan
pembenahan, terutama dari sisi
keuangan yang memang dia kuasai.
Berkat bantuannya, akhirnya
peternakan itu bisa berkembang dan
berjalan hingga sekarang. "Dari situ,
saya belajar banyak mengenai
pengelolaan peternakan sapi,"
katanya.

Saat itu, Marcell masih belum
terjun ke bisnis peternakan. Ia
masih bekerja di bank asing di
Jakarta. Sampai suatu ketika, anak
keduanya mengidap penyakit
leukimia atau kanker darah.
Ia dan sang istri pun harus menjaga
anak mereka di rumah sakit secara
intensif. "Hampir setiap hari, kami
menginap di rumah sakit," tutur
Marcell.
Merasa tak enak dengan tempatnya
bekerja karena sering izin, Marcell
dan istrinya yang juga bekerja di
bank asing memutuskan
mengundurkan diri dari jabatan
mereka pada tahun 2007.
Mereka fokus merawat anak hingga
tahun 2008. Lantaran sudah tidak
bekerja lagi, ia dan isterinya
memutuskan untuk hijrah dan
menetap di Kalimantan Barat.

Marcell pun terpikir untuk
membuka usaha sendiri supaya bisa
bekerja lebih fleksibel. Namun,
baru dua bulan berselang setelah
kepindahan mereka ke Kalimantan
Barat, anaknya yang mengidap
leukimia meninggal dunia. "Anak
saya adalah sumber inspirasi
terbesar saya dalam membangun
peternakan," tuturnya.

Marcell terinspirasi membangun
usaha peternakan sapi perah agar
dapat menghasilkan banyak susu
sapi murni. Ia menuturkan,
perkembangan penyakit kanker
sangat tergantung pada imunitas
anak.
Sementara, sistem kekebalan tubuh
bisa ditingkatkan melalui susu sapi
murni yang benar-benar segar.

Maka, pada tahun 2008, Marcell
membangun peternakan sapi di
bawah bendera usaha PT Cesna
Agro Borneo.
Kini, luas lahan peternakannya
sudah mencapai 20 hektare yang
berpusat di Kalimantan Barat.

Sementara, cabang usahanya ada di
Tangerang dan Bandung.
Total sapi perah peliharaannya kini
mencapai 170 ekor yang mampu
memproduksi 1.500 liter susu per
hari. Sementara, jumlah sapi
pedagingnya sudah sebanyak 2.000
ekor. "Omzet saya Rp 3 miliar per
bulan," ujarnya.

Sukses yang diraih Marcell Diaz
dalam membesarkan usaha
peternakan sapi penuh dengan lika-
liku. Banyak sekali hambatan dan
tantangan yang ditemuinya saat
awal-awal merintis usaha.
Terkait dengan modal usaha,
misalnya, permohonan kreditnya ke
bank tak kunjung dikabulkan.
"Pengajuan kredit saya seringkali
ditolak," katanya.

Padahal, Marcell sangat
memerlukan bantuan modal buat
mengembangkan usahanya. Salah
satu kendala pencairtan kredit
karena pihak bank di Kalimantan
masih bergantung dari Jakarta
dalam pengambilan keputusan.

Meski usahanya memiliki prospek
yang cerah, tapi bank di sana tetap
tak berani memberi pinjaman jika
tak ada izin dari kantor pusat.
Agar komunikasi dengan kantor
bank pusat lancar, Marcell pun
pernah membiayai petinggi sebuah
bank dan tenaga ahlinya terbang
dari Kalimantan ke Jakarta. "Saya
biayai ke Jakarta, meeting sampai
tiga hari, tapi ternyata tetap tidak
ada solusi," ujarnya.

Alhasil, Marcell pun batal
meminjam dana di bank tersebut.
Pernah juga ia mencoba
mengajukan proposal pinjaman ke
bank lain. Namun, dari total
pinjaman yang diminta, yang
dikabulkan hanya 1%. "Saya ajukan
pinjaman Rp 7 miliar, yang
diberikan hanya Rp 70 juta,"
tuturnya, sambil tertawa.
Ia mengaku, tetap mengambil
pinjaman itu namun segera
dilunasinya. Pinjaman itu adalah
satu-satunya pinjaman bank yang
pernah ia peroleh.

Selain terkendala modal, ia juga
kesulitan memperoleh tenaga kerja
yang mumpuni di bidang
peternakan. Meski begitu, ia tak
cepat menyerah dengan kondisi
yang ada. "Masalah terberat juga
terkait dengan sumber daya
manusianya," tutur Marcell.
Karyawan yang bekerja di
peternakannya maksimal lulusan
sekolah menengah atas (SMA). Itu
pun ijazahnya kebanyakan kejar
paket C.

Selain berpendidikan rendah,
pengalaman para pekerjanya juga
minim. Marcell pun sering turun
tangan melatih para pekerjanya.
"Solusinya, saya yang belajar, lalu
saya terapkan ke para staf,"
ujarnya.

Marcell banyak menimba ilmu
melalui internet, membaca buku,
dan bertukar pendapat dengan
orang lain. Lulusan Pasca Sarjana
Ekonomi di Bond University,
Australia ini juga sering melakukan
studi banding.
"Sesekali saya mengunjungi
peternakan teman di Australia untuk
belajar," ujarnya. Kebetulan,
sejumlah temannya di Australia
memiliki peternakan besar.

Melalui studi banding itu, ia banyak
mengambil pelajaran penting
seputar manajemen pengelolaan
peternakan secara modern. "Yang
membuat kami berhasil adalah
fighting spirit dan bantuan tangan
dingin istri," ujar Marcell.

Sejak tahun 2008, Marcell Diaz
sudah menekuni bisnis peternakan
sapi perah dan sapi potong di
Kalimantan Barat. Ia terinspirasi
membangun usaha peternakan itu
agar bisa menghasilkan banyak susu
sapi murni.
Inspirasi itu dia dapat setelah salah
satu anaknya yang mengidap
leukimia meninggal dunia.

Menurutnya, perkembangan
penyakit kanker sangat tergantung
pada imunitas anak. "Imunitas anak
bisa ditingkatkan lewat susu sapi
yang benar-benar segar," katanya.
Terlebih, di Kalimantan Barat
(Kalbar) belum ada peternakan sapi
yang fokus memposisikan diri
sebagai penyedia susu sapi segar.
Padahal, permintaan masyarakat
cukup tinggi.

Makanya, sejak awal Marcell
berambisi menjadi penyedia susu
sapi segar terbesar di Kalbar. Ia
menargetkan, keinginannya itu
sudah bisa terealisasi tahun ini
juga. "Saya ingin pengembangan
peternakan sapi ini posisinya ke
sapi perah," tutur Marcell.
Sampai saat ini, peternakan sapinya
belum sepenuhnya fokus ke sapi
perah. Soalnya, ia juga masih
mengembangkan peternakan sapi
potong. Ke depan, porsi sapi perah
akan dia tingkatkan.

Sekarang, Marcell baru memiliki
170 ekor sapi perah. Dalam sehari,
seekor sapinya bisa menghasilkan
10 liter hingga 40 liter susu.
Dengan 170 ekor, paling tidak bisa,
dia menghasilkan 1.500 liter susu
dalam satu hari.
Marcell telah mengkalkulasi, bahwa
kebutuhan masyarakat Kalbar
khususnya anak-anak sekolah dasar
akan susu sapi paling tidak 6.000
liter per hari. "Saya harus bisa
memenuhi kuota sebesar enam ton
susu sapi di tahun 2013 ini," imbuh
dia.
Jumlah tersebut bukan sekadar
target. Melainkan, harus dia penuhi
lantaran sudah terikat kontrak
dengan Pemerintah Provinsi Kalbar.

Dalam kontrak itu, ia menyanggupi
untuk menyediakan susu sapi segar
sebanyak 6 ton sehari.
Menurut Marcell, meningkatkan
produksi susu sapi segar hingga
hampir empat kali lipat, jelas bukan
perkara yang gampang. "Butuh
strategi, kecukupan dari sisi
finansial, peralatan, dan tenaga
kerja," tegasnya.

Untuk itu, ia telah menyiapkan
sejumlah rencana. Dari sisi
finansial, sebagai diversifikasi,
Marcell pun menyediakan sapi
pedaging di peternakannya. Dia
memiliki 1.000 hingga 2.000 ekor
sapi pedaging di peternakannya.
Daging-daging sapi tersebut
kebanyakan ia ekspor ke Malaysia.
"Harga jual ke Malaysia lebih
tinggi," akunya. Meski begitu, tetap
ada sebagian daging yang dia jual
ke wilayah Jabodetabek, Bandung,
dan Kalimantan.

Selain itu, Marcell juga tengah
melebarkan usahanya ke sektor
properti. Ia telah memiliki sejumlah
lahan yang akan ia dirikan properti.

Sedang dari sisi sumber daya
manusia (SDM), ia terus
meningkatkan keterampilan para
karyawannya.
Untuk bisa sukses dalam sebuah
bisnis, dia memberi tip: perlu
pengetahuan mengenai produk yang
dipasarkan alias product knowledge.

Apalagi, bila produknya tergolong
berisiko seperti susu segar.
Sebab, susu sapi segar maksimal
hanya bertahan selama 14 hari
dengan suhu -4 derajat Celcius.
Sementara, jika ia memproduksi
susu kental manis atau susu bubuk,
produknya bertahan paling tidak
satu tahun.

Namun, susu sapi segar jauh lebih
baik karena kandungan di
dalamnya, seperti vitamin, kalsium
dan sebagainya, masih murni dan
bukan tambahan. Dengan product
knowledge yang baik, Marcell yakin
bisa bersaing di pasar susu.( Revi Yohana)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/marcell-berambisi-jadi-pemasok-susu-terbesar-3/2013/01/21

Natha dan Janet, Lewat Usaha Garmen Berlabel Gaudi Hasilkan Omzet Milyaran dari Puluhan Butiknya

Maraknya merek fashion asing
menginspirasi dua sahabat ini
membuat Gaudi, sebuah brand
lokal. Model trendi dan harga
terjangkau menjadi daya pikat
Gaudi. Dengan 26 gerai di seluruh
Indonesia, Gaudi mencetak omzet
puluhan miliar.

Jeli melihat peluang. Itulah salah
satu kelebihan yang dimiliki dua
karib, Nathalia Napitupulu dan
Janet Dana. Lantaran melihat ada
celah pasar bagi produk fashion
yang stylish, luwes, dengan harga
terjangkau, dua perempuan muda
ini mendirikan usaha garmen
berlabel Gaudi.
Kecintaan terhadap produk mode
pun menjadi bekal mereka terjun di
bisnis ini. Beruntung, Natha,
panggilan akrab Nathalia, sudah
lebih dulu akrab berbisnis garmen.

Sebelumnya, ia membantu sang
ayah berbisnis pakaian grosir.
Berkibarnya produk ritel fashion
merek asing di berbagai pusat
perbelanjaan ibu kota mengundang
dua sahabat ini menerjuni bisnis
gerai busana. Dengan modal
pinjaman dari orang tua mereka,
Natha dan Janet membuka gerai
Gaudi pertama di Plasa Semanggi,
Jakarta, pada 2004.

Mereka pun harus terjun sendiri
mengurus gerainya. Mulai dari
menentukan desain baju, memilih
bahan, mencari konveksi, hingga
mendekorasi gerai. Janet dan Natha
pun terlihat sering melayani
pengunjung gerainya. Maklum, saat
itu, mereka baru memiliki lima
karyawan, termasuk penjaga toko.
Respons konsumen pun bagus.

Apalagi, Janet juga membekali
karyawan toko dengan pengetahuan
fashion hingga mereka bisa jadi
konsultan bagi pelanggan. Melihat
angka penjualan yang bagus, Janet
dan Natha pun menambah beberapa
gerai baru di Jakarta. Hingga di
tahun keduanya beroperasi, Gaudi
sudah ada di tiga pusat belanja
ternama di Jakarta.

Bahkan, untuk pengembangan
selanjutnya, mereka tak perlu repot
mencari lokasi untuk gerai-
gerainya. “Justru, pemilik mal yang
memburu kami,” kata Janet
bersemangat. Bahkan, pada tahun
ketiga, Natha bilang, mereka sudah
bisa mengembalikan modal yang
dipinjam dari orang tuanya.

Bisnis Gaudi pun terus mengalir.
Tak hanya menyediakan pakaian
dengan model-model yang up to
date, Gaudi yang mengincar pasar
wanita berusia remaja hingga
dewasa muda itu, menawarkan
beragam aksesori, termasuk tas.
“Kami menjual berbagai produk
fashion itu dengan harga Rp 88.000
hingga Rp 250.000,” jelas Janet.

Ekspansi ke daerah
Seiring dengan pertumbuhan
ekonomi di beberapa daerah, Gaudi
berekspansi di beberapa kota besar
seperti Medan, Semarang,
Denpasar, Palembang, Makassar,
dan Balikpapan. Apalagi, persaingan
mal di Jakarta sudah sangat ketat.
Sebaliknya, “Kota-kota di daerah itu
mempunyai buying power yang
cukup baik,” tutur Natha.

Selain berekspansi dengan
membuka gerai baru, Gaudi tak
berhenti meluncurkan produk
anyar. Salah satu kiat agar
pelanggan setia berkunjung, Janet
meluncurkan 40 item baru setiap
bulan. Tak hanya itu, Gaudi juga
rajin mendekorasi ulang gerainya
dengan konsep tertentu tiap tiga
tahun sekali. “Supaya pemandangan
di gerai kami selalu segar dan tidak
membosankan,” kata Janet.
Tapi, tak berarti perjalanan bisnis
kedua sahabat itu selalu berjalan
mulus. Pernah, suatu ketika, Gaudi
harus memindahkan lokasi tokonya
karena pengelola mengatur ulang
ruangan (rezoning). “Padahal, kami
enggak pernah telat bayar dan
ramai pengunjung,” tutur Natha.
Mereka mengaku kecewa, lantaran
pengelola mal justru tidak
mendukung keberadaan brand
lokal. Apalagi, konsep dekorasi
gerai Gaudi tidak kalah menarik
dibandingkan dengan gerai-gerai
merek dunia.

Natha pun sempat kebingungan
ketika pada awal usaha mendapati
produknya sempat menumpuk lama
hingga tak ada tempat untuk barang
baru. Lalu ia segera menggelar
promosi untuk menghabiskan stok.
Pengalaman itu berbuah trik jitu
mengelola stok barang.

Untuk memasok 26 gerainya di
seluruh Indonesia, Gaudi
memproduksi setiap item barang
hingga 700 unit. Selain
mengandalkan konveksi lokal, Janet
juga memesan beberapa produknya
di Hong Kong. “Seringkali untuk
warna-warna tertentu belum bisa
diproduksi di Indonesia,” katanya.
Selain itu, pengerjaan di Hong Kong
juga lebih baik dan rapi.

Sampai kini, Janet pun masih
memilih sendiri bahan yang akan
dipakai Gaudi. Bahkan, sering, ia
juga mendesain sendiri motif-motif
kain yang akan dipakai. Tak hanya
itu, Gaudi juga rutin mengganti
label pakaian dan tas pembungkus
produk Gaudi.
Setelah delapan tahun, Natha dan
Janet telah mempekerjakan 300
karyawan. Gaudi pun bisa mencatat
omzet hingga sekitar Rp 50 miliar
per tahun.

Meski sudah menuai sukses, mereka
mengaku masih memiliki angan-
angan yang belum terwujud, yaitu
menempatkan Gaudi sejajar dengan
brand fashion dari luar negeri.
Kedua sahabat itu berambisi agar
nama Gaudi juga berkibar di pasar
dunia. “Kami punya mimpi seperti
Zara,” kata Natha.

Mereka pun memasang target untuk
membuka gerai di Bangkok dan
Singapura tiga tahun mendatang.
“Kami terus mempelajari pasar,
mungkin yang terdekat kami buka
di Singapura,” kata Natha.( J. Ani Kristanti, Meylisa Badriyani )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/duet-wanita-cantik-di-balik-gerai-fashion/2013/01/18

Amin, Mantan Buruh Pabrik Ini Kini Jadi Juragan Kain Tenun Sutera Khas Garut Beromzet Ratusan Juta

Sejak lama, Kabupaten Garut, Jawa
Barat, dikenal sebagai daerah
penghasil kain sutera. Salah satu
produsen kain sutera khas Garut ini
adalah Amin Iskandar.
Terjun ke usaha ini sejak tahun
2003, nama Amin kini dikenal luas
sebagai produsen kain sutera dan
pengrajin kain tenun Garut.

Namanya berkibar seiring jaringan
pasarnya yang luas. Kini, Amin rutin
memasok kebutuhan kain sutera
buat para pembatik di beberapa
daerah, seperti Pekalongan,
Cirebon, Yogyakarta, dan Jakarta.
Dengan jumlah produksi mencapai
2.000 meter kain sutera per bulan,
Amin mengantongi omzet lebih dari
Rp 100 juta. Di bendera usaha
Rumah Tenun Amin, ia juga
memproduksi kain putihan dan kain
mori untuk batik. "Harga kain saya
berkisar Rp 95.000 sampai Rp
200.000 per meter,” kata dia.
Sebelum menjadi produsen kain
sutera, Amin lama bekerja di salah
satu perusahaan tenun sutera di
Garut. Sadar akan potensi bisnis
kain sutera, pada 2003, ia
memutuskan untuk membuka usaha
sendiri.

Selain tujuan bisnis, ia juga
mengaku terpanggil untuk turut
melestarikan budaya tenun kain
sutera khas Garut. Apalagi,
perkembangan tenun tradisional
Garut kini mulai surut. “Jadi, saya
mau angkat lagi untuk melestarikan
budaya tenun, terutama kerajinan
sutera,” ujarnya.

Amin menemukan banyak tantangan
saat awal-awal merintis usaha.
Pernah usahanya terkatung-katung
karena kekurangan modal.
"Perjalanan saya mengembangkan
Rumah Tenun Amin penuh dengan
hambatan dan tantangan," ujarnya.

Amin mengkisahkan, di awal
merintis usaha, ia butuh modal
dalam jumlah lumayan besar.
Jumlahnya mencapai sekitar Rp 40
juta – Rp 60 juta buat membeli
empat alat tenun bukan mesin
(ATBM), bahan baku, dan sewa
tempat.

Untuk memenuhi kebutuhan modal
itu, Amin rajin mencari investor
yang mau diajak bekerja sama.
Karena kemauannya yang kuat, ia
pun berhasil meyakinkan beberapa
investor yang merupakan kerabat
dan kenalannya.
Lantaran omzetnya masih kecil,
modal uang yang disetor investor
itu sering dibayar dengan kain
tenun. Baru pada tahun 2005, ia
berhasil membayar seluruh modal
yang dikeluarkan investor.

Usahanya makin berkembang maju
saat ia menjadi mitra binaan PT
Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN)
sejak tahun 2011. Sebagai mitraan
binaan, ia pun mendapatkan
pinjaman lunak dari perusahaan
pelat merah itu. “Sementara ini
baru sekali dapat pinjaman senilai
Rp 40 juta untuk pembayaran tiga
tahun,” ucap dia.
Selain pinjaman modal, Amin juga
mendapatkan pelatihan di bidang
manajemen usaha dan pemasaran.

Berkat pelatihan itu, ia kini mulai
melakukan pemasaran lewat
internet. Ia juga sering diikutkan ke
pelbagai pameran usaha skala kecil
menengah yang difasilitas oleh
PGN.
Amin optimistis usahanya akan
terus berkembang. Terlebih minat
masyarakat terhadap tenun sutera
kini terus tumbuh. Produk kain
sutera diminati karena memiliki
nilai estetika tinggi. Lantaran
lembut dan tahan kusut, kain sutera
juga sering digunakan untuk
membuat selendang atau pakaian
jadi.

Berbekal pengalaman sebagai
karyawan di sebuah perusahaan
tenun, Amin Iskandar, 44 tahun,
memutuskan untuk mendirikan
usaha sendiri. Ayah dari dua orang
putri ini membangun usaha tenun
sutera di Kecamatan Kadungora,
Garut, Jawa Barat.
Amin memulai usaha tenun sutera
dengan membeli empat unit alat
tenun bukan mesin (ATBM) pada
tahun 2009. Saat itu, ia hanya
melayani pembelian secara eceran.
Omzetnya di awal-awal usaha hanya
berkisar Rp 10 juta per bulan.

Amin pun mencari cara agar
omzetnya bisa lebih tinggi lagi. Saat
itu, ia berpikir, tidak mungkin
omzet bisa lebih besar bila hanya
mengandalkan penjualan eceran. Ia
lantas mulai mencari konsumen
yang mau membeli dalam partai
besar atau grosir.
Maka itu, Amin mulai mendekati
para pembatik di daerah-daerah.

Hampir setiap bulan, ia
mengunjungi pembatik di daerah
Pekalongan dan Cirebon untuk
menawarkan produk tenun
suteranya. Selain itu, ia juga biasa
bertemu para pembatik di tempat-
tempat pameran yang diikutinya.
Upayanya itu tidak sia-sia. Berkat
pendekatan seperti itu, order dari
para pembatik pun mulai mengalir.
"Mereka ini membeli kain tenun
dalam partai besar," kata Amin.

Lantaran sudah punya banyak
pelanggan, Amin kini sudah tak
perlu repot-repot menjajakan kain
tenunnya seperti dulu lagi. Melalui
jaringan yang dibangunnya,
terkadang para pembatik malah
mendatangi langsung galerinya di
Garut.

Usahanya semakin berkembang
sejak mendapat pelatihan dari
yayasan Citra Tenun Indonesia (CTI)
pada tahun 2012. Berkat pelatihan
itu, produk yang dihasilkan Amin
kini makin variatif.
Selain memproduksi kain putihan,
Amin juga memproduksi kain
dengan pelbagai corak dan warna.
Bahkan, ia juga sudah memproduksi
pakaian siap pakai. Selain pelatihan,
CTI juga turut membantu
memasarkan produknya.

Kendati sukses, bukan berarti
bisnisnya tidak pernah menemui
hambatan. Kendala bahan baku
kerap menjadi momok bagi para
perajin tenun seperti Amin.
Pasalnya, mayoritas bahan baku
benang sutera diimpor dari China.

Alhasil, pasokan bahan baku kerap
tersendat. "Setahu saya, 100%
pengrajin sutera bergantung
terhadap bahan baku benang sutera
dari China," katanya.
Selain pengiriman kadang kurang
lancar, harga bahan baku impor
dari China juga terus naik. Menurut
Amin, dalam setahun, bisa terjadi
empat hingga lima kali kenaikan
harga bahan baku.
Amin membeli benang sutera dari
pengimpor di Surabaya seharga Rp
590.000 per kilogram (kg). Dalam
sebulan, ia bisa membeli 200 kg
benang. "Karena pengiriman sering
terlambat, biasanya saya sering
menyetok supaya tidak kehabisan
bahan baku," tuturnya.

Tenaga kerja pun menjadi masalah
dalam bisnisnya. Kini, karyawan
Rumah Tenun Amin mencapai 40
orang. Selama menjalani bisnis, ia
kesulitan mendapat tenaga kerja
yang tekun dan berpengalaman.
Pasalnya, turn over karyawan di
tempatnya relatif tinggi karena
kebanyakan perempuan. "Kalau
sudah menikah, mereka keluar dan
saya yang repot mencari karyawan
baru dan melatih dari awal lagi,"
ucap dia.

Kendati bisnis kain tenun sudah
menghasilkan omzet ratusan juta,
hal itu tak membuat Amin Iskandar
cepat puas. Pemilik Rumah  Tenun
Amin di Garut, Jawa Barat, ini
masih menyimpan banyak rencana
buat memajukan usahanya.
Salah satunya adalah rencana
mengatasi kendala bahan baku
benang sutera. Amin mengaku
sudah punya solusi mengatasi
persoalan tersebut.

Yakni, dengan menjalin kerjasama
dengan petani ulat sutera. Dalam
kerjasama itu, ia akan menampung
kepompong ulat sutera dari petani
untuk kemudian dipintal sendiri
menjadi benang. “Harus begitu
supaya tidak mengandalkan bahan
baku dari China lagi,” tuturnya.
Menurut Amun, dulu pernah ada
perusahaan yang memproduksi
benang sutera di Sukabumi, yakni
PT Indo Jado Sutera Pratama.
Namun, pada 2003, perusahaan itu
tutup karena bangkrut.
Sejak itu, perajin tenun sutra
bergantung kepada pasokan benang
sutra impor dari China. Agar lepas
dari ketergantungan, Amin ingin
bekerja sama dengan para petani
sutera di Garut dan Bogor, Jawa
Barat.
Selama ini, kata Amin, petani
membudidayakan ulat sutera dalam
skala kecil. Nah, bila jadi
bekerjasama, ia akan mendorong
mereka untuk meningkatkan hasil
produksinya, sehingga bisa dipakai
untuk keperluan yang lebih besar
lagi.

Amin mengaku pernah
menyampaikan rencananya ini
kepada Dinas Kehutanan Garut.
Tampaknya dinas sangat mendukung
keinginannya itu. “Orang dari Dinas
Kehutanan akan menggiatkan
kembali pembinaan kepada para
petani sutera,” ucap dia.
Amin juga mengaku, rencananya ini
mendapat dukungan penuh dari
industri tenun sutra skala besar di
Garut. "Mereka menawarkan
bantuan mesin pemintal, dengan
syarat, saya bekerja sama dengan
petani sutera," ujarnya.

Amin mengaku senang lantaran
banyak pihak mendukung
rencananya ini. Maka itu, menjalin
kerja sama dengan petani sutera
kini menjadi fokus utamanya dalam
mengembangkan bisnis tenun yang
digelutinya.

Setelah kendala bahan baku
teratasi, Amin berniat membangun
galeri sutera di Jakarta agar
jangkauan pemasarannya lebih luas.

Untuk itu, ia kini mulai melakukan
pengembangan produk.
Selain kain tenun lembaran, sejak
tahun lalu, Amin juga mulai
memproduksi pakaian jadi. Dengan
membuat pakaian jadi,
konsumennya kini tidak terbatas di
kalangan pembatik saja. Tapi juga
masyarakat umum yang ingin
mencoba langsung produk dengan
mengenakan busana sutera.
Dengan begitu, produk tenun sutera
khas Garut bisa semakin dikenal.
“Sekarang kalau pameran, saya tidak
bawa bahan mentah, tapi yang
sudah siap pakai oleh konsumen
umum,” ujarnya. (Marantina )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/amin-akan-gandeng-petani-ulat-sutera-3/2013/02/03

Gufron, Berkat Modifikasi Martabak 'Mavia', Mahasiswa Ini Raup Omzet Rp 30 Juta/Bulan

Jakarta - Hampir semua orang
mengenal makanan yang bernama
martabak. Selintas ketika
mendengar nama makanan ini,
akan terbayang sebuah lingkaran
besar, terpotong-potong dan
memiliki isi. Nyam.
Pastinya bayangan itu akan buyar
jika melihat martabak mavia.

Muhammad Gufron adalah
inisiatornya. Martabak dengan
diameter 3,5 cm dilapisi rasa unik
ini berhasil ia ciptakan 2011
silam. Bagaimana ceritanya?
"Idenya dulu begini. Saya
terinspirasi dari (es krim)
Magnum, ini sebenarnya saya
bikin kayak gini ikut Magnum.
Magnum kan di luarnya keras,
coklat di dalamnya lembut. Kalau
ini martabak yang lembut isinya,"
jawab Gufron saat berbincang
bersama detikFinance, Selasa
(4/2/2013).

Ia mengaku sebagai pengagum
sejati martabak. Pantas saja, meski
masih menempuh studi di jurusan
Perikanan, Institut Pertanian
Bogor (IPB), Gufron berani
memulai usaha ini. "Jauh banget
ya, tapi saya memang suka
martabak," tandasnya.
Modal yang disiapkak saat itu Rp
17,5 juta. Percobaan pertama, Ia
memproduksi martabak
berdiameter 8,5 cm, dengan posisi
terbuka.

"Itu ternyata tidak sesuai dengan
segmen pasar saya. Saya inginnya
buat untuk anak muda, dan
praktis. Akhirnya buat kayak gini
lebih kecil," ucap Gufron.
Menurut dia, anak muda sering
membatalkan niat membeli
martabak hanya karena kebesaran
dan rasa yang cenderung
monoton. Harga yang dipatok pun
disesuaikan, yaitu Rp 7.000.
Lokasi penjualan tersebar di
kantin-kantin wilayah Bogor,
seperti kantin kampus dan
sekolah.

"Kita sesuaikan produk dengan
konsumennya. Jadi diselimuti
coklat. Jadi ada campuran rasa
juga. Rasanya ada original, cheese
milk, sama double coklat," terang
Gufron sambil memperlihatkan
kreasinya.

Statusnya sebagai mahasiswa
memang menjadi kendala.
Membagi waktu jadi alasan utama
untuk memilih mana yang menjadi
prioritas. Alhasil, pilihannya
ternyata berbuah manis. Saat ini ia
bisa mengantongi uang Rp 30 juta
per bulan.

Gufron juga menyebutkan
kendalanya dalam mengelola
karyawan. Setahun berjalan,
masalah ini cukup membuatnya
kewalahan. "Jadi sekarang ada
tujuh (karyawan). Ini baru
beberapa bulan sudah 2 karyawan
yang berhenti. Ambik karyawan
lalgi, training lagi, itu repot,"
jelasnya.
Tahun 2013, Ia sudah
mematangkan beberapa strategi.

Di antaranya dengan membuka
kemitraan dengan tiga pola.
Pertama, investasi dengan sistem
bagi hasil dan pengembalian
modal. Kedua, distribusi di mana
pembagian untuk penjual 10%.
Ketiga adalah reseller dengan
sistem jual putus.

"Saya targetkan untuk main di
Jabodetabek yang sudah ada
beberapa tempat yang kami tinggal
deal. Kue Lapis Bogor, Javapucino
terus di UI (Universitas Indonesia)
dan ada beberapa tempat di
Kampung Melayu," lanjutnya.
Gufron juga akan mengakhiri
produknya dijual dari kantin-
kantin dan mencoba masuk ke
swalayan atau mal di Jabodetabek.
Menurutnya ini penting untuk
menjangkau konsumen kelas
menengah ke atas.

"Kalau saya jual masih di tempat
yang biasa, itu ngejatuhin produk
saya. Akhirnya saya ingin naik ke
segmen menengah ke atas,"
pungkasnya.

Tertarik dengan peluang usaha ini?
Hubungi Gufron di twitter
@martabakmavia

( Maikel Jefriando)

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2013/02/05/073347/2161107/480/modifikasi-martabak-mahasiswa-ini-raup-omzet-rp-30-juta-bulan

Friday, February 1, 2013

Berawal dari Garasi Rumah, Kini Suteja dan Nanik Mampu Pekerjakan 200 Karyawan Lewat Virgin Cake & Bakery

Ketekunan dan kejelian melihat
celah pasar menjadi kunci sukses
pasangan suami istri, Suteja Alim
dan Nanik Sumiyati, berbisnis
bakery di Semarang. Dari garasi
rumah mereka, pasangan tersebut
membangun pabrik roti
berkapasitas besar.

Boleh jadi, Suteja Alim Wijaya dan
Nanik Sumiyati tak akan pernah
menyangka Virgin Cake & Bakery
tumbuh besar seperti saat ini.

Usaha yang bermula dari garasi di
sebuah rumah kontrakan 13 tahun
lalu itu kini menjelma menjadi
pabrik roti berkapasitas besar yang
mampu mengolah puluhan sak
tepung terigu setiap hari.

Beberapa tahun belakangan ini,
keberadaan gerai roti Virgin di
Semarang sangat fenomenal. Gerai
Virgin selalu terlihat ramai
pengunjung setiap harinya. Pamor
Virgin yang berada di suatu
kawasan perumahan, yakni
Tlogosari, pun terdengar sampai
jauh.
Pelanggan bakery itu berasal dari
berbagai penjuru kota. Bahkan,
tidak sedikit konsumen Virgin yang
datang dari luar Semarang, seperti
Ungaran, Kudus, Jepara,
Pekalongan, hingga Tegal.

Berangkat dari keinginan
mempunyai usaha sendiri dan hobi
membuat roti dan kue, Nanik
memutuskan untuk membuka toko
roti di rumahnya pada 1999. “Kami
memakai uang tabungan Rp 25 juta
untuk menyewa rumah, sekaligus
membuka usaha ini,” kata Teja,
panggilan akrab Suteja Alim.
Garasi rumah pun disulapnya
menjadi toko roti sekaligus tempat
produksi. “Bagian depan untuk
etalase, di belakang untuk
produksi,” ujar Nanik.

Selain menawarkan roti yang sudah
jadi, ia juga menerima pesanan dari
tetangga dan kenalan yang
bermukim di sekitar Tlogosari,
Semarang.
Pesanan pun makin sering
berdatangan lantaran kue dan roti
bikinan Nanik tidak mengecewakan.
Harga yang terjangkau juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi
konsumen. Berkat kedua hal ini,
toko roti Virgin pun terus
berkembang.

Hingga menginjak tahun keempat,
Teja melihat perkembangan pesat
gerai Virgin. Nanik, yang semula
hanya dibantu pembantunya, sudah
mempekerjakan puluhan karyawan.
Kala itu, Teja masih bekerja sebagai
pemasok bahan bangunan. Setelah
melihat Virgin berkembang pesat, ia
pun lantas berhenti. “Saat itu, saya
melihat perkembangan Virgin lebih
cepat daripada bisnis saya,
penghasilan saya pun bisa
tergantikan,” ujar dia.
Perputaran uang di bisnis bakery
ini lebih bagus ketimbang bisnis
bahan bangunan yang tempo
pembayarannya lebih lama. Apalagi,
ia melihat sang istri kewalahan
mengurus bisnisnya sendiri.

Dengan ilmu marketing yang
dimilikinya, Suteja lantas fokus
menggarap bisnis bakery bersama
istrinya. Ia sengaja membidik pasar
menengah ke bawah. Strategi ini
terbukti benar. Pasar menengah
bawah yang sangat besar saat itu
berhasil mendongkrak omzet Virgin.
Produk berkualitas dan harga
terjangkau menjadi keunggulan
gerai ini. Banyak konsumen
berpendapat, meski harganya
murah, kualitas roti dan kue Virgin
tak mengecewakan.

Apalagi, seperti gerai roti premium,
Suteja mengadopsi konsep
swalayan. Pengunjung bisa memilih
dan mengambil sendiri roti yang
telah disediakan dalam rak-rak.
Sejak 2003, nama Virgin pun
semakin terkenal. Bahkan, toko roti
ini menjadi buah bibir di kalangan
pengusaha bakery Semarang.

Banyak pesanan

Tak hanya penyuka roti, banyak
pula produsen bahan baku yang
berdecak kagum ketika melihat
riuhnya pelanggan Virgin. Selain
berlomba menjadi pemasok, mereka
memberi berbagai pelatihan untuk
mengembangkan produk Virgin.
“Chef mereka mengajari kami
bagaimana teknik memakai bahan
baku mereka,” kata Teja.

Kejelian membaca perilaku pasar
menjadi kunci Teja sukses di bisnis
ini. Ia rajin mengamati habit
(kebiasaan) konsumen dari hari ke
hari, sehingga memahami karakter
dan pola penjualan tiap-tiap hari.
“Itu penting untuk menekan jumlah
produk yang mubazir, karena roti
memiliki umur,” terangnya.

Ia pun tak segan bertanya langsung
kepada konsumen yang memesan
dalam jumlah banyak. Sering, ia
ikut mengantar pesanan konsumen,
sembari mencari informasi soal
produknya. “Ternyata, sekarang,
banyak orang yang ingin praktis,
ketika mempunyai hajat mereka
memberi roti sebagai buah tangan,”
ujar dia.
Tak heran, di musim orang banyak
mengadakan hajatan, Virgin selalu
kebanjiran pesanan. “Bahkan, roti
berbentuk ring yang banyak
dipesan, menduduki peringkat
teratas penjualan Virgin,” tutur
Teja.

Tak berhenti dengan
mengoperasikan satu gerai saja,
tahun lalu, Teja membuka gerai
Virgin kedua di Ungaran, Jawa
Tengah. Teja sengaja memilih luar
Semarang karena ingin menangkap
konsumen yang datang dari arah
selatan ibu kota Jawa Tengah itu. Di
cabang baru yang menempati lahan
seluas 1,1 hektare, Teja juga
mendirikan pabrik roti Virgin
kedua. Ia pun masih punya rencana
untuk membuka gerai baru di
kawasan barat Semarang.

Kini, dengan dua cabang, Teja
mempekerjakan lebih dari 200
karyawan di gerai maupun
pabriknya. Virgin mampu
mendulang omzet ratusan juta
hingga miliaran rupiah tiap bulan.
( J. Ani Kristanti )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/tepat-pangsa-pasarnya-roti-teja-nanik-pun-meraja/2013/01/25

Wiranantaja, Mantan Cabin Boy Kapal Pesiar yang Kini Menjadi Raja Kipas Beromzet Milyaran

Niat, kerja keras serta sikap
pantang menyerah adalah modal
utama Ketut Wiranantaja merintis
dan membesarkan usaha pembuatan
kipas tangan. Kini, ia menjadi raja
kipas asal Bali. Ketenaran kipas
Wiracana pun bergaung hingga ke
luar negeri.

Sering sebuah keterpaksaan
berbuah manis. Apalagi jika
dibarengi dengan ketekunan dan
kerja keras. Ketiga modal itulah
yang mendorong Ketut Wiranantaja
sukses membangun bisnis kipas
berlabel Wiracana.
Memadukan pengerjaan mesin dan
keahlian tangan, jangan heran, jika
kipas Wiracana banyak diburu
kolektor kipas tanah air. Banyak
pula pejabat dan perusahaan yang
memesan kipas buatan Wira,
panggilan akrab Ketut Wiranantaja,
sebagai suvenir ketika ada hajatan
penting. Sebagian besar hotel
berbintang lima di Bali dan Jakarta
juga memiliki koleksi kipas
Wiracana.

Bahkan, kipas Wiracana juga
menghiasi etalase museum kipas di
London, Inggris. Tak hanya itu,
Wira juga mengirimkan kipasnya ke
Spanyol dan Jepang. Di Negeri
Matahari Terbit tersebut, kipas
Wiracana termasuk cenderamata
yang dijajakan di Skytree, menara
tertinggi di dunia yang berada di
Tokyo.

Kesuksesan Wira membangun bisnis
kipas tidak dicapai dalam waktu
singkat. Pria kelahiran 31 Januari
1954 ini membutuhkan waktu 25
tahun untuk membesarkan bisnis
kipasnya. Ia pun mengalami jatuh
bangun saat membesarkan bisnis
yang mulanya hanya dipandang
sebelah mata ini.

Pada 1978, setelah bekerja di kapal
pesiar berbendera Australia selama
tiga tahun, Wira pun memutuskan
pulang ke kampung halamannya di
Bali.  Meski saat itu menggenggam
banyak uang, ia sempat bingung
untuk memulai usaha.

Lantaran melihat perkembangan
bisnis pariwisata di Bali yang baik,
Wira pun tergerak mencoba
peruntungannya menjadi pedagang
acung, sebutan untuk pedagang kaki
lima di Bali. Rupanya, pilihan ini
tepat. Dari sini, ia melihat peluang
berbisnis kipas. “Biasanya,
wisatawan hanya mau membeli satu
patung, berbeda dengan kipas yang
sering dibeli dalam jumlah banyak,”
ujar dia.
Berbekal keyakinan itu, setelah tiga
bulan menjadi pedagang acung,
Wira memutuskan untuk
memproduksi kipas di rumah. Ia
menggunakan sisa tabungan hasil
bekerja di kapal pesiar, sebagai
modal. Karena hanya mengandalkan
tangan, produksi kipas Wira masih
minim. Wira hanya bisa
menghasilkan 20 kipas dalam
sehari.

Tak hanya dalam hal produksi,
awalnya, bapak tiga anak ini juga
menemui kesulitan dalam menjual
kipasnya. Wira menawarkan kipas
buatannya ke beberapa artshop di
Ubud, Tampak Siring, dan Goa
Gajah. Ia pun tak langsung
menerima uang hasil penjualan,
karena pembayaran baru dilakukan
setelah kipasnya laku terjual.

Ketekunan menjadi kunci sukses
bagi Wira merintis bisnis kipas. Ia
pun makin yakin bisnis kipasnya
memiliki prospek cerah ketika
penjualan makin baik. Hingga pada
1987, lulusan akademi pariwisata di
Denpasar ini mendirikan CV
Wiracana.Ia mendapat suntikan
dana bank senilai Rp 400.000.

Stres karena mesin

Berbekal dana segar itu, Wira
bergegas mencari mesin pembuat
kipas. Ia menyadari, produksi kipas
dengan cara tradisional memakan
waktu cukup lama. Lantas, Wira
pergi ke Surabaya untuk mencari
mesin pencetak kipas.

Sayang, usaha itu tak berhasil. Wira
pun mengaku sempat stres hanya
gara-gara tak mendapatkan mesin
yang bisa memilah kayu tipis-tipis.
Baru pada 1992, Wira mendapatkan
mesin pencetak kipas seperti
keinginannya seharga Rp 72 juta.

Kapasitas produksi kipas Wiracana
pun terus meningkat seiring dengan
banyaknya pesanan. Wira juga terus
menambah tenaga kerja hingga 15
orang. Pada 1993, kipas Wiracana
merambah Istana Negara, setelah
dipesan menjadi suvenir untuk
upacara peringatan Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus.

Perkembangan desain kipas pun
menuntut kebutuhan mesin laser
yang mahal sebagai pelengkap alat
produksi. Hanya saja, sang istri tak
mengizinkan Wira menjual sebagian
aset untuk membeli mesin baru.
“Saya sempat masuk ICU, stres
karena terus memikirkan mesin
baru,” tutur Wira.

Beruntung sang istri luluh.
“Akhirnya, saya jual mobil Mercy,
diler sepeda motor, dan ruko
karena harus punya alat produksi,”
kata Wira. Ia sendiri yang memesan
mesin tersebut sesuai dengan
idenya. Benar saja, berbekal mesin
canggih itu, kreasi kipas Wiracana
makin beragam.

Wira bisa membuat kipas perak,
kipas warna tradisional, kipas
dekorasi, kipas lukis dengan ukiran
dari tulang, kipas sutra polos, kipas
sutra lukis tangan, kipas cetak
kertas, kipas sutra batik, kipas
kerang laut, kipas sutra brokat.
Konsumen pun bisa dengan mudah
mengukir namanya di kipas.
Dan, pesanan makin deras mengalir.

Kini, dengan 175 karyawan, CV
Wiracana mampu memproduksi
25.000 kipas kayu dan kertas tiap
bulan. Harga kipas-kipas itu mulai
dari Rp 10.000 hingga Rp 17 juta
per buah. Tak heran, Wira bisa
menangguk omzet ratusan juta
hingga miliaran rupiah.

Tak hanya itu, Wira pun mendapat
banyak tawaran untuk membuka
gerainya di beberapa mal ternama
ibu kota.( Feri Kristianto)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/si-cabin-boy-itu-kini-menjadi-raja-kipas/2013/01/22

Bermodal Minim, Kini Harry Jadi Jutawan Muda Lewat Batik Khas Jambi

Di
mana ada kemauan, pasti di situ ada
jalan. Peribahasa ini tepat
disematkan kepada Harry Akbar (21
tahun), perajin batik asal Jambi. Di
usianya yang masih sangat muda,
Harry sudah memiliki tekad yang
kuat untuk sukses menekuni bisnis
batik.

Tak sia-sia, ia kini sukses meraup
omzet dari bisnis di atas Rp 100
juta per bulan. Di bawah bendera
usaha Galery Batik Jambi Desmiati,
produk batik Harry diminati di
dalam dan luar negeri.
Usaha batik ini dirintisnya sejak
lulus SMA pada tahun 2009 di
Thehok, Kota Jambi. Hebatnya, saat
ini ia masih berstatus mahasiswa di
Universitas Jambi.

Ide bisnis ini didapat saat ia
memberikan hadiah kain batik
untuk guru-gurunya sewaktu lulus
SMA. Selain kain, ia juga
menghadiahi guru-gurunya
beberapa lembar baju batik buat
kenang-kenangan.
Setelah membeli pakaian batik itu,
Harry mulai berpikir kenapa tidak
memproduksi batik sendiri. Apalagi,
selama ini motif batik Jambi tidak
banyak variasinya. Mereka yang
memproduksi batik juga
kebanyakan orang-orang tua.
"Di situlah saya memutuskan
memulai usaha batik," kata Harry.

Tidak mudah bagi Harry merintis
usaha ini. Terlebih, modal yang
dimiliknya juga sangat minim.
Guna mendapat modal, ia pun
membujuk orang tuanya untuk
menggadaikan sertifikat rumah ke
Bank Mandiri. Gayung bersambut.
Orang tuanya bersedia
menggadaikan sertifikat rumah.
"Saya pun mendapat pinjaman Rp
20 juta," ujarnya.

Namun, Harry hanya menggunakan
Rp 15 juta sebagai modal awal.
Sisanya ia berikan ke orang tuanya
untuk keperluan lain. Pada awal
menjalankan usaha, Harry mulai
merasakan menjadi seorang
pengusaha dengan omzet yang tidak
stabil.
"Selama enam bulan pertama, total
omzet saya hanya Rp 85 juta,"
kenangnya. Memasuki tahun 2010,
Harry mulai mendesain sendiri
motif-motif batik yang
diproduksinya.

Untuk motif batik ini, ia fokus juga
mengusung tema flora dan fauna
khas Jambi. Di antaranya, motif
angso duo, motif belah duren, motif
batanghari, dan candi muaro Jambi.
"Semua gambar itu bisa ditemukan
di Jambi," ucapnya.

Selain motif, Harry juga
memperkaya warna dengan pilihan-
pilihan yang disukainya. Hal itu
dilakukannya setelah mempelajari
selera pasar dalam waktu agak
lama.

Setelah yakin kualitas batiknya
diterima pasar, Harry mulai
merekrut karyawan guna
menggenjot produksi batiknya. Kini,
dalam sebulan, ia mampu
memproduksi lebih dari 400 potong
kain batik.

Harry memproduksi batik cap dan
batik tulis dengan rentang harga
mulai Rp 75.000 sampai Rp 10 juta
per piece. Produk batiknya sudah
merambah sejumlah kota di
Indonesia, seperti Jambi, Jakarta,
Medan, dan Banjarmasin.

Bahkan, Harry juga sudah
mengekspor produk batiknya ke
beberapa negara, seperti Paris,
Banglades, Dubai, Arab Saudi,
Malaysia dan Singapura.
Berkat kegigihannya ini, Harry
sempat masuk nominasi finalis
Wirausaha Kreatif Mandiri Kategori
Mahasiswa dan Program Diploma &
Sarjana pada pameran dan
penghargaan wirausaha muda
mandiri pekan lalu.

Di
usia
yang masih muda, Harry Akbar
sudah sukses berbisnis batik khas
Jambi dengan omzet ratusan juta
per bulan. Kendati omzetnya
ratusan juta, sejak awal merintis
usaha, ia tidak hanya memikirkan
keuntungan semata.
Harry ingin, bisnis yang dikelolanya
juga memberikan dampak sosial
bagi lingkungannya. Itu sebabnya,
sebagian besar karyawannya
merupakan orang kampung di
sekitar lokasi usahanya.

Rumah produksinya sendiri berada
di Kecamatan Thehok, Jambi. Ia
memfasilitasi masyarakat sekitar
untuk bekerja di rumah produksi
miliknya itu. Hal itu dilakukan sejak
tahun 2009 hingga sekarang. "Sejak
awal, saya memang ingin
mengangkat dan memberdayakan
masyarakat di sekitar tempat usaha
saya," katanya.

Untuk mewujudkan ambisinya itu,
Harry pun gencar memberikan
pelatihan membuat batik. Pelatihan
itu mulai pembuatan motif, warna,
dan penjemuran kain.

Saat ini, total warga yang pernah
dilatih dan bekerja dengannya ada
75 orang. Kebanyakan dari mereka
merupakan orang yang sudah lanjut
usia (lansia), ibu-ibu rumah tangga,
dan para pengangguran.

Harry mengaku, keinginan
memberdayakan warga sekitar
sudah muncul sejak masih duduk di
sekolah menengah atas (SMA).
Keinginan itu tumbuh lantaran
melihat banyak orang kampungnya
menghabiskan waktu secara tidak
produktif.

Sebagian besar di antara mereka
adalah ibu-ibu rumah tangga dan
pensiunan pegawai. Padahal,
menurut Harry, mereka bisa
mengerjakan sesuatu jika diberikan
kesempatan.

Selain memberikan pelatihan, Harry
juga menyediakan semua bahan
dasar pembuatan batik. Untuk
memacu semangat kerja
karyawannya, ia menjanjikan
semacam bonus bagi karyawannya
yang mampu menyelesaikan
pekerjaan tepat waktu. "Itu untuk
memacu semangat saja supaya
mereka bekerja dengan giat," ujar
Harry.

Selain memberdayakan warga
sekitar, Harry juga aktif membagi
pengetahuan dan pengalaman
bisnisnya di pelbagai tempat.
Kebetulan, ia sering diundang
menghadiri acara, seperti seminar
dan forum-forum pelatihan oleh
pelbagai kalangan.

Setiap ada kesempatan, Harry juga
tidak segan-segan mengajak
generasi muda di daerahnya untuk
mengikuti jejaknya menerjuni dunia
wirausaha.

Harry berharap, ke depan akan
banyak anak muda yang tertarik
berwirausaha. Menurutnya, ada
banyak manfaat dengan menjadi
wirausahawan. "Kita bisa membuka
lapangan pekerjaan," ujarnya.
Selain itu, menjadi wirausaha juga
bisa membantu menggerakkan roda
perekonomian daerah, dan
menambah pundi-pundi penghasilan
pemerintah daerah. Produk yang
dihasilkan juga bisa
memperkenalkan daerahnya kepada
banyak orang.

Memulai usaha dari nol, Harry
Akbar kini sukses mengelola bisnis
batik khas Jambi dengan omzet
ratusan juta per bulan. Namun,
kesuksesan itu tidak datang dengan
mudah. Beberapa kali ia menemui
kendala dalam menjalankan usaha
ini.

Di masa awal-awal merintis usaha
sekitar tahun 2009, usahanya
memang berjalan lancar. Bahkan
pada tahun 2010, omzet usahanya
sudah mencapai di atas Rp 100 juta
per enam bulan.

Namun, di awal tahun 2011,
pendapatan usahanya merosot dan
membuatnya harus berpikir keras
untuk membangun kembali
usahanya. "Waktu itu, ada
kelangkaan bahan baku, sehingga
saya kewalahan memenuhi
pesanan," kenang Harry.

Akibat kelangkaan bahan baku itu,
omzet Harry turun hingga di bawah
Rp 85 juta dalam waktu enam
bulan. Ia pun tak sanggup
membayar gaji para karyawannya.
Saat itu, Harry mulai khawatir akan
masa depan bisnisnya. Terlebih,
pemasaran batiknya saat itu masih
terbatas di wilayah Jambi. Tetapi,
hal itu tidak membuatnya putus
asa.

Belajar dari pengalaman, Harry
mencoba bangkit dan fokus
membesarkan lagi usahanya yang
nyaris terpuruk. "Momen itu saya
manfaatkan untuk merefleksikan
ulang soal kekurangan dan
kelemahan dalam menjalankan
bisnis," katanya.
Untuk membangun kembali
usahanya ini, Harry kemudian
meminjam lagi modal dari Bank
Mandiri. Pinjaman modal itu
dipakainya buat mengatasi kendala
bahan baku.

Dari segi produk, Harry juga mulai
melakukan diversifikasi dengan
memproduksi batik tulis. Ia juga
memilih terjun langsung ke
lapangan untuk mempromosikan
produk batiknya di pasar.
Pada akhir 2011, Harry mulai
membuka jalur pemasaran hingga
ke Jakarta. "Di Jakarta, saya
mempromosikan produk saya
secara door to door," akunya.

Lewat jerih payahnya itu, Harry pun
berhasil membina hubungan baik
dengan sejumlah pemasok dan
distributor batik di Jakarta.
Dengan memiliki jaringan bisnis di
Jakarta, ia tak lagi kesulitan
memasarkan produk batiknya ke
kota-kota lain. Soalnya, agen di
Jakarta sudah memiliki jaringan di
sejumlah kota. Para agen itu juga
yang membantu mempromosikan
batik buatannya.

Selain di sejumlah kota di
Indonesia, popularitas batiknya kini
bahkan sudah sampai di
mancanegara, seperti Paris,
Banglades, Dubai, Arab Saudi,
Malaysia dan Singapura.
Berkat jaringan pasar yang luas,
omzet Harry pun sudah mencapai di
atas Rp 100 juta per bulan. Kendati
omzetnya sudah ratusan juta, ia
tidak lantas cepat puas. Ia masih
ingin membesarkan lagi usahanya.
"Saya ingin membuka gerai sendiri
di Jakarta," katanya.

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/harry-sukses-melewati-masa-sulit-3/2013/01/29