Friday, April 29, 2011

Awalnya Cuma Mainan, Tapi Jadi Gamelan Sungguhan

Sepintas tak ada yang lebih dari gamelan mini buatan Pak Tunut ini. Namun Istimewanya, suara gamelan mini ini persis dengan gamelan asli.

Di rumah Tunut, di Desa Pulorejo Kec Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timurtak nampak jika didalamnya terdapat bisnis kecil-kecilan yang sudah dijalani selama 20 tahun lebih itu.

Pembuatan gamelan mini yang selama ini menjadi topangan keluarganya itu, tak membutuhkan banyak ruang untuk memroduksinya. Bahkan, Tunut tak menyediakan tempat khusus untuk merakit gamelan yang berukuran sekitar 30 cm itu.

Usaha ini ditekuni Tunut sejak 1985 silam. Bermula dari rasa ingin tahunya, dia mencoba membeli salah satu gamelan mini yang diproduksi di Tulungagung. Dari sanalah dia belajar untuk merakit sebuah gamelan yang awalnya hanya sebagai mainan anak kecil itu.
Penasaran, dibongkarnya gamelan mini itu, dan dia mencoba memahami setiap bagian dari replika alat musik dari jawa itu.

''Saya butuh waktu tiga hari untuk belajar memahamai seluruh bagian gamelan mini ini. Setelah itu, saya bertekad membuatnya sendiri,'' kata Tunut.

Ternyata langkah bapak dua anak ini tepat. Dia mampu membuat gamelan mini itu dengan kualitas yang jauh lebih bagus dibanding contoh yang dipakainya. Gamelan yang awalnya sering dipakai sebagai mainan anak-anak itu, kini bisa dimainkan layaknya gamelasn asli.
Bahkan, nada disetiap lonjoran baja yang menempel pada gamelan mini miliknya itu, sama persis dengan nada gamelan asli. Bisa demikian, karena Tunut mengacu pada nada gamelan asli untuk membuat gamelan mininya itu.

''Ada tiga jenis gamelan ini. Kecil, sedang dan besar. Semuanya menggunakan nada sesuai dengan gamelan asli. Sehingga meski kecil, bisa dipakai untuk menyanyikan gending-gending layaknya pagelaran wayang kulit,'' terangnya.

Diungkapkan dia, tak mudah untuk membuat nada-nada yang sama persis dengan gamelan asli itu. Dia butuh pelaras nada yang benar-benar paham dengan not-not gamelan. Selain itu, juga mempunyai keahlian meninggi dan rendahkan (tuning) nada yang dihasilakan dari lempengan baja itu.

''Sebelum dipasang, lempengan baja itu di laras dulu. Dengan cara memukul bagian-bagian tertentu jika nada yang dihasilkan terlalu tinggai, atau sebaliknya,'' ungkap Tunut.

Untuk menjalankan bisnis ini, dia dibantu tujuh orang pekerja, yang rata-rata diambil dari tetangganya sendiri. Dia sengaja menampung anak putus sekolah yang jumlahnya memang tergolong tinggi di desanya itu.

''Semua pekerja saya putus sekolah. Ada yang hanya SMP, dan bahkan ada yang SD saja nggak lulus. Dan telah bekerja mulai awal berdiri usaha ini,'' ungkapnya dengan logat jawa kental.

Dari usahanya itu, Tunut mengaku tak banyak mendapatkan keuntungan. Hanya saja, dia mengaku lega jika sebagian rezekinya itu dia bagi dengan beberapa tetangganya. Dari gemelan mini ukuran kecil miliknya, Tunut menjualnya denga harga Rp3 ribu per buah.
Sedangkan ukuran sedang, dia menjualnya Rp6 ribu. Dan yang paling besar dengan panjang sekitar 50 centimeter, dia menjualnya dengan harga Rp10 ribu.

''Itu harga untuk pedagang. Tapi untuk pembeli langsung yang biasa diecer, selisihnya rata-rata Rp2 ribu per buah,'' urainya.

Dalam sehari, Tunut dan tujuh pekerjanya mengaku mampu memproduksi sekitar 300 buah gamelan mini. Ini karena proses pembuatan yang tergolong tak terlalu rumit, apalagi butuh alat khusus.

''Bahannya hanya dari kayu kiloan dan plat baja. Dan proses yang lama saat ?nglaras'," tambahnya.

Lagi-lagi, modal yang menjadi kendala Tunut untuk mengembangkan usahanya ini. Dia mengaku pernah gagal order lantaran tak tersedianya modal yang cukup.

''Pernah datang order dari Kalimantan sebanyak 10 ribu buah. Tapi saya tak sanggup memenuhi karena tak ada modal,'' akunya sembari menyebut jika produknya itu telah dipasarkan di seluruh Pulau Jawa dan Bali. (Tritus Julan/Sindo/rhs) (sumber okezone.com)

Awali Mengajar TKW, Kini Sukses Bisnis Sulam

ENDANG Rachminingsih awalnya tak pernah berpikir akan menggeluti sebuah usaha. Namun, perempuan yang lekat disapa Mimin Amir itu kini malah memiliki usaha kerajinan sulam dengan produk berupa tas dan aksesori lain.

Mimin Amir awalnya seorang ibu rumah tangga biasa. Dia mengabdikan diri untuk suami tercinta dan keempat anak yang semuanya laki-laki.

Tak pernah terpikir sedikit pun dalam benaknya menekuni sebuah usaha. Kehidupan keluarganya bahkan terbilang mapan lantaran suaminya, Amir Syarifudin, merupakan seorang pejabat Bank Indonesia (BI).

Namun, situasi itu menemukan titik jenuh saat semua anak Mimin Amir telah beranjak dewasa dan hidup terpisah karena urusan studi dan lainnya. Situasi itu mencapai puncaknya saat mendampingi sang suami ke Singapura pada tahun 2000.

Kebetulan sang suami ditugaskan menjadi Kepala Perwakilan BI di Negeri Singa tersebut. Meski hidup dalam suasana serba kecukupan dan fasilitas lengkap, bukan berarti dia memilih berleha-leha. Mimin Amir justru mencari kesibukan.

Hingga suatu saat, secara kebetulan, Mimin Amir melihat para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang berada di Singapura senantiasa berkumpul di Masjid Sultan Singapura tiap Minggu untuk mendapatkan beberapa tambahan pengetahuan yang difasilitasi oleh pengelola masjid.

Dari sana tercetuslah ide darinya untuk turut berbagi memberikan apa yang dia punya bagi para TKW. “Saya menyampaikan niat saya ke suami, kebetulan diizinkan. Lalu, saya juga menyampaikan niat saya ke pihak pengurus masjid. Saat saya menyampaikan ingin mengajar keterampilan bagi TKW secara gratis, pihak masjid malah seolah tak percaya,” cerita Mimin.

Dia mengatakan, memberikan keterampilan di Singapura secara cuma-cuma kepada orang lain mungkin dianggap tak wajar. “Di sana untuk biaya kursus waktu itu dipatok 200 dolar Singapura untuk 1,5 jam pertemuan. Mungkin itu yang membuat pengelola masjid tak percaya bahwa saya akan memberikan kursus gratis bagi para TKW,” ujarnya.

Sejak itu, sebuah lembaran hidup baru dimulai perempuan yang mengaku tak sempat menyelesaikan kuliah karena keburu dilamar tersebut. Tiap Minggu mulai pukul 09.00-17.00 WIB dia memberikan kursus keterampilan merangkai bunga dan membuat beraneka ragam aksesori secara gratis. “Saya benar-benar memiliki kehidupan baru sejak itu,” akunya.

Perempuan kelahiran Bogor pada 1951 tersebut memaparkan, dia sebelumnya mendapat bekal keterampilan dari mendiang ibunya yang dulu dikenal sebagai perempuan terampil. Dia juga mengaku mendapatkan keterampilan dari dua guru hebatnya, Ibu Ir Suliantoro dan Encik Dewabrata.

Nama terakhir dikenal sebagai perangkai bunga istana sejak zaman Presiden Soeharto hingga saat ini. Rahasia hidup orang memang hanya Tuhan yang tahu. Sekembalinya ke Indonesia, kabar buruk diterima Mimin Amir pada 2004.

Suami tercinta yang telah setia menjadi pendamping hidup dipanggil menghadap Yang Kuasa, tepat setahun setelah menyelesaikan tugasnya di Singapura karena kanker otak.

“Saya biasa melihat orang meninggal. Tapi ketika suami meninggal, saya benar-benar tersadar bahwa orang meninggal itu tidak membawa apa-apa,” kenangnya.

Kepergian sang suami kemudian menjadi lentera bagi hatinya untuk berbagi dengan orang lain. Selang enam bulan setelah kepergian sang suami, Mimin Amir mendaftarkan diri menjadi tenaga pengajar sukarela di SLB Meruya Selatan, yang letaknya tak jauh dari kediamannya.

Merasa keterampilan yang dia ajarkan mampu menghasilkan produk- produk unik dan bernilai seni, pada Oktober 2005 Mimin Amir mendirikan usaha bernama Rumah Sulam Rachmy yang khusus memproduksi aneka macam tas wanita dengan hiasan sulam tangan, bordir mesin, lukisan, dan payet. “Keterampilan merangkai bunga yang saya dapatkan begitu membantu ketika saya menerjuni usaha ini,” ungkapnya.

Mimin memulai usahanya saat usia 54 tahun.Tapi, berkat keinginannya membuka lapangan kerja, semangat berbagi dan menciptakan sebuah karya terbaik di sisa umurnya hanya butuh lima tahun sejak usaha sulam dirintis, kini bisa dikatakan telah mencapai kesuksesan.

Terbukti, omzet usahanya rata-rata telah mencapai Rp40 juta per bulan. Produk-produknya berupa aneka tas wanita dengan hiasan sulam eksklusif karena senantiasa menampilkan satu desain untuk satu produk dengan harga jual antara Rp350 ribu hingga Rp1 juta sudah menyebar ke mana-mana.

Beberapa pameran baik di dalam maupun luar negeri turut mengangkat produknya. Produk Rumah Sulam Rachmy juga dijual melalui toko suvenir Istana Negara, selain membuka gerai di kediamannya di Jalan H Sa’abah, Kompleks DPR III, Meruya Selatan, Jakarta Barat.

Perempuan yang banyak mendapat penghargaan dan prestasi atas usaha yang digelutinya tersebut juga membagi pengalamannya menekuni usaha sulam dengan menerbitkan dua buku berjudul “Sulaman Bunga untuk Tas Cantik Anda” dan “Sulaman Bunga pada Tas dan Pernik Rumah Tangga”.

“Buku ketiga akan menyusul,” tuturnya. Sebagai salah satu bentuk pengembangan produk,dalam waktu dekat dia juga akan meluncurkan aneka produk sulaman untuk kebutuhan interior rumah seperti tempat koran, taplak meja, hiasan dinding dari sulaman, sarung bantal, dan lainnya.

“Keberhasilan saya juga tak lepas dari peran Bank Mandiri yang turut membantu memberikan pinjaman usaha senilai Rp50 juta,” ujarnya yang mengaku menjadi nasabah Bank Mandiri sejak Mei 2007.

Sebagai perbankan yang mengusung tagline, ”Tumbuh Bersama, Membangun Negeri”, kepedulian Bank Mandiri terhadap usaha mikro kecil menengah (UMKM), sebagaimana yang ditekuni Mimin Amir, juga diwujudkan dalam hal lain seperti pemberian pelatihan manajemen usaha, konsultasi bisnis, dan fasilitas lainnya seperti pameran.

Mimin Amir pun berharap suatu saat bisa diikutkan dalam pameran berskala internasional.”Saya butuh lebih banyak disertakan pameran skala nasional maupun internasional supaya usaha saya terus maju dan berkembang,” tuturnya. Kini hari-hari nenek lima orang cucu tersebut senantiasa disibukkan dengan aktivitas menyulam bersama-sama dengan karyawan dan ibu-ibu di sekitar rumahnya yang asri.

“Selain ngemong cucu, kegiatan menyulam menjadi aktivitas saya menghabiskan masa tua,” tuturnya. Mimin yang juga kerap memberikan pelatihan kursus sulam tersebut ingin mengajak seluruh ibu-ibu di Indonesia gemar menyulam.

Baginya, selain menghasilkan karya-karya indah bernilai ekonomi, menyulam juga dapat memupuk kreativitas, melatih kesabaran dan kecermatan. “Menyulam juga memberikan keasyikan sendiri,” ujarnya. (adn)(rhs) (sumber Okezone.com)

Apin meraih sukses berkat kerja pantang menyerah

Tak pernah mengenal kata putus asa, Ilpin Hawadi mengawali usaha mebelnya dari nol. Lantaran tak bisa melanjutkan kuliah, ia pun memilih menjadi perajin mebel berbekal ilmu dari STM dan bangku kuliah yang tak sempat ditamatkan. Kini, Apin--panggilan akrab Ilpin--menjadi pengusaha mebel yang sukses di Sumatra dengan omzet mencapai Rp 120 juta per bulan.

Kerja keras dan pantang menyerah merupakan kata-kata yang sering didengar sebagai kunci kesuksesan. Begitu pula dengan Apin. Kedua hal itu menjadi syarat untuk meraih mimpinya menjadi wirausahawan yang sukses.

Memulai usaha mebel sejak 1993, sekarang, ia sudah membuka dua cabang di Bandarlampung dan Palembang. Pemilik CV Pinka Barokah di Palembang ini juga sudah memperkerjakan 45 pegawai dengan omzet Rp 120 juta per bulan.

Apin membuat beragam furnitur yang terbuat dari kayu jati. Mulai kursi dan meja tamu, lemari, meja makan hingga kursi lipat. Produknya pun merambah sampai ke Jawa.

Keberhasilan Apin menjadi pengusaha mebel tidak terlepas dari keberhasilannya mengetahui seluk beluk bahan baku. Sehingga, ia bisa memproduksi mebel dengan biaya yang lebih murah.

Selain itu, keahliannya memproduksi dan merakit mebel juga sangat menentukan. Kemampuan ini diperoleh Apin dari latar belakang pendidikannya.

Sejak masih di bangku sekolah menengah atas, ia memilih kuliah di STM Pembangunan. Pada 1988, ia sempat mengenyam bangku kuliah di Teknik Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Namun, karena keterbatasan dana, ia hanya sempat kuliah hingga semester enam. "Tentu saja, saya sempat merasa terpukul karena tidak mampu melanjutkan kuliah," ujarnya.

Ia pun harus pulang ke tempat asalnya di Ogan Hulu, Sumatera Selatan. Namun, Apin tak putus asa. Dengan modal ilmu yang sudah diraihnya, ia mulai memutar otak dan mencari usaha yang bisa menjadi sumber mata pencahariannya.

Karena memiliki ilmu dasar yang berkaitan dengan bangunan, Apin pun mencoba terjun di dunia mebel. Maklum, seperti membangun rumah, pemakaian konstruksi yang tepat juga berlaku untuk membuat furnitur yang kuat. "Waktu itu, saya yakin, inilah satu-satunya usaha yang bisa menghidupi tanpa harus menjadi pegawai di tempat lain," katanya.

Dengan modal seadanya, ia pun mulai menjalankan bisnis pembuatan kusen, pintu, lemari, dan kursi di Bandarlampung. Ia memilih kota di ujung Selatan Sumatra ini karena melihat prospek bisnis yang berkembang di sana, mengingat Lampung merupakan wilayah yang dikembangkan sebagai daerah transmigrasi.

Pada saat membuka usaha pembuatan dan pengukiran mebel, tentu saja, Apin menemui banyak kendala. Mulai dari modal hingga hambatan mental berupa rasa khawatir akan gagal.

Namun, ia menepis semua kendala itu dengan tekad yang kuat dan dorongan dari keluarga. "Kita tidak akan tahu hasilnya kalau tidak pernah mencoba," ujarnya memberi nasihat.

Seiring dengan berjalannya waktu, usaha Apin terus berkembang. Kalau pada lima tahun pertama, penjualannya masih tak menentu. Kini, ia sudah bisa melego 20 unit furnitur per bulan.
Tak hanya langsung menjual kepada konsumen, Apin juga menjadi pemasok mebel mentah atau non-ukiran bagi para perajin di sekitar Lampung.

Ayah dua putri ini mengaku, kesuksesan menjadi pengusaha seperti sekarang ini tidak lepas dari keinginannya untuk maju dan membuang rasa malu. "Kalau anak muda sudah malu atau takut memulai usaha, maka kesuksesan tidak akan pernah datang," ujarnya.

Apin bercerita, kemampuannya bisa mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku STM dan kuliah lantaran motivasinya belajar memang murni mencari ilmu. "Banyak anak muda sekarang orientasi kuliahnya hanya sekadar mencari ijazah, setelah lulus mereka tidak bisa mengaplikasikan ilmunya," kritiknya.

Untuk mendukung pengelolaan usahanya, Apin kuliah lagi di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (Unila) pada tahun 1995. Menurutnya, ilmu yang diperoleh di bangku kuliah tetap saja penting, meski banyak yang sukses menjadi wirausaha tanpa melewati perguruan tinggi. "Justru yang diasah dalam bangku kuliah adalah pola pikir kita, dan itu tidak ada di luar kuliah," ujar Apin.

Ilpin Hawadi memulai usaha mebel dengan bahan baku kayu dan paku dari sisa-sisa proyek. Dengan usaha terus menerus, ia pun bisa mengumpulkan modal dan mencari pemasok kayu berkualitas dari Jepara. Namun, ia tertimpa kemalangan karena kebakaran gudang yang menghabiskan seluruh modalnya.

Menjadi seorang pengusaha sukses memang sudah menjadi cita-cita Ilpin Hawadi atau Apin sejak kecil. Baginya, menjadi seorang pengusaha memiliki nilai lebih karena bisa membantu membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Lahir di Ogan Hulu, 8 Oktober 1969, Apin dibesarkan dari keluarga pengusaha. Setelah menyelesaikan pendidikan STM di Palembang, pada tahun 1988 ia merantau ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Ia kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Jurusan Teknik Arsitektur.

Setelah terkendala masalah biaya, akhirnya ia kembali ke kampung halaman pada tahun 1991. Walau gagal menyelesaikan kuliah, Apin tidak pulang dengan tangan hampa. Ia sudah memiliki ilmu yang mumpuni untuk bisa berwirausaha.

Apin semakin yakin dengan usaha mebel karena ia melihat prospeknya yang bagus. Selama kuliah di Yogyakarta, ia melihat banyaknya permintaan rak-rak buku dan meja belajar. "Saat itu saya terpikir pesaing di Yogya mungkin banyak, tapi tidak di Palembang atau Lampung," ujarnya.

Tahun 1993, ia memulai usaha pembuatan mebel di Bandar Lampung. Ia membidik pasar mahasiswa untuk menjajakan meja atau rak buku. Karena modalnya belum cukup, ia memperoleh bahan baku seperti kayu dan paku dari sisa-sisa proyek. "Untungnya saya bisa memperoleh gratis dari penjaga proyek," kenangnya.

Dengan modal utama keahlian menggambar dan kerja keras, usahanya berkembang pelan tapi pasti. Ia juga melanjutkan kuliah di Universitas Lampung Jurusan Manajemen untuk mendukung pengelolaan usahanya.

Dengan memiliki kenalan mulai dari mahasiswa hingga dosen di kampus, Apin makin mudah memasarkan produk-produknya. "Pemasaran dari mulut ke mulut saat itu lebih efektif," ujarnya.

Setelah hampir tiga tahun bergelut dalam pembuatan dan perakitan mebel, ia mendirikan CV Karya Cipta Utama. Usaha ini terus tumbuh sehingga Apin memiliki cukup modal untuk mengembangkan usaha di Palembang, daerah asalnya.

Tahun 2000, ia membuka kantor baru di Palembang. Ia mempercayakan pengelolaan usaha di Lampung kepada adiknya.

Apin pun menjalin kerjasama dengan beberapa perajin asal Jepara. Dengan begitu, Apin bisa mendapatkan pasokan bahan baku jati yang murah. "Mereka saya bayar per barang mentah yang dikirimkan," kata Apin. Dengan pemasok ini, ia tidak perlu khawatir dengan persediaan bahan baku.

Setelah ia mulai dikenal konsumen di Bandar Lampung dan Palembang, Apin meminjam Rp 250 juta ke salah satu bank pemerintah pada tahun 2007.

Ia memakai uang ini untuk memenuhi gudangnya di Palembang dengan bahan mentah mebel yang dikirim dari Jepara. Dengan rencana itu, ia berniat menjual setelah Lebaran ketika para pesaingnya baru mau memenuhi stok gudang.

Malang tidak bisa ditolak. Tiga hari menjelang lebaran gudangnya terbakar habis. "Saya sempat frustrasi dan bingung," ujar Apin.

(sumber Kontan.co.id) *Bersambung*

Anak Petani yang Sukses Bisnis Kopi Gayo

Sadarsah yang kini menjabat sebagai Direktur CV Arvis Sanada, sejak 2001, dengan tertatihtatih berupaya mengangkat derajat emas hitam (kopi) dari Gayo ini ke mata penikmat kopi dunia.

Dengan usaha dan semangat pantang menyerah, ayah dari dua orang putri ini akhirnya bisa meraih kesuksesan. Kini dia telah mampu menjual kopi gayo ke luar negeri sebanyak 12 kontainer per bulan.

Sadarsah mengungkapkan, usahanya menekuni bisnis kopi ini tak bisa dilepaskan dari dukungan Mandiri Business Banking yang telah memberikan modal.

Kredit dari Mandiri Business Banking diperolehnya mulai tahun 2003 melalui program Pembiayaan Unit Kredit Kecil (PUKK). Lalu pada 2009 lalu, dia kembali mendapatkan tambahan modal melalui program Kredit Modal Kerja dan tahun ini dia kembali mengajukan tambahan modal ke Mandiri Business Banking.

“Usaha emas hitam ini saya geluti berangkat dari keinginan saya sebagai anak seorang petani untuk mengangkat derajat kopi gayo ke mata dunia internasional,” ujar Sadarsah saat ditemui di kantornya, CV Arvis Sanada, Jalan Selamat No 38 A, Lintasan Medan Binjai Kompos KM 12, belum lama ini.

Bisnis ekspor biji kopi ini digeluti alumnus Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu sejak 2001.

Di awal usahanya, Sadarsah menjadi tenaga pemasaran eksportir kopi dan belum memiliki perusahaan sendiri. “Saya hanya memasarkan kopi dari lima perusahaan kopi di Sumut. Saya bertindak sebagai marketing perusahaan tersebut ke luar negeri. Namun, usaha ini terus saya geluti dengan fokus hingga tahun 2006,” kata suami dari Nafsiah ini. Titik balik sukses bisnis yang digeluti Sadarsah dimulai pada 2006.

Di masa itu terjadi resesi kopi dunia. Hampir rata-rata perusahaan kopi kolaps karena panen hanya mampu menyuplai 50 persen kopi dunia.

Di masa inilah Sadarsah nekat mengambil inisiatif untuk mendirikan usaha sendiri yakni bisnis ekspor kopi ke luar negeri. “Ketika itu, Haji Abu Bakar memberikan modal kepada saya untuk dikelola. Dia juga yang menyiapkan gudang dan sebagainya,” ungkap lelaki kelahiran 19 November 1974 ini.

Lewat bantuan koleganya inilah usaha yang dirintis Sadarsah didirikan dengan sederhana. Awal usahanya dimulai dengan mengekspor satu kontainer kopi ke luar negeri.

“Di masa itu, langsung banyak permintaan kopi kepada kita.Rata-rata,penikmat kopi dari luar negeri menginginkan kopi organik,” kata anak dari pasangan Mude dan Ratih ini.

Dia pun berupaya memperoleh sertifikat kopi organik dari lembaga sertifikasi Control Union di Belanda. Syarat untuk memperoleh sertifikasi tersebut harus mendirikan koperasi yang bermanfaat untuk menaungi petani kopi. Sadarsah lalu mendirikan koperasi bernama KSU Arinagata.

Pada 2006,anggota KSU Arinagata sebanyak 335 orang dan saat ini mencapai 2.600 orang dengan total area penanaman kopi 2.700 hektare di Aceh Tenggara dan Bener Meriah (Takengon). Saat ini Sadarsah juga membina dua koperasi.

Yang pertama Koperasi Tunas Indah beranggotakan 3.958 orang beserta area 4.140 hektare penanaman kopi di Aceh Tenggara dan Bener Meriah. Selanjutnya, Koperasi Lintong dengan anggota asosiasi petani kopi lintong organik.

Koperasi ini memiliki anggota 120 orang dengan jumlah penanaman kopi di Lintong seluas 200 hektare. Untuk kopi gayo, CV Arvis Sanada mengusung merek Sumatera Arabica Gayo, untuk kopi lintong memakai merek Sumatera Arabica Lintong.

Adapun untuk kopi konvensional menggunakan merek Sumatera Arabica Mandailing. Namun pembeli dari luar negeri juga menginginkan lisensi keterurutan barang, manajemen koperasi, dan berdagang secara adil, yaitu lisensi Fair Tradedari Jerman.

“Perdagangan yang adil ini harus mengatur mata rantai yang tegas dan jelas dari anggota (petani kopi) ke koperasi, koperasi ke CV Arvis Sanada, dan dari CV Arvis Sanada ke pembeli di luar negeri,” sebutnya.

Dengan adanya lisensi itu,maka penikmat kopi dari luar negeri dapat mengetahui dari mana asal kopi yang diminumnya.

Sebaliknya, petani kopi binaan juga langsung mendapatkan pembagian keuntungan. Sebab, dari 1 kg kopi yang dinikmati peminum kopi di luar negeri, sebesar Rp1.800/kg dari harga kopi akan dikembalikan kepada petani kopi untuk kesejahteraan mereka.

Bahkan pada 2009–2010, dana yang dikembalikan penikmat kopi organik ini terkumpul Rp2 miliar. Dana inilah yang harus kembali diberikan kepada petani kopi dengan berbagai program yang telah dilakukan CV Arvis Sanada.
Antara lain pembagian sembako, pendirian tempat-tempat kursus, sarana air bersih,unit usaha seperti toserba yang kemudian hasilnya dibagikan kepada seluruh anggota koperasi. Dana pengembalian yang terkumpul dari penikmat kopi ini juga harus benar-benar disalurkan kepada petani yang tergabung dalam koperasi.

Saat ini CV Arvis Sanada mengekspor kopi ke Amerika Serikat,Eropa, dan Asia. Negara-negara yang jadi tujuan ekspornya antara lain Taiwan, Korea, Australia, Jepang, Laos.

Pertumbuhan bisnisnya begitu cepat. Pada 2006, omzetnya hanya mencapai Rp600 juta per bulan dengan mengekspor satu kontainer dan harga kopi Rp30.000/kg saat itu.

Tahun 2007, omzetnya mencapai Rp1,5 miliar per bulan dengan mengekspor 3 kontainer dengan harga kopi Rp30.000/kg. Pada 2008, omzetnya Rp3 miliar per bulan de-ngan mengekspor lima kontainer dan harga kopi Rp32.500/kg.

Tahun 2009, omzetnya sudah mencapai Rp5 miliar dengan mengekspor 8 kontainer per bulan dan harga kopi Rp35.000. Tahun 2010 ini,omzetnya telah mencapai Rp7,6 miliar per bulan dengan mengekspor 12 kontainer dan harga kopi Rp35.000/kg. Jika pada 2006 lalu Sudarsah hanya mampu mempekerjakan 15 orang karyawan, saat ini karyawan perusahaan eksportir biji kopi miliknya sudah mencapai 100 orang. Berbagai kesulitan dan kendala dalam membesarkan usaha pernah dialami lelaki yang awalnya tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha ini.

“Pertama, kesulitan yang kita alami adalah modal. Saat ini kita belum mampu memenuhi permintaan pembeli luar negeri yang per bulan meminta 20 kontainer. Kita hanya mampu menyuplai 12 kontainer. Itu terjadi karena kita masih terbatas modal, apalagi sekarang kita membina tiga koperasi,”katanya. Tak hanya itu, ujarnya, bisnis kopi membutuhkan modal besar pada masa-masa panen raya yang hanya terjadi dua kali dalam setahun.

“Kalau kita memiliki modal yang besar,tentunya saatmasapanenbisa melakukan stok bahan mentah. Itu memerlukan modal besar.Apalagi dalam bisnis ini kontrak pembelian dilakukanselamasetahun,tentunya kita harus memiliki stok biji kopi selama satu tahun.Tambahan modal sangat diperlukan,”terangnya.

Sudarsah mengatakan, pilihan terhadapMandiriBusinessBanking dalam pengajuan modal karena selama ini prosesnya tidak rumit.Tak hanya itu,kata Sudarsah,prosesnya juga cepat. “Selain itu, dalam proses persetujuan pengajuan kredit, karyawan Mandiri Business Banking bekerja sangat profesional,” ujarnya mengapresiasi. (lia anggia nst)(Koran SI/Koran SI/ade) (sumber okezone.com)

Aksi Dua Saudara Kuasai Bisnis Alat Berat

oleh : Yuyun Manopol

Setelah 17 tahun bermain di bisnis alat berat, duet kakak-adik, Buyung dan Chandra, menjadi pemain yang kuat di Sumatera. Kini keduanya merambah ke bisnis penyewaan alat berat, kelapa sawit, dan mendirikan pembangkit tenaga listrik. Bagaimana lika-liku perjuangan mereka, dan apa kiat suksesnya?

Memiliki gaji Rp 5-7 ribu/hari sudah pernah dirasakan Buyung Chan. Saat itu (1986), ia menjadi sales lemari besi brankas di Medan. Itu dulu, dan menjadi kenangan yang indah baginya. Kini, pria kelahiran Tanjung Balai Asahan (Sum-Ut) 21 Maret 1967 ini, bersama adiknya Chandra Wijaya, sukses mengembangkan usaha di bidang alat berat melalui PT Technindo Contromatra (TC). Saat ini, TC mengageni 15 merek jenis produk sistem hidrolik, boiler, otomasi engine & industrial dan alat berat. Sejumlah merek andalannya adalah Deutz, Rexroth (Bosch Group), TCM dan Advance Boilers. Adapun pelanggannya antara lain, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Musim Mas, PT Karya Prajona Nelayan, Perkebunan Nusantara, Smart Corporation, Lonsum, Indofood, Astra Agro Lestari, Pertamina, dan Pabum Berastagi.

Perjuangan Buyung meraih keberhasilan seperti saat ini tidaklah ringan. Lahir dari keluarga pas-pasan buah pasangan Amoy dan Wang Chi Kok (almarhum), membuat Buyung harus bekerja keras. Bahkan kuliahnya di Jurusan Akuntansi Universitas Nomensen, Medan, sempat terbengkalai, karena sembari kuliah ia harus bekerja. Sore hari kuliah, sedangkan pagi hari digunakan untuk bekerja di PT Indolok Bhakti Utama, khususnya menjual lemari besi merek Chubbs.

Tahun 1991, Buyung pindah ke PT Tira Austenite (TA) – anak perusahaan Grup Tira – yang bergerak di bidang peralatan industri yang menjual valve dan suku cadang untuk pabrik minyak kelapa sawit. Di perusahaan ini kariernya mulai berkembang. Ia sempat menempati posisi yang cukup bergengsi, manajer penjualan.

Menurut Buyung, awalnya TA banyak menggarap proyek perkebunan milik pemerintah di Medan. Namun, perubahan terjadi ketika pemerintah memberi kesempatan swasta untuk membuka perkebunan sawit. Saat itu Buyung ditugasi menjajaki peluang memasarkan alat berat di proyek perkebunan sawit yang digarap pihak swasta. Ternyata, upaya Buyung itu membuahkan hasil. Ia berhasil membawa perusahaan tersebut sebagai pemimpin pasar dalam penjualan alat berat perkebunan sawit milik swasta. Beberapa perusahaan yang berhasil dirambah Buyung antara lain PT Sinar Mas, Grup Salim, Indo Sawit, dan Asian Agri. “Saat itu, saya bisa menjual suku cadang senilai Rp 400-500 juta/bulan, sedangkan penjualan unitnya Rp 6-8 miliar/tahun,” papar Buyung.

Melihat hal itu, maka tahun 1992 ia menganjurkan adiknya, Chandra, membentuk CV Techno Sawita (TS), membidangi perdagangan yang menjual berbagai jenis suku cadang untuk pabrik pengolahan kelapa sawit. Pasalnya, saat itu bisnis suku cadang untuk industri kelapa sawit berkembang bagus, peluang pasarnya masih besar dan pemainnya sedikit. Toh, peluang itu tak bisa direngkuh begitu saja. Terbukti, pada awalnya penjualan TS hanya mencapai Rp 15-20 juta/bulan, meskipun pelanggannya cukup bonafide, antara lain Asian Agri dan Sinar Mas.

Tahun 1995, Buyung memutuskan hengkang dari TA, dan bergabung dengan adiknya mengembangkan TS. Ia melihat bisnis yang dirintis adiknya masih jalan di tempat. Di sini, Buyung dan Chandra berbagi tugas dan tanggung jawab. Buyung lebih fokus pada konsep, sistem, manajemen, serta visi dan misi perusahaan, sedangkan Chandra fokus dalam hal lobi dan pemasaran.

Setelah bergabung dengan Chandra, Buyung melakukan beberapa terobosan, di antaranya mencari prinsipal bagi TS. Dia menyebutkan, pertemuannya dengan prinsipal Valtec berlangsung tak sengaja. Kebetulan, ia diperkenalkan temannya pada seorang prinsipal yang sedang mencari dealer, yaitu Valtec. Setelah melakukan pembicaraan, ternyata mereka menemukan kecocokan, sehingga ia diminta mengageni merek tersebut. Untungnya, saat itu pihak Valtec tidak memberi target dan persyaratan khusus menjadi dealer. Maka, ia pun nekat menyuntikkan modal tambahan guna membesarkan TS kurang-lebih Rp 200 juta. Dana itu berasal dari pinjaman kakak iparnya, yang juga meminjam dari bank dengan mengagunkan rumahnya – yang digunakan untuk sewa tempat dan sebagian buat membeli barang yang akan dijual.

Langkah berikutnya, Buyung mengubah badan usaha Techno Sawita dari CV menjadi PT. Nama persisnya, seperti disebutkan di atas: PT Technindo Contromatra (TC). Pertimbangannya semata-mata agar terkesan bonafide. Saat itu omsetnya melambung ke angka Rp 500-600 juta/bulan.

Seiring berjalannya waktu, pada 2000 bisnis TC mulai menggeliat. Saat itu, Buyung mengembangkan bisnis TC yang semula hanya di bidang perdagangan dan produk keagenan, lalu mengarah ke after sales market. Untuk itu, selain menjual unit jika ada kerusakan, TC menyediakan suku cadang sehingga lebih terjamin. “Saat itu, saya banyak menggandeng produk yang memiliki after sales market,” katanya. Tak sampai di situ, Chandra mulai melirik industri lain di luar industri kelapa sawit sebagai target pasarnya, misalnya pabrik kimia, semen, pengolahan pulp & paper, baja, petrokimia, penyulingan dan migas. Pertimbangannya, produk yang dijual juga kian beragam buat berbagai industri.

Alhasil, baik unit maupun nilai penjualan TC terus meningkat. Sebutlah, di tahun 2006 penjualannya mencapai 25-30 unit, dengan nilai Rp 60-80 miliar. Komposisi penjualannya: 40% genset, 25% TCM forklift, dan 35% sisanya boiler. Adapun pertumbuhan penjualannya sekitar 20% dalam dua tahun terakhir, dengan total penjualan sekitar 50 unit/tahun, yang harganya Rp 100 juta-1 miliar/unit.

Sementara itu, di tahun 2009 ia tidak memasang target tinggi bagi penjualannya karena krisis global yang berdampak terhadap industri kelapa sawit. ”Paling tidak, nilainya sama dengan penjualan tahun 2008,” katanya. Toh, tahun 2010, ia menargetkan penjualan akan meningkat 15%. Buyung mengklaim, pangsa pasar TC saat ini berkisar 10%-15% di wilayah pemasaran Sumatera.

Kendati begitu, tak semua perjuangannya berbuah manis. Jatuh-bangun bisnis ini pun Buyung rasakan. Ia bercerita, pernah ketika bisnisnya sebagai agen suatu merek alat berat mulai bagus, tanpa ia duga prinsipalnya diakuisisi pemilik baru. Akibatnya bisa ditebak, pemasarannya pun yang semula ia pegang diambil alih pemilik baru, dan belum tentu agen yang sudah ada menjadi agennya lagi. Kendala lain, Buyung menambahkan, yakni bagaimana memberi servis yang memuaskan. Ini bukan perkara gampang. Ia pun mesti terus membina dan meningkatkan kemampuan teknisi sebagai ujung tombak dalam memberi kepuasan pada konsumen. Karena itu, pelatihan terus diberikan kepada mereka, baik secara internal maupun eksternal guna meningkatkan kualitas.

Di luar bisnis utamanya, sejak 2007, dua bersaudara ini telah merintis bisnis kelapa sawit. Alasannya, pada krisis tahun 1997 bisnis kelapa sawit tidak terkena imbasnya. Begitu pula ketika terjadi krisis global baru-baru ini, industri kelapa sawit termasuk yang paling cepat pulih. “Peluang bisnis sawit masih sangat besar dan bisa diolah untuk berbagai kebutuhan,” katanya. Itulah sebabnya, Buyung mengambil alih pabrik CPO di Pekanbaru senilai Rp 60-70 miliar, plus mengakuisisi perkebunan di Padang seluas sekitar 1.000 ha senilai Rp 10-15 miliar.

Menurut Buyung, akuisisi perkebunan di Padang itu terjadi secara kebetulan. Saat itu terjadi kredit macet pada koperasi petani plasma di Bank Nagari dan BNI. Lalu, ia mengambil alih lahan milik koperasi itu. “Sebagian telah menghasilkan dari 600 ha yang tertanam,” katanya. Hasil panen saat ini 500-600 ton/bulan belum maksimum. Yang wajar, setiap 1 ha menghasilkan 1.000-1.200 ton/bulan. Sementara itu, pabrik CPO di Pekanbaru yang telah berjalan 1,5 tahun itu sudah berproduksi 60 ton/jam atau 400-600 ton/hari. Untuk pengembangannya, ia telah menyiapkan dana Rp 50-60 miliar. Ia menargetkan, tiga tahun ke depan, bisa menambah satu pabrik lagi dengan lahan seluas 3.500 ha. Ia berharap dengan adanya satu pabrik lagi, maka ada penambahan produksi 30-45 ton/jam, atau totalnya (dua pabrik) 90-120 ton/jam.

Masuk ke bisnis kelapa sawit jelas membutuhkan dana besar. Untuk memenuhi kebutuhan dana itu, Buyung memperoleh pinjaman dari Bank Nagari dan BNI sebesar 70%-80%, dan sisanya 20%-30% merupakan modal sendiri. Ia memperkirakan break even point (BEP) pabrik CPO ini tiga-lima tahun, dengan syarat kapasitas produksi mencapai 75%-85% dari kapasitas yang ada. Adapun perkebunan, BEP-nya akan tercapai dalam 8-10 tahun, dengan asumsi, perkebunan mampu berproduksi 1,5-2 ton/ha/bulan. Buyung menjelaskan, tanaman akan berproduksi pada tahun ketiga. Itu pun belum maksimum. Baru pada tahun ke 7-8 hasilnya bisa maksimum. “Ini investasi jangka panjang,” katanya.

Saat ini produksi TC (3-4 ribu ton/bulan) dijual ke dua perusahaan, yaitu Smart (Grup Sinar Mas) dan KPN (Grup Wilmar) dengan komposisi 75%:25%. Sementara itu, buah sawit justru dijual ke perusahaan lain karena jaraknya terlalu jauh dari pabrik-pabrik tersebut sehingga kurang ekonomis.

Saat ini pihaknya sedang menjajaki membuka perkebunan di Pekanbaru dan Padang yang masing-masing luasnya sekitar 3.500 ha dan 3.000 ha. Bila rencana ini terealisasi, ia bisa membangun satu pabrik lagi. Buyung menyebutkan, untuk membangun satu pabrik, idealnya memiliki lahan 4-5 ribu ha. Biaya investasi untuk perkebunan sawit mencapai Rp 50-60 juta/ha. Lima tahun ke depan, ia berharap bisa menambah tiga pabrik lagi dan memiliki lahan 6-10 ribu ha. Bahkan ia berharap suatu saat siap masuk pasar ekspor.

Menurut Herdadi (59 tahun), mantan Manajer Penjualan Bakrie Pipe (Grup Bakrie), yang mengenal Buyung lebih dari 10 tahun, keberhasilan Buyung membangun TC karena ia adalah anak muda yang fokus pada pekerjaannya dan pekerja keras. “Leadership Buyung sangat kuat,” ia menandaskan.

Ucapan Herdadi diamini Togar Simanjutak, mantan Koordinator Maintenance PT London Sumatra (Lonsum) yang mengenal Buyung sejak tahun 1989. Pria berusia 47 tahun yang kini menjabat Direktur Triputra Agro Industri ini melihat Buyung sebagai sosok yang punya tekad kuat untuk maju. Buyung termasuk yang tidak mau tahu dengan segala kekurangan ataupun keterbatasannya. Ia teringat dengan postur kecil Buyung saat itu, membawa tas besar dan badan berkeringat menemui Togar buat menawarkan produk alat berat. ”Buyung memiliki approach skill yang sangat bagus. Ia melihat kekuatan Buyung dalam hal manajemen. Meskipun perusahaannya kecil (CV) saat itu, Buyung menerapkan manajemen modern, bahkan memberi pelatihan dan motivasi yang baik kepada karyawannya,” Togar menuturkan. Pengamatan dua rekan Buyung tampaknya tak meleset. Chandra mengungkapkan, kelebihan kakaknya Buyung memang pada kemampuan mengelola perusahaan dan finansial. Orangnya care, terbuka dan mau mendengar pendapat anak buah. Selain itu, naluri bisnisnya pun sangat kuat.

Terjun ke bisnis kelapa sawit bukanlah langkah terakhir dua bersaudara ini. Sekarang, Buyung dan Chandra sedang mempersiapkan diri untuk merambah bisnis pambangkit tenaga listrik. Pertimbangannya, dengan harga bahan bakar yang mahal, orang akan mencari alternatif energi yang lebih murah. Apalagi, ia melihat banyak perusahaan yang akan membangun power plant sendiri karena kebutuhan mereka yang tinggi. “Potensi pasar power plant di Indonesia tinggi,” kata Buyung. Rencananya, ia akan masuk ke wilayah Sumatera, khususnya di daerah industri kelapa sawit. Kapan? “Dalam satu hingga dua tahun mendatang. (sumber swa online)

Strategi Jitu Cak Fu, Bermodal Rp.25 Ribu Raup Untung Rp.10 Juta

Memulai usaha dan menjadi sukses tidak butuh keahlian hebat atau uang bermiliar-miliar. Hanya cukup komitmen kuat, inovasi cerdas, dan jaringan yang luas. Ini yang menjadi pengalaman berharga Fuad Zakiky, inspirator bisnis termuda dalam sesi "Dare 2 Innovate" yang digelar Suara Surabaya Media bersama Universitas Ciputra dan AIESEC di Atrium Tunjungan Plaza I, beberapa waktu lalu.

Motivator berusia 22 tahun ini bercerita tentang usaha nekadnya yang diawali saat dia berusia 19 tahun. Waktu itu, katanya, dia masih kuliah di semester dua Universitas Airlangga. “Saya ini tidak punya potongan jadi orang kaya. Orangtua saya PNS, nenek moyang saya tidak ada yang pernah jadi pengusaha. Tapi saya nekad,” katanya.

Waktu itu ia mengajak empat kawannya kerjasama bisnis. Tapi saat berdiskusi, bukannya kerjasama modal yang didapat, malah ungkapan bernada pesimistis disampaikan rekan-rekannya. “Punya uang darimana, wong kita masih sama-sama mahasiswa. Masih terlalu muda untuk memulai usaha,” kata dia.

Tidak dapat kongsi modal, Cak Fu-panggilan akrab Fuad-tidak menyerah. Kali ini ia mencoba bisnis kuliner. Meskipun tidak punya keahlian memasak, dia tetap nekad. Modalnya hanya keteguhan hati plus strategi untuk memperluas pemasaran. Setelah menemukan orang yang bisa memasak kue, ia memulai bisnis berjualan kue brownies. Untuk menjualnya, ia menitip ke toko-toko dengan pembagian hasil yang menguntungkan keduanya. “Lumayan juga, dalam dua bulan saya dapat tujuh toko yang mau dititipi kue saya. Hasilnya Rp500 ribu sampai Rp1 juta perbulan,” kata dia.

Tidak lama sejak memulai usaha brownies, Cak Fu mulai berpikir bagaimana memperluas usaha dan menambah keuntungannya. Akhirnya dipilihlah bisnis catering. Pertimbangannya, usaha ini punya skala lebih besar dan keuntungan lebih banyak. Tapi ada masalah serius untuk memulai bisnis ini. Apa itu? “Saya tidak bisa memasak, tidak punya alat masak, tidak punya dapur, dan tidak punya segalanya untuk memulai bisnis ini,” kata dia.

Menyerah? Tidak ada kata itu dalam kamus Cak Fu. Hanya bermodal Rp25 ribu, dia mulai menjalankan strategi kolaborasi. Uang Rp25 ribu itu ia belikan kartu nama untuk disebar ke mana-mana. Suatu ketika, dia mendapat order catering untuk 100 pax. “Saya bingung, mau memasak pakai apa karena saya tidak punya alat masak. Saya juga tidak bisa masak,” kata dia.

Memutar otak, dia mencari pengusaha catering kecil yang hidup segan, matipun tak mau. “Saya tawarkan order ke dia dengan panduan kualitas yang saya tentukan. Saya beli Rp13 ribu, kemudian saya jual lagi Rp20 ribu. Akhirnya saya bisa dapat untung banyak dari sini,” katanya. Bisnis ini terus ia jalankan sampai pada puncaknya, ia pernah mencapai keuntungan Rp10 juta hanya dari bisnis cateringnya ini.

Lebih lanjut, Cak Fu memberi tips agar tidak pernah takut memulai bisnis sejak masih belia. “Sebab jika kita gagal di usia muda, masih cukup banyak waktu untuk memulai kembali dan belajar dari kegagalan,” kata dia. (sumber ciputraentrepreneurship.com)

18 Tahun, Sudah Punya Puluhan Karyawan

KOMPAS.com - Bisnis aneka minuman cepat saji kian mengalir. Mulai mengusung merek pribadi hingga waralaba (franchise). Bahan dasarnya bisa susu, cincao, teh, sinom alias jamu, buah, hingga yang serba racikan sendiri. Bisnis teh kemasan siap saji misalnya, banyak diminati lantaran keuntungan yang diperoleh cukup besar, cara pembuatannya juga tak sulit.

Meracik teh yoghurt kini menjadi andalannya. Padahal, Victor Giovan Raihan, pelajar 18 tahun ini, semula hanya iseng-iseng saja membuat minuman yang memadukan teh dan susu fermentasi ini. Hasilnya, minuman olahannya ternyata memiliki banyak penggemar.

“Modal awalnya Rp 3 juta dengan meminjam dari orangtua sekitar 2010. Saat ini per outlet paling apes menghasilkan Rp 2 juta per bulan. Outlet lain yang ramai bisa lebih dari itu,” aku pemilik merek Teh Kempot ini.

Ide menamai Teh Kempot berasal dari cara orang minum teh kemasan dengan sedotan, jika teh terasa enak dan hampir habis pasti orang akan terus menyedot hingga bentuk pipinya kempot. Begitu kira-kira harapan Victor menjadikan teh yoghurt berasa paling yummy.

Sulung dua bersaudara yang bersekolah di SMA Negeri 1 Kepanjen ini memiliki 10 outlet yang dikelola sendiri dan 17 outlet yang dikelola oleh mitranya. Bermitra dengannya cukup bayar Rp 3,5 juta dan akan mendapatkan 1 paket booth (gerobak), alat masak dan 100 cup (gelas kemasan) pertama. Dua mitra diantaranya ada di Jakarta dan Palembang, lainnya tersebar di Kota Malang.

“Saya belum berani menjual hak dagang secara franchise karena masih sangat pemula. Jujur saja bisnis teh kemasan siap saji ini marjin keuntungannya bisa 350 persen. Kalau kuliner seperti, Bakso Mercon yang sedang saya kelola, marjin keuntungannya hanya 100 persen,” lanjut putra pasangan Sri Winarsih dan Bambang Hermanto.

Victor memang lebih dulu mengelola bisnis bakso, ketimbang teh yoghurt. Outlet baksonya baru ada lima, kesemuanya ada di Malang. Tahun ini, ia berencana nambah lima outlet. Bisnis yang dikelolanya ini belakangan berkembang ke minuman. Alasannya sederhana, kalau orang makan bakso pasti butuh minum.

“Saya coba beli daun teh setengah matang dari pemasok, saya kelola sendiri lalu saya mix dengan yoghurt (susu fermentasi). Ada rasa lemon tea, stoberi, dan cokelat,” ujar pria yang bermukim di Jl Panji II Kepanjen ini.

Per kemasan atau segelas teh yoghurt ukuran 250 ml dijual seharga Rp 2.000-2.500. Jumlah karyawan yang bekerja padanya kini tak kurang dari 50 orang, termasuk untuk outlet bakso dan teh yoghurt.

Setiap harinya, ia bisa menghabiskan 20 kg daun teh kering untuk diproduksi atau menjadi 70 gelas. Gula yang dibutuhkan 4 kg per outlet per hari. Sedangkan kebutuhan daging untuk bakso sekitar 20 kg per hari.

“Usaha bakso tetap akan jadi core business saya karena omzetnya besar. Kalau teh hanya sampingan. Ke depan, saya akan tambah mitra di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Sidoarjo,” lanjut Victor.

Ia mengaku, jalan yang ia tempuh dari hasil kerja kerasnya kini membawa keberuntungan yang luar biasa di usianya yang masih belia. “Saya tidak tahu jika dulu saya mengikuti anjuran ayah untuk sekolah di kepolisian apa ‘omzet’nya akan sebesar ini. Keluarga besar saya semua di jalur angkatan bersenjata. Tapi saya tidak minat mengikuti jejak tersebut,” yakinnya.

Untuk perluasan usaha, Victor masih enggan mengajukan kredit kemana-mana. Pakai modal pribadi dan pinjam orangtua masih memungkinkan. “Toh bapak saya dapat fasilitas kredit dari bank, yakni kredit kepolisian. Saya pinjam dari situ juga,” pungkasnya. (Dwi Pramesti YS)

  • Editor: Erlangga Djumena

  • Sumber : Surya (dicopy dari kompas.com)

Saturday, April 9, 2011

Kisah Sukses Erik Kadarman, Pemilik Burger Blenger

Mengerjakan sesuatu dengan hati bisa memberikan hasil maksimal, apalagi didasari niat mulia membahagiakan keluarga. Walaupun hanya dengan modal terbatas, kegigihan mampu menghasilkan kesuksesan.

Salah satunya dilakukan Erik Kadarman Subarna. Langkahnya mantap ketika memutuskan berhenti dari rutinitas kantornya sebagai manager operasi di sebuah perusahaan raksasa berskala nasional. Walau sempat dibilang tak mengindahkan akal sehat, Erik nekat menjadi entrepreneur dengan membuka depot burger di pinggir jalan. Apa yang melatarbelakangi Erik membuka bisnis makanan atau burger? Sangat sederhana.

Pria kelahiran Jakarta 22 Januari 1973 ini hanya menjalankan sebuah bisnis sesuai dengan hobinya, yaitu memasak. Kala itu, Erik pun menyadari bahwa bisnis yang akan dijalaninya kelak tidak akan terlepas dari masa-masa sulit dan jatuh bangun. Maka itu, apa yang disajikan kepada para pelanggannya adalah hasil karya sepenuh hati dan ucapan terima kasihnya hingga mencapai kesuksesan sampai saat ini. Ayah beranak dua ini menceritakan kisah perjuangan yang telah dilewatinya. Terbatasnya waktu yang bisa diberikan untuk keluarga, serta keadaan yang tidak memungkinkan pada saat itu,adalah alasan yang memaksa Erik untuk terjun langsung ke dalam bisnis makanan.

“Kebutuhan harus selalu dipenuhi, dan saya harus memutar otak untuk itu. Untuk keluarga saya,” ujar Erik belum lama ini.

Dengan meninggalkan atribut sebagai manajer di salah satu perusahaan terkemuka, Erik mengaku pada saat itu dirinya tidak bisa lagi mengharapkan penghasilan dari pekerjaan sebagai manajer di perusahaan yang ditinggalkannya tersebut maupun di tempat lain. Setelah pengunduran dirinya, pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini kemudian berdiskusi dengan sang istri mengenai ke mana akan dibawa modal yang mereka miliki, dan akan dikelola seperti apa ke depannya. Erik mengatakan bahwa saat itu istrinya ingin melanjutkan pendidikan tata busana dengan tujuan memfasihkan kemampuannya menggambar desain pakaian dan membuka usaha jahit kecil-kecilan nantinya.

Erik pun mendukung apa yang istrinya impikan.Dengan uang sebesar Rp17 juta yang ia miliki pada saat itu, Erik memberikan sebesar Rp10 juta kepada istrinya untuk membiayai pendidikan tata busana saat itu, sedangkan sisanya sebesar Rp7 juta digunakan Erik untuk membuka bisnisnya sendiri. Berawal dari situlah, Erik memberanikan diri membuka sebuah depot burger pinggir jalan miliknya. Dengan membidik tren baru di dunia kuliner, di mana para pencinta makanan sudah mulai bosan dengan nasi dan mencari penggantinya seperti roti, Erik mendapatkan ide untuk memulai bisnis makanannya.

Roti isi daging atau lebih dikenal burger pada saat itu mulai digemari para penikmat kuliner dan Erik pun mantap membuka depot burger di pinggir jalan. Terletak di Barito, daerah Blok M,Jakarta Selatan dengan depot sebesar 2x1 meter, Burger Blenger pun memulai debutnya pada 2004. Berasal dari bahasa Jawa, blenger memiliki ‘arti makan sampai kenyang atau kekenyangan’. Kata itu mewakili produk dari segi ukuran serta rasa yang berbeda dari burger lainnya.“Saya ingin menjual produk yang berkualitas, karena saya sangat serius menangani bisnis ini,” ujar pria yang tidak ingin membuka cabang di luar kota ini. Ketika itu, Erik masih menjadi seorang karyawan yang masih mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum menjual Burger Blenger.

Tidak terlepas dari kata persaingan, pria yang mengaku sempat mengalami masa-masa kesulitan untuk beradaptasi pada 2005 ini, menganggap persaingan sebagai pemacu dirinya untuk memberikan yang lebih baik lagi bagi para pelanggan setianya. Pada 2006, terdapat beberapa produk serupa yang meniru usaha miliknya Burger Blenger, tentunya dengan kualitas yang berbeda. “Di satu sisi, saya merasa hal tersebut bisa mengecewakan pelanggan karena mereka pikir itu adalah produk yang sama dengan Blenger. Namun dengan itu, pelanggan bisa merasakan mana yang benar-benar memiliki kualitas, bukan hanya sekadar ikut-ikutan,” ujar Erik.

Seperti yang dikatakan pemilik Burger Blenger yang telah tersebar di empat daerah di Jakarta ini, visi dari Burger Blenger itu sendiri adalah menjadi merek lokal dengan produk yang mengutamakan kualitas dan harga murah serta terjangkau. “Saya ingin membawa konsep makanan hotel, terjun ke pinggir jalan dan bisa dinikmati semua kalangan.”

Setelah melakukan beberapa inovasi hingga kini, terdapat beberapa varian Burger Blenger yang ditawarkan seperti Cheese Burger, Beef Burger, Chilli Dog, Cheesy Dog,dan Chilli Dog XL.

Berbicara mengenai kesuksesan Erik saat ini, tiap harinya Burger Blenger menjual 5.000 piece burger, dengan rata-rata harga Rp12.000; dan jika dikalikan omzet per harinya, Burger Blenger mencapai Rp60 juta per hari dan sebulan sebesar Rp1,8 miliar. “Saya sangat mensyukuri apa yang saya miliki saat ini. Dan, berusaha untuk tidak ngoyo melakukan sesuatu di luar batas saya,” tambahnya.

Saat ini Erik memiliki karyawan sebanyak 75 orang di seluruh gerai yang tersebar di Jakarta. Erik pun berbagi tips bagi siapa saja yang ingin memulai bisnis dan bisa berhasil seperti dirinya saat ini. Jangan takut untuk berusaha, jadikan kegagalan sebagai pelajaran dan cambuk agar lebih baik dari sebelumnya.

Jangan tunda keinginan untuk berusaha, karena memulai lebih awal lebih baik daripada hanya berangan-angan semata. “Jangan takut gagal. Kegagalan merupakan suatu proses dan keberhasilan itu sendiri adalah proses akhir dari apa yang kita lakukan.” (*/Koran SI)

sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/8123-kisah-sukses-erik-kadarman-pemilik-burger-blenger.html

Anita Roddick - The Body Shop dan Kisah Kepedulian Lingkungan

Produk-produk The Body Shop ® mungkin lebih terkenal daripada seorang Anita Lucia Perilli, nama kecil Anita Roddick. Sang pendiri yang dilahir tahun 1942 di Littlehampton, Sussex, England sebenarnya memiliki nama yang juga fenomenal. Ia adalah jiwa dan DNA dari The Body Shop ® produsen Body Butter, Pepermint Foot Lotion, atau Wild Cerry Body Shower yang menggunakan bahan alami dan ramah lingkungan.

Kisah fenomenal Anita Roddick dan The Body Shop ® kini banyak mengilhami perusahaan-perusahaan global dalam menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR). Anita menjual produk Body Shop dengan pendekatan berbeda dengan strategi bisnis pada umumnya. Ia mengutamakan keseimbangan antara perkembangan dan keuntungan perusahaan dengan program pro lingkungan dan keadilan sosial. The Body Shop ® menghasilkan produk tanpa uji coba pada hewan dan membeli bahan baku dari para petani pribumi dari negara berkembang dengan perdagangan yang adil (fair trade)  

Cerita legendaris The Body Shop® sebenarnya bisa dikatakan mulai tanpa sebuah kesengajaan. Alasan agar lebih dekat dengan kedua putrinya dan keinginan menciptakan penghasilan yang mandiri. The Body Shop® pertama dibuka dari hasil pinjaman bank senilai £ 4.000 pada 26 Maret 1976 saat Anita Roddick berusia 33. Sesuai tujuan awalnya, toko pertama tersebut berdiri di Brighton - England yang terletak hanya sepuluh menit dari kediamannya.

Di saat yang sama, sang suami Gordon Roddick sedang melakukan perjalanan keliling Amerika dari Boenos Aires menuju New York . Tanpa pengalaman bisnis retail yang memadai, Anita hanya mengandalkan insting dan motivasi tinggi bahwa kewiraswastaan dapat memberi kelangsungan hidup dengan selalu memelihara pikiran positif yang kreatif.

Anita mengawali produksi Body Shop hanya terbatas 15 jenis produk kosmetik alami. Ia memproduksi di garasi sendiri yang dikemas dalam botol-botol kecil daur ulang dengan label tulisan tangan. Setiap orang yang mengembalikan botol kosmetik akan mendapat potongan harga tertentu. Cara ini secara tidak langsung justru menarik pelanggan yang merasakan pengalaman unik saat membeli kosmetik. Toko kosmetik unik berwarna hijau tua pun dirasakan oleh para pengunjung mampu menciptakan nuansa  alam menjadi pembicaraan banyak orang.

Sebenarnya, jujur dikatakan bahwa apa yang dilakukan bukanlah sebagai sebuah kesadaran terhadap lingkungan hidup. Pemakaian botol daur ulang hanyalah untuk efisiensi biaya. Warna hijau yang dominan sekedar menutupi noda-noda lembab di dinding toko dengan cat hijau. Namun, hati nuraninya yang peka segera menangkap bahwa banyak orang sebenarnya memiliki peduli terhadap keberlangsungan ekologi. Ia mulai menyadari bahwa Body Shop bisa menjadi sebuah kekuatan yang berdampak positif bagi dunia, jika menjadi entiti bisnis global dan memiliki basis pelanggan loyal.

Merek dan produk The Body Shop® menjadi fenomenal karena didasarkan pada filosofi bisnis yang unik dan berbeda. Tujuan bisnisnya tidak terbatas pada keuntungan semata, namun juga  mencakup prinsip-prinsip kesetaraan dan tanggung jawab sosial. Anita Roddick menggunakan teknik iklan yang berbeda. Ia melapisi trotoar menuju tokonya dengan parfum Body Shop dan memasang bunga-bunga rampai gantung yang alami. The Body Shop® ikut berkampanye menyelamatkan hutan tropis Brasil dan berjuang untuk aturan perdagangan yang lebih adil. Ia benar-benar telah mendedikasikan segenap jiwa dan perusahaannya untuk aktivitas sosial di dalam maupun luar negeri.

The Body Shop® menjadi satu dari sedikit perusahaan di dunia yang memiliki dedikasi luar biasa terhadap lingkungan hidup secara berkelanjutan. Tahun 1990, Anita Roddick membantu pendirian majalah The Big Issue yang keuntungan penjualannya digunakan untuk membantu tunawisma. Ia juga mendirikan yayasan amal Children On The Edge untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung di beberapa negara Asia dan Eropa Timur.
Program-program The Body Shop® yang terkenal dalam menyampaikan pesan sosial yang positif dan mengkampanyekan perubahan, antara lain : Against Animal Testing, Active Self Esteem, Defend Human Rights, Protect Our Planet dan Support Community Trade. Bersama organisasi nirlaba pro lingkungan  Green Peace, Amnesty International dan Friend of the Earth melakukan upaya-upaya melindungi kelestarian alam secara jangka panjang.

Anita Roddick telah bekerja keras demi mimpi dan visinya untuk memastikan bahwa perusahaannya, The Body Shop® lebih dari sekedar mencari keuntungan finansial belaka. "Ini tentang pelayanan, melayani yang lemah dan rapuh, membawa konsep-konsep keadilan sosial ke dalam bisnis. Benar-benar menempatkan mereka dalam praktek (bisnis) adalah kuncinya. Mereka tidak hanya mendapat retorika belaka, tetapi keadilan yang nyata", kata Anita suatu ketika.
Pada tahun 2004 ada lebih dari 1.980 toko The Body Shop® di lebih dari 40 negara di seluruh dunia. Kini, The Body Shop® telah memiliki lebih dari 2.400 toko di 61 negara. Bahkan menurut O Boticario (Brasil) menyebutkan bahwa The Body Shop® merupakan perusahaan  frinchise kosemetik terbesar kedua di dunia. Ia telah terpilih sebagai merek kepercayaan para pelanggan dan masyarakat dunia.

Atas dedikasinya, lusinan penghargaan telah ia terima dari berbagai institusi ternama. Annual Business Leadership Award, First Annual Woman power Award, Woman's Center's Leadership Award, adalah sebagian penghargaan tersebut. Vocalis The Police, Sting dan mendiang Princes Diana adalah sebagian orang yang mengidolakannya. Tahun 2003 Anita Roddick mendapat gelar kehormatan Dame Commander of the Order of the British Empire dari Ratu Elizabeth II. Dan secara resmi ia menyandang nama Dame Anita Roddick DBE.

Beberapa waktu lalu (2006), The Body Shop® dibeli oleh L'Oreal dengan nilai setara $ 1,2 milyar. Nilai yang sangat pantas untuk sebuah merek dan dedikasi luar biasa seorang Anita Roddick yang telah mengubah perspektif industri kosmetik seluruh dunia. Ia melepas The Body Shop® ke L'Oreal sebuah perusahaan raksasa Perancis dengan harapan visi-visinya tentang penyelamatan lingkungan hidup dapat lebih luas menyebar ke seluruh dunia.

Februari 2007,  Anita mengumumkan bahwa dirinya menderita Hepatitis C akibat transfusi darah yang dilakukan saat melahirkan putri bungsunya. Dalam kondisi tersebut ia sempat  mempromosikan yayasan Hepatitis C Trust dalam upayanya ikut serta melakukan kampanye penanggulangan hepatitis di seluruh dunia.

Anita Roddick, sang founder dan inovator The Body Shop® meninggal secara mendadak pada 10 September 2007 pada usia 64 tahun karena pendarahan otak di St Richard's Hospital, Chichester, England. Tetapi, mimpi dan visinya terhadap lingkungan hidup dan keadilan sosial bagi kehidupan dunia tidaklah pernah terkubur bersama jasadnya.

sumber: http://savitriweddingbeauty.blogspot.com/2011/04/anita-roddick-kisah-kepedulian.html

Roihatul Jannah Inovator Boncengan Anak

Kesulitan memperoleh alat pengaman untuk membonceng anak dengan sepeda motor, justru melahirkan ide kreatif dari ibu dua anak ini. Berbekal tekad dan keberanian untuk mencoba, produk rancangan yang dinamai "Helmiat Bonceng Bocah" ini pun perlahan tapi pasti memikat konsumen dari Sumatera hingga Papua.

Roihatul Jannah (29) sungguh tak menyangka, setelah terpilih menjadi salah satu pemenang Shell LiveWIRE Business Start-Up Award 2008, pada 11 April lalu, cita-citanya lamanya merambah dunia wirausaha tercapai juga.

Ditemui di bengkel kerjanya di kawasan Cimanggis, Jumat, (19/9) perempuan yang akrab disapa Iat ini pun bercerita tentang usahanya yang ia rintis sejak akhir tahun lalu.

Bagaimana ceritanya sampai lahir ide Bonceng Bocah ini?
Awalnya ketika anak saya yang sudah beranjak usia pra sekolah, selalu saya bonceng dengan sepeda motor. Dan kebiasaan anak saya kalau dia di motor selalu tidur. Mau tidak mau saya berpikir bagaimana caranya biar anak saya safety di motor.

Pertama-tama saya cari alat pengaman untuk anak di toko-toko sepeda motor di Depok, Jakarta, tapi saya tidak menemukan. Dulu saya suka minta tolong Budenya untuk menjaga di boncengan belakang. Tapi, itu bukan solusi karena kalau suatu hari Bude enggak bisa ikut ngantar, bagaimana?

Kebetulan memang saya ada bakat desain, dari SD saya juga suka desain baju sendiri. Kalau saya mau pesan meja atau kursi juga saya desain sendiri. Akhirnya, saya cobalah itu mendesain boncengan anak. Saya lihat di motor, kira-kira alat ini bisa dipasang di bagian yang mana. Ternyata ada peluang. Lalu saya minta tolong ke bengkel las. Desainnya seperti ini, bahan dari stainless. Tapi kan harus ada bantalannya, biar enak. Awalnya sederhana saja.

Lalu, kalau anak ngantuk nanti bagaimana? Saya pakai gendongan bayi yang ada sabuknya, sehingga bisa diikatkan ke badan saya. (Proses desain) Itu bertahap ya. Terus kalau saya mengantarkan anak ke sekolah, banyak yang tertarik. Kalau berhenti di lampu merah, suka ditanya "Bu, beli dimana,". "Enggak saya bikin," Lalu saya pikir kenapa ini tidak menjadi peluang bisnis saya. Akhirnya saya bikin brosur, disebarkan ke teman-teman.

Anda sempat ikut kompetisi juga ya?
Waktu itu ada ajang yang disponsori Shell untuk menggugah semangat enterpreuner di kalangan mahasiswa, sebagai alternatif karier setelah lulus. Kemudian saya ditawari formulir lomba di ajang tersebut, saya tertarik karena itu sifatnya start up, untuk yang benar-benar baru mulai. Alhamdullilah saya lolos semua tahap seleksi sampai ke final. Ini Membuat saya tambah semangat. Lalu saya terpikirkan untuk bikin bengkel sendiri.
( Modal Iat membuka bengkel diperolehnya dari hadiah kompetisi sebesar Rp 20 juta dan bantuan orang tua).

Sudah berapa lama bengkel ini berdiri?
Bengkel ini baru jalan dulu bulan. Dulu sebelum ada bengkel pernah dibuat profilnya oleh SCTV. Nah, setelah tayang handphone saya pernah seharian enggak mati-mati, karena diteleponin yang mau pesan. Pas nganter anak sekolah saja (jarak dari rumah ke sekolah anak kurang lebih 20 menit), itu ada miscall dari 14 nomor yang berbeda. Itu melatih saya untuk "Oh, oya sekarang saya mulai menapak bisnis ini".

Berapa unit yang diproduksi?
Itungannya seminggu, sekitar jadi 50 unit. Dari yang bengkel sendiri, belum termasuk bengkel orderan. Harga jual Rp 250.000/unit. Saya enggak mau nurunin harga dengan nurunin kualitas. Kami pakai bahan stainless steel.

(Iat menyesuaikan boncengan dengan jenis sepeda motor konsumennya. Soal warna dan gambar pada bantalan boncengan juga disesuaikan apakah si anak perempuan atau laki-laki)

Pemasaran dilakukan sendiri?
Saya juga punya distributor. Target pertama untuk distributor 50 unit. Nanti tahap berikutnya mau naik, supaya ke depannya jangan sampai orang yang mau beli di distributor, enggak ada barangnya. Distributor, dalam tahap penjajakan ada di Medan, Surabaya, Jakarta. Kalau pengiriman barang sudah sampai ke Lampung, pekan baru, palembang, padang, Samarinda, Balikpapan, Pare-pare, Bali, NTB, NTT, Ambon, Papua.
( Malahan, ada konsumennya, warga Indonesia yang memesan dari Jerman. Iat pun memiliki website sendiri untuk berpromosi, yaitu www.helmiat.com)

Sebelum punya bengkel sendiri, produksinya seperti apa?
Kerja sama dengan bengkel las yang dulu pertama saya minta tolong. Tapi dengan perjanjian bermaterai, jadi kalau ada yang pesan harus melalui saya dulu.

(Saat ini Iat memiliki enam orang karyawan, seorang di administrasi, seorang di bagian pekerjaan umum, yang lainnya di bagian perakitan. Selain itu, juga ada karyawan part time. Tak jarang, Mahasiswa Berprestasi Universitas Indonesia tahun 2002 ini pun membagi order ke bengkel tetangga)

Bagaimana pembagian kerja di bengkel?
Sift pagi jam 8, sampai sore jam lima atau 6. Untuk malam part time, selama Ramadhan mulai jam 8 sampai 11. Bukan bulan ramadhan mulai jam 7. Selesainya kadang-kadang sampai jam setengah 12 malam. Saya kan borongan, yang penting targetnya tercapai.

Pengaturan waktu?
Ngontrol di bengkel bisa pagi setelah pulang nganter anak sekolah. Siang jemput anak, nyiapin keperluan anak-anak, terus kalau memang diperlukan, sore balik lagi ke bengkel. Malamnya datang, bada Isa, tapi saya enggak nunggu sampai selesai.

Dari pernikahannya dengan Helmi Wahyudin, Iat telah dikaruniai dua orang anak, yaitu Mohammad Fathan Izzudin (5) dan Hasnah Imaratuzahran (4). Nama Helmiat sendiri merupakan gabungan nama Iat dan suaminya.

Suka ngajak anak ke bengkel?
Jarang. Soalnya rawan. Saya suruh pakai masker, mereka suka enggak mau. Kan ada debu-debu logam. Tapi saya untuk karyawan juga sebenarnya udah menyiapkan masker, sarung tangan, Cuma kan kadang-kadang orang suka enggak betah, enggak biasa.

Bagaimana dukungan suami?
Alhamdullilah keluarga mendukung. Suami saya terus terang senang, enggak membatasi ruang gerak saya. Apalagi saya orangnya enggak mau diem. Saya pernah pameran di Bandung, seminggu penuh dan dia enggak keberatan.

Punya role model khusus dalam bidang enterpreneur?
Orang tua sediri jadi panutan, mereka enterpreuner juga. Saya panggilnya Umi dan Abah. Masing-masing punya bisnis sendiri. Abah bisnis tekstil. Umi suka desain kain buat kebaya lalu, dikasih ke tukang jahit, terus dijual. Satu kakak dan tiga adik saya sekarang bisnisnya juga tekstil seperti Abah. Kecuali saya, lain sendiri.

(Iat merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara. Masa kecil hingga SMA dihabiskannya di Tegal. Setelah menamatkan SMA, Iat melanjutkan S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat UI)

Ada saran untuk yang ingin memulai usaha sendiri?
Ketika kita punya keinginan untuk sesuatu, yakin dan lakukanlah dengan segera. Karena ketika keinginan itu tiba, itu momentum kita untuk melakukan sesuatu. Jadi apa yang ditargetkan langsung dilakukan. Enggak hanya dipikirkan terus. Kalau begitu, sebelum melakukan, udah pusing duluan. Coba lakukan, supaya bisa tahu kesulitannya dimana. Ternyata setelah dicoba enggak sesulit yang kita pikirkan.

Sumber :http://www.ictwomen.com/profilpilihan/5/tahun/2008/bulan/12/tanggal/11/id/347/
sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NDM0

Riezka, Jual Pisang Ijo Raup Omzet Ratusan Juta

Kini selera makan masyarakat Indonesia makin beragam. Tidak melulu makanan londo cepat saji yang sekarang kian merebak, penikmat kuliner juga mulai melirik makanan tradisional Nusantara. Salah satunya adalah pisang ijo asal Makassar, Sulawesi Selatan.

Menu makanan dengan bahan dasar pisang berbalut tepung berwarna hijau ini sukses dipasarkan Riezka Rahmatiana. Perempuan muda berusia 24 tahun ini sanggup meraup omzet mencapai Rp 850 juta dari hasil jualan pisang ijo dengan merek dagang JustMine.

Padahal, saat memulai usaha pada 2007, dia hanya merogoh koceknya Rp 2 juta. Modal tersebut kemudian habis dibelanjakannya untuk membuat etalase kecil serta bahan-bahan pembuat pisang ijo.

"Waktu buka usaha ini modalnya kecil. Hanya Rp 2 juta," ujarnya saat ditemui di sela-sela Expo Wirausaha Mandiri di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (23/1/2010).

Riezka berkisah, kesuksesan diraihnya dengan penuh kerja keras. Awalnya, dia pernah menjadi anggota  multilevel marketing (MLM). Karena tidak membuahkan hasil, Riezka beralih menjajal bisnis voucer pulsa yang akhirnya kandas juga.

Tak patah arang, Riezka akhirnya banting setir dan mulai menggeluti usaha di bidang kuliner. Saat itu, dia merintis sebuah kafe di Bandung. Namun, lagi-lagi usahanya gagal.

Akhirnya, pada tahun 2007 Riezka mulai melirik pisang dan berpikir untuk mengemasnya menjadi panganan yang digemari orang. "Saat itu saya hanya berpikir, pisang itu kalau laku dijual enaknya dibikin apa. Akhirnya saya memutuskan untuk memasarkan pisang ijo," katanya.

Yang unik, Riezka yang asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini mengaku belum pernah sekali pun menyambangi Makassar. Kunci keberhasilan mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikai Universitas Padjadjaran ini sebenarnya terletak pada kreativitasnya mengembangkan makanan pisang ijo dalam berbagai aneka rasa. Dari pisang ijo tradisional dikembangkan dengan campuran vla yang ditambahkan dengan berbagai rasa, vanila, cokelat, keju, hingga durian.

Bandingkan dengan pisang ijo makassar yang hanya berbungkus terigu berwarna hijau pandan plus lamuran vla ditambah sirup sebagai pemanis. Ada juga yang dilumuri bubur sumsum dan es batu.

Harga pisang ijo JustMine dipasarkan Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per porsi. Semangkuk pisang ijo ini menjadi makanan yang digemari banyak orang. Buktinya, saat Expo Wirausaha Mandiri hari ini, ratusan pengunjung tidak henti-hentinya menyerbu stan pisang ijo ini. Bahkan, dalam hitungan jam, stok pisang ijo milik Riezka ludes.

"Ini makanya telepon lagi minta dikirim ke sini. Pengunjungnya sudah antre dari pagi," ujarnya.

Untuk mengembangkan usahanya itu, Riezka membuka peluang untuk berinvestasi bagi siapa saja yang berminat dengan sistem waralaba pisang ijo. Hingga kini, ada 20 gerai pewaralaba pisang ijo yang tersebar di Bandung, Jakarta, dan Bekasi. Di samping itu, Riezka juga punya tiga outlet di Bandung.

Untuk menjamin keuntungan bersama dengan para mitra, proses seleksi mitra waralaba pisang ijo cukup cermat. Riezka menjelaskan, untuk menjadi mitra pisang ijo JustMine, cukup dengan investasi mulai dari Rp 6,5 juta.

Nantinya, para mitra akan mendapatkan satu booth, paket perlengkapan booth lengkap, paket promosi, jaminan kualitas produk, biaya delivery, trainning karyawan, dan hak pakai booth.

Reff: Kompas.com

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NDgx

Modal Nekat dan Siap Dimaki: Brian Arfi Faridh



SEMANGAT pantang menyerah dalam membangun bisnis membawa Brian Arfi Faridhi (23) menjuarai Wirausaha Muda Mandiri (WMM) 2009.

"Wirausaha merupakan profesi yang luar biasa. Makanya tidak semua orang bisa menjadi wirausaha sejati. Sebab, dia harus siap bekerja keras, tidak gampang menyerah, harus memiliki mental juara dan siap dihina-hina orang. Itu alasan juri memilih saya sebagai pemenang karena sudah bolak-balik mengalami jatuh bangun dalam bisnis,” ujar Brian, pengusaha muda kreatif di bidang IT, ketika menjawab pertanyaan pengunjung Expo Wirausaha Mandiri di Jakarta Convention Center (JCC), pekan lalu.

Brian, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tampil dalam expo tersebut karena berhasil menjadi pemenang pertama bidang usaha kreatif WMM 2009. Brian yang tahun lalu berhasil menembus omzet Rp 559 juta itu adalah salah satu dari 98 peserta expo. Seluruh peserta merupakan alumni WMM. Hingga kini, WMM yang diadakan Bank Mandiri sudah berlangsung empat kali.

Di stan Brian, pemilik PT DheZign Online Solution, dipajang piala penghargaan WMM 2009. Piala itu diserahkan langsung oleh Wapres Boediono, Jumat (22/1) lalu. Stan tersebut juga memajang papan data yang menampilkan foto Brian dan keterangan mengenai perusahaannya. Brian mengatakan, data yang ditampilkan banyak yang tidak akurat. Misalnya, disebutkan tahun 2009 dia meraih untung. Padahal sesungguhnya, Brian rugi Rp 14 juta.

Mendengar itu, seorang ibu yang berada di stan Brian, langsung berkomentar, "Lho, kok pemenang WMM bisnisnya rugi? Apa nggaksalah, tuh?" Brian spontan menjawab, "Lho, Bu, yang namanya pengusaha harus berani rugi. Tahun lalu, omzet kami naik dua kali lipat. Tapi karena melakukan ekspansi, kami jadi rugi," tambah pria kelahiran Surabaya, 31 Mei 1986.

Sumber pendapatan Brian berasal dari bisnis IT dan toko online yang menjual perlengkapan busana muslim. Ke depan, Brian merencanakan ekspansi dengan memperkuat divisi bisnis pengembangan web. Itu sebabnya tahun lalu dia banyak merekrut SDM di bidang web programing. "Nanti saya akan fokus ke pasar Jakarta karena prospeknya lebih cerah dibanding Surabaya. Saya sendiri sudah sekitar tiga bulan di Jakarta, tapi anak istri masih di Surabaya," ujar suami Juanita Vyatri tersebut.

Menurut Brian, dia mulai mengembangkan  bisnis IT pada tahun 2006. Saat ini dia fokus melayani orang yang mau menggunakan media online untuk kegiatan marketing. "Untuk membangun toko online, minimal kami mengenakan biaya senilai Rp 20 juta. Kami siapkan pula program garansi 100 persen uang kembali, bila konsumen tidak puas," tambah Brian yang juga siap membantu pengusaha pemula memiliki toko online secara free.

Jualan di kampus

Sejak umur 18 tahun Brian sudah berani berjualan parfum di lapak kampus ITS. Dia tidak peduli teman-temannya di kampus meledek kegiatannya itu. Brian juga pernah berjualan jus di pinggir jalan. "Kalau dagangan tidak untung, saya langsung ganti dengan dagangan lainnya. Sedih sih kalau gagal karena saya orang yang tidak suka kalah. Tapi, bagaimana pun saya harus bangkit," ujar bapak tiga anak ini.

Dilihat dari kepribadiannya, Brian sosok yang tidak suka dengan pekerjaan yang rutin. Makanya, meski sudah bolak-balik bisnisnya bangkrut, Brian tidak pernah terpikir selesai kuliah akan bekerja di kantor. Mungkin karena itu pula dia aktif menggali ide-ide usaha baru.

Tak hanya itu, Brian juga orang yang berani mewujudkan setiap gagasannya. Termasuk keberanian memilih menikah pada usia muda, yakni 18 tahun. "Kalau mau usaha tidak perlu mikir modal. Yang penting tekad yang kuat. Gila dan nekat," ujar Brian saat mengemukakan prinsipnya membangun bisnis.

Prinsip itu pula yang digunakannya saat mengembangkan bisnis online busana muslim maupun bisnis pengembangan web. Untuk membangun bisnis web development, Brian hanya mengandalkan istrinya sebagai programer dan modal satu komputer, satu printer, dan koneksi internet. "Setelah itu, ya sudah, dipasarkan. Simpel. Modal lain, harus siap dimaki-maki konsumen, kerja keras dan harus memiliki mental juara,"ujar Brian.

Target akhir tahun 2010, setelah urusan bisnisnya beres, dia akan membawa istri dan anaknya tinggal di Jakarta. "Saat ini, dunia onlinedi Indonesia sedang tumbuh. Tapi, pasar yang menjanjikan ada di Jakarta. Saya sudah menyiapkan tenaga-tenaga ahlinya untuk merebut pasar tersebut,"ujar Brian semangat. (Herry Sinamarata)

http://www.wartakota.co.id/read/inspirasiusaha/20842

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NDg4

Kurniawan, Mantan Buruh Pabrik yang Jadi Jutawan Lewat Bisnis Toko Online

Dalam era informasi, bisnis online berkembang pesat. Edi S. Kurniawan (32), pengusaha pakaian bayi menangkap peluang itu sejak awal. Dia ingin seluruh toko di Tanahabang punya toko online.
Suatu siang saat Warta Kota menyambangi Alifia, toko super grosir pakaian anak dan perlengkapan bayi di Thamrin City, Jalan Kebonkacang Raya, Tanahabang, Jakarta Pusat. Suasananya tampak sepi.

Di beberapa sudut hanya tampak tumpukan karung plastik putih. Disisi lain seorang lelaki sedang sibuk dengan laptop warna merah. Seorang lagi bekerja di sebuah komputer PC. Dua lainnya sedang merapikan barang-barang di toko.

“Saya sengaja memilih lantai yang sepi. Sebab, 100% transaksi bisnis saya lewat internet. Disini lokasi enggak penting. Tempat sepi, sewanya lebih murah. Yang penting, masih ada bau-bau Tanahabang,” ujar Edi S. Kurniawan, pemilik toko online www.grosirtanahabang.com membuka percakapan dengan Warta Kota, belum lama ini.

Meski bisnisnya dioperasikan secara online, tapi nama Tanahabang tetap ditonjolkan. Maklum, Tanahabang adalah icon bisnis tekstil di negeri ini, bahkan dikenal sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Bagi ayah Randika Chandra Aryandi ini, Tanahabang mempunyai arti khusus. Mantan buruh pabrik di Tangerang ini mulai belajar bisnis dengan mengikuti program magang di toko-toko milik H. Alay, inspirasi berdirinya komunitas bisnis Tangan Di Atas (TDA) dan raja tekstil dan properti di Tanahabang. Dengan bekal ilmu bisnis dari magang, kerja keras dan kreatifitas, Edi dapat melewati masa sulit dalam hidupnya, sekaligus mengembangkan bisnis online www.grosirtanahabang.com dan www.alifiababyshop.com.

Saat ini, bisnis grosir pakaian anak dan perlengkapan bayi online milik mantan buruh pabrik PT. Bando Indonesia itu tumbuh pesat dengan omset rata-rata Rp. 100 juta per bulan.

Banyak Utang
Jalan menuju sukses melalui proses jatuh bangun. Pria kelahiran Lampung ini, sudah beberapa kali membangun bisnis, tapi semuanya berakhir dengan kegagalan. Edi pusing karena kegagalan itu meninggalkan banyak utang.
Edi pernah melakoni berjualan pulsa sampai buka toko fashion dan busana muslim serta usaha catering dan kantin.Bisnis-bisnis yang disebut terakhir modalnya diperoleh dari pinjaman bank maupun kantor. Karena gagal, utangnya sampai Rp. 50 juta.
Sebagai buruh pabrik yang gajinya sekitar Rp. 2,7 juta per bulan. Edi dan istrinya, Siti Aminah, terus putar otak untuk mencari solusinya. Buruh teladan PT. Bando Indonesia (2005-2006) ini harus menyisihkan Rp. 2 juta untuk membayar cicilan hutang per bulan.

Dalam kondisi sulit itu Edi mendapat info dari TDA terkait program magang di jaringan toko H. Alay di Tanahabang. Edi tertarik dengan program itu, karena kegagalan bisnisnya selama ini, antara lain adalah tak memiliki ilmu bisnis.

Meskipun syarat mengikuti magang itu berat, Edi nekat mengambil kesempatan itu, apalagi dia mendapat dukungan dari istrinya. Untuk ikut magang itu, dia wajib bekerja enam hari seminggu selama tiga bulan nonstop. Itu berarti dia harus keluar kerja dari PT. Bando Indonesia, Gajah Tunggal Group, Tangerang. Selama magang itu Edi tidak digaji, tanpa uang makan dan transport. Sungguh berat.

Walaupun teman-temannya menyebut keputusannya mengundurkan diri sebagai tindakan gila, tapi tekad Edi untuk belajar bisnis tidak surut. “Saya bersyukur, meski saya mengundurkan diri, tapi pihak manajemen masih memberi pesangon Rp. 55 juta sehingga saya bisa melunasi utang saya. Sisanya untuk modal saya. Dan, karena saya tidak bekerja lagi, istri saya bersedia bekerja kembali di pabrik tas. Itulah bentuk dukungan luar biasa dari istri saya,” ujarnya.


Edi keluar kerja sekitar bulan maret 2007. “Sebab kalau diterusin kerja di pabrik, saya udah enggak semangat. Hampir semua gaji saya habis untuk bayar cicilan utang. Bayangkan, utang saya baru lunas sekitar 10 tahun. Makanya saya semangat pindah quadran,” katanya.

Sarjana hukum lulusan STHI Jakarta tahun 2003 itu yakin, di balik kesulitan hidupnya pasti ada kemudahan. Edi mulai merasakan manfaat positif, khususnya pada bulan ketiga magang. Saat itu, Edi diberi kesempatan buka toko mukena sendiri dengan modal dari H. Alay Rp. 50 juta.

Selanjutnya, setelah lulus magang, Edi bekerja sama dengan H. Alay membuka toko pakaian anak dan perlengkapan bayi di Blok F 3 Tanahabang. Saat itu, katanya, dia diberi modal awal berupa celana anak dari kain perca senilai Rp. 200 juta.





“Setelah tiga tahun bekerja sama dengan H. Alay, akhirnya saya memutuskan untuk mandiri, maksudnya supaya bisa lebih kreatif mengembangkan bisnis sendiri. Toko offline saya kembalikan kepada pak haji, lalu saya fokus mengembangkan bisnis online,” Ujar Edi.



Untuk memulai bisnis baru, Edi menggandeng investor baru untuk mendapatkan dana segar Rp. 100 juta. “Ternyata semangat bagi hasil sangat mendukung upaya saya mengembangkan bisnis online. Rencana saya kedepan, ingin mengajak toko-toko di Tanahabang membuka toko online. Sambutannya positif bahkan beberapa sangat antusias. Mimpi saya, semoga kawasan Tanahabang bebas macet karena semua transaksi lewat internet,” ujar Edi mantap.

ANDA JUGA BISA JUALAN TANPA MODAL

Setelah melewati masa perjuangan yang berat lalu tumbuh mulus dengan bisnis online, kini Edi S. Kurniawan, mulai memasuki tahap menang (win). Dalam tahap ini dia ingin mengajak lebih banyak teman dan masyarakat untuk pindah quadran.

“Jangan takut berwirausaha karena ternyata tak seberat dan sesulit yang kita bayangkan. Disini saya ingin sharing ilmu dan pengetahuan agar orang yang mulai bisnis tak melewati tahap trial and error yang terlalu berat seperti saya dulu,” ujar Edi yang pernah 11 tahun kerja di sebuah pabrik V-belt mobil di Tangerang.

Menurut dia, salah satu bentuk sharing yang dilakukannya, disamping lewat komunitas TDA, juga dengan menyediakan berbagai paket kerjasama usaha. “Bahkan, saya siap bantu orang yang mau jualan (pakaian bayi-Red) dan enggak punya modal. Tapi, basisnya tetap toko online,” tambahnya.

Syaratnya gampang, mereka harus punya blog atau facebook. Edi akan menyediakan foto-fotonya. Mereka tinggal pasang di internet lalu gencarkan promosi. ”Kalau ada pesanan, tinggal salurkan kepada saya. Dari transaksi itu, mereka akan dapat untung. Di sini selain bisa bantu orang, saya juga diuntungkan karena punya ujung tombak pemasaran dimana-mana,” kata Edi mengenai startegi marketingnya.


Namun, katanya, untuk tahap pertama, program gratis tersebut dibatasi hanya untuk 10 orang per bulan. Program itu diperkenalkan sejak bulan lalu. Disamping itu. Edi juga menyediakan lima paket kerjasama usaha, mulai dari paket distributor wilayah dengan modal awal Rp. 10 juta, paket toko bayi (start up Rp. 13 juta dan paket toko lengkap Rp. 46 juta), paket sample produk hingga paket toko online plus produknya seharga 2,5 juta.


Terkait dengan paket usaha dan kerjasama yang ditawarkan itu, dia memberikan komitmen penuh dengan menyediakan layanan konsultasi 24 jam, baik dalam manajemen toko online maupun strategi pemasaran.

“Kami juga menyediakan karyawan yang meng-handle pesanan Anda, mulai dari penerimaan, persiapan, packing hingga pengiriman barang. Kami juga selalu siapkan barang lengkap, dengan stok senilai lebih dari Rp. 500 juta sehingga selalu bisa memenuhi pesanan pelanggan,” ujarnya.

Edi mengatakan di tahun 2010 ini dia juga sedang melakukan ekspansi usaha, dengan membangun dua unit usaha baru yang lebih besar. Edi akan mengembangkan usaha dibidang IT Consulting dan Online Marketing serta satu lagi di bidang produksi, distribusi dan penjualan umum. Proyek pertama yang digarapnya adalah memproduksi kaos anak, kaos remaja dan kaos busana muslim dengan kapasitas produksi 3.000 lusin per bulan. (hes)

Ref : Wartakota sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NTUw

Roy Mardianto, Sukses Lewat Bisnis Tur Ekowisata yang Sangat Menjanjikan



KOMPAS.com - Banyak orang berpendapat, tidak ada obyek wisata menarik di Jambi. Bagi Roy Mardianto, anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, anggapan itu muncul lebih karena kurangnya informasi. Jambi sesungguhnya memiliki ragam wisata yang menarik untuk dijelajahi. Irma Tambunan

Atas dasar itulah, Roy merintis usaha tur ekowisata Jambi. Pria kelahiran Martapura, 3 Maret 1978, ini mengambil jalur khusus wisata alam dan budaya. Lebih dari 80 persen turis yang menggunakan jasanya datang dari Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara di Eropa.

Mereka adalah kelompok-kelompok kecil turis yang gemar menjelajahi alam dan berbaur dengan penduduk yang mereka kunjungi. Mereka sibuk memotret dan ikut merasakan aktivitas para petani, seperti menyadap karet dan memasang jerat ikan.

”Banyak tempat menarik untuk dijelajahi dan semua perjalanan ini umumnya meninggalkan kenangan mendalam bagi mereka,” ujarnya kepada Kompas, Juli lalu.

Dengan antusias, Roy memaparkan semua paket perjalanan ekowisata yang dirintisnya. Ada belasan paket, tetapi enam di antaranya menjadi unggulan.

Paket perjalanan tersebut beragam, mulai dari yang membutuhkan lama kunjungan dua hari satu malam saja hingga yang membutuhkan lama tinggal sebelas hari sepuluh malam.

Semakin lama waktu kunjungan, semakin jauh dan banyak perjalanan yang ditawarkan. Dan semakin bermanfaat antara lain dengan memberikan penghasilan bagi warga sekitar. Lebih besar lagi memberikan devisa bagi negara.

Dari paket-paket tersebut, perjalanan yang paling diminati adalah menjelajahi Hutan Adat Hulu Air dan Danau Kaco di Kerinci, menelusuri kompleks Situs Muaro Jambi, dan tinggal bersama komunitas terasing suku Anak Dalam di kaki Bukit Duabelas.

Salah satu turis, yang berkunjung ke Muaro Jambi mengisi testimoni beberapa hari kemudian, memperoleh kesan mendalam ketika menginap semalam bersama masyarakat setempat, menginap dalam kondisi warga setempat.

Tidak sekadar kompleks percandian yang sarat akan sejarah, tetapi wisatawan ini menyebutkan kerinduannya kembali untuk berkumpul sambil menikmati serta ikut menari dalam atraksi tabuhan dan tari topeng anak-anak setempat. Tentunya sambil mencicipi makanan tradisional ibu-ibu di sana.

Yang tak kalah menarik adalah saat membawa turis mengunjungi Hutan Adat Hulu Air. Wisatawan sangat gembira bisa menjelajahi jalur hutan yang masih sangat alami. Mereka menempuh perjalanan sepanjang tepi aliran sungai yang berair jernih.

”Kalau haus, kami tinggal mengambil air di sungai. Rasanya segar dan menyenangkan sekali,” tuturnya.

Potensi besar

Selepas lulus kuliah, Roy sebenarnya telah mengembangkan usaha agen perjalanan. Modal yang keluar cukup besar untuk membuka usaha ini, sekitar Rp 200 juta.

Namun, usaha tersebut rupanya tak memberi keuntungan sesuai harapannya. Masalah percaloan menjadi kendala. Di sisi lain, Roy melihat ada peluang usaha yang sangat menarik dengan modal hampir nol: yaitu ekowisata. ”Modalnya cuma otak dan otak,” ujarnya.

Dengan potensi keindahan alam yang dimiliki Jambi, Roy pun mencoba mengeksplorasinya. Ia menjelajah Jambi dari ujung timur hingga barat sambil mengeksplorasi ragam budaya yang melekat di sebuah obyek.

”Pada obyek rumah-rumah tua di Rantau Panjang, misalnya, saya siapkan rumah untuk tempat menginap wisatawan, yaitu rumah tertua di desa itu. Lalu, masyarakat diberdayakan untuk menyuguhkan atraksi adat setempat,” tuturnya.

Selanjutnya, ia merancang paket-paket ekowisata. Semua paket diuji coba terlebih dahulu agar menjadi perjalanan yang menarik bagi turis. Teman dan kerabat yang diajak ikut uji coba dimintai pendapat dan kritiknya.

Ia kemudian menawarkan beberapa paket ini lewat situs www.jambitourpackages.com serta melalui jejaring sosial lainnya.

Hasilnya, sejak usaha dirintis pada Januari 2009, sudah lebih dari 100 wisatawan minat khusus, yang umumnya dari mancanegara, datang berkunjung ke Jambi.

Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini memang belum besar, berkisar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan. Namun, Roy melihat semakin besarnya potensi pasar yang bisa dikelolanya.

Adapun, paket yang dikembangkan beragam, mulai dari paket termurah Rp 900.000 untuk perjalanan pendek hingga Rp 15 juta untuk perjalanan selama 11 hari.

Dalam merancang semua paket hingga mendatangkan turis, Roy sepenuhnya bekerja sendiri. Namun, pria yang menjadi konsultan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi serta Sekretaris DPD Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Provinsi Jambi ini melibatkan puluhan penduduk lokal di tiap obyek wisata sebagai pemandu wisata dan portir.

Di Situs Muaro Jambi, misalnya, setidaknya 10 hingga 15 pemuda lokal terlibat menjemput wisatawan, memandu trekking, hingga menyiapkan makanan, musik, dan atraksi budaya. Pelibatan penduduk lokal dalam ekowisata ini, lanjut Roy, mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat.

Menurut dia, masyarakat sebenarnya sudah lama menantikan kunjungan wisatawan seperti ini. Karena dengan demikian, mereka dapat memperoleh sumber pendapatan yang lebih besar.

”Masyarakat sangat berharap akan kedatangan wisatawan. Mereka siap menjamu kapan pun turis datang,” ujar lulusan D-3 Pariwisata Universitas Negeri Surakarta ini.

Aksi Roy mendatangkan penghasilan bagi masyarakat setempat ini sepertinya mudah diterapkan di banyak wilayah lain di negeri ini yang kaya dengan keindahan alam serta keunikan budaya. Lagi pula, usaha seperti ini tak banyak membutuhkan modal, kecuali kecerdasan dan mau bekerja keras.

Oleh: Irma Tambunan (Kompas.com)

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NjAx


Iwan dan Muadzin yang Makin Berkibar lewat Semerbak Coffee yang makin semerbak perkembangannya

Semerbak Coffee di dirikan oleh  Iwan Agustian H dan teman SMP nya  di SMPN 3 Jakarta, Muadzin F Jihad pada 20 juni 2009.

Ide berdirinya Semerbak Coffee sederhana saja, bagaimana caranya agar masyarakat luas bisa menikmati kopi dengan taste yang hampir sama dengan Outlet kopi yang menggunakan brand Luar Negeri yang ada di Mall tapi dengan harga yg cukup terjangkau.

Persiapan pun sangat singkat, hanya sekitar 2-3 minggu saja..Awalnya kami menggunakan brand "Growth Bucks" tapi setelah melalui proses yang lumayan menguras pikiran, akhirnya muncul lah brand Semerbak Coffee, dengan pertimbangan Kopi itu aroma nya harum semerbak dan juga itu menjadi indentitas penegasan bahwa ini adalah produk Lokal..

Hanya dengan modal awal sekitar 4 juta rupiah, kami beranikan diri untuk langsung start dengan konsep Business Opportunity , dengan invest awalnya adalah 6juta rupiah ( sekarang menjadi 7,5juta ), dengan tag line HIGH STYLE,HIGH PROFIT,LOW MAINTANANCE & LOW INVESTMENT, yang tanpa mengenakan fee macam-macam. Hal ini karena tujuan kami adalah membantu mereka yang ingin memulai bisnis sendiri, khususnya para karyawan..dengan modal yang tidak besar mudah di kelola tapi memiliki Style dan profit yang tinggi..

Dan 1 minggu setelah launching, Semerbak Coffee langsung di liput oleh majalah Duit online.. dari situlah kemudian Semerbak Coffee banyak di liput oleh media yang akhirnya bisa membuat SC pada kondisi seperti sekarang ini..

Saat ini Semerbak Coffee memiliki 8 karyawan di Pusat, 140 outlet ( data per tgl 9 mei 2010 ) yang tersebar di seluruh Indonesia dengan omzet sekitar 250 juta/bulan.

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NTY1

Hikmanul Hakim, Menyasar segmen pekerja, sukses lewat bisnis di dunia maya

Bosan menjadi pekerja selama 15 tahun, Hikmanul Hakim memutuskan membuka usaha jualan busana muslim. Kegagalan di tahun pertama membuatnya lebih berani memasarkan produk secara online. Alhasil, bisnisnya sukses di dunia maya.

Menjelang Lebaran, busana muslim menjadi sangat laku. Rupanya, orang ingin merayakan kemenangan setelah berpuasa, sembari berkumpul dengan keluarga, memakai baju baru. Salah satu yang menikmati berkah di masa seperti sekarang adalah Hikmanul Hakim.

Meski hanya memiliki satu butik di ITC BSD, Hakiem – begitu ia biasa disapa – sukses berbisnis busana muslim secara online. Ia memasarkan 90% produknya lewat website dan situs jejaring sosial. Dalam sehari, ia meraup omzet Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. Tapi, sejak sebulan terakhir, omzetnya bisa mencapai Rp 20 juta per hari.

Kesuksesan Hakim ini tidak datang dari langit. Ia merintis butik busana muslim Rumah Madani dengan keringat. Pria kelahiran Sidoarjo, 7 Februari 1969, ini dibesarkan di keluarga pegawai negeri sederhana. Ayahnya adalah seorang staf di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sang ibu guru.

Sejak kecil, Hakim sudah didorong untuk berprestasi secara akademis. Ia selalu fokus pada studi. “Boro-boro mikirin soal bisnis,” ujarnya. Hasilnya, ia selalu juara kelas. Puncaknya, ia menamatkan kuliah di Institut Teknologi Surabaya, Jurusan Teknik Fisika bidang Instrumentasi, dengan predikat sangat memuaskan.

Selulus kuliah pada 1992, Hakiem merantau ke Jakarta. Penyuka ilmu eksakta ini bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI). “Saya belajar TI secara otodidak,” ungkapnya. Selanjutnya, selama 15 tahun, ia berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, hingga terakhir bekerja di PT Fujitsu Indonesia.

Sebenarnya, Hakiem cukup mapan dengan kariernya. Gajinya tergolong besar. “Selalu di atas Rp 10 juta,” ungkapnya. Tapi, ia merasa jenuh. Kemacetan ibukota dan jadwal kerja yang ketat membuatnya tidak nyaman. Di pikirannya, ia ingin mengubah cara mencari nafkah dengan berbisnis.

Hakiem lantas mensurvei segala jenis bisnis, dari jual beli beras sampai waralaba burger. Ia sempat terpikir membuka usaha konsultan IT sendiri. Tapi, ia tak pernah bisa merealisasikan sementara belum keluar dari tempat kerja.

Ayah dari Fahmi, Jihad, dan Hanif ini pun resmi mundur pada April 2007. “Saat itu, keluarga besar saya heboh, mengatai saya bodoh karena melepas kemapanan,” kenangnya. Untunglah sang istri tercinta tetap mendukung lantaran lebih punya waktu untuk keluarga.
Gagal di tahun pertama

Hakiem akhirnya memutuskan berbisnis busana muslim. Ia melihat, peluangnya cukup besar. Pada Mei 2007, ia membuka butik Rumah Madani di ITC BSD. Modal awalnya Rp 40 juta, setengah di antaranya untuk untuk sewa tempat.

Di butiknya, Hakiem menjual aneka busana muslim dan aksesorinya seperti kerudung, jilbab, dan cadar. Harga jualnya berkisar Rp 80.000 sampai Rp 500.000. “Segmennya untuk kalangan menengah ke atas, terutama para pekerja,” ujarnya.

Di tahun pertama, bisnis Hakiem sudah meredup. Omzet penjualannya sangat kecil. “Profit kotornya hanya Rp 1 juta tiap bulan, habis untuk membayar gaji SPG,” terangnya. Praktis selama setahun, sang istri yang bekerja di Pamulang Medical Center lebih banyak menafkahi keluarga.

Kegagalan itu sempat membuat Hakiem frustrasi, tapi sekaligus memacu semangat. “Saya tahu, penyebab kegagalan itu karena jaringan penjualan belum ada, kurang pemasok, kualitas barang, terutama model, tren, dan reputasi butik masih kurang,” ujarnya.

Di tahun kedua, Hakiem berusaha memperbaiki. Ia mulai mensurvei selera pasar dan memilih pemasok yang bagus. Ia juga mulai merintis menjual secara online sejak Juni 2007.

Awalnya, Hakiem membuat sebuah blog untuk mempromosikan tokonya. Setengah tahun jalan, penjualannya bagus. Pembeli terbanyak berasal dari karyawan kantor. Ia juga menjaring pembeli dari mancanegara. “Paling banyak dari Malaysia dan Singapura,” ujarnya.

Pada 2008 itu, Hakiem membuat situs www.rumahmadani.com. Ia juga memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook. “Sekarang ini siapa, sih, yang tidak punya Facebook?” ungkapnya. Saat ini, Rumah Madani sudah memiliki 80.000-an fans di Facebook.

Sejak awal 2008, omzet penjualan busana muslim Rumah Madani naik drastis. Dalam sehari, pendapatannya bisa mencapai Rp 10 juta. Sekitar 90% berasal dari transaksi secara online. “Penjualan secara online ternyata lebih efektif karena bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya operasional murah,” katanya.

Dengan mengambil margin untung antara 5%–60%, saat ini, penjualan rata-rata sehari sekitar 300 barang. Dengan mempekerjakan 12 karyawan, kini, ia hanya memantau bisnis dari rumah. Ia ingin ekspansi dengan mendirikan butik di daerah. “Saya ingin Rumah Madani menjadi rujukan pertama orang dalam mencari busana muslim di Indonesia,” terangnya.

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NjM2

Didi Diarsa, Menyulap yang Bekas Jadi Berkelas berstandar internasional

KOMPAS.com - Didi Diarsa Adiana, 36 tahun, tak pernah belajar ilmu sulap.
Namun, dari tangan pemilik Furniture Aktif yang bermarkas di Cimanggis,
Depok, ini lahir produk berkelas dengan bahan dari barang-barang bekas.

Dengan memanfaatkan kayu bekas peti kemas, ia menghasilkan mebel-mebel
berstandar internasional yang ramah lingkungan. Didi menekankan pada
pertukangan yang cermat. Selanjutnya, ia cukup memberi sentuhan pernis
mengkilap karena tekstur kayu jati belanda (*pinewood*) yang dipakai sebagai
bahan dasar sudah memiliki daya jual tinggi.

Awalnya, Didi lebih menargetkan sekolah-sekolah karena pernah bekerja di
dunia pendidikan. Dengan harga yang lebih murah ketimbang produk sejenis,
mebel Didi diminati banyak sekolah berstandar internasional di Jakarta dan
sekitarnya.

Selain harga yang murah, produk Didi juga dinilai mempunyai nilai desain
unik dan modern. Misalnya, meja setengah lingkaran dengan kursi-kursi yang
mengelilinginya. Meja ini sangat cocok dipakai di TK dan SD yang menerapkan
sistem belajar aktif. “Konsepnya, produk saya mendukung proses belajar
menjadi lebih menyenangkan,” kata Didi.

Desain Didi mengantarkannya menjadi finalis Asia Europe Classroom Award pada
2004. Selain itu, ia juga menjadi finalis untuk *International Young
Creative Entrepreneur* 2009 yang digelar* British Council*.

*Ide Eropa*

Ide desain karya Didi diperoleh Sarjana Geografi lulusan Universitas Negeri
Jakarta itu, saat ia berkunjung ke Eropa. Di Finlandia misalnya, ia
menjumpai produk mebel bekas pakai.

Hanya saja, tantangan pertama yang ia jumpai di Tanah Air justru pencarian
bahannya. Kayu bekas peti kemas yang diincarnya kebanyakan sudah ditadah
pengusaha barang bekas di pelabuhan Tanjung Priok. Alih-alih bisa membeli,
ayah tiga anak ini malah lebih sering ketemu preman pelabuhan. Untungnya,
rumahnya di Cimanggis, Depok, berdekatan dengan pabrik-pabrik yang
menyediakan limbah kayu melimpah. “Ketimbang jadi sampah, mending saya
manfaatkan,” kata Didi.

Kreativitas Didi tak terbatas di dunia bisnis furnitur. Pria yang gemar
berorganisasi ini juga memiliki taman bacaan dan warnet, serta aktif antara
lain di koperasi dan persatuan alumni program persahabatan Indonesia-Jepang.

Saat ini, ia juga sedang mengembangkan satu website bernama
www.greenschool.web.id. Di situs ini, para murid sekolah dari belasan negara
sudah menulis status dan opini mereka tentang penyelamatan lingkungan di
negara masing masing.

Pada November depan, situs Didi akan untuk berkompetisi di India
memperebutkan hadiah 5 ribu dollar AS, bersaing dengan peserta dari 65
negara lain. Pengalaman ini tentunya bakal memperkaya wawasan Didi,
sebagaimana halnya berkesempatan bertemu langsung dengan putra mahkota
Kerajaan Inggris Pangeran Charles saat ia menjadi salah seorang wakil
Indonesia dalam pertemuan pemuda Muslim sedunia "Mosaic International Summit
2010".

Meskipun demikian, Didi mengaku pilihannya sebagai wirausahawanlah yang
menjadi puncak pengalaman hidupnya. Ia menyebut Tangan di Atas (TDA),
komunitas wirausahawan, yang mengubah pola pikirnya. TDA mendorong Didi
berani bersikap dan mengambil tindakan dalam situasi yang tidak normal.
“Mereka seperti pahlawan, tindakannya lokal tetapi imbasnya global,” kata
Didi.

Didi saat ini aktif di Divisi Networking TDA Depok. Ia mengenang betapa
komunitas yang dulu dibangun segelintir orang kini sudah beranggotakan
17.000 orang. Dengan jumlah anggota yang bertambah sepesat ini, TDA
sekarang fokus pada penguatan basis internal seperti pengadaan pelatihan dan
bimbingan. Namun, penciptaan wirausahawan berkualitas sebanyak-banyaknya
tetap tak ditinggalkan. “Tantangan utama adalah mengubah *mindset *masyarakat
yang masih beranggapan PNS jauh lebih baik,” kata Didi. *(British Council)*

- Editor: Erlangga Djumena

sumber: http://www.tangandiatas.com/?ar_id=NjA3