Wednesday, September 21, 2011

Sudarto sukses menjadi juragan rempeyek detelah terkena PHK

Pertunjukan harus tetap berjalan. Itu pula yang membuat Sudarto tetap semangat meski kena PHK. Pascakehilangan pekerjaan itu, Sudarto melihat di kampungnya di Yogyakarta ada potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, yakni rempeyek. Sudarto pun terjun ke bisnis ini dan dia jadi makin yakin ada duit di balik rempeyek.

Pengalaman pahit adalah pemicu semangat yang paling besar. Pengalaman pahit ini pula yang membuat Sudarto, pria kelahiran Yogyakarta 47 tahun silam, sukses merintis usaha rempeyek.

Sudarto mulanya berstatus karyawan di PT Panasonic Gobel, produsen elektronik yang memiliki kantor cabang di Yogyakarta. Namun pada 2004 silam, Sudarto harus rela menjalani pemutusan hubungan kerja (PHK).

Bagi sebagian besar orang di-PHK itu ibarat menelan pil pahit. Bagi PHK-wan dunia seolah-olah runtuh dan hidup tak bisa berlanjut.

Namun, bagi Sudarto pil PHK itu ternyata tak pahit-pahit amat. Justru pil itu menjadi obat kuat untuk semakin bersemangat mencari rezeki buat keluarganya.

Sudarto menjadikan pemecatan itu sebagai pintu masuk ke ekonomi yang lebih baik. Lihat saja, usai dipecat, ia memutuskan untuk berwiraswasta dengan memproduksi rempeyek. Kebetulan saat itu, di daerah asalnya di Dusun Pelemadu, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta, banyak usaha rempeyek yang dikembangkan rumah tangga.

Namun, usaha rempeyek tidak berkembang baik karena kurang promosi. Nah, Sudarto tak mau melakukan kesalahan yang sama. Ia tetap memproduksi rempeyek namun juga melakukan promosi dan pemasaran yang benar untuk rempeyeknya itu.

Pada 2006, bersama sahabatnya, Sudarto bertekad bulat berbisnis rempeyek khas Yogya. Selain memproduksi sendiri, ia juga melakukan pengemasan rempeyek dengan apik. "Rempeyek itu makanan tradisional favorit orang Jawa," ujarnya.

Selain menyiapkan kemasan yang apik, tak lupa Sudarto juga melakukan survei kecil-kecilan tentang kebutuhan rempeyek di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang. Kesimpulannya, "Kebutuhan rempeyek masih tinggi," ujar Sudarto. Kesimpulan lainnya, banyak warga kota besar yang ternyata lebih suka rempeyek kampung.

Hasil survei itu terbukti benar, penjualan rempeyek Sudarto berkembang pesat di kota besar. Setelah berjalan sekian waktu, kini ia telah memproduksi 3.000 sampai 4.000 kemasan atau setara dengan 1 ton rempeyek per hari dengan harga jual Rp 2.500 per kemasan. "Pesanan terbesar dari di Jakarta," kata pemilik merek rempeyek Nyak Sus itu.

Sesampai di Jakarta, rempeyek yang diproduksi Sudarto bisa dijual hingga Rp 5.000 per kemasan. "Rempeyek ternyata bisnis yang menguntungkan di Jakarta," pungkasnya.

Untuk memikat konsumen, Sudarto sengaja memproduksi lima jenis rempeyek. Mulai dari rempeyek kacang tanah, kedelai hitam, kedelai putih, teri, dan rempeyek udang rebon. Namun, rempeyek yang best seller adalah rempeyek kacang tanah.

Selain pasar ibu kota, ternyata rempeyek milik Sudarto juga laris hingga Sumatra dan Kalimantan. Khusus rempeyek kedelai hitam dan rempeyek kedelai putih laku keras di Sumatera.

Dari hasil penjualan itu saban bulan Sudarto mengantongi omzet Rp 300 juta. Bahkan kini ia sudah punya 36 karyawan yang ia bayar dengan sistem kerja borongan. Dengan sistem borongan itu, ia membayar jerih payah karyawan sesuai pekerjaan yang mereka hasilkan.

 

Usaha rempeyek Sudarto ikut bergoyang ketika gempa melanda Yogyakarta pada 2006 silam. Namun, Sudarto tak mau menghentikan produksi. Baginya, gempa ini juga peluang karena saat itu Yogyakarta dibanjiri relawan dari segala penjuru Tanah Air. Ini menjadi peluang emas baginya berpromosi agar rempeyeknya makin terkenal.

Sudarto memang tak pernah menyesal atas PHK yang menimpa dirinya. Sebaliknya, dia malah bersyukur. Karena PHK itu pula, statusnya berubah 180 derajat. Kalau dulu dia hanya buruh atau karyawan, sekarang dia berstatus sebagai juragan.

Dengan menjadi pengusaha, ia juga bisa mengatur sendiri waktu kerjanya. Yang terpenting, ia bisa mempekerjakan tenaga kerja di sekitar tempat tinggalnya

Satu hal yang dipetik Sudarto saat menjadi karyawan, yakni pengalaman. Dia membayangkan, seandainya tak pernah jadi karyawan, tentu bingung juga menjadi pengusaha. Ilmu saat menjadi karyawan, sekarang benar-benar berguna bagi Sudarto untuk menjalankan usaha rempeyek ini. "Saya jadi punya ilmu marketing dan sekaligus bagaimana mempraktikkan ilmu itu," ujar Sudarto.

Dengan ilmu pemasaran itu pula, Sudarto memutar modal yang cuma sebesar Rp 5 juta. Awalnya, ia menjalankan usaha bekerja sama dengan para ibu-ibu pengasong untuk memasarkan rempeyek dari pintu ke pintu atau tempat-tempat yang banyak didatangi orang. "Awalnya saya ingin membuka toko, namun ternyata cara door to door ini lebih efektif," ungkap Sudarto.

Bagi pengasong, pola jualan seperti itu memang lebih menguntungkan, karena pengasong bisa mengambil untung lebih banyak. Adapun bagi Sudarto, ia selalu menerima pembayaran tunai.

Namun saat pasar rempeyek mulai meluas, produksi sempat terganggu, bahkan terhenti, selama tiga minggu akibat gempa bumi melanda Yogyakarta pada 2006. Saat gempa mengguncang, rumah tempat produksi rempeyek rata dengan tanah. Sudarto pun merugi puluhan juta.

Tapi, Sudarto pantang meratapi nasib. Ia pun kembali bangkit dan memanggil semua karyawan untuk bekerja dan memproduksi rempeyek seperti semula.

Justru setelah gempa itu usaha rempeyeknya makin melebar. Waktu itu banyak relawan yang datang ke Yogyakarta dan memberikan bantuan. Nah, saat hendak menyerahkan bantuan ke Sudarto, lelaki ini malah mempromosikan rempeyeknya kepada para relawan itu. "Mereka datang dari berbagai kota di luar Jawa, sehingga saya bisa sekalian promosi," tegasnya.

Meski saat itu ia belum bisa mengirim dalam jumlah besar kepada para pemesan karena ada bencana, setidaknya ia bisa meyakinkan bahwa produk rempeyeknya sangat berkualitas.

Setelah gempa itu, produksi rempeyek Sudarto pelan namun pasti normal kembali. Bahkan beberapa bulan setelah gempa, produksinya sudah mencapai 2.000 bungkus per hari. "Jumlahnya memang masih sedikit, namun responsnya bagus," pungkasnya.

Sebagai strategi pemasaran, Sudarto memutuskan untuk lebih fokus menjual rempeyeknya di luar Yogyakarta. Karena ia sadar bahwa produsen rempeyek di Yogyakarta sudah cukup banyak. Kini, hampir semua produksinya dikirim ke Jakarta dan sekitarnya karena pasarnya masih sangat menjanjikan. Untuk mengirimkan rempeyek dari Bantul ke Jakarta, ia menggunakan truk yang ditutup dengan terpal dengan frekuensi pengiriman seminggu dua kali.

Untuk urusan ini, ia sudah memiliki langganan armada truk sehingga mereka sudah mengetahui teknis mengangkut rempeyek agar kondisinya tidak hancur dan tetap bagus sampai di ibu kota. "Mereka rata-rata sudah pengalaman lebih dari 10 tahun menjadi sopir angkutan barang makanan," ujar Sudarto.

Ke depannya, Sudarto masih punya ambisi bisa menguasai pasar di Kalimantan. Karena selama ini baru sekitar 5% dari total produksi rempeyeknya yang sampai di Kalimantan.

Padahal kota-kota seperti Pangkalanbun, Sampit, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Balikpapan sangat besar permintaannya. "Saat ini, kendalanya, produksi rempeyek masih kurang untuk memenuhi seluruh permintaan," ujarnya.

Kebetulan, ia juga sudah memiliki beberapa konsumen lama yang siap menjadi agen penyalur rempeyeknya ke kota-kota di Kalimantan. Sehingga ia bisa memastikan bahwa produk rempeyeknya aman sampai ke tangan konsumen. Karena ia menyadari bahwa kendala utama dalam bisnis ini adalah masalah distribusi.

Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1323939217/85315/Sudarto-Rempeyek-makin-renyah-pascagempa-2

Sunday, September 11, 2011

Sukses Lewat Bisnis Mesin Penjernih Air Minum, Omsetnya Rp 7 M

Setelah beberapa kali gagal menjalankan usaha, akhirnyaFuji sukses mengembangkan bisnis mesin penjernih air minum dengan omset Rp 7 miliar setahun. Bagaimana lika-likunya?

Inspirasi bisnis bisa muncul dari mana saja. Fuji Wong misalnya, bermula dari mengantarkan tamu asing memancing, kebetulan saat itu relasinya membawa alat portable drinking water, dia kini dikenal sebagai pemain bisnis mesin penjernih air minum merek FujiRO dan depo air minum isi ulang FujiRO. Jaringan deponya mencapai 198 cabang yang tersebar di 70 kota atau kabupaten di Tanah Air dengan total omset Rp 7 miliar setahun.


 Bertempat di sebuah ruko sederhana di kawasan Gedongkuning, Yogyakarta, Fuji mengendalikan bisnisnya di bawah PT FujiRO Indonesia. Saban hari, ruko yang dipasang papan nama bertulisan FujiRO Bukan Air Minum Biasa itu tidak pernah sepi didatangi pengunjung. Kebanyakan mereka berasal dari luar kota atau pulau untuk sekadar mendapatkan informasi detail tentang peluang bisnis air minum tersebut. “Dulu, basis awal FujiRO di Jakarta, lalu saya pindahkan ke Yogyakarta, Makassar dan Bandung untuk memudahkan akses pengiriman ke cabang,” ucap lulusan SMA Bruderan, Purwokerto (1987) itu.


 Fuji meraih kesuksesan setelah melewati masa sulit yang panjang. Sebelum mendirikan FujiRO tahun 2002, Fuji dikenal sebagai Fishing Coordinator Indonesia. Dia berperan mengoordinasi para konglomerat atau kaum berduit yang memiliki hobi memancing di laut. Kliennya tidak hanya the haves dari Indonesia, melainkan juga kalangan ekspat. Bayangkan. Sekali memancing setiap klien harus merogoh kocek Rp 35 juta per jam.


 Dari olah raga dan hobi memancing ini, Fuji menjalin relasi dengan banyak orang penting. Nah, suatu ketika dia sedang melayani klien asal Jepang, Naomi Fuji Hiro. “Waktu itu Naomi membawa alat portable drinking water yang berfungsi untuk menyaring air hingga layak langsung diminum,” katanya mengenang. Fuji benar-benar terkesima. Keesokan harinya, dia langsung hunting alat tersebut ke sejumlah pasar dan toko. Hasilnya, dia menemukan alat serupa tetapi modelnya beda, mereknya Aqua Pure.


 Meski di pasaran Indonesia alat penjernih air itu sudah ada, Fuji tidak patah semangat. Ia tetap gigih mewujudkan impiannya untuk memulai bisnis baru. Dengan modal hanya Rp 4 juta, yang berasal dari menjual kalung emas istrinya, dia membeli sejumlah alat penjernih air di toko. Kemudian alat itu ditawarkan keliling dari rumah ke rumah di Jakarta. Sialnya, respons pasar tidak antusias.


 Lagi-lagi Fuji pantang mundur. Sepi penjualan di Jakarta, dia merangsek ke Banyuwangi, Jawa Timur, berkeliling menawarkan alat penjernih air minum tersebut. Kegigihannya memang patut diacungi jempol, Maklum, dia memiliki jam terbang tinggi sebagai salesman. Nyaris semua produk pernah dia pasarkan, mulai dari dagang bolpoin keliling, penjual granit, agen asuransi, memasarkan properti hingga multilevel marketing. “Barang apa saja pernah saya jual, kecuali tiga hal: wanita, narkoba dan pesawat terbang,” ujar mantan karyawan salon, bridal dan event organizer itu berseloroh.


 Tiga bulan pertama penjualan di Banyuwangi masih seret. Tiap bulan cuma mampu menjual tiga-empat unit alat penjernih air minum. Cara promosi yang digunakan saat itu, dengan mengatakan positioning alat sebagai produk kesehatan, sehingga layak dikonsumsi langsung.


 Namun, kondisi ini justru membuatnya berpikir lebih kreatif. Apa itu? Keturunan Tionghoa ini menemukan strategi penjualan yang benar-benar membuat bisnisnya booming. Ide brilian yang tercetus saat itu, tidak hanya menjual mesin penjernih air sebagai produk kesehatan, tetapi juga investasi yang bisa menghasilkan uang. Maksudnya, siapa saja yang membeli produknya bisa digunakan sebagai alternatif bisnis yang menguntungkan. Hasilnya? Rupanya, dengan jurus ini sambutan pasar luar biasa. Omset penjualannya meningkat tajam. “Ternyata, kalau orang ditawari sehat saja tidak tertarik. Tapi, begitu disodori peluang keuntungan atau investasi, langsung tergiur,” ujar pria kelahiran Banyumas tahun 1968 ini.


 Begitu mendapat respons yang bagus, Fuji terus berusaha mendapatkan suplai mesin penjernih air dengan kualifikasi jempolan. Lalu, dia merakit sendiri mesin tersebut dan diberi merek FujiRO. Sejak awal, dia sadar mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual, sehingga merek mesin tersebut langsung dipatenkan. Nama FujiRO diambil dari nama depannya sendiri dan dikombinasi dengan kata RO yang kepanjangan dari Reverse Osmosis, yaitu teknologi penjernihan air. Tahun 2003 sertifikat hak paten FujiRO resmi dikantongi Fuji dari Depkumham RI.


 Guna memperoleh mesin yang berkualitas, Fuji menyempatkan diri survei ke pabriknya secara langsung di luar negeri, sekaligus order barang dalam jumlah besar. Tidak tanggung-tanggung, untuk mesin dan membran, dia memilih produk Amerika Serikat, lalu alat filter dia lebih suka buatan Taiwan, sedangkan casing-nya dari Korea.


 Setiba di Tanah Air, komponen alat-alat dari mancanegara itu dirakit oleh Fuji dkk. Dia mematok harga mesin dengan sistem paket, mulai dari skala rumah tangga hingga untuk industri. Maka, harga paketnya pun bervariasi. Sebagai gambaran, satu unit mesin penjernih air minum untuk rumah tangga ada yang seharga Rp 4 juta. Sementara untuk depo isi ulang harganya berkisar Rp 19-60 juta dengan kapasitas produksi per hari 800-7.000 liter. Lalu, untuk mesin di industri air minum dalam kemasan (AMDK) harganya Rp 400 juta-2 miliar. Kapasitas produksinya minimum 60 ribu liter/hari.


 Target pasar yang dibidik FujiRO adalah segmen ritel dan korporat. Sejauh ini, pelanggan dari kalangan industri mendominasi penjualan. Kliennya antara lain Bank Mega, Kantor Pajak Bengkinang, teh Tong Tji, teh Gopek, PT Perkebunan Nusantara. “Pelanggan terbesar FujiRO adalah para produsen AMDK,” ujar Fuji mengklaim. Dari pelanggan industri ini Fuji juga berhak atas fee royaltidari setiap galon air yang diproduksi.


 Kendati kesannya hanya menjual air, nilai perputaran bisnis FujiRO lumayan besar. Fuji mengaku, rata-rata dalam setahun bisa membukukan omset Rp 7 miliar. “Omset itu tidak hanya dari penjualan mesin penjernih air dan royalti air minum isi ulang, tapi juga jasa konsultasi bisnis,” ucapnya seraya menambahkan, tarif konsultasinya Rp 3 juta per dua jam.


 Ya, ayah dua anak ini tidak hanya meraih untung dari penjualan mesin penjernih air dan royalti atas produksi air minum isi ulangnya. Fuji pun bertanggung jawab atas layanan pascajual mesin FujiRO. Bahkan, dia juga memberikan pelatihan bisnis dan konsultasi seputar air minum dan mesin penjernih yang ditekuninya. Inilah yang menjadi kekuatan bisnis FujiRO di tengah ketatnya gempuran bisnis sejenis yang belakangan ini marak.


 Bagi Prof. Basu Swasta, bisnis yang digumuli Fuji masuk kategori red ocean. “Tapi, Fuji Wong ternyata berhasil masuk dan menembus pasar hingga ke mana-mana. Dia sangat unik,” kata pengamat kewirausahaan dari Universitas Gadjah Mada itu memuji. Menurutnya, keunggulan Fuji terletak pada kemampuan membangun jaringan bisnis dan kreatif promosi dengan memasukkan unsur investasi untuk penjualan alat penjernih air. Selain itu, Fuji tidak menjual produknya secara putus, karena ada pelayanan servis gratis dan menjual suku cadangnya.


 Mitra bisnis Fuji pun puas. “Saya suka produk FujiRO bukan hanya soal jaminan pascajualnya, tapi motivasi yang selalu diberikan secara menarik dan komunikasi dengan konsumen juga terjalin baik,” ujar Sarjono, pemilik depo air minum isi ulang Nashiro. Diakuinya, selama ini Fuji memberikan kebebasan kepada konsumen untuk menggunakan merek air minum yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kalau mau menggunakan merek FujiRO, mereka akan memperoleh pendampingan karena memang ada fee royalti yang dipungut. “Kalau saya, lebih suka memakai merek sendiri, Nashiro. Tapi, kalau ada masalah, saya tetap kontak Pak Fuji lewat telepon atau SMS yang selalu siap dihubungi kapan saja. Beliau langsung kirim orang untuk servis secara gratis,” tutur pegawai salah satu BUMN itu dengan lega.


Setelah sukses menjual mesin penjernih air minum, tahun ini Fuji siap mengepakkan sayap bisnisnya, yakni hendak meluncurkan produk AMDK dengan merek FujiRO di beberapa kota di Indonesia. “Saat ini dalam persiapan,moga-moga tidak ada kendala untuk peluncuran tahun 2011,” ujar Fuji yang sempat kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta. (oleh : Eva Martha Rahayu)


Reportase: Gigin W. Utomo


 sumber: http://swa.co.id/2011/05/wong-banyumas-jadi-juragan-penjernih-air/